ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

280

Transcript of ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

Page 1: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM
Page 2: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM BIDANG KESEHATAN

Tim Penulis : Dr. Rudy Hidana, M.Pd.

Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy. Irwan Hadi, Ns,.M.Kep

Handayani, S.Si, M.Si Meri, M.Imun

Slamet Yuswanto, S.H. M.Hum Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H

Dr. Diana Haiti, S.H.M.H Muchtar Anshary Hamid Labetubun,S.H.,M.H

Dr. Zuardin Arif, SKM, MH.Kes Dr. Anna Yuliana, M.Si

dr.Rospita Adelina Siregar,MH.Kes

Page 3: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM BIDANG KESEHATAN

Rudy Hidana, Nandang Ihwanudin, Irwan Hadi, Handayani,Meri, Slamet Yuswanto, Sapto Hermawan, Diana Haiti, Muchtar A H Labetubun,

Zuardin Arif, Anna Yuliana, Rospita Adelina Siregar

Desain Cover: Ridwan, SH

Tata Letak: Aji Abullatif. R

Proofreader: Atep Jejen, S.Pd

Editor:

Elan Jaelani, S.H., M.H

ISBN: 978-623-93255-1-0

Cetakan Pertama: Maret 2020

Hak Cipta 2020, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2020 by Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung

All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT: WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG

Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

Website: www.penerbitwidina.com

Instagram: @penerbitwidina E-mail: [email protected]

Page 4: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

iii

Pengantar Editor

Assalamualiakum. wr. Wb. Salam literasi,

Syukur Alhamdulilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidaya-Nya kepada kita. Karena izin-Nya pula buku yang berjudul “Etika Profesi dan Aspek Hukum Bidang Kesehatan” ini telah berhasil diterbitkan. Tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini merupakan kumpulan buah pemikiran dari para dosen, peneliti dan praktisi yang memiliki kompetensi dan kapasitas pada bidangnya masing-maisng, terutama bidang Hukum dan kesehatan.

Selanjutnya perlu kami sampaikan bahwa, penerbitan buku kolaborasi ini merupakan bagian dari komitmen kami sekaligus bentuk kontribusi terhadap perkembangan dunia litarasi dan publikasi ilmiah di Indonesia. selain itu, buku kolaborasi ini juga menjadi bagian dari visi kami untuk berperan sebagai media diseminasi setiap gagasan dan pemikiran para Dosen, peneliti ataupun praktisi diselulruh Indonesia.

Buku Etika profesi dan hukum kesehatan ini disusun secara terstruktur dan sistematis mengikuti pedoman pembelajaran matakuliah di perguruan tinggi, sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan referensi mahasiswa hukum atapun mahasiswa kesehatan yang ingin mengetahui secara mendalam terkait aspek hukum yang berkaitan dengan bidang kesaehatan. Buku ini diawali dengan pembahasan tentang konsep dasar tentang moral, etika dan hukum yang merupakan materi fondasi yang akan memberikan pemahaman dasar terkait konsep keadilan, kebaikan dan norma yang hidup didalam masyarakat. Setelah menyajikan terkait pema-haman dasar, buku ini selanjutnya masuk kepada pemabahasan yang lebih spesifik tentang profesi bidang kesehatan yang dilan-jutkan dengan pemabahasan tentang sudut pandang hukum ter-hadap praktik profesi bidang kesehatan, baik dari aspek hukum per-data, hukum pidana dan hukum administrasi.

Page 5: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

iv

Karena bidang kesehatan merupakan salah satu hak asasi yang dijamin oleh konstitusi dan telah diyakini oleh masyarakat dunia sebagai hak dasar, maka buku ini juga menyadjikan sudut pandang Hak asasi manusia pada bidang kesehatan dari dua sudut pandang hukum, yaitu sudut pandang hukum nasional dan hukum iner-nasonal. Selanjutya, dalam rangka menjamin hak dasar tersebut, buku ini diakhiri dengan pemabahasan tentang pertanggung jaw-aban hukum bidang kesehatan yang terdiri dari penjelasan hak, kewajiban, fungsi, dan tanggung jawab para stakeholders dibidang kesehatan, seperti dokter, pasien, tim medis dan rumah sakit.

Selanjutnya dalam rangka menegakan hak, kewajiban yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan dibidang kese-hatan, buku ini diakhiri dengan pembasan terkait mekanisme dan jenis-jenis penyelesaian sengketa yang dimungkinkan terjadi pada praktik profisi biadang kesehatan.

Harapannya, buku ini dapat menjadi referensi, sekaligus men-jadi pedoman baik dalam proses pembelajaran atapun bagi praktik pelayanan dan profesi dibidang kesehatan. Oleh karena itu, semoga buku ini dapat bermanfaat dan dapat diterima oleh masyarakat luas, sekaligus berkontribusi bagi perkembangan bidang hukum dan kesehatan indonesia, baik praktis atapun akademis.

Elan Jaelani, SH., MH. ID Scopus 57215717989

Page 6: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................... v BAB 1 Konsep dasar moral Dan etika hukum ................................ 2

A. Pendahuluan ..................................................................... 2 B. Pengertian moral .............................................................. 3 C. Tujuan dan fungsi moral ................................................... 4 D. Jenis dan wujud moral ...................................................... 4 E. Nilai moral dalam kehidupan ............................................ 5 F. Pengertian etika ................................................................ 7 G. Penilaian etika ................................................................. 10 H. Macam-macam etika ...................................................... 10 I. Kode etik ......................................................................... 11 J. Pengertian hukum ........................................................... 11 K. Fungsi moral bagi kehidupan manusia ........................... 13 L. Rangkuman materi .......................................................... 14

BAB 2 Etika dan etika profesi ...................................................... 20 A. Pendahuluan ................................................................... 20 B. Karakteristik etika profesi ............................................... 22 C. Etika profesi bidang kesehatan ....................................... 25 D. Rangkuman ..................................................................... 33

BAB 3 Pengantar hukum dalam Pelayanan kesehatan ................. 38 A. Latar belakang hukum dalam pelayanan kesehatan...... 38 B. Pengantar hukum dalam pelayanan kesehatan ............. 40 C. Pengertian hukum kesehatan dalam

pelayanan kesehatan ...................................................... 44 D. Penegakan hukum kesehatan ......................................... 45 E. Rangkuman ..................................................................... 46

BAB 4 Sejarah, asas dan permasalahan moral, Etika dan hukum dalam pelayanan kesehatan .................. 52 A. Sejarah ............................................................................ 52 B. Asas dan permasalahan moral ........................................ 56 C. Etika dan hukum dalam pelayanan kesehatan ............... 62

Page 7: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

vi

D. Rangkuman ..................................................................... 68 BAB 5 Peraturan perundang-undangan hukum kesehatan .......... 74

A. Pendahuluan ................................................................... 74 B. Peraturan Perundang-undangan .................................... 75 C. Kitab undang-undang perdata ........................................ 75 D. Kitab undang-undang pidana .......................................... 76 E. Tanggung jawab administrasi ......................................... 77 F. Undang undang ............................................................... 77 G. Peraturan Pemerintah .................................................... 98 H. Jurisprudensi ................................................................... 98 I. Perjanjinan Internasional ................................................ 98 J. Kebiasaan ........................................................................ 98 K. Rangkuman materi .......................................................... 99

BAB 6 Aspek yuridis hak asasi manusia bidang kesehatan ......... 104 A. Pendahuluan ................................................................. 104 B. Kesehatan dan hak asasi manusia ................................ 108

1. Pengaturan nasional ham bidang kesehatan ......... 110 2. Aspek internasional ham bidang kesehatan .......... 117

C. Rangkuman materi ........................................................ 123 BAB 7 Perbuatan melanggar hukum dalam perkara medis ........ 132

A. Pendahuluan ................................................................. 132 B. Pengertian dan bentuk perkara medis ......................... 134

1) Malpraktek medis ................................................... 134 2) Kecelakaan medis

(medical mishap, medical accident) ....................... 137 3) Kelalaian medis ....................................................... 138

C. Dasar gugatan perkara medis ....................................... 140 1) Gugatan wanprestasi .............................................. 140 2) Gugatan perbuatan melawan hukum .................... 142

D. Rangkuman materi ........................................................ 151 BAB 8 Aspek hukum pidana dalam kesehatan berkaitan

malpraktik medik ............................................................ 158 A. Pendahuluan ................................................................ 158 B. Pengertian malpraktik medik ........................................ 160 C. Kelalaian medik (culpa, negligence) .............................. 164

Page 8: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

vii

D. Perbedaan malpraktik medik dengan kelalaian medik ............................................................ 169

E. Dasar pemidanaan malpraktik medik ........................... 171 F. Rangkuman ................................................................... 172

BAB 9 Aspek hukum perdata dalam kesehatan ......................... 180

A. Pendahuluan ................................................................. 180 B. Perjanjian terapeutik .................................................... 183 C. Hubungan hukum perdata dalam

pelayanan kesehatan .................................................... 186 D. Hak dan kewajiban para pihak ...................................... 188 E. Rangkuman materi ........................................................ 206

BAB 10 Aspek hukum admnistrasi dalam kesehatan ................... 212 A. Pendahuluan ................................................................. 212 B. Pengertian dan pengaturan

pelayanan kesehatan .................................................... 216 C. Hukum admnistrasi dalam kesehatan .......................... 219 D. Aspek-aspek hukum kesehatan .................................... 223 E. Malpraktik admnistrasi ................................................. 223 F. Tanggung jawab (liability)

institusi layanan kesehatan ........................................... 225 G. Penyedia layanan kesehatan

sebagai entitas hukum .................................................. 226 H. Rangkuman materi ........................................................ 227

BAB 11 Pertanggung jawab hukum bidang kesehatan ................ 234 A. Pengertian tanggung jawab hukum .............................. 234 B. Macam-macam tanggung jawab ................................... 235 C. Tanggung jawab hukum pidana bidang kesehatan ...... 238 D. Tanggung jawab hukum perdata bidang kesehatan ..... 241 E. Tanggung jawab bagian administrasi

bidang kesehatan .......................................................... 243 BAB 12 Penyelesaian sengketa medik melalui mediasi ............... 250

A. Pendahuluan ................................................................. 250 B. Rincian pembahasan materi ......................................... 251 C. Macam-macam mediator ............................................. 257

Page 9: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

viii

D. Kewenangan dan tugas mediator ................................. 259 E. Peran dan fungsi mediator ........................................... 260 F. Rangkuman materi ........................................................ 267

Page 10: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM
Page 11: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 1 KONSEP DASAR MORAL

DAN ETIKA HUKUM Dr. Rudy Hidana, M.Pd. STIKes Bakti Tunas Husada A. PENDAHULUAN

Pengertian etika sering kali disamakan dengan pengertian moral. Yang dimaksud ajaran moral adalah wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan ia bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sedangkan etika adalah pemikiran yang kritis dan mendasar mengenai ajaran moral. Oleh karena itu harus dibedakan dengan ajaran moral.

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (ahlak). Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa latin, kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”.

Page 12: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |3

Moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik.

Etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik. Etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk. Etika tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar.

Pengertian hukum menurut E. Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan seha-rusnya di taati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh kare-nanya pelanggaran terhadap petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah masyarakat itu. Menurut A. Ridwan Halim, pengertian hukum merupakan peraturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang pada dasarnya peraturan tersebut berlaku dan di akui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam hidup bermas-yarakat.

B. PENGERTIAN MORAL

Secara umum pengertian moral adalah suatu hukum perilaku yang diterapkan kepada setiap individu dalam bersosialisasi dengan sesa-manya sehingga terjalin rasa hormat dan menghormati antar sesama. Pendapat lain mengatakan arti moral adalah sesuatu yang berhu-bungan dengan prinsip-prinsip tingkah laku, ahlak, budi pekerti, dan mental yang membentuk karakter dalam diri seseorang sehingga dapat menilai dengan benar apa yang baik dan buruk.

Moral adalah produk yang dihasilkan oleh budaya dan agama yang mengatur cara berinteraksi (perbuatan, perilaku, dan ucapan) antar sesama manusia. Dengan kata lain istilah moral merujuk pada tindakan, perilaku seseorang yang memiliki nilai positif sesuai dengan norma yang ada di suatu masyarakat.

Page 13: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

4| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

C. TUJUAN DAN FUNGSI MORAL Secara umum tujuan dan fungsi moral adalah untuk mewujudkan

harkat dan martabat kepribadian manusia melalui pengamalan nilai-nilai dan norma. Adapun tujuan dan fungsi moral adalah sebagai ber-ikut: 1. Untuk menjamin terwujudnya harkat dan martabat pribadi sese-

orang dan kemanusiaan. 2. Untuk memotivasi manusia agar bersikap dan bertindak dengan

penuh kebaikan dan kebajikan yang didasari atas kesadaran kewa-jiban yang dlandasi moral.

3. Untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial antar manusia, kar-ena moral menjadi landasan rasa percaya terhadap sesama.

4. Membuat manusia lebih bahagia secara rohani dan jasmani karena menunaikan fungsi moral sehingga tidak ada rasa menyesal, konflik batin, dan perasaan berdosa atau kecewa.

5. Moral dapat memberikan wawasan masa depan kepada manusia, baik sanksi sosial maupun konsekuensi dalam kehidupan sehingga manusia akan penuh pertimbangan sebelum bertindak.

6. Moral dalam diri manusia juga dapat memberikan landasan kesa-baran dalam bertahan dalam setiap dorongan naluri dan keing-inan/nafsu yang mengancam harkat dan martabat pribadi.

D. JENIS DAN WUJUD MORAL Wujud moral dalam diri seseorang dapat terlihat dari penampilan

dan perilakunya secara keseluruhan. Adapun beberapa macam moral adalah sebagai berikut: 1. Moral Ketuhanan

Moral Ketuhanan adalah semua hal yang berhubungan dengan keagamaan/religius berdasarkan ajaran agama tertentu dan penga-ruhnya terhadap diri seseorang. Wujud moral ketuhanan, misalnya melaksanakan ajaran agama yang dianut dengan sebaik-baiknya. Contoh; menghargai sesama manusia, menghargai agama lain, dan hidup rukun dengan yang berbeda agama.

Page 14: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |5

2. Moral Ideologi dan Filsafat Moral ideologi dan filsafat adalah semua hal yang berhu-bungan

dengan semangat kebangsaan, loyalitas kepada cita-cita bangsa dan negara. Wujud moral ideologi dan filsafat, misalnya menjunjung tinggi dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Contoh; menolak ideologi asing yang ingin mengubah dasar negara Indo-nesia.

3. Moral Etika dan Kesusilaan

Moral Etika dan Kesusilaan adalah semua hal yang berkaitan dengan etika dan kesusilaan yang dijunjung oleh suatu masyarakat, bangsa, dan negara secara budaya dan tradisi. Wujud moral etika dan kesusilaan, misalnya menghargai orang lain yang berbeda pendapat, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Contoh; me-ngucapkan salam kepada orang lain ketika bertemu atau berpa-pasan.

4. Moral Disiplin dan Hukum

Moral Disiplin dan Hukum adalah segala hal yang berhubungan dengan kode etika profesional dan hukum yang berlaku di masya-rakat dan negara. Wujud moral disiplin dan hukum, misalnya mela-kukan suatu aktivitas sesuai dengan aturan yang berlaku. Contoh; selalu menggunakan perlengkapan yang diharuskan dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas ketika berkendara di jalan raya.

E. NILAI MORAL DALAM KEHIDUPAN 1. Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

Page 15: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

6| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 5. Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menye-lesaikan tugas dengan sebaik baiknya. 6. Kreatif

Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis

Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan

Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air

Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Page 16: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |7

12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk meng-hasilkan

sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai

Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial

Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

F. PENGERTIAN ETIKA Etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi

orang baik, berbuat baik dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Etika berasal dari bahasa Inggris Ethics, artinya pengertian, ukuran tingkah laku atau perilaku manusia yang baik, yakni tindakan yang tepat yang harus dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan moral pada umumnya.

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti karakter, watak, kesusilaan atau adat kebiasaan.

Page 17: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

8| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimi-liki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian etika adalah: Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan ahlak, nilai mengenai benar dan salah yang di anut masyarakat. Nilai-nilai etika harus diletakan sebagai landasan atau dasar pertimbangan dalam setiap tingkah laku manusia termasuk kegiatan di bidang keilmuan.

Pengertian etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurutnya etika berasal dari istilah Yunani “Ethos” yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian tersebut, etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan manusia pada umumnya. Selain itu etika juga berkembang menjadi studi ten-tang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.

Berdasarkan perkembangan arti, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral. 1. Etika Perangai

Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang mengga-mbarkan perangai manusia dalam kehidupan bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut dia-kui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil peni-laian perilaku. Contoh; berbusana adat, pergaulan muda mudi, perka-winan semenda, upacara adat. 2. Etika Moral

Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila etika ini dilanggar timbullah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasan ini berasal dari kodrat manusia yang di sebut moral. Contoh; berkata dan berbuat jujur, menghargai hak orang lain, menghormati

Page 18: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |9

orang tua dan guru, membela kebenaran dan keadilan, menyantuni anak yatim/piatu.

Dalam kehidupan masyarakat kita mengenal etika pribadi dan etika sosial.

1. Etika Pribadi Misalnya seorang yang berhasil dibidang usaha (wiraswasta) dan

menjadi seseorang yang kaya raya (jutawan). Ia disibukan dengan usa-hanya sehingga ia lupa akan diri pribadinya sebagai hamba Tuhan. Ia mempergunakan untuk keperluan-keperluan, hal-hal yang tidak terpuji dimata masyarakat (mabuk-mabukan, suka mengganggu ketentraman keluarga orang lain). Dari segi usaha ia memang berhasil mengemba-ngkan usahanya sehingga ia menjadi jutawan, tetapi ia tidak berhasil dalam mengembangkan etika pribadinya. 2. Etika Sosial

Misalnya seorang pejabat pemerintah (negara) dipercaya untuk mengelola uang negara. Uang milik negara berasal dari rakyat dan untuk rakyat . Pejabat tersebut ternyata melakukan penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadinya, dan tidak dapat mempertang-gungjawabkan uang yang dipakainya itu kepada pemerintah. Perbuatan pejabat tersebut adalah perbuatan yang merusak etika sosial. Bertens merumuskan arti kata etika sebagai berikut : a. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma

moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelo-mpok dalam mengatur tingkah lakunya, arti ini bisa dirumuskan sebagai sistem nilai. Sistem nilai bisa berfungsi dalam hidup man-usia perorangan maupun pada taraf sosial.

b. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik.

c. Etika mempunyai arti ilmu tentang apa yang baik atau buruk. Faktor-faktor yang melandasi etika meliputi hal berikut: 1) Nilai-nilai atau value 2) Norma 3) Sosial budaya, dibangun oleh konstruksi sosial dan dipengaruhi

oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Page 19: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

10| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

d. Religius 1) Agama mempunyai hubungan erat dengan moral. 2) Agama merupakan motivasi terkuat perilaku moral atau etik. 3) Agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma etis yang

paling penting. 4) Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pega-

ngan bagi perilaku para anggotanya. e. Kebijakan atau policy maker, siapa stake holdersnya dan bagai-

mana kebijakan yang di buat sangat berpengaruh atau mewarnai etika maupun kode etik. Secara umum etika di bagi menjadi dua : 1) Etika Umum, mengajarkan tentang kondisi-kondisi dan dasar-

dasar bagaimana seharusnya manusia bertindak secara etis, bagaimana pula manusia bersikap etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.

2) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan. Penerapan ini bisa berwujud bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidu-pannya dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi dengan etika moral. Namun penerapan itu dapat juga berwujud bagai-mana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehi-dupan terhadap sesama.

G. PENILAIAN ETIKA Penilaian etika dibagi menjadi dua, antara lain:

1. Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila.

2. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut ahlak atau budi pekerti.

H. MACAM-MACAM ETIKA Ada tiga macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan

baik dan buruknya perilaku manusia:

Page 20: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |11

1. Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan perilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

2. Etika Normatif, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif mem-beri penilaian sekaligus memberi norma ebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

3. Metaetika, yaitu “Meta” berasal dari bahasa Yunani yang berarti melebihi atau melampaui. Metaetika mempelajari logika khusus dan ucapan-ucapan etis. Pada metaetika mempersoalkan bahasa normatif apakah dapat diturunkan menjadi ucapan kenyataan. Metaetika mengarahkan pada arti khusus dan bahasa etika.

I. KODE ETIK Pengertian kode etik adalah norma-norma yang harus diindahkan

oleh setiap profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan di dalam hidupnya dimasyarakat. Profesi adalah moral community (mas-yarakat moral yang memiliki cita-cita dan nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu profesi karena disatukan oleh latar belakang pendidikan yang sama dan memiliki keahlian yang sama.

Kode etik menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan menjamin mutu moral profesi dimata masyarakat. Kode etik yang sudah ada, sewaktu-waktu harus dinilai kembali, jika perlu memung-kinkan direvisi, karena ada perubahan lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan profesi.

J. PENGERTIAN HUKUM Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh

penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh mas-yarakat.

Page 21: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

12| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasidalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam kons-titusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang akan di pilih.

Sunaryati Hartono memberikan difinisi mengenai pengertian hukum yaitu hukum itu tidak menyangkut kehidupan pribadi sese-orang, akan tetapi jika menyankut dan mengatur berbagai aktivitas manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya, atau dengan kata lain hukum mengatur berbagai aktivitas manusia di dalam hidup bermasyarakat. Definisi hukum dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997): 1. Peraturan atau adat, yang secar resmi dianggap mengikat dan diku-

kuhkan oleh pengasa, pemerintah atau otoritas. 2. Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehi-

dupan masyarakat. 3. Patokan (kaidah, ketentuan). 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditentuka oleh hakim dalam peng-

adilan, vonis.

Dalam hukum pidana dikenal dua jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran, Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya berten-tangan dengan undang-undang, tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Contohnya; mencuri, membunuh, berzina, memperkosa, dan sebagainya. Inilah contoh tindakan-tindakan yang bukan hanya menyimpang hukum tetapi juga menyimpang norma dan etika.

Persamaan etika dan hukum terdapat dalam tujuan sosialnya. Sama-sama menghendaki agar manusia melakukan perbuatan yang baik/benar. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pelanggaran hukum merupakan perbuatan yang tidak etis.

Page 22: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |13

Perbedaannya adalah bahwa etika itu ditujukan pada sikap batin manusia, dan sanksinya dari kelompok masyarakat profesi itu sendiri. Sedangkan hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, membebani manusia dengan hak dan kewajiban, bersifat memaksa, sanksinya tegas dan konkret yang dilaksanakan melalui wewenang penguasa/ peme-rintah.

K. FUNGSI MORAL BAGI KEHIDUPAN MANUSIA Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat

sekali. Nilai dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus sem-akin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk (etika) yang mana cara pengukurannya adalah melalui nilai-nilai yang terkandung dalam perbuatan tersebut.

Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian kepada gejala “Pembiasaan emosional”.

Selain itu fungsi nilai, moral, dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi ag-ama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan karena belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan -kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepen-tingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukan sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata ber-laku dalam masyarakat, disebut hukum posistif.

Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai “diferensi” (perbedaan) dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat tampil lebih jelas dan tegas, dan di dukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti oleh anggota masyarakat sebagai atribut positif.

Bukankah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan

Page 23: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

14| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum. Bahkan tatkala terjadi dilema di dalam hukum sendiri, yang dapat dise-babkan karena adanya konflik, baik dari lembaga-lembaga hukum, sarana prasarana hukum bahkan rendahnya budaya hukum dalam mas-yarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikannya pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat.

L. RANGKUMAN MATERI Moral, merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti

manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan (ahlak). Moralisasi berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang baik. Demoralisasi berarti kerusakan moral.

Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa latin, kemudian diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan sopan santun dan tidak cabul. Jadi moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi semua norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik.

Pengertian moral dibedakan dengan pengertian kelaziman, mes-kipun dalam praktek kehidupan sehari-hari kedua pengertian itu tidak jelas batas-batasnya. Kelaziman adalah kebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang dianggap baik, layak, sopan santun, tata krama, dan sebagainya. Kelaziman itu merupakan norma-norma yang diikuti tanpa berpikir panjang dianggap baik, yang berdasarkan kebiasaan atau tradisi.

Etika, berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang membi-carakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.

Etika juga disebut ilmu normative, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digu-

Page 24: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |15

nakan dalam kehidupan sehari-hari. Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral atau filsafat susila. Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk. Etika adalah penyelidikan filsafat bidang moral. Etika tidak membahas kea-daan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar. Etika juga merupakan filsafat praxis manusia. Etika adalah cabang dari aksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang menitik-beratkan pada pencarian salah dan benar dalam pengertian lain ten-tang moral.

Hukum, adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi hukum untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, bersifat memaksa, dan memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh mas-yarakat.

Hukum berhubungan erat dengan moral. Contoh bahwa mencuri itu adalah moral yang tidak baik, supaya prinsip etis ini berakar di mas-yarakat maka harus dengan hukum.

Hukum bersifat memaksa dan mempunyai sanksi. Hukum dida-sarkan atas kehendak masyarakat dan negara, masyarakat atau negara dapat merubah hukum. Hukum tidak menilai moral.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Uraikan contoh nilai moral dalam kehidupan ? 2. Uraikan moral etika dan hukum ? 3. Uraikan perbedaan etika perangai dan etika moral ? 4. Uraikan perbedaan etika pribadi dengan etika sosial ? 5. Uraikan keterkaitan nilai moral dan hukum ?

Page 25: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

16| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

DAFTAR PUSTAKA

Binziad Kadafi, et. Al, 2001.Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)

Charis Zubair Achmad, 1987. Kuliah Etika. Jakarta, PT Raja Gravinda Prasada

C. Solomon Robert dkk, 1987. Etika, Jakarta, Erlangga Daniel Hutagalung, 1998. Hukum Dalam Negara, HAM, dan Demokrasi.

Jakarta, YLBHI E. Sumaryono, 1995. Etika Profesi Hukum, Jakarta, Kanisius K. Bertens, 1993. Etika. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama Purwoto S. Ganda Subrata, 1998. Renungan Hukum. Jakarta, IKAHI

Cabang Mahkamah Agung RI

Page 26: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |17

PROFIL PENULIS

RUDY HIDANA, dilahirkan di kota Madiun Jawa Timur pada tanggal 30 Maret 1965, anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan Bapak Tatang Hadiana dan Ibu Karwati. Menyelesaikan SD di SDN Angkasa II Bandung tahun 1978, SMPN VIII Bandung tahun 1981, dan SMAK Dep. Kes. Bandung tahun 1984. Kemudian menyelesaikan S1 di Program Studi Pendidikan Biologi

FKIP Universitas Siliwangi, lulus tahun 1990. Selanjutnya menyelesaikan S2 pada Program Pascasarjana Universitas Siliwangi, Program Studi Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup pada tahun 2001. Kemudian menyelesaikan S3 pada Program Studi Pendidikan IPA di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2015.

Bekerja sebagai dosen tetap pada Program Studi Teknologi Labo-ratorium Medik, STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya sejak tahun 2000 sampai sekarang. Mengampu mata kuliah Biologi Sel dan Mole-kuler, Mikrobiologi, Parasitologi, Manajemen Laboratorium, Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Sebelumya pernah bekerja sebagai analis kesehatan di Laboratorium Klinik RSB “Pamela”, Laboratorium Klinik “Medika”, Laboratorium Klinik “Budi Kartini”, dan Laboratorium Klinik RS “Jasa Kartini” di Tasikmalaya pada tahun 1985 sampai dengan tahun 2000.

Selain melaksanakan tugas mengajar saat ini juga sebagai Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya. Pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Penelitian dan Pengabdian Mas-yarakat STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya tahun 2004 sampai dengan 2008.

Aktif di organisasi profesi PATELKI (Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia), dan AIPTLMI (Asosiasi Institusi Pendi-dikan Teknologi Laboratorium Medik Indonesia). Saat ini masih tercatat sebagai reviewer penelitian dosen LLDIKTI wilayah 4 Jawa Barat dan Banten.

Page 27: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

18| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Melakukan berbagai kegiatan penelitian yang berkaitan dengan Analis Kesehatan dan juga pendidikan IPA. Pernah mendapatkan hibah penelitian dosen muda dari Kopertis wilayah IV pada tahun 2008, hibah penelitian doktor dari Dirjen Dikti pada tahun 2010

Page 28: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM
Page 29: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 2 ETIKA DAN ETIKA

PROFESI Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy Universitas Islam Bandung (UNISBA)

A. PENDAHULUAN

1. Definisi Etika Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah

cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Plato senada dengan Socrates berpandangan bahwa pengetahuan dan moral (etika) adalah sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahakan Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia, seperti etika perpektif Islam dalam produksi, distribusi dan konsumsi (Nan-dang Ihwanudin, 2020). Berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan buruknya.

Page 30: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |21

Sebagai cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia, etika memberikan standar atau penilaian terhadap perilaku tersebut.

Menurut Al Ghazali, etika/akhlak adalah keadaan batin yang men-jadi sumber lahirnya suatu perbuatan secara spontan, mudah, dengan tidak memikirkan untung rugi. Orang yang beretika baik, manakala me-nemukan yang memerlukan pertolongan, spontan menolongnya tanpa sempat mempertimbangkan akibatnya. (Komaruddin Hidayat, 22)

Terdapat empat klasifikasi etika, yaitu: 1) Etika Deskriptif: yaitu etika yang hanya memberikan penilaian terhadap objek yang diamati; 2) Etika Normatif: Etika yang mengemukakan suatu penilaian tentang benar dan salah, baik dan buruk, dan apa yang sebaiknya dilakukan; 2) Etika Individual: Etika yang objeknya berhubungan dengan makna dan tujuan hidup; dan 4) Etika Sosial: Etika yang membicarakan tingkah laku manusia sebagai makhluk sosial dan hubungan interaksinya dengan manusia lainnya.

2. Definisi profesi

Profesi berasal dari kata "Profess” (Bahasa Inggris), bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban, mengerjakan tugas khusus secara tetap". Profesi juga sebagai pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kesehatan, keuangan, militer, teknik desainer, tenaga pendidik. Seseorang yang memiliki kecakapan dalam profesi tertentu adalah seorang profesional. (https://id.wikipedia.org/wiki/Profesi/diakses 19 Maret 2020).

3. Definisi etika profesi

Etika profesi adalah cabang filsafat yang mempelajari penerapan prinsip-prinsip moral dasar atau norma-norma etis umum yang telah ditetapkan dan disepakati pada profesi atau lingkup kerja tententu manusia. Definisi profesi merujuk pada beberapa pendapat ahli adalah sebagai berikut: a. Peter Jarvis. (1983:21), Ia mengartikan profesi sebagai suatu peke-

rjaan yang sesuai dengan studi intelektual atau pelatihan khusus

Page 31: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

22| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dimana tujuannya untuk menyediakan pelayanan keterampilan bagi orang lain dengan upah tertentu.

b. Hughes E.C. (1963), menurutnya, profesi adalah suatu pekerjaan di bidang tertentu dimana seorang profesional memiliki penge-tahuan lebih baik dari kliennya mengenai sesuatu yang terjadi pada klien tersebu.

c. Cogan (1983:21), dalam pandangannya, profesi adalah suatu kete-rampilan khusus yang dalam prakteknya didasarkan atas suatu struktur teoritis tertentu dari beberapa bagian ilmu pengetahuan.

d. Schein E.H. (1962), menurutnya, pengertian profesi adalah suatu set pekerjaan yang membangun suatu set norma yang sangat kh-usus yang berasal dari peran khusus di masyarakat.

e. Dedi Supriyadi (1998:95), Ia mendefinisikan profesi sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntuk keahlian khusus, tang-gungjawab, serta kesetiaan terhadap pekerjaan tersebut.

f. Doni Keosoema. Menurutnya, pengertian profesi adalah suatu pe-kerjaan yang memiliki wujud sebagai jabatan dalam hierarki bir-okrasi, yang menuntut keahlian serta etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat. (https://www.maxmanroe.com/vid/karir/pengertian-profesi.html/ diakses 19 Maret 2019). Rasulullah Saw. mislanya, sebagai seorang profesional di bidang

bisnis dan investasi, memiliki prophetic business wisdom yang dirum-uskan para ahli sebagai pribadi yang shiddiq (benar), amanah (dapat dipercaya, akuntable), tabligh (tranparansi), dan fathanah (cerdas) (Antonio, 2011, 62).

B. KARAKTERISTIK ETIKA PROFESI 1. Prinsip dasar di dalam etika profesi:

a. Tanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya dan terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya;

b. Keadilan; c. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa

saja apa yang menjadi haknya;

Page 32: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |23

d. Prinsip Kompetensi,melaksanakan pekerjaan sesuai jasa pro-fesionalnya, kompetensi dan ketekunan;

e. Prinsip Prilaku Profesional, berprilaku konsisten dengan rep-utasi profesi; dan

f. Prinsip Kerahasiaan, menghormati kerahasiaan informasi. (https://yanhasiholan.wordpress.com/2013/10/16/pengertinan-etika-profesi-dan-etika-profesi/diakses 19 Maret 2020).

2. Ciri-Ciri Profesi

a. Terdapat keahlian atau pengetahuan khusus yang sesuai dengan bidang pekerjaan, dimana keahlian atau pengetahuan tersebut didapatkan dari pendidikan atau pengalaman.

b. Terdapat kaidah dan standar moral yang sangat tinggi yang berlaku bagi para profesional berdasarkan kegiatan pada kode etik profesi.

c. Dalam pelaksanaan profesi harus lebih mengutamakan kepe-ntingan masyarakat di atas kepentingan pribadi.

d. Seorang profesional harus memiliki izin khusus agar dapat menjalankan pekerjaan sesuai profesinya.

e. Pada umumnya seorang profesional merupakan anggota suatu organisasi profesi di bidang tertentu. (https://yanhasiholan.wordpress.com/2013/10/16/pengertian-etika-profesi-dan-etika-profesi/diakses 19 Maret 2020.)

3. Syarat-Syarat Profesi

a. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.

b. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi ter-sebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.

Page 33: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

24| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

c. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.

d. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang me-nguji terutama pengetahuan teoretis.

e. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersya-ratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional di mana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum men-jadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan me-lalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

f. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

g. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya inte-rvensi dari luar.

h. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

i. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organ-isasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

j. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan de-ngan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

k. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat. (https://id.wikipedia.org/wiki/Profesi/diakses 19 Maret 2020)

Page 34: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |25

C. ETIKA PROFESI BIDANG KESEHATAN Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indo-

nesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan. Dalam poin pertim-bangan, ditgaskan: 1. Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu

unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meni-ngkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional; Dalam UU ini antara lain diatur bahwa Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan peri-kemanuaiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghor-matan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondis-kriminatil dan norma-norma agama (pasal 2), Pembangunan kese-hatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tinginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sasial dan ekonomis (pasal 3).

Berikutnya diatur pula bahwa setiap orang berhak atas kesehatan

(pasal 4); pada pasl 5 diatur: 1. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses

atas sumber daya di bidang kesehatan; 2. Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan

kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau; 3. Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab

menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Page 35: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

26| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Pada pasal 6 diatur bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”, pada pasal 7 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab”, dan pada pasal 8 diatur bahwa Setiap orang berhak mem-peroleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Sedangkan pada pasal 9 diatur tentang kewajiban, bahwa: 1. Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan,

dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;

2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masya-rakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan.

Sedangkan pada pasal 10 diatur banha Setiap orang berkewajiban

menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun social; pasal 11 mengatur bahwa Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya; Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kese-hatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya (pasal 12); dan pada pasal 13 diatur bahwa: 1. Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan

kesehatan social. 2. Program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan, dalam UU ini

pada Bab V diatur pula tentang Sumber Daya bidang kesehatan. Pada pasal 23 antara lain diatur: 1. Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan

kesehatan;

Page 36: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |27

2. Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan seba-gaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;

3. Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah;

4. Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai materi; dan

5. Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pada pasal 24 diatur pula hal-hal sebagai berikut:

1. Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional;

2. Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi; dan

3. Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Sejalan dengan pasal 14 poin (2), Ikatan Dokter Indonesia telah

menyusun Kode Etik Dokter Indonesia (KODEKI) hasil Mukernas Etik Kedokteran III tahun 2001. Dalam KODEKI ini, pada diatur kewajiban umum pada pasal 1-9, yaitu: Pasal 1 “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter”; Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai de-ngan standar profesi yang tertinggi. Pasal 3 Dalam melakukan peker-jaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh ses-uatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi; Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri; Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetu-

Page 37: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

28| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

juan pasien; Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau peng-obatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.; Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya; Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia; Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien; Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien; Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengi-ngat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani; Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepen-tingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kese-hatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. Pasal 9 “Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.”

Dalam menjelaskan pasal-pasal tersebut, R.S. Samil, (Sejarah Etika Kedokteran, addendum 1 kodeki) profesi kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu; 1. Otonomi. Hal ini membutuhkan orang-orang yang kompeten, dipe-

ngaruhi oleh kehendak-kehendak dan keinginannya sendiri, dan kemampuan (kompetensi) ini dianggap dimiliki oleh seorang orang, remaja maupun orang dewasa, yang memiliki pengertian yang ade-kuat pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan dan memiliki kema-mpuan untuk menanggung konsekwensi dari keputusan yang man-diri telah diambil dalam melindungi orang lemah;

Page 38: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |29

2. Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik. Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif; Primum Non Nocere (janganlah berbuat merugikan/salah). Hendaknya seorang professional bernada positif dengan berbuat baik, dan apabila perlu memulai dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan awal kesejahteraan para individu dan masyarakat;

3. Keadilan. Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar manusia, dalam memberikan pelayanan dan menerima imbalan.

Adapun yang berkaitan dengan pengguna jasa pelayanan Kese-

hatan, ditegaskan bahwa Seorang dokter hanya memberi surat kete-rangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Surat keterangan medis adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter untuk tujuan tertentu tentang kesehatan atau penyakit pasien atas permintaan pasien atau atas permintaan pihak ketiga dengan perse-tujuan pasien. Dokter pembuat surat keterangan medis tersebut harus dapa membuktikan kebenaran keterangannya apabila diminta. Dengan kalimat "memeriksa sendiri kebenarannya" sebagaimana tercantum dalam pasal ini berarti bahwa dokter tersebut menginterpretasikan hasil-hasil pemeriksaan medis yang telah diyakini kebenarannya, baik yang dilakukannya sendiri maupun yang dilakukan oleh sejawatnya atau hasil konsultasinya (Budi Sampurno, addendum 1 KODEKI, 59).

Selanjunya, Budi Sampurna (Adendum 1 KODEKI, 59) memberikan penjelasan khusus yang terkait dengan "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-hak Dokter" dalam Pasal 7c, bahwa Seorang dokter harus meng-hormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kese-hatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien, hak pasien telah diatur dalam beberapa ketentuan, yaitu di dalam: Declaration ot Lisbon (1991); Penjelasan pasal 53 UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan; Surat Edaran (SE) Ditjen Yanmed Depkes RI No YM.02.04.3.5.-2504 tentang Pedoman Hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit; dan Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter.

Page 39: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

30| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Sampuna juga menjelaskan bahwa dalam Deklarasi Lisabon (1991) dijelaskan bahwa hak-hak pasien adalah: 1. Hak memilih dokter; 2. Hak dirawat dokter yang "bebas"; 3. Hak menerima/menolak pengobatan setelah menerima informasi; 4. Hak atas kerahasiaan; 5. Hak mati secara bermartabat; dan 6. Hak atas dukungan moral/spiritual.

Sedangkan dalam UU Kesehatan disebutkan antara lain: 1. Hak atas informasi; 2. Hak atas "second opinion"; 3. Hak memberikan persetujuan pengobatan/tindakan medis; 4. Hak atas kerahasiaan; 5. Hak pelayanan kesehatan.

Sampurna menambahkan bahwa hak-hak pasien secara rinci juga

diuraikan dalam SE Ditjen Yanmed Depkes RI. No. YM.02.04.3.5. 2504 dan dalam Deklarasi Muktamar IDI 2000 tentang Hak dan kewajiban pasien dan dokter. Lebih jauh tentang hak-hak pasien dapat dilihat di buku ‘The Rights ot Patients in Europe" (Leenen dkk, 1993) dan "Etika Kedokteran Indonesia" (Samil, 2001). Dokter harus menghormati hak sejawatnya, yang pada prinsipnya terdiri dari hak profesi dan hak perdata. Sejawat berhak memperoleh kesempatan untuk memprak-tekkan profesinya dengan bebas, etis dan bermartabat, serta berhak mengembangkan sikap protesionalismenya. Demikian pula tenaga kesehatan lainnya juga memiliki hak-hak profesi serupa yang harus dihormati oleh dokter. Selain hak profesi di atas, dokter juga harus menghormati hak-hak sipil/perdata yang dimiliki oleh setiap orang dalam diri para sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya.

Pada halaman 62 KODEKI, dalam mengamalkan kewajiban "melin-dungi hidup makhluk insani", seorang dokter harus senantiasa mengi-ngat hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa hidup mati seseorang adalah merupakan kekuasaan Tuhan,

dan bahwa pada hakekatnya manusia dalam menghadapi perma-

Page 40: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |31

salahan hidup dan mati ini harus berpedoman pada agama yang dianutnya masing-masing.

2. Bahwa betapapun majunya dan tingginya ilmu dan teknologi (iptek) kedokteran yang telah dicapai, namun semua ini memiliki keter-batasan, hingga pada batas tertentu seorang dokter harus meng-akui bahwa dia tidak lagi akan dapat berbuat sesuatu kecuali menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

3. Bahwa perkembangan dan kemajuan IPTEK di bidang edokteran, di samping telah membawa banyak manfaat, di sisi lain telah mem-bawa persoalan baru yang erat kaitannya dengan permasalahan moral, diantaranya telah membuat kaburnya batas-batas antara hidup dan mati, dan bahwa tugas dokter dalam melakukan inter-vensi medik terhadap pasiennya bukan hanya sekedar bertujuan untuk "mempertahankan hidup dan memperpanjang usia" tetapi juga harus mempertimbangkan "kwalitas hidup" .

4. Bahwa nilai-nilai moral dan agama lebih merupakan pedoman bagi seorang dokter dalam bersikap dan bertindak sesuai kebenaran yang diyakininya, dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada hati nuraninya sendiri dan Tuhan yang sesuai dengan keyakinannya masing-masing, sehingga lebih bersifat subyektif. Sementara yang lebih obyektif ialah sumber hukum berupa perundang-undangan yang mengatur permasalahan "hidup mati" seseorang, khususnya yang berkaitan dengan saat-saat kritis dalam rangkaian pengem-bangan di masa mendatang. Dalam mengamalkan pasal 7d KODEKI, yang berbunyi "Setiap

dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani", maka yang jelas dilarang baik oleh Kode Etik Kedokteran, juga dilarang oleh Agama maupun Undang-Undang Negara adalah perbuatan-perbuatan: 1. Mengugurkan kandungan (abortus) tanpa indikasi yang benar; 2. Mengakhiri kehidupan seseorang pasien dengan alasan bahwa

menurut ilmu kedokteran penyakit rang dideritanya tidak mungkin lagi bisa disembuhkan (euthanasia).

Page 41: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

32| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Selanjutnya, dalam menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk mem-berikan kesembuhan, hendaknya berpegang kepada pedoman sebagai berikut: 1. Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang

sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.

2. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak dapat lagi diharapkan untuk memberi kesembuhan, maka upaya perawatan pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesem-buhan melainkan harus lebih ditujukan untuk memperoleh kenya-manan dan meringankan penderitaan.

3. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun demikian dokter wajib untuk terus merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke fasilitas lainnya.

4. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan seringan mungkin; dan apabila pasien meninggal dunia, seyogyanya bantuan diberikan kepada keluarganya yang ditinggal.

5. Bahwa apabila pasien dan atau keluarga pasien menghendaki men-empuh cara "pengobatan alternatif', tidak ada alasan untuk mela-rangnya selama tidak membahayakan bagi dirinya.

6. Bahwa dalam menghadapi pasien yang seeara medis tidak memu-ngkinkan lagi untuk disembuhkan, termasuk penderita "dementia" lanjut, disarankan untuk memberikan "Perawatan Hospis" (Hospice Care). (Iman Hilman, Adendum 1, KODEKI, 63)

Selanjutnya, pada Pasal 10 diatur bahwa “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketram-pilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas perse-tujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mem-punyai keahlian dalam penyakit tersebut”; Pasal 11 “Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam ber-ibadat dan atau dalam masalah lainnya”; Pasal 12 “Setiap dokter

Page 42: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |33

wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”; Pasal 13 “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya” Pada pasal 14 dan 15 diatur kewajiban dokter terhadap rekan sejawat dan pada pasal 16 dan 17 diatur tentang keajiban dokter kepada diri sendir.

D. RANGKUMAN

Etika atau akhlak adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia dan lingkungannya. Sedangkan etika profesi adalah cabang filsafat yang mempelajari penerapan prinsip-prinsip moral dasar yang telah ditetapkan dan disepakati pada profesi atau lingkup kerja tententu. Diantara karakteristik etika profesi antara lain: Terdapat keahlian atau pengetahuan khusus yang sesuai dengan bidang peker-jaan; Terdapat kaidah dan standar moral yang sangat tinggi yang berlaku bagi para profesional berdasarkan kegiatan pada kode etik profesi; Dalam pelaksanaan profesi harus lebih mengutamakan kepen-tingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Seorang profesional harus memiliki izin khusus agar dapat menjalankan pekerjaan sesuai profesinya, dan pada umumnya seorang profesional merupakan ang-gota suatu organisasi profesi di bidang tertentu.

Sebagai contoh, etika profesi bidang keshatan melalui UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam Pasal 24 diatur bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar pro-sedur operasional (1); ketentuan mengenai kode etik dan standar pro-fesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi (2). Seiring dengan pasal 24 poin (2) di atas, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah menyepakati dan menetapkan kode etik kedokteran Indo-nesia (KODEKI) antara lain: pada Pasal 10 diatur bahwa “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketra-mpilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas perse-tujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai

Page 43: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

34| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

keahlian dalam penyakit tersebut”; Pasal 11 “Setiap dokter harus mem-berikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhu-bungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya”; Pasal 12 “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”; Pasal 13 “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberi-kannya” Pada pasal 14 dan 15 diatur kewajiban dokter terhadap rekan sejawat dan pada pasal 16 dan 17 diatur tentang keajiban dokter kepada diri sendir.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Jelaskan penegertian etika dan etika profesi menurut etimologis

dan teminologis! 2. Jelaskan prinsip-prisinsip etika profesi dan karakteristik etika

profesi! 3. Jelaskan hak dan kewajiban pada bidang kesehatan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

4. Jelaskan paling sedikait 5 (lima) etika profesi bidang kesehatan! 5. Buatkan draft etika profesi sesuai dengan prinsip-prinsip dan

karakteristik etika profesi untuk SDM di lingkung tempat kerja atau tempat aktivitas Anda saat ini!

Page 44: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |35

DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna: "Uraian Hak-hak Pasien dan Hak-hak Dokter" (Pasal 7c), Addendum 1: Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dari Revisi KODEKI Hasil Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.

Iman Hilman, Penjelasan khusus yang terkait dengan "Letting Die Naturally Dan Minimal Treatment Versus Euthanasia", Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dari Revisi KODEKI Hasil Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) hasil Mukernas Etik Kedokteran III tahun 2001

Komaruddin Hidayat, Kontekstualisasi Islam dalam Sejarah (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996)

Muhammad Syafii Antonio, Bisnis dan Kewirausahaan (Cet. II: Jakarta: Tazkia Publishing, 2011)

Nandang Ihwanudin, Hamka dan Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Cet. I; Bandung: P2U LPPM UNISBA, 2020)

R.S. Samil: Sejarah Etika Kedokteran, Addendum 1: Penjelasan Khusus Untuk Beberapa Pasal dari Revisi KODEKI Hasil Mukernas Etika Kedokteran III, April 2001.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Internet https://id.wikipedia.org/wiki/Etika/diakses 19 Maret 2020. http://westernthought.blogspot.com/2011/05/etika-dari-sudutpandang-

plato.html /diakses 20 Maret 2020. https://id.wikipedia.org/wiki/Etika/diakses 19 Maret 2020 https://yanhasiholan.wordpress.com/2013/10/16/pengertian-etika-

profesi-dan-etika-profesi/diakses 19 Maret 2020 https://id.wikipedia.org/wiki/Profesi/diakses 19 Maret 2020 http://westernthought.blogspot.com/2011/05/etika-dari-sudut-pandang-

plato.html/diakses 20 Maret 2020

Page 45: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

36| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

PROFIL PENULIS

Dr. Nandang Ihwanudin, S.Ag., M.E.Sy. adalah dosen tetap pada Prodi Magister Ekonomi Sya-riah Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung (UNISBA); Alamat email antara lain: [email protected] atau bisa dihubungi juga di alat email nandangihwanudin [email protected], no HP 081320117071. Ia menamatkan Pendidikan dasarnya di SDN Kara-matwangi 3 (dahulu: SDN Lingkungsari) dan SMPN 1 Cisurupan di Garut, lalu melanjutkan ke

SMAN 1 Garut. Selepas SMA, Ia melanjutkan jenjang Pendidikan S1 jurusan Tafsir-Hadits (1998), S2 Prodi Ekonomi Islam (2012), dan S3 prodi Hukum Islam dengan kekhususan Hukum Ekonomi Syariah (2017) di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Suami dari Ni’mawati, S.S., M.Pd.I dan ayah dari tiga putra (HafIz M. Nubuwwah, Zuhad H. Al-Hikam, dan Raskh Kh. Rabbany) ini, juga aktif mengajar mata Kuliah Pendidikan Agama Islam dan Etika di Telkom University sejak tahun 2011-sekarang dan di STAI Siliwangi Bandung pada Prodi Hukum konomi Syariah dan prodi Perbankan Syariah. Buku yang pernah disusun adalah Ekonomi Hijau Islami (Bersama M. Anton Athoillah) (2012); Pesan-Pesan Al-Quran (2013); Intisari Tafsir Al-Quran (2018); Islam Sumber Hidup dan Kehidupan (Book Chapter; bersama tim dosen PAIE Telkom University) (2019); dan Hamka & Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (2020). Penulis juga aktif sebagi Ketua Umum Lembaga Pusat Kajian Ekonomi dan Bisnis Islam (PK-EBIS) DPW Jabar. Ia juga aktif dalam kajian Hukum Ekonomi Syariah, Ekonomi Syariah, Tafsir dan kajian keislaman lainnya di berbagai Majlis Taklim.

Page 46: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |37

Page 47: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 3

PENGANTAR HUKUM DALAM

PELAYANAN KESEHATAN Irwan Hadi, Ns,. M.Kep STIKes Yarsi Mataram

A. LATAR BELAKANG HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN Pelayanan kesehatan merupakan suatu organisasi yang sangat

kompleks, karena bergerak dalam bidang pelayanan jasa yang meli-batkan berbagi kelompok profesi dengan latar belakang pendidikan dan kehidupan. Kompleksifitas pelayanan kesehatan tersebut akan sangat erat berhubungan dengan adanya pelaporan inseiden yang ber-akibat terhadap adnya ksus hokum di masyarakat. Pandangan masya-rakat atas hukum yang beragam telah menimbulkan berbagai persepsi pemahaman pula terkait hukum tersebut. Hukum dalam arti peraturan perundang-undangan yang dikenal oleh masyarakat sebagai undang-undang umumnya diberi pengertian sebagai pengatur. Oleh karena itu aturan aturan di bidang kesehatan dikenal sebagai hukum kesehatan, meskipun hukum kesehatan mungkin lebih luas lagi cakupannya dari

Page 48: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |39

itu. Dalam pandangan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh cicero, yaitu dimana setiap masyarakat disitu ada hukum (ibi societas ibi ius) telah mengindikasikan bahwa setiap aktivitas masyarakat pasti ada hukumnya. Demikian halnya dengan praktek penyelenggaraan kesehatan, yang tentunya pada setiap kegiatannya memerlukan pranata hukum yang dapat menjamin terselengaranya penyeleng-garaan kesehatan. Pranata hukum yang mengatur penyelenggaraan kesehatan adalah perangkat hukum kesehatan. Adanya perangkat hukum kesehatan secara mendasar bertujuan untuk menjamin kepa-stian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyeleng-gara kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan. (Mudayana, 2015)

DI Indonesia hukum kesehatan berkembang seiring dengan dina-mika kehidupan manusia, dia lebih banyak mengatur hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan, dan lebih spesifik lagi hukum kesehatan mengatur antara pelayanan kesehatan dokter, rumah sakit, puske-smas, dan tenaga-tenaga kesehatan lain dengan pasien. Karena meru-pakan hak dasar yang harus dipenuhi, maka dilakukan pengaturan hukum kesehatan, yang di Indonesia dibuat suatu aturan tentang hukum tersebut, yaitu dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Hukum Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Hukum kesehatan di Indonesia diharapkan lebih lentur (fleksibel dan dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kedokteran. (Iswandari, 2006)

Salah satu tujuan dari hukum, peraturan, deklarasi ataupun kode etik kesehatan adalah untuk melindungi kepentingan pasien disamping mengembangkan kualitas profesi dokter atau tenaga kesehatan. Kese-rasian antara kepentingan pasien dan kepentingan tenaga kesehatan merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan sistem kesehatan. Oleh karena itu hukum kesehatan yang mengatur pela-yanan kesehatan terhadap pasien sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah yang akan timbul diantara hubungan perikatan antara dokter dan pasien, perawat dengan pasien dan atau kelalaian serta kesalahan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga

Page 49: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

40| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

kesehatan lainyya yang berakibat terjadinya kasus hukum baik hukum perdata maupun pidana.

Secara umum Hukum kesehatan pada saat ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu hukum kesehatan public (public health law) dan Hukum Kedokteran (medical law) selain itu juga sekarang ini dikenal juga adanya Hospital by law yang didalamnya juga tedapat medical by laws dan nursing bay laws. Hukum kesehatan public lebih menitik-beratkan pada pelayanan kesehatan masyarakat atau mencakup pelayanan kesehatan rumah sakit, sedangkan untuk hukum kedok-teran, lebih memilih atau mengatur tentang pelayanan kesehatan pada individual atau seorang saja, akan tetapi semua menyangkut tentang pelayanan kesehatan. (Amin, 2017)

B. PENGANTAR HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN Kasus Hukum saat ini telah terjadi perubahan pada aspek yang

mengarah kepada suatu profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Aspek hukum dalam pelayanan kesehatan berarti berbicara lebih kepada ketentuan yang mengatur tentang peraturan dalam bidang kesehatan. Hukum merupakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup bermasyarakat. Pergaulan hidup atau hidup dimasyarakat yang sudah maju seperti sekarang ini tidak cukup hanya dengan adat kebiasaan yang turun-temurun seperti sebelumnya lahirnya peradaban yang modern. Untuk itu, maka oleh kelompok masyarakat yang hidup dalam suatu masyarakat atau Negara diperlukan aturan-aturan yang secara tertulis, yang disebut hukum. Meskipun demikian, tidak semua prilaku masyarakat atau hubungan antara satu dengan yang lainnya juga masih perlu diatur oleh hukum yang tidak tertulis yang disebut : etika, adat – istiadat, tradisi, kepercayaan dan sebagainya. Menurut Prof. Sunaryati mengartikan hukum tidak hanya sebatas peraturan perundang-undangan (materi hukum) semata, melainkan juga meliputi aparatur (kelembagaan), budaya, dan sarana serta prasarana, sehingga dika-takan olehnya bahwa hukum merupakan suatu sistem. Dalam substansi hukum Sunaryati tidak membaginya berdasarkan pembagian yang kon-vensional seperti hukum pidana, perdata dan dagang, tata negara dan

Page 50: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |41

hukum internasional, melainkan juga mengarah kepada hukum-hukum yang berkembang secara sektoral, misalnya hukum teknologi dan telekomunikasi, hukum ekonomi dan pasar modal, termasuk hukum kesehatan. Demikian pula apa yang disampaikan oleh Schuyt bahwa hukum merupakan sistem yang terdiri dari 3 (tiga) komponen. Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem. (Budi Sampurno, 2011).

Hukum adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah-kaidah hukum, sedangkan etika adalah kumpulan peraturan yang berisi kaidah -kaidah non hukum, yaitu kaidah-kaidah tingkah laku (etika).

Hukum adalah ” A binding custom or practice of acommunity: a rule of conduct or action, prescribed or fomally recognized as binding or enforced by a controlling authority “.

Pengertian hukum sebenarnya begitu abstrak, sehingga sulit untuk diartikan. Dan, pada dasarnya tidak ada satupun definisi tentang hu-kum yang mempunyai arti sama, karena hukum adalah merupakan sesuatu yang abstrak. Bahkan dikemukakan oleh Prof. Van Apeldorn bahwa hukum terdapat diseluruh dunia, dimana terdapat suatu masya-rakat manusia. Disamping itu karena hukum tidak dapat ditangkap oleh panca indra, maka sangat sulit untuk membuat definisi tentang hukum yang dapat memuaskan orang. Pengertian hukum seperti yang digambarkan oleh Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, misalnya lebih mengedepankan pandangan - pandangan seperti yang digambarkan oleh masyarakat, yaitu : 1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang ter-

susun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang Kenya-

taan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3. Hukum sebagai kaedah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak

atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan. 4. Hukum sebagai Tata Hukum, yakni struktur dan proses perangkat

kaedahkaedah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tetentu serta berbentuk tertulis.

Page 51: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

42| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (”law enforcement officer”).

6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut (Wayne La Favre 1964) : ”...Decision making not strictly governed by legal rules, but rather with a significant element of personal judgement”, oleh karena yang dimaksudkan diskresi adalah (Roscoe Pounds 1960) : “an authority conferred by law to act in certain or conditions in accordance with an official’s or an official agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals.”

7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari system kenegaraan. Artinya, hokum dianggap sebagai (Henry Pratt et.al. 1976): “A Command or prohibition emanating from the authorized agency of the state…,and back up by the authority and the capacity to exercise force which is characteristic of the state.” Dengan demikian, maka yang dimaksudkan dengan hukum adalah (Donald Black 1976): ”...the normative life of a state ands its citizen, such as legislation, litigation and adjucation.”

8. Hukum sebagai sikap tindak yang ajeg atau perikelakuan yang ”teratur” yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. (Soekanto, Soerjono; Purbacaraka, 1994).

Selain itu oleh Satjipto Rahadjo dikatakan, bila dilihat dari tuju-

annya secara umum dapat dikatakan bahwa “hukum” bertujuan men-jaga ketertiban. Adapun unsur dari hukum itu terdiri dari: 1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; 2) Peraturan itu diadakan oleh badanbadan resmi yang berwajib; 3) Pera-turan itu bersifat memaksa; dan 4) Sanksi terhadap pelanggaran pera-turan tersebut adalah tegas. Sedangkan hukum juga memiliki ciri seperti: 1) Adanya perintah dan/atau larangan; dan 2) Perintah dan/ atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang. Pengertian hukum

Page 52: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |43

sebagaimana tertera di atas, berbeda dengan pengertian dari pera-turan perundang-undangan atau undang-undang. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 Tentang Pembe-ntukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Pera-turan Perundang-undangan adalah: ”peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau diteta-pkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui pros-edur yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan”. Seda-ngkan yang dimaksud dengan Undang-undang adalah: Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Bila ”hukum” memiliki fungsi sebagaimana diterangkan di atas, maka peraturan perundang-unda-ngan juga mempunyai fungsi. Fungsi peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai kegunaan (gunanya) peraturan perundang-undangan di lingkungan kerja berlakunya dalam rangkaian keseluruhan dari sistem peraturan perundang-undangan untuk memberikan pela-yanan kepada masyarakat. Secara esensial peraturan perundang-undangan fungsinya adalah mengatur sesuatu substansi untuk meme-cahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat dalam rangka pela-yanan kepada masyarakat. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan adalah sebagai instrument kebijakan (beleids instrument) pemerintah (negara) dalam rangka pelayanan kemasyarakatan apapun bentuknya, apakah penetapan, pengesahan, pencabutan atau pun perubahan (Rahadian, 2018)

Setiap melakukan tugas baik dalam tindakan dan pelayanan kesehatan, dokter, perawat dan tenaga medis lain harus mematuhi aturan segala aspek hukum dalam kesehatan. Sedikit saja melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas, akan berdampak berat, meng-urangi kepercayaan masyarakat terhadap tim medis dan mengurangi nilai baik dari instansi rumah sakit tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa factor yakni pengetahuan, pengalaman, dan pengertian. Contoh: tindakan kelalaian yang dilakukan oleh seorang perawat saat melakukan tindakan. Yakni seorang perawat lupa tidak memasang rest train atau penghalang tempat tidur sehingga menyebabkan klien terjatuh dari tempat tidur. Meskipun perawat tersebut telah mem-

Page 53: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

44| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

berikan pesan apabila membutuhkan bantuan bias menghubunginya, namun hal tersebut tidak bias dijadikan alasan kuat seorang perawat tidak lepas dari kesalahannya. Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter atau tenaga medis lain untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di ling-kungan yang sama. Kelalaian di sini bisa diartikan pula dengan tindakan kedokteran di bawah standart layanan medik. Oleh sebab itu, pema-haman dan pengetahuan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan meru-pakan hal yang sebaiknya diperhatikan demi meningkatkan derajat kesehatan di bidang pelayanan kesehatan.(Hadi, 2016)

C. PENGERTIAN HUKUM KESEHATAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

suatu kakuasaan sedangkan Hukum kesehatan adalah peraturan perundang-undangan yang menyangkut pelayanan kesehatan. Untuk kalangan kesehatan hukum kesehatan dan undang-undang kesehatan harus didalami secara baik karena keduanya berkaitan dengan pela-yanan profesi kesehatan kepada masyarakat.

Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relatif masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan men-cakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Hukum kesehatan mencakup penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan. Perspektif atau pandangan ke depan dari keberadaan undang-undang kesehatan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai: 1. Alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyeleng-

garaan pembangunan kesehatan yang meliputi upaya kesehatan dan sumber daya

2. Penjangkau perkembangan yang makin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu mendatang

Page 54: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |45

3. Pemberi kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan

Dalam melakukan tugasnya dokter, perawat dan tenaga kese-

hatan harus mematuhi segala aspek hukum dalam kesehatan. Kesa-lahan dalam melaksanakan profesi kedokteran merupakan masalah penting, karena membawa akibat yang berat, terutama akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan. Suatu kesalahan dalam melakukan profesi dapat disebabkan karena Kekurangan: penge-tahuan, pengalaman dan pengertian. Ketiga faktor tersebut menye-babkan kesalahan dalam mengambil keputusan atau penilaian. Adapun upaya mencegah terjadinya kelalaian dalam menjalankan profesi antara lain

Meningkatkan kemampuan profesi tenaga kesehatan untuk meng-ikuti kemajuan ilmu kedokteran atau menyegarkan kembali ilmunya, sehingga dapat melakukan pelayanan medis secara profesional. Dalam program ini perlu diingatkan tentang kode etik dan kemampuan mela-kukan konseling dengan baik. Pengetahuan pengawasan perilaku etis. Upaya ini akan mendorong tenaga kesehatan untuk senantiasa bers-ikap hati-hati. Dengan berusaha berperilaku etis, sehingga semakin jauh dari tindakan melanggar hukum. Penyusunan protokol pelayanan kesehatan, misalnya petunjuk tentang “informed consent”. Protokol ini dapat dijadikan pegangan bilamana tenaga kesehatan dituduh telah melakukan kelalaian.

D. PENEGAKAN HUKUM KESEHATAN Kepastian hukum dalam memberikan perlindungan kepada pasien,

serta mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan telah ditetapkan oleh berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1989 tentang Perlindungan Konsumen, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta peraturan pelaksanaan terkait lainnya. Setiap pelanggaran (baik merupakan pelanggaran etika profesi, atau pelanggaran disiplin profesi, maupun pelanggaran hukum)

Page 55: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

46| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dapat dilakukan penegakan hukum (law enforcement). Namun pada praktiknya lembaga yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum di bidang hukum kedokteran tidak berada di dalam satu lem-baga, melainkan ada beberapa lembaga yang berbeda. Pembahasan pada buku ini dibatasi pada lembaga profesi dan Non Profesi. Untuk lembaga Non Profesi dibatatasi penyelesaian di luar pengadilan (Non Litigasi) dan dalam pengadilan (Litigasi). Kasus-kasus hukum dalam pelayanan kesehatan sering terjadi, untuk itu perlu dijabarkan cara dan lembaga yang menangani kasus dalam pelayanan kesehatan. Secara lengkap dapat kita lihat dibawah ini: 1. LEMBAGA – LEMBAGA PROFESI

a. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) b. Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) c. Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) d. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)

2. LEMBAGA – LEMBAGA NON PROFESI a. Non litigasi (di luar pengadilan)

• Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

• Forum Mediasi Pengaduan dan Penyelesaian Masalah Pelayanan Kesehatan

b. Litigasi (di dalam pengadilan)

• Peradilan Perdata

• Peradilan Pidana

• Peradilan Tata Usaha Negara

E. RANGKUMAN Hukum kesehatan seara umum merupakan suatu regulasi yang

dibuat yang mengatur tentang kesehatan. Regulasi kesehatan terdapat didalamnya undang-undang terkait kesehatan termasuk didalamnya keperawatan dan kebidanan. Secara umum hukum kesehatan meru-pakan segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Hukum kesehatan mencakup penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan.

Page 56: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |47

Hukum kesehatan mengatur juga didalamnya tugas dokter, per-awat dan tenaga kesehatan dengan mematuhi segala aspek hukum dalam kesehatan. Kesalahan dalam melaksanakan profesi kesehatan merupakan masalah yang akan membawa akibat yang berat, terutama akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap profesi kesehatan. Permasalahan kesalahan juga dapat dilihat dalam mengambil kepu-tusan atau penilaian. Adapun upaya mencegah terjadinya kelalaian dan keselahan dalam praktik kesehatan melalui pemahaman dan pengeta-huan tentang hukum kesehatan. LATIHAN DAN EVALUASI 1. Apakah Pengertian Hukum secara Umum ? 2. Apakah Perbedaan Hukum dengan Hukum Kesehatan ? 3. Bagaimana penegakan hukum dalam pelayanan kesehatan ? 4. Sebutkan Peraturan yang berkaitan dengan hukum kesehatan ? 5. Sebutkan Legitasi lembaga non profesi ?

Page 57: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

48| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

DAFTAR PUSTAKA Amin, y. (2017). Etik dan hukum kesehatan. BPPSDM KEMENKES RI. Budi Sampurno. (2011). Laporan akhir tim penyusunan kompendium

hukum kesehatan. Hadi, i. (2016). Manajeman keselamatan pasein (teori dan aplikasi).

Depublish Jogjakarta Iswandari, h. D., magister, p., kesehatan, h., semarang, u. S., & tengah,

j. (2006). 2734-47411. 09(02), 52–57. Mudayana, a. A. (2015). Peran aspek etika tenaga medis dalam

penerapan budaya keselamatan pasien di rumah sakit. Majalah kedokteran andalas, 37, 69–74.

Soekanto, Soerjono ; Purbacaraka, p. (1994). Aneka cara pembedaan hukum. Bandung: citra aditya bakti.

Undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Undang – undang nomor 38 tahun 2014 tentang keperawatan, Undang – undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit,

Page 58: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |49

PROFIL PENULIS

Irwan Hadi, Ns,. M.Kep adalah Dosen Ilmu Kepera-watan di STIKES YARSI Mataram. menyelesaikan profesi Ners (Perawat) DI STIKES YARSI Mataram tahun 2009 dan Pendidikan Magister Keperawatan dengan Peminatan Kepemimpinan dan MAnajeman Keperawatan Di Univesitas Diponegoro Semarang Tahun 2015. Penulis pernah menjadi Bagian Marke-

ting Klinik Kamboja Mataram, Kepala Bidang Humas Dan Marketing Di RSI Siti Hajar Mataram dan Manajer Sumber Daya Manusia di RSI Siti Hajar Mataram pada tahun 2016. Selain sebagai akademisi dan praktisi bidang manajeman Kesehatan dan keperawatan penulis juga aktif dalam organisasi profesi antara lain sebagai wakil sekretaris DPW PPNI NTB, Sekretaris Himpunan Perawat Manajer Indonesia (HPMI) Prov NTB. Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Kade-risasi DPD PPNI Kota Mataram dan beberapa Ikatan Himpunan Orga-nisasi Profesi lainnya. Selain itu aktif juga dalam asosiasi perguruan tinggi antara lain sebagai Bidang Organisasi dan Humas Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia (AIPNI) Wil X Bali Nusra dan Bidang Penelitian Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah NTB. Berbagai bidang juga ditekuni antara lain sebagai Ketua Pusat Karir Yarsi Mataram dan Ketua Ikatan Alumni Yarsi Mataram (IKA Yarsi Mataram). Beberapa Buku telah dihasilkan antara lain Buku Ajar Manajeman Keselamatan Pasien (teori dan aplikasi) tahun 2017, Sukses Uji Kompetensi Ners Indonesia (SUKINI) tahun 2018, Peningkatan Uji Kompetenis Melalui Peer Teaching tahun 2019, Monograp : Penanganan Depresi Melalui Motivational Intervewing dan Modul Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi Tahun 2020. Penulis juga aktif dalam publikasi Ilmiah pada jurnal terakreditasi maupun bereputasi, perteman ilmiah tahunan, konfrensi tingkat nasional dan international

Page 59: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

50| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 60: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |51

Page 61: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 4 SEJARAH, ASAS DAN

PERMASALAHAN MORAL, ETIKA DAN HUKUM

DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Handayani, S.Si, M.Si Universitas Islam As-Syafi'iyah

A. SEJARAH Pada masa kolonial, tingkat kesejahteraan penduduk sangat mempri-

hatinkan termasuk kondisi kesehatannya, karena sarana dan prasarana yang belum memadai. Buruknya kesejahteraan disebabkan keadaan ekon-omi yang buruk, sehingga menyebabkan berjangkitnya penyakit-penyakit menular, antara lain: malaria, pes, kolera dan cacar. Akibatnya banyak ke-matian pada penduduk terutama disebabkan kondisi sarana dan prasarana kesehatan dan pelayanan yang kurang baik (Furnivall, 1967).

Page 62: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |53

Sesungguhnya intervensi pihak asing terhadap persoalan kesehatan penduduk pribumi sudah dimulai sejak zaman Kompeni (VOC). Namun demikian, upaya dokter-dokter VOC hampir sia-sia karena tidak mampu memerangi penyebab yang sesungguhnya dari berbagai penyakit tropis. Mereka tak berdaya menghadapi tingkat kematian yang sampai akhir abad ke18 tetap tinggi. Hingga abad ke-18, sejarah kedokteran tidak banyak membahas masalah pengobatan, tetapi lebih banyak menceritakan sej-arah rumah sakit. Disebutkan, misalnya, di Batavia sejak tahun 1622 sudah terdapat rumah sakit; sekitar tahun 1680 dokter Ten Rhyne yang menaruh perhatian terhadap penyakit kusta membuka tempat perawatan penderita kusta di Pulau Purmerend (di Teluk Jakarta), kemudian dibuka rumah sakit di Banten dan Semarang, bahkan tahun 1769 dibuka rumah sakit jiwa di Jakarta. Disebutkan bahwa semua itu lebih merupakan “pengurungan” daripada perawatan yang dari sudut mentalitas merupakan gagasan memisahkan perderita dari masyarakat umum, yang dampak terapisnya hampir tidak ada (Lombard, 2008).

Sarana kesehatan yang tersedia belum mencukupi karena terapi medis Barat mulai masuk nusantara bersamaan dengan kedatangan VOC yang melakukan perdagangan di wilayah ini. Spesialis medis yang dibawa ke Indonesia adalah ahli bedah yang dapat mengobati penyakit. Dokter-dokter Belanda di Hindia Belanda bekerja di kapal maupun di darat (Boomgard et al., 1996).

Periode 1890-1910 merupakan masa transisi supremasi militer dalam pelayanan kesehatan oleh Militaire Geneeskundige Dienst (MGD) yang mulai digantikan oleh pelayanan kesehatan sipil oleh Burgerlijke Genees-kundige Dienst (BGD). Pemisahan yang nyata di antara kedua institusi kesehatan ini baru terjadi pada tahun 1911 yang diatur dalam Staatsblad tahun 1910 Nomor 648. BGD kemudian dijadikan bagian tersendiri di bawah Departement van Onderwijs en Eerendienst. Periode ini juga dicirikan dari kebijakan batig slot ke politik etis. Sehingga memunculkan fenomena baru: rumah sakit mulai banyak dikelola swasta terutama perkebunan dan misionaris (Depkes RI, 1980).

Periode 1930 sampai 1942 Depresi ekonomi mendorong pemerintah memotong anggaran pendanaan publik. Terdapat usaha untuk melakukan desentralisasi perawatan rumah sakit dan perusahaan swasta maupun

Page 63: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

54| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

yayasan mengambil alih beban finansial pelayanan kesehatan. Pemerintah mengurasi subsidi terhadap rumah sakit. Sebagai konsekuensi logis atas hal ini, jumlah rumah sakit menurun dan beberapa organisasi atau yayasan mengalami masalah dana (Depkes RI, 1980).

Pada era Jepang, pelayanan kesehatan kepada rakyat jauh lebih bu-ruk daripada sebelumnya, dikarenakan situasi perang dan kelangkaan sumber daya di segala bidang. Pada masa perang kemerdekaan masih dalam situasi konflik sehingga masalah kesehatan belum terlalu menda-patkan perhatian. Di daerah-daerah yang dikuasai republic kesulitan utama rumah sakit adalah kelangkaan dokter, kekurangan perawat, keku-rangan sumber dana, dan kekurangan perbekalan kesehatan secara umum (Depkes RI, 1980).

Salah satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa kem-erdekaan adalah konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh dr. J. Leimena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa dipisahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pela-yanan bagai pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini memadukan antara pelayanan medis dengan pelayanan kese-hatan masyarakat pedesaan. Proyek ini dilaksanakan di beberapa seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan. Kedelapan wilayah tersebut meru-pakan daerah percontohan sebuah proyek besar yang sekarang dikenal dengan nama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) (Notoatmodjo, 2005).

Periode 1970-an merupakan masa konsolidasi umum dan pemba-ngunan nasional di segala bidang. Langkah-langkah strategis yang dite-rapkan antara lain pengembangan puskesmas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan system rujukan. Rumah sakit dijadikan sistem rujukan medis spesialistik dan subspesialistik khususnya dalam masalah penyembuhan dan pemulihan kesehatan perorangan. Pemba-ngunan rumah sakit merupakan bagian dari rencana strategis pemba-ngunan kesehatan nasional, di samping sebagai akibat dari berbagai doro-ngan atau tekanan yang terjadi karena perubahan dalam lingkungan social

Page 64: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |55

-ekonomi dan kependudukan, lingkungan kesehatan, dan lingkungan global (Depkes RI, 1980).

Sejak awal abad ke-20 perhatian pemerintah kolonial Belanda meningkat dalam mengontrol penyakit epidemik seperti kolera dan pes. Terutama karena pes, pemerintah kolonial mengintensifkan kegiatannya dalam bidang kesehatan umum dan higienitas. Terdapat dua perkem-bangan penting dalam perbaikan ini. Pertama, perkembangan pesat dalam ilmu medis yang yang memungkinkan memutuskan sebab beberapa penyakit tropis dan mengambil tindakan preventif atau melakukan tindakan-tindakan kuratif. Kedua, perubahan bertahap dalam ideologi kolonial yang dikenal dengan sebutan Politik Etis yang menghasilkan kebi-jakan yang lebih humanis terhadap penduduk pribumi. Ini berarti bahwa lebih banyak uang dikeluarkan untuk kesejahteraan. Dalam bidang kese-hatan publik hasil dari kebijakan baru ini cukup nyata. Terdapat dua lem-baga yang secara institusional diberi tanggung jawab langsung mengenai masalah kesehatan. Kedua lembaga tersebut adalah Burgerlijk Gene-eskundige Dienst (BGD Layanan Kesehatan Sipil) dan Dienst der Volksge-zondheid (DVG Layanan Kesehatan Publik) (Zakaria, 2012).

Pelayanan kesehatan kolonial pada awal abad ke-20, terutama untuk pelayanan kuratif sangat diskriminatif. Hanya sebagian kecil dari rakyat pribumi yang bisa mendapatkan akses pelayanan kesehatan ini. Ketika politik etis digulirkan, fokus perhatian pemerintah kolonial Belanda adalah bagaimana pelayanan kesehatan kolonial dapat dinikmati oleh masyarakat secara meluas. Dengan dasar pemikiran tersebut, kemudian muncul kebi-jakan subsidi kesehatan yang pada dekade 1910-1920 berorientasi kepada perluasan pelayanan kesehatan kuratif dengan mendirikan banyak rumah sakit baik di Jawa maupun di luar Jawa, baik rumah sakit milik pemerintah maupun rumah sakit milik swasta. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasa-rnya taraf kesehatan meningkat namun hanya untuk kalangan tertentu seperti para elit di Jawa, pekerja perkebunan, pegawai Belanda maupun masyarakat Belanda yang tinggal di Indonesia. Meskipun masyarakat pri-bumi Jawa mendapatkan penyuluhan kesehatan khususnya higieni dan sanitasi maupun mendapatkan vaksinasi cacar, namun belum menjangkau keseluruhan masyarakat secara luas. Pada zaman Jepang, pelayanan dan sarana kesehatan cukup terbatas, masyarakat lebih banyak menggunakan

Page 65: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

56| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

obat tradisional sehingga taraf kesehatan pun bisa dikatakan tidak meng-alami peningkatan atau tetap sama. Sedangkan pada zaman kemerdekaan Indonesia terutama sejak demokrasi terpimpin, pelayanan dan sarana kesehatan mulai berkembang pesat selaras dengan prinsip-prinsip kebi-jakan kesehatan (Baha’uddin, 2006).

B. ASAS DAN PERMASALAHAN MORAL

Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.Defenisi Pelayanan kese-hatan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes RI, 2009) yang tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan ten-tang kesehatan ialah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meni-ngkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta mem-ulihkan kesehatan, perorangan, keluarga, kelompok ataupun masya-rakat.

Berkaitan dengan masalah asas atau prinsip (beginsel, principle), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berfikir atau bertindak atas kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak dan sebagainya (Hernoko, 2010). Van de Velden mengemukakan bahwa asas hukum adalah tipe putusan tertentu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman ber-prilaku. Asas hukum didasarkan atas suatu nilai atau lebih yang mene-ntukan sesuatu yang bernilai yang harus direalisasi (Widiastuti, 2007). Paul Scholten berpendapat bahwa asas hukum adalah kecenderungan-kecen-derungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh harus ada (Merto-kusumo, 2004). Selanjutnya, Asser menyatakan bahwa asas hukum berisi penilaian susila, pemisahan yang baik dan yang buruk yang menjadi landasan hukum.Jadi di dalam asas hukum terdapat sifat etis (Hartono, 1992).

Page 66: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |57

Berdasarkan pandangan-pandangan tentang asas hukum tersebut di atas, Sudikno Mertokusumo (2004) menyimpulkan sebagai berikut: “Ba-hwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut”.

Asas-asas pelayanan kesehatan secara konkrit dikemukakan oleh Patricia Staunton dan Mary Chiarella (2008): 1. Asas legalitas

Asas legalitas tersirat dalam rumusan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU No.36 Tahun 2009 yang menentukan bahwa kewenangan untuk menye-lenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, serta dalam menyelenggarakan pelayanan kese-hatan di rumah sakit tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari peme-rintah. Hal ini berarti pelayanan kesehatan hanya dapat terselenggara jika tenaga kesehatan bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam perundang-undangan. 2. Asas keseimbangan

Hukum selain memberi kepastian dan perlindungan terhadap kepen-tingan manusia, juga memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu ke keadaan semula (restitutio integrum), maka asas keseim-bangan sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan. Asas keseim-bangan terkandung dalam rumusan Pasal 2 UU No.36 Tahun 2009 yang berbunyi: “bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan gender dan 29 non diskriminatif dan norma-norma agama”. Asas keseimbangan, mengandung arti bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepen-tingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental serta antara material dan spiritual.

Page 67: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

58| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

3. Asas tepat waktu Asas tepat waktu sangat diperlukan karena akibat kelalaian

memberikan pertolongan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Salah satu bentuk kerugian akibat pelayanan kesehatan adalah pembocoran rahasia kesehatan atau kedokteran. Asas tepat waktu tersirat dalam Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Asas ini menentukan bahwa dalam rangka pelayanan kesehatan kepada pasien di rumah sakit tenaga kesehatan tidak dapat menunda-nunda demi kepentingan pribadi.Penundaan dalam menolong pasien terutama di sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit, dapat digolongkan penelantaran (abandon-ment) pasien. 4. Asas Itikad baik

Asas itikad baik dapat diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban tenaga kesehatan di rumah sakit untuk memenuhi standar profesi maupun dalam menjalankan tugasnya selaku professional, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24 ayat (1)UU No.36 Tahun 2009, bahwa tenaga kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional. 5. Asas kehati-hatian

Asas kehati-hatian tersirat dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa tenaga kesehatan di rumah sakit dalam melakukan profesinya harus memberikan rasa aman kepada setiap pasien. Keamanan di sini, tenaga kesehatan harus bekerja secara hati-hati dan seteliti mungkin.Asas ini juga terkait dalam ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam menjalankan profesinya harus senantiasa berpedoman pada asas aegroti

Page 68: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |59

salus lex suprema yang berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Dengan demikian, tenaga kesehatan sebagai seorang profes-sional di rumah sakit bukan hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan, melainkan juga ketelitian atau kecermatan dalam bertindak. 6. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan terkandung dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No.36 Tahun 2009, bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab. Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan. Selain itu, asas keterbukaan juga tertuang dalam UU No.44 Tahun 2009 yaitu: a. Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf l, bahwa setiap rumah sakit

mempunyai kewajiban memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat serta memberi informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak kewajiban pasien.

b. Pasal 32 huruf a, b, dan j, bahwa setiap pasien mempunyai hak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit serta memperolah informasi tentang hak dan kewajiban pasien. Selain itu, pasien mempunyai hak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

7. Asas Otonomi Dalam asas otonomi dinyatakan bahwa setiap individu mempunyai

kebebasan untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan rencana yang mereka pilih. Dengan kata lain menghargai otonomi pasien berarti komitmen terhadap sikap pasien dalam mengambil putusan terhadap “seluruh aspek pelayanan kesehatan”. Misalnya persetujuan yang dibaca dan ditandatangani sebelum operasi, menunjukkan penghargaan terhadap otonomi. Permasalahan yang muncul dalam penerapan asas otonomi adalah adanya variasi kemampuan otonomi pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti: tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumah sakit, ekonomi, informasi dan lain sebagainya.

Page 69: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

60| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

8. Asas non-maleficence Asas non-maleficence, merujuk pada tindakan yang melukai atau

membahayakan, oleh karena itu non-maleficence berarti tidak mence-derai orang lain. Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam melakukan pelayanan tidak hanya berkeinginan untuk melakukan kebaikan, tetapi juga berjanji untuk tidak mencederai. Asas ini pada prinsipnya tercantum dalam lafal sumpah Hippocrates yang secara tradisional mendukung profese medic, yaitu :”I will never use treatment to injure or wrong the sick”. 9. Asas beneficence

Asas beneficence (kemurahan hati) adalah tanggung jawab untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan pasien dan menghindari perbuatan yang merugikan atau membahayakan pasien. Dengan kata lain, kebaikan adalah tindakan positif untuk membantu orang lain. Setuju untuk melakukan niat baik juga membutuhkan ketertarikan terhadap pasien melebihi ketertarikan terhadap diri sendiri. 10. Asas keadilan (justice)

Asas keadilan menuntut perlakuan terhadap pasien di rumah sakit secara adil dan memberikan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Pada kasus-kasus tertentu, tenaga kesehatan tidak boleh membeda-bedakan antara pasien satu dan lainnya, serta harus memberikan pelayanan yang sesuai dengan kondisi pasien. 11. Asas confidentiality (kerahasiaan)

Asas ini merupakan asas yang menjamin kemandirian pasien. Tenaga kesehatan dan rumah sakit dalam hal ini menghindari pembicaraan mengenai kondisi pasien dengan siapapun yang tidak secara langsung terlibat dalam perawatan pasien. Tenaga kesehatan selalu menjaga kerahasiaan tentang segala informasi tentang kesehatan pasien. Secara konkrit tenaga kesehatan tidak dapat memberi informasi kepada pihak lain tentang kesehatan, hasil test laboraturium, diagnosis, dan prognosis tanpa seizin pasien, kecuali informasi tersebut diperlukan untuk upaya penyelenggaraan perawatan dan kepentingan hukum. 12. Asas kejujuran (vecarity)

Asas kejujuran merupakan asas vital dalam pelayanan kese-hatan.Kejujuran harus dimiliki oleh tenaga kesehatan di rumah sakit saat

Page 70: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |61

berhubungan dengan pasien.Kejujuran merupakan dasar terbinanya hubungan saling percaya antara perawat dan pasien, dokter atau perawat tidak menginformasikan keadaan kesehatan pasien yang sebenarnya, hal ini dimungkinkan pasien akan mengalami depresi bila informasi tersebut disampaikan. Cara yang terbaik adalah dengan menginformasikannya kepada keluarga terdekat atau pendamping pasien. Asas kejujuran dalam pelayanan kesehatan di berbagai negara sudah banyak mengalami kemerosotan.Hal ini dibuktikan dengan adanya perkembangan defensive medicine terutama yang dilakukan oleh tenaga medic (Flight, 2017). Defensive medicine merupakan suatu bentuk penyimpangan asuhan medik, yang berkembang karena dipicu oleh ancaman tuntutan malpraktik. Prinsipnya, defensive medi cine merupakan mekanisme pertahanan diri tenaga medik agar terhindar dari risiko tuntutan. 13. Asas ketaatan (fidelity)

Asas ketaatan diartikan sebagai tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan.Tanggung jawab dalam konteks hubungan dokter pasien dirumah sakit meliputi tanggung jawab menepati janji, mempertahankan kepercayaan dan memberikan perhatian. Hubungan tenaga kesehatan dengan pasien, dalam Deklarasi Geneva 1968 sebagaimana telah diubah tahun 1983 dan 2006 menyebutkan: “Saya akan menghormati rahasia yang dipercayakan pada saya, bahkan setelah pasien meninggal”(I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died). Salah satu cara untuk menerapkan prinsip kepercayaan adalah dengan memasukkan ketaatan dalam tanggung jawab. Dengan demikian, pelayanan kesehatan yang dilakukan di rumah sakit oleh tenaga kesehatan terutama dokter dan, perawat harus mem-perhatikan asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Asas-asas hukum kesehatan berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis,oleh karena itu secara keseluruhan baik asas, norma dan tujuan hukum kesehatan harus dijadikan pedoman dan ukuran atau kriteria bagi para tenaga kesehatan di rumah sakit dalam men-jalankan profesinya.

Page 71: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

62| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

C. ETIKA DAN HUKUM DALAM PELAYANAN KESEHATAN

Etika sebagai ilmu, berefleksi tentang perilaku moral. Etika membahas kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk moral. Etika bersifat normative. (Bertens, 2003). Tujuan etika adalah mengidentifikasi aturan yang mengatur perilaku orang-orang dan “barang-barang” yang layak dicari. Keputusan etis ditentukan oleh nilai-nilai yang mendasari sese-orang. Etika akan menjadi persoalan yang semakin rumit ketika sebuah situasi mengharuskan suatu nilai melampaui nilai yang lain. Etika adalah system aturan yang mengatur tatanan nilai-nilai (Bateman, 2008).

Etika kesehatan masyarakat adalah suatu tatanan moral berdasarkan sistem nilai yang berlaku secara universal dalam eksistensi mencegah perkembangan resiko pada individu, kelompok dan masyarakat yang me-ngakibatkan penderitaan sakit dan kecacatan, serta meningkatkan kebe-rdayaan masyarakat untuk hidup sehat dan sejahtera. Etika kesehatan masyarakat sangat berbeda dengan etika kedokteran yang menyatakan bahwa dalam menjalankan pekerjaan kedokteran seorang dokter jang-anlah dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi, seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani, seorang dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan, seorang dokter harus tetap memelihara kesehatan dirinya. Jadi etika sangat berkaitan dengan moral dan akhlak, yang merupakan nilai luhur dalam tingkah laku dan juga berhubungan sangat erat dengan hati nurani (Campbell et al.,2005; Rogers & Braunack-meyer, 2009).

Hubungan Etika dan Hukum Kesehatan, Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang berkaitan langsung pada pemberian kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana. Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari pero-rangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelaksana kese-hatan maupun dari pihak penyelenggara dalam segala aspeknya, orga-nisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kes-ehatan, dan hakim serta sumber-sumber lainnya.

Page 72: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |63

Hukum kesehatan terdiri dari banyak disiplin, diantaranya: hukum kedokteran, hukum keperawatan, hukum farmasi, hukum apotik, hukum kesehatan masyarakat, hukum perobatan, dan lain-lain. Masing-masing disiplin ini umumnya telah mempunyai etik profesi yang harus diamalkan anggotanya. Begitu pula rumah sakit sebagai suatu institusi dalam pela-yanan kesehatan juga mempunyai etika yang di indonesia terhimpun dalam etik rumah sakit indonesia (ERSI) (Hanafiah, 1999)

Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedo-kteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesinya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi.

Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyi-dangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kala-ngan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedok-teran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pela-nggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan menegakkan disiplin dokter/dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin profesi”, yaitu permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran seorang profesional atas peraturan internal profesinya, yang menyimpangi apa yang diharapkan akan dila-kukan oleh orang (profesional) dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan adanya pela-nggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.

Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI, sedangkan gugatan perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa di pengadilan tanpa adanya keharusan saling berhubungan di antara keduanya. Sese-

Page 73: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

64| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

orang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK belum tentu dinya-takan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau pero-rangan sebagai penuntut.

Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembu-ktian sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun per-data, namun demikian tetap berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam melakukan pemerik-saannya, Majelis berwenang memperoleh keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait (pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peergroup / para ahli di bidangnya yang dibu-tuhkan Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan rumah sakit, hos-pital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya, membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya.

Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat kepastian yang dibutuhkan.

Page 74: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |65

Di Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in professional respect. Namun dem-ikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.

Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Hakim pengadilan tidak terikat untuk sep-aham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksa-nakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Contoh Kasus Malpraktek dan Penyelesaian Hukum Kasus dugaan malpraktek tersebut terjadi pada tanggal 10 April 2010 lalu di RSUP Kandou Malalayang. Korban Siska Makatey, warga Desa Tateli Weru, meninggal dunia saat bersalin akibat terjadinya pembesaran bilik kanan jantung. Diduga, pembesaran bilik kanan jantung korban terjadi karena pengaruh infus dan obat yang diberikan. Siska Makatey sudah menyadari memang dari awal ketika pergi ke dokter bahwa dua pilihannya kembali sembuh atau keadaannya akan bertambah buruk. Sayangnya opsi kedua ternyata lebih berpihak untuknya. Malangnya tidak tahu apakah dokter memang sudah melakukan yang terbaik ataukah mungkin sebaliknya. Tetapi dalam hal ini siapapun berhak memberikan pendapat atas feno-mena yang sudah terjadi. Kasus dugaan malpraktek yang terjadi atas Siska Makatey pada tanggal 10 April 2010 lalu di RSUP Kandou Malalayang. Korban warga Desa Tateli Weru, meninggal dunia saat bersalin akibat terjadinya pembesaran bilik kanan jantung. Masih dalam posisi dugaan bahwa diduga pembesaran bilik kanan jantung korban terjadi karena pengaruh infus dan obat yang diberikan. Atas hal tersebut JPU menuntut

Page 75: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

66| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

ketiga terdakwa dengan hukuman 10 bulan penjara karena melakukan kelalaian dan kesalahan sehingga berakibat korban meninggal dunia.

1. Sanksi Pidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359 KUHP misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menye-babkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya kese-lamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) : a. ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain men-

dapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.

b. Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menja-lankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

2. Sanksi Perdata

Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata): “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 KUHPerdata yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang

Page 76: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |67

disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.”

KUH Perdata 1370: Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.

3. Sanksi Administrsi

Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 a. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas

tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedo-kteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

b. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat: 1) Identitas pengadu 2) Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan

waktu tindakan dilakukan. 3) Alasan pengaduan.

c. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat1 dan ayat 2 tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang atau menggugat kerugian perdata kepengadilan 1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia. 2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa

dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. 3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat berupa:

- Pemberian peringatan tertulis. - Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin

praktik.

Page 77: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

68| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

D. RANGKUMAN Pada masa kolonial, tingkat kesejahteraan penduduk sangat mempri-

hatinkan termasuk kondisi kesehatannya, karena sarana dan prasarana yang belum memadai. Buruknya kesejahteraan disebabkan keadaan eko-nomi yang buruk, sehingga menyebabkan berjangkitnya penyakit-penyakit menular, antara lain: malaria, pes, kolera dan cacar. Akibatnya banyak kematian pada penduduk terutama disebabkan kondisi sarana dan prasa-rana kesehatan dan pelayanan yang kurang baik. (Furnivall, 1967) Salah satu perkembangan penting bidang kesehatan pada masa kemerdekaan adalah konsep Bandung (Bandung Plan) pada tahun 1951 oleh dr. J. Lei-mena dan dr. Patah. Konsep ini memperkenalkan bahwa dalam pelayanan kesehatan masyarakat, aspek kuratif dan rehabilitatif tidak bisa dipi-sahkan. Tahun 1956, dr. J. Sulianti mengembangkan konsep baru dalam upaya pengembangan kesehatan masyarakat yaitu model pelayanan bagai pengembangan kesehatan masyarakat pedesaan di Indonesia. Konsep ini memadukan antara pelayanan medis dengan pelayanan kesehatan mas-yarakat pedesaan. Proyek ini dilaksanakan di beberapa seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Kalimantan Selatan. Kedelapan wilayah tersebut merupakan daerah percontohan sebuah proyek besar yang sekarang dikenal dengan nama pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) (Notoatmodjo, 2005).

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Jelaskan bagaimana perkembangan penting dalam perbaikan medis

pada abad ke-20 serta perhatian pemerintah kolonial Belanda pada aad tersebut!

2. Sebutkan dan Jelaskan Asas-asas pelayanan kesehatan secara konkrit yang dikemukakan oleh Patricia Staunton dan Mary Chiarella (2008)!

3. Bagaimana pendapat anda yang menyatakan bahwa Etika kesehatan masyarakat sangat penting dalam eksistensi mencegah perkem-bangan resiko pada individu, kelompok dan masyarakat yang menga-kibatkan penderitaan sakit dan kecacatan!

4. pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik

Page 78: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |69

Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesinya. Jelaskan bagaimana proses persidangan!

5. Apa perbedaan Sanksi Pidana, Sanksi Perdata dan Sanksi Administrsi Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 pada Setiap orang yang meng-etahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter!

Page 79: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

70| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

DAFTAR PUSTAKA

Baha’uddin. 2006. Politik Etis Dan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di Jawa Pada Awal Abad XX: Studi Kebijakan Kesehatan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII

Bertens, K. 2003 Keprihatinan Moral Telaah atas Masalah Etika. Yogyakarta: Kanisius

Batemen, T and Scott Snell. 2008. Manajemen Kepemimpinan dan Kolaborasi dalam Dunia yang Kompetitif.Jakarta: Salemba Empat

Boomgard, P et al., 1996. Health Care in Java Past and Present, (Leiden: KITLV Press)

Depkes RI. 1980. Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia, (Jakarta: Departemen Kesehatan RI)

Dix, A. Errington, M. Nicholson K, Powe R. 1996. Law for the medical profession in Australia Second ed. Australia: Butterworth-Heinemann.

Flight, M, R. Pardew, W, M.. 2017. Law, Liability and Ethics for Medical Office Professionals. Singapore.

Furnivall, .J.S.1967. Nederlands Indie A Study of Plural Economy (Cambridge: University Pres.

Hanafiah, M.Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC

Hartono, S, S. 1992. Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Bagian Umum, Liberty, Yogyakarta.

Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta Hernoko, A, Y. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial. Kencana Prenada Media Group, Jakarta KNEPK. 2005. Pedoman Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu.

Bagian I: Batas-batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Forum jakarta-Paris, Ecole francise d’Extreme-Orient. 2008. Australia

Mertokusumo. S. 2004. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi. Penerbit

Rineka Cipta, Jakarta Staunton, Patricia dan Mary Chiarella. 2008, Nursing and The Law, By BPA

Print Group,

Page 80: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |71

Switankowsky, Irene S. 1998. A New Paradigm for Informed Consent. University Press of Amerika, USA.

Wellman, Carl. 2005. Medical Law and Moral Right. Published by Springer Dordrecht, Netherlands

Widiastuti,S,M. 2007, Penjelasan Pers Atas Konsistensi Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Khusus Terhadap Asas Pertanggungjawaban Perdata dalam Hukum Umum, Ringkasan Disertasi Untuk Ujian Promosi Doktor dari Dewan Penguji Sekolah Pasca Sarjana UGM.

Zakaria, M,M. 2012. Bibliografi Sejarah Kesehatan Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda, Paramita, Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah. Vol 22, No 2.

Page 81: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

72| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

PROFIL PENULIS

Handayani, S.Si, M.Si adalah Dosen jurusan biologi Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta timur, bidang yang ditekuni adalah konsentrasi genetika. Lulus pendi-dikan S1 jurusan biologi di Universitas Islam As-Syafi’iyah (2005). Dan lulus S2 tahun 2008 dari Institut pertanian bogor, serta saat ini sedang sekolah S3 Institut pertanian bogor.

Page 82: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |73

Page 83: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

74| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB 5 PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN HUKUM KESEHATAN

Meri, M.Imun STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya PENDAHULUAN

Perundang –undangan hukum kesehatan sangat penting dipelajari oleh semua orang terutama peserta didik yang sedang menjalani masa pendidikan dalam bidang kesehatan. Hukum kesehatan pada dasarnya berkaitan antara tenaga kesehatan profesional (terutama dokter dan rumah sakit atau institusi lain) dan pasien (Herring, 2016). Hukum kesehatan ini berkaitan denga n perundang-undangan yang dibuat atau ditujukan untuk melindungi terhadap kesehatan perorangan dan atau masyarakat di ndonesia. Semua ketentuan secara umum telah diatur

Page 84: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |75

oleh pemerintah, pemerintah daerah dan atau masyarakat yang ikut bertanggung jawab atas terselenggaranya pelayanan kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan dan lain-lain yang masih berkaitan dengan peraturan undang-undang hukum kesehatan.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Istilah peraturan perundang-undangan dan undang-undang me-

miliki makna yang berbeda. Peraturan perundang-undangan memilki pengertian yaitu ”peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan”. Istilah undang-undang memiliki pengertian yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden (Amin, 2017). Perundang-undangan hukum kesehatan, baik memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung adalah sebagai berikut:

A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA Kitab undang-undang perdata merupakah ketentuan hukum yang

secara tidak langsung berkaitan dengan masalah kesehatan, terutama dalam tanggungjawabnya sebagai seorang dokter terhadap kelalaian menjalankan tugasnya. Pada kitab undang-undang perdata yang dapat diterapkan adalah pasal 1239 (KUH PERDATA), pasal 1320 (KUH PERDATA), pasal 1365 (KUH PERDATA), pasal 1366 (KUH PERDATA), dan pasal 1367 (KUH PERDATA) (Asyhadie, 2018)

Pasal 1239 KUH Perdata mengenai wanprestasi. Seseorang dikatakan melakukan wanprestasi dikarenakan ada suatu sebab yaitu tidak melakukan apa yang telah disanggupinya atau dijanjikan, melakukan apa yang telah disanggupi namun tidak tepat waktu atau terlambat, melakukan apa yang sudah disanggupi atau dijanjikan tetap tidak seperti apa yang sudah dijanjikan, dan melakukan hal yang sudah dijanjikan untuk tidak boleh dilakukan (Asyhadie, 2018).

Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa “Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan

Page 85: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

76| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang”.

Pasal 1365 KUHP perdata menyatakan bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesa-lahannya untuk mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1366 KUHP Perdata menyatakan bahwa “Setiap orang ber-tanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”

Kedua pasal tersebut di atas, merupakan pasal yang berkaitan antara pasien dengan dokter dalam memenuhi perjanjian kedua belah pihak terutama dalam kepentingan penyembuhan pasien, yang biasa disebut sebagai Kontrak Terapeutis.

Pasal 1367 (KUH PERDATA) menyatakan bahwa “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan per-buatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

B. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Kitab undang-undang pidana juga merupakan bagian dari

ketentuan hukum yang secara tidak langsung berhubungan dengan masalah kesehatan, yang melibatkan tanggungjawab dokter terhadap kelalaian atau kesalahan dalam menjalankan tugasnnya. Pasal – pasal yang dapat diterapkan adalah pasal 351 KUHP (Asyhadie, 2018), pasal 359 KUHP, dan pasal 360 KUHP(Purnama, 2017).

Pasal 351 KUHP yaitu mengenai penganiayaan, memiliki lima poin penting yaitu (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja

Page 86: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |77

merusak kesehatan; dan (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Pasal 359 KUHP yaitu mengenai kelalaian yang mengakibatkan kematian. Pasal ini menyatakan bahwa “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal 360 KUHP mengenai kelalaian yang mengakibatkan luka berat atau cacat. Pasal ini menyatakan bahwa “(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebahkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah”.

C. TANGGUNG JAWAB ADMINISTRASI Setiap orang yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan dapat dikenakan hukuman adminis-trasi sesuai dengan kesalahan yang dibuatnya. Apabila terdapat kesa-lahan maka akan mendapatkan pertanggungjawaban sanksi admins-tratif seperti adanya pencabutan izin praktik.

D. UNDANG UNDANG Undang-undang yang secara langsung berkaitan dengan masalah

kesehatan adalah sebagai berikut: a. Undang - undang No. 9 Tahun 1960 tentang pokok-pokok kese-

hatan. Undang-undang mulai berlaku tanggal 15 Oktober 1960 dan telah dicabut dengan keluarnya undang-undang No. 23 Tahun 1992.

b. Undang –undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 17 September 1992, tetapi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan

Page 87: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

78| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Undang-Undang tentang Kesehatan yang baru yaitu UU No. 36 Tahun 2009. Selama tidak bertentangan dengan UU No. 36 Tahun 2009, masih dinyatakan bahwa undang-undang No. 23 Tahun 1992 masih tetap berlaku.

c. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (“Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kese-hatan,” 2009).

UU ini merupakan undang-undang yang masih berlaku sampai saat ini. Undang-udang ditetapkan, diundangkan dan mulai berlaku tanggal 13 Oktober 2003 dan merupakan undang-undang yang telah memper-barui undang-undang sebelumnya. Menurut da-tabse peraturan pada JDIH BPK RI (2017), terdapat beberapa undang-undang yang telah dicabut dengan keluarnya undang-undang ini, diantaranya adalah sebagai berikut (Binangkum, 2017):

1. UU No. 3 Tahun 1996 tentang Kesehatan Jiwa 2. UU No. 2 Tahun 1996 tentang Hygiene 3. UU No. 18 Tahun 1964 tentang Wajib Tenaga Kerja Paramedis 4. UU No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi 5. UU No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan 6. UU No. 11 Tahun 1962 tentang Hygiene Usaha-Usaha Bagi

Umum 7. UU No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan 8. UU No. 3 Tahun 1953 tentang Pembukaan Apotik 9. UU No. 18 Tahun 1953 tentang Merawat Orang-Orang Miskin

dan Orang-Orang yang kurang mampu.

UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan berisi XXII bab dan 205 pasal. Setiap pasal yang disampakan secara langsung berkaitan dengan masalah kesehatan yang dilengkapi dengan peraturan penjelasan yang sangat bermakna. BAB I KETENTUAN UMUM; pada pasal 1 menjelaskan mengenai ketentuan umum tentang kesehatan, sumber daya, perbekalan, sediaan farmasi, alat kesehatan, tenaga kesehatan, fasilitas pela-yanan kesehatan, obat, obat tradisional, teknologi kesehatan, upaya

Page 88: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |79

kesehatan, pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehablitatif, pelayanan kesehatan tradisonal, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan menteri kesehatan. BAB II ASAS DAN TUJUAN; pada pasal 2 berisi asas pembangunan kesehatan dan pasal 3 berisi tentang tujuan pembangunan kese-hatan. BAB III HAK DAN KEWAJIBAN; Pada undang-undang No 36 Tahun 2009 BAB III menyampaikan peraturan tentang hak dan kewajiban setiap orang dalam kaitannya dengan kesehatan. Hak setiap orang tersebut adalah sebagai berikut : 1) Hak atas kesehatan yang terdapat pada pasal 4 yaitu “ Setiap

orang berhak atas kesehatan”, 2) Hak yang sama bagi setiap orang dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bdang kesehatan, terdapat pada pasal 5 ayat 1 yang berisi “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”

3) Hak setiap orang dalam dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (pasal 5 ayat 2).

4) Hak setiap orang untuk mandiri dan bertanggungjawab mene-ntukan oleh sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukannya (pasal 5 ayat 3).

5) Hak setiap orang mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan (pasal 6).

6) Hak setiap orang untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab (pasal 7).

7) Hak setiap orang memperoleh informasi tentang data kese-hatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan (pasal 8).

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang ada

kaitannya dengan masalah kesehatan secara langsung terdapat pada pasal 9-13. Kewajban yang harus dipenuhi oleh setap orang adalah sebagai berikut:

Page 89: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

80| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (pasal 9 ayat 1).

2) Setiap orang wajib melaksanakannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan (pasal 9 ayat 2).

3) Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun social (pasal 10).

4) Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya (pasal 11).

5) Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya (pasal 12).

6) Setiap orang berkewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan social (pasal 13 ayat 1).

7) Setiap orang program jaminan kesehatan sosial sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (1) wajib mengikuti aturan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 13 ayat 2).

BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH. Pada undang-undang No. 36 Tahun 2009, bab IV menyampaikan tentang beberapa tanggu-ngjawab yaitu sebagai berikut: 1) Bertanggung jawab terhadap perencanaan, pengaturan, penye-

lenggaraan, pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (pasal 14 ayat 1).

2) Bertanggung jawab pemerintah yang dikhususkan pada pela-yanan publik (pasal 14 ayat 2).

3) Bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (pasal 15)

Page 90: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |81

4) Bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (pasal 16).

5) Bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (pasal 17).

6) Bertanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan (pasal 18).

7) Bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau (pasal 19).

8) Bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui system jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan (pasal 20 ayat 1).

9) Bertanggungjawab pada proses pelaksanaan sistem jaminan sosial dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 20 ayat 2).

BAB V SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 bab V menyampaikan mengenai sumber daya dibidang kesehatan. Sumber daya tersebut meliputi tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, pembekalan kesehatan, serta teknologi dan produknya.

Tenaga kesehatan menjalankan tugasnya dibidang pelayanan kesehatan telah diatur oleh pemerintah dengan sedemikian rupa, sehingga tenaga kesehatan layak untuk memberikan pelayanan. Dengan demikian, pemerintah telah mengatur merencanakan, mengadakan, mendayagunakan, membina, dan mengawasi mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaaan pelayanan kese-hatan (pasal 21 ayat 1). Tenaga kesehatan harus memiliki kualitas minimum dan ketentuan kualifikasinya diatur oleh peraturan menteri (pasal 22 ayat 2). Tenaga kesehatan juga memiliki kewe-nangan menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, tetapi wajib memiliki izin dari peme-rintah, dengan tidak mengutamakan kepentingan yang bernilai materi (pasal

Page 91: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

82| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

23) serta harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pela-yanan dan standar prosedur operasional (SOP). Pada pelak-sanaannya diatur oleh organisasi profesi (pasal 24).Tenaga kese-hatan harus selalu meningkatkan mutu melalui pendidikan atau pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah ataupun masyarakat (pasal 25). Penempatannya untuk pemerataan pelayanan kesehatan diatur oleh pemerintah (pasal 26 ayat 1) sesuai dengan kebutuhan daerahnya (pasal 26 ayat 2), dengan memperhatikan jenis pelayanan kesehatan yang dibu-tuhkan, jumlah sarana, dan jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban kerja pelaayanan kesehatan yang ada (pasal 26 ayat 3). Imbalan dan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas sesuai dengan profesinya adalah hak bagi tenaga kesehatan (pasal 27 ayat 1). Kewajibannya adalah mengembangkan dan mening-katkan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki (pasal 27 ayat 2). Tenaga kesehatan wajib melakukan pemeriksaan kese-hatan untuk kepentingan hukum atas permintaan penegak hukum dengan biayanya ditanggung oleh negara (pasal 28 ayat 1).Apabila terdapat kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, maka harus diselesaikan dengan cara mediasi (pasal 29).

Fasilitas pelayanan kesehatan yang termasuk dalam undang-undang No. 36 Tahun 2009 memiliki klasifikasi menurut jenis pela-yanannya yaitu perseorangan dan masyarakat (pasal 30 ayat 1), dengan tiga tingkatan kriteria yatu pelayanan kesehatan tingkat pertama, kedua dann ketiga (pasal 30 ayat 2), yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta (pasal 30 ayat 3). Adapun kewajiban dari fasilitas kesehatan yaitu 1) Memberiksan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan

pengembangan di bidang kesehatan, 2) Mengirimkan laporan hasil penelitian kepada pemerintah daerah

atau menteri (pasal 31 ayat 1 dan 2). 3) Memberikan pelayanan kesehatan dalam rangka menye-lamatkan

nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu (pasal 32 ayat 1) dan dilarang menolak pasien atau meminta uang muka dalam keadaan darurat (pasal 32 ayat 2).

Page 92: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |83

Fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki pimpinan yang kompeten dalam manajemen kesehatan masyarakat (pasal 34). Jumlah dan jenis fasilitas kesehatannya diberikan izin untuk bero-perasi oleh pemerintah (pasal 35 ayat 1). Penentuan jumlah dan jenisnya dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pertimbangan terhadap luas wilayah, kebutuhan kesehatan, jumlah dan sebaran penduduk, pola penyakit, pemanfaatannya, fungsi sosial dan kema-mpuan dalam memanfaatkan teknologi (pasal 35 ayat 2). Penen-tuan tersebut juga berlaku bagi fasilitas pelayanan kesehatan asing (pasal 35 ayat 3) tetapi tidak berlaku untuk jenis rumah sakit kara-ntina, penelitian dan asilum (pasal 35 ayat 4).

Pembekalan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya di bidang kesehatan. Pembekalan ini harus dijamin ketersediaannya, pemerataan, dan keterjangkauannya oleh pemerintah terutama dalam obat essensial (pasal 36). Pembekalan kesehatan harus dikelola agar kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi (pasal 37 ayat 1) dengan memperhatikan manfaatya, harga dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pemerataan (pasal 37 ayat 2). Pengembangan pembekalan kesehatan didorong dan diarahkan pemerintah dengan memanfaatkan potensi nasional yang ada (pasal 38 ayat 1), terutama vaksin baru dan bahan alam yang berpotensi khasiat sebagai obat (pasal 38 ayat 2). Persediaan daftar dan jenis obat dilakukan oleh pemerintah (pasal 40 ayat 1), dengan penyem-purnaan setiap dua tahun (pasal 40 ayat 2), dan pengadaannya secara darurat dapat dilakukan dengan kebijakan khusus (pasal 40).

Teknologi dan produknya terdapat dalam peraturan perundang -undangan mencakup metode dan alat yang digunakan dalam mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meri-ngankan penderitaan akibat adanya penyakt, menyembuhkan, memperkecil komplikas dan memulihkan kesehatan setelah sakit (pasal 42 ayat 2), Semuanya diatu roleh pemerintah dalam hal penapisan, pemanfaatan, serta pengawasan terhadap penggu-naannya (pasal 43). Sebelum alat kesehatan dipakai, diperlukan uji coba teknologi terhadap manusia ataupun hewan dengan kondisi yang tidak merugikan manusia yang menjadi uji coba (pasal 44). Proses pengembangan teknologi oleh

Page 93: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

84| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

setiap orang tersebut akan dilarang jika membawa resiko buruk terhadap kesehatan mas-yarakat. BAB VI UPAYA KESEHATAN, Undang-undang No 36 Tahun 2009 bab IV menyatakan bahwa upaya kesehatan dilakukan secara terpadu dan menyeluruh serta berkesinambungan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat (pasal 46). Kegiatan upaya kesehatan tersebut dilakukan dengan pendekatan promotif, prebventif, kuratif dan rehabilitatif (pasal 47). Kegiatannya adalah berupa pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional, pelayanan kesehatan; pelayanan kesehatan tradisional; peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; kesehatan reproduksi; keluarga berencana; kesehatan sekolah; kesehatan olahraga; pelayanan kesehatan pada bencana; pelayanan darah; kesehatan gigi dan mulut; penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; kesehatan matra; pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; pengamanan makanan dan minuman; pengamanan zat adiktif; dan/atau bedah mayat (pasal 48 ayat 1). Dalam upaya kegiatan kesehatan ini, yang bertanggung jawab adalah pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 49). Demikian juga dengan proses peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan (pasal 50 ayat 1). Upaya kesehatan tersebut harus didasarkan pada standar pelayanan minimal (pasal 51 ayat 2).

Pelayanan kesehatan terdiri dari pelayanan perseorangan dan masyarakat (pasal 52). Pada pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kese-hatan perorangan dan keluarga. Sedangkan pelayanan kesehatan masyarakat adalah untuk memelihara dan meningkatkan kese-hatan serta mencegah penyakit pada suatu kelompok dan masyarakat (pasal 53).

Pada pelayanan kesehatan, setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap (pasal 56), tetapi tidak berlaku bagi penderita penyakit yang penyakitnya dapat menular

Page 94: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |85

secara cepat kepada masyarakat yang lebih luas, tidak sadarkan diri, dan gangguan mental berat (pasal 56 ayat 2). Penyelenggara pelayanan kesehatan wajib merahasiakan kondisi kesehatan pasiennya, oleh karena kerahasiaannya adalah hak pasien (pasal 57). Apabila penyelenggara pelayanan kesehatan menimbulkan kerugian maka setiap orang berhak menerima gant rugi akibat kelalaian tersebut (pasal 58 ayat 1).

Terdapat pelayanan kesehatan tradisional yang diatur dalam peraturan ini, baik menggunakan keterampilan ataupun meng-gunakan ramuan (pasal 59 ayat 1). Pelayanan ini diawasi dan dibina oleh pemerintah (pasal 59 ayat 2). Demikian juga peralatan yang dipakai harus mendapatkan izin dari pemerntah (pasal 60 ayat 1).

Peningkatan kesehatan adalah semua bentuk upaya peme-rintah, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi atau kegiatan lain untuk menunjang hidup sehat (pasal 62 ayat 1). Pencegahan penyakit pun ditujukan untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah dan dampak buruk akibat penyakit (pasal 62 ayat 2).

Pengaturan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan terdapat pada undang-undang No. 36 Tahun 2009 pasal 63-70. Pengaturan kesehatan reproduksi diatur berdasarkan pasal 71-77. Pengaturan mengenai keluarga berencana terdapat pada pasal 78, bahwa pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana adalah untuk mengatur kehamilan bagi pasangan usia subur untuk mem-bentuk generasi yang sehat dan cerdas.

Kesehatan sekolah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat para peserta didik dalam lingkungan sehat (pasal 79). Kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagai dasar meningkatkan prestasi belajat, kerja dan olahraga (pasal 80).

Pelayanan kesehatan pada bencana disebutkan pada pasal 82-85. Pada pasal 82 ayat 1 menyatakan bahwa pemerintah, peme-rintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas keter-sediaan sumber daya, faslitas, dan pelaksanaan pelayanan kese-hatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana. Pelayanan ini

Page 95: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

86| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

ditujukan untuk penyelamatan jiwa seseorang, pencegahan terhadap cacat lebih lanjut dan kepentingan yang terbaik bagi pasien (pasal 83).

Pelayanan darah dituangkan dalam peraturan undang-undang No 36 Tahun 2009 yaitu pada pasal 86-92. Secara ringkas menyampaikan mengenai pelayanan darah ini termasuk dalam tujuan kemanusiaan dan bukan untuk komersil dengan penge-lolaannya dilakukan oleh Unit Transfusi Darah. Transfusi ini bertujuan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan semuanya diatur oleh menteri. Dengan demikian, pemerintah bertanggung jawab atas pelayanan darah yang aman, mudah dakses, dan sesuai kebutuhan masyarakat.

Kesehatan gigi dan mulut tertuang dalam undang-undang no. 36 Tahun 2009 yaitu pasal 93-94, mengenai pelayanan gigi dan mulut ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi dan pemulihan kesehatan gigi oleh pemerintah, pemerintah daerah dan mas-yarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib dalam men-jamin ketersedian tenaga, fasilitas, alat dan obatnya.

Panggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pende-ngaran diatur pada undang-undang nomor 36 tahun 2009, pada pasal 95-96 bahwa penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran dilakukan melaiputi upaya promotif, preventf, kuratif dan rehabiltatif untuk menngkatkan derajat kesehan indera penglhatan dan pendengaran masyarakat. Ketentuan lebh lanjutya diatur oleh peraturan menteri.

Kesehatan matra terdapat pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 97-98 bahwa kesehatan matra adalah untuk mewujudkan derajat kesehatan setnggi-tingginya dalam lngkungan matra yang serba berubah baik di darat, udara dan laut.

Penanganan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kese-hatan terdapat pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 98-108. Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dalam keadaan aman, berkhasat, berkualitas dan terjangkau. Bagi yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, men-yimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang

Page 96: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |87

berkhasiat obat. Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam semesta harus terjaga kelestariannya. Jika berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan sesuai resep dokter dan dilarang disalah gunakan. Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan diselnggarakan untuk melindungi masyarakat yang disebabkan oleh karena tidak memenuhi syarat. Sediaannya harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan dapat diedarkan jika sudah mendapatkan izin edar. Jika tidak memenuhi standar maka izinnya akan dicabut. Dalam praktik kefarmasannya harus dilakukan oleh tenaga keseharan yang ahli dan memliki kewenangan sesua ketentuan peraturan pemerintah.

Pengamanan makanan dan minuman tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pada pasal 109-112, bahwa setiap orang atau badan hukum yang memproduksi dan mengolah serta mendistribusikan makanan dan minuman dan minuman diper-lakukan sebagai hasil teknologi rekayasa genetik yang diedarkan harus menjamin agar aman bagi manusia, hewan yang dimakan manusia dan lingkungan. Makanan dan minuman harus sesuai standar kesehatan dan diedarkan jika sudah ada izin edar serta sudah mengandung label yang berisi nama produk, daftar bahan, berat bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi, dan masa kadaluarsa.

Pengamanan zat adiktif tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 113-116 bahwa pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Zat tersebut adalah tembakau. Pembuatan, peredaran dan penggunaannya harus memenuhi standar serta wajib dcantumkan peringatan kesehatan. Pada undang-undang ini pun dsebutkan bahwa kawasan yang tanpa rokok adalah fasilitas pelayanan kesehatan, tempat belajar mengajar, arena bermasin anak, tempat badah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya.

Bedah mayat tertuang pada undnag-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 117-125 bahwa dinyatakan mati jika fungsi sistem ssrkulasi jantung dan pernafasan terbukti berhenti secara per-manen. Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi . Bedah mayat klinis dapat dilakukan dirumah sakit oleh karena penelitan dan

Page 97: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

88| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

pengembangan pelayanan kesehatan dan tujuan menegakan diagnosis penyebab kematian serta kepentingan pendidikan di didang ilmu kedokteran dan biomedik. Bedah ter-sebut dapat dilakukan oleh dokter sesua dengan keahlian. Sedangkan, untuk penegakan hukum dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Peman-faatan untuk donor atau transplantasi organ dilakukan jika telah terbukti tubuh mati batang otaknya. Tindakan bedah mayat itu pun harus sesuai dengan norma agama., kesusilaan dan etika profesi dan biayanya ditanggung oleh pemerntah. BAB VII KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA DAN PENYANDANG CACAT, Undang-undang No. 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa upaya kesehatan ibu adalah untuk menjaga kesehatan ibu sehingga dapat melahirkan keturunan yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu (pasal 126). Bila ada upaya kehamilan diluar alamiah, hanya dapat dilakukan oleh suami istri yang sah sebagai hasil pembuahan sperma dan ovum dar suami istri yang bersangkutan yang kemudian ditanamkan pada rahim istrinya (pasal 127). Bayi yang dilahirkan berhak mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan kecuali atas indikasi (pasal 128 ayat 1). Imunisasi wajib diberikan oleh pemerintah kepada setiap bayi dan anak (pasal 130). Pemeliharaan kesehatan bayi dan anak tersebut bertujuan untuk generasi yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kematiannya (pasal 131 ayat 1). Hal ini dilakukan pada anak usia dalam kandungan sampai 18 tahun (PASAL 131 ayat 2). Anak yang dilahirkan wajib dibesarkan dan diasuh secara bertanggung jawab (pasal 132) dan berhak memeperoleh imunisasi dasar untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari dmelalui imunisasi (pasal 132 ayat 2). Bayi dan anak berhak dilindungi dan terhindar dari bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang mengganggu kesehatannya (pasal 133 ayat 1). Kesehatannya wajib ditetapkan standar atau kriteria oleh pemerintah (pasal 134 ayat 1). Tempat dan sarana lain untuk bermain wajib disediakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang wajid dilengkapi sarana perlindungan terhadap kesehatan agar tidak membahayakan (pasal 135).

Page 98: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |89

Kesehatan remaja tertuang dalam peraturan perundang-undangan nomor 36 tahun 2009 ypasal 136-137 bahwa pemerliharaan kesehatan remaja ditujukan untuk persiapan menjadi dewasa termasuk reproduksinya serta jaminan adanya edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan remaja.

Kesehatan lanjut usia dan penyandang cacat tertuang pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 138-140 bahwa pemeliharaan kesehatan usia lanjut dan penyandang cacat ditujukan menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonoms dan bermartabat. BAB VII GIZI, Masalah gizi tertuang dalam undang-undangan nomor 36 tahun 2009 bab VIII tentang gizi pasal 141-143 berisi bahwa perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan kualitas gizi perorangan dan masyarakat melalui perbaikan pola makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perilaku sadar gizi, aktivtas fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan sistem pengawasan pangan dan gizi. Jaminan bahan makanan tersedia dengan merata dan memenuhi standar gizi dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Upaya perbai-kannya dilakukan pada sejak dalam kandungan sampai lanjut usia.

BAB IX KESEHATAN JIWA, Kesehatan jiwa tertuang dalam undang-undangan nomor 36 tahun 2009 asal 144-151 bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat dengan upaya promotif, preventf, kuratif dan rehabilitatif. Masyarakat pun berhak mendapatkan informasi dan edukasi mengenai kesehatan jiwa untuk mengindar pelanggaran hak asasi. Penyembauhannya adalah tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Penderita memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Apabila ada yang terlantar wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penderita untuk penegakan hukum dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa.

Page 99: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

90| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB X PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR, Penyakit menular tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 152-157 bahwa upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibatnya menjadi tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Tujuannya adalah untuk melindungi masyarakat dari penularan. Upaya pencegahannya dilakukan melalui kegiatan promotif, preventf, kuratif dan rehabilitatif. Upaya pencegahan lainnya yaitu melalui imunisasi.

Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dalam waktu singkat. Selain itu, juga menyatakan wilayah dalam keadaan wabah atau kejadian luar biasa (KLB). Pencegahan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat termasuk penderita melalui perilaku hidup bersih dan sehat.

Penyakit tidak menular terdapat pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 pada pasal 158-161 bahwa Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannnya dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Upaya lainnya adalah bertanggung jawab melakukan komunikasi, informasi dan edukasi tentang faktor risiko penyakit tidak menular. Pengendaliannya dilakukan dengan pendekatan surveilance faktor risiko, registri peyakit dan surveilan kematian. Manajemennya meliputi kesleuruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. BAB XI KESEHATAN LINGKUNGAN, Kesehatan lingkungan tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal pasal 162 dan 163 bahwa Lingkungan sehat mencakup lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas umum dijamin ketersediaannya oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Lingkungan sehat adalah lingkungan yang bebas dari unsur-unsur limbah cair, padat, gas, sampah, binatang pembawa penyakit, zat kimia berbahaya, kebisingan yang lebih dari mabang batas, radiasi sinar pengion dan nonpengion, air tercemar, udara tercemar dan makanan terkontaminasi.

Page 100: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |91

BAB XII KESEHATAN KERJA, Kesehatan kerja tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164-166 bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan melindung pekerja agar hidup sehat. Pengelola tempat kerjanya wajib melakukan bentuk upaya kesehatan melalui pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Majikannya wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja. BAB XIII PENGELOLAAN KESEHATAN, Pengelolaan kesehatan tertuang pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 167 bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat melalui pengelolaan adminstrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembayaan, peran serta pemberdayaan masyarakat, ilmu oengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. BAB XIV INFORMASI KESEHATAN. Informasi kesehatan tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 168 dan 169 bahwa informasi kesehatan diperlukan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan secara efektif dan efisien. Upaya informasi kesehatan tersebut diberikan kemudahan oleh pemerintah.

BAB XV PEMBIAYAAN KESEHATAN. Pembiayaan kesehatan pada pasal 170-173 undang-undang nomor 36 tahun 2009 bahwa pem-biayaan kesehatan memiliki tujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, dengan besaran anggaran minimal 5% dari anggaran pendapatan belanja negara. Alokasi tersebut untuk pelayanan lesehatan di bdang pelayanan publik, terutama untuk penduduk miskin, lanjut usia dan anak terlantar. Alokasi dari swasta adalah berasal dari jaminan sosial dan atau asuransi kesehatan komersal.

Page 101: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

92| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB XVI PERAN SERTA MASYARAKAT. Peran serta masyarakat tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 174 bahwa masyarakat berperan serta baik perorangan atau terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setingg-tingginya.

BAB XVII BADAN PERTIMBANGAN KESEHATAN. Badan pertimbangan kesehatan tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 175 dan 177 bahwa bdan pertimbangan kesehatan merupakan badan ndependen yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang di bidang kesehatan dan berkedudukan di pusat dan daerah. Badan tersebut dinamakan badan pertimbangan kesehatan nasional (BPKPN) berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. Badan pertimbangan yang d daerah adalah BPKD. Tugasnya adalah membantu pemerintah dan masyarakat dalam bidang kesehatan.

BAB XVIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN. Pembinaan dan pengawasan terdapat pada pasal 178-188 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan masyarakat dan penye-lenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kese-hatan. Pada pasal 179: (1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk: a) memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas

sumber daya di bidang kesehatan; b) menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya

kesehatan; c) memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan

fasilitas pelayanan kesehatan; d) memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan

kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;

e) memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;

Page 102: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |93

f) melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya

g) bagi kesehatan.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a) komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat; b) pendayagunaan tenaga kesehatan; c) pembiayaan.

Pasal 180 menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan, peme-rintah dan pemerintah daerah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang berjasa dalam setiap kegiatan mewujudkan tujuan kesehatan. Ketentuan selanjutnya akan diatur dengan peraturan menteri (pasal 181).

Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. Menteri dalam melakukan pengawasn dapat memberikan izin dalam setiap penye-lenggaraan upaya kesehatan (pasal 182). Menteri dalam melak-sanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga kesehatan dengan tugas pokok melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan (pasal 183). Fungsi tenaga pengawas adalah memasuki setiap tempat yang diduga digunakan kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan dan memeriksa perizinan yang dimiliki oleh tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan (pasal 184). Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilaku-kannya pemeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyai hak untuk menolak pemeriksaan apabila tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan tanda pengenal dan surat perintah pemeriksaan (pasal 185). Apabila ada pelanggaran hukum dibidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penydik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 187). Menteri dapat mengambil tindakan administratif berupa peringatan tertuls dan pencabutan izin sementara atau izin tetap (pasal 188).

Page 103: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

94| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB XIX PENYIDIKAN. Penyidikan tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 189 bahwa Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. BAB XX KETENTUAN PIDANA. Ketentuan pidana pada undang-undang nomor 36 tahun 2009 mulai dari pasal 190-201 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 190 bahwa pimpinan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan praktik dengan sengaja tidak memberikan perto-longan pada pasien gawat darurat dipidana penjara palng lama 2 tahun dan denda sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) serta menimbulkan kematian atau cacat, dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar).

Pada pasal 191 menyatakan bahwa setiap orang tanpa izin praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi dan mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian akan dipidanan selama 1 tahun dan denda palng banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 192 “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 193 “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara

Page 104: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |95

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 195 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 196 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197 Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 198 Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewe-nangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 199 ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana

Page 105: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

96| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 200 Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 201; ayat (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana dendasebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200. Ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN. Peraturan peralihan tertuang dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 202 tentang Peraturan Perundang-undangan sebagai pelaksanaan Undang- Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini. Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang.

BAB XXII KETENTUAN PENUTUP. Dalam penutup ini memuat pasal 204 yaitu pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23

Page 106: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |97

Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pada pasal 205 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

d. Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Pada undang-undang ini memuat peraturan mengenai pendayagunaan tenaga kesehatan asing, peraturan tentang rumah sakit pendidikan, mengenai badan pengawas rumah sakit Indonesia dan badan pengawas dan rumah sakit provinsi, pedoman rumah sakit, persyaratan teknis bangunan rumah sakit, prasarana rumah sakit, standar pelayanan kefarmasian, klasfikasi rumah sakit, kewajiban rumah sakt, kewajiban pasien terhadap rumah sakit, rahasia kedokteran, akreditasi rumah sakit, syarat dan tata cara penyelenggaraan rumah sakit bergerak dan rumah sakit lapangan, pembinaan dan pengawasan rumah sakit, dan dewan pengawas rumah sakit.

e. Undang undang No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran.

Undang-undang tersebut berlaku sejak satu tahun diundangkan. Sedangkan diundangkannya adalah pada tanggal 6 Oktober 2004.

f. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kese-hatan (selanjutnya dinamakan sebagai UU No. 36 Tahun 2014)

g. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan (selanjutnya disebut UU No. 38 Tahun 2014).

Page 107: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

98| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

E. PERATURAN PEMERINTAH

Pada prinsipnya peraturan pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang akan mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan dari undang-undang. Sebagai contoh dari peraturan ini adalah peraturan pemerintah Rumah Sakit Pendidikan (Asyhadie, 2018).

F. JURISPRUDENSI

Jurispudensi merupakan bukan peraturan perundang-undangan, melainkan putusan dari hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang kemudian diikuti oleh hakim lain ketika menhadap suatu kasus serupa (Asyhadie, 2018). Jurispudensi yang paling tersohor di dalam bidang hukum kesehatan adalah penetapannya kasus hukum Vivian (nama sebelumnya adalah Robby), oleh karena adanya proses penggantian kelamin dari seorang laki-laki menjadi perempuan yang terjadi pada tahun 1975.

G. PERJANJIAN INTERNASIONAL

Konferensi Helsingki merupakan salah satu contoh perjanjian internasional pada tahun 1964, yang memuat kesepakatan antara para dokter sedunia menenai penelitian eksperimen kedokteran terhadap manusia, terutama berkaitan dengan percobaan obat-obatan yang baru atau eksperimen injeksi yang berisi virus tertentu kepada manusia. Perjanjian internasional ini dapat menjadi sumber hukum kesehatan apabila telah dilakukan konferensi secara internasional (Asyhadie, 2018).

H. KEBIASAAN

Perilaku atau tingkah laku manusia yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kondisi dan keadaan yang sama sehingga semakin lama akan menimbulkan suatu akibat hukum jika tidak dilakukan. Salah satu contoh kebiasaan yang dapat dijadikan sebagai hukum kesehatan adalah prosedur penandatanganan izin operasi terhadap seseorang pasien yang akan melakukan tindakan operasi (Asyhadie, 2018).

Page 108: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |99

RANGKUMAN MATERI Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis

yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan”. Peraturan ini ada yang berhubungan langsung dengan kesehatan diantaranya undang-undang, peraturan pemerintah, Juristru densi, perjanjian internasional, dan kebiasaan. Sedangkan peraturan yang berhubungan secara tidak langsung adalah peraturan yang berasal dari kitab undang-undang hukum perdata, kitab undang-undang hukum pidana dan tanggung jawab administrasi. LATIHAN DAN EVALUASI 1. Sebutkan hak dan kewajiban tenaga kesehatan! 2. Apakah setiap fasiltas pelayanan kesehatan memiliki peraturan?

Jika iya, sebutkan faktor apa saja yang mengaturnya! 3. Sebutkan nomor KUH perdata yang secara tidak langsung berkaitan

dengan masalah kesehatan! 4. Jelaskan peraturan yang berkaitan dengan KUH pidana! 5. Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga kese-

hatan? Sebutkan pasal yang sesuai!

Page 109: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

100| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. (2017). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta:

Kemenkes RI. Asyhadie, Z. (2018). Aspek-Aspek Hukum Kesehatan Di Indonesia (2nd

ed.). Depok: Rajawali Pers. Binangkum, D. (2017). Database Peraturan. Jakarta: JDIH BPK RI.

Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id Herring, J. (2016). Medical Law and Ethics (6th ed.). United Kingdom:

Oxford University Press. Purnama, S. G. (2017). Modul Etika dan Hukum Kesehatan. Bali:

Fakultas Kedokteran Unversitas Udayana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan. (2009). Jakarta.

Page 110: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |101

PROFIL PENULIS

Penulis dilahirkan di Kota Tasikmalaya pada tahun 1981. Penulis adalah seorang Dosen yang telah menempuh pendidikan dibidang kesehatan, yaitu Magister Imunologi. Penulis bekerja di institus pendidikan yaitu Sekolah Tinggi lmu Kesehatan Bakt Tunas Husada Tasikmalaya, yang memiliki hobi menulis dengan beberapa karya yang telah terbit diantaranya My Medical Story, My Pregnancy Diary,

Bergerak Tak Berasap, “Jumlah Neutrofil, Cystatin C dan Hiperu-risemia”, “Ozonisasi Minyak Zaitun: Bahan Alami Luka Infeksi” serta beberapa naskah yang sedang proses penerbitan.

Page 111: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

102| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 112: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |103

Page 113: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

104| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB 6 ASPEK YURIDIS HAK ASASI

MANUSIA BIDANG KESEHATAN

Slamet Yuswanto, SH. M.Hum Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia

A. PENDAHULUAN Sehat itu mahal, demikian disampaikan oleh banyak orang. Kare-

nanya, mereka selalu berusaha menjaga kesehatannya dengan ber-bagai upaya. Di antaranya mengkonsumsi sayur dan buah-buahan sec-ara teratur, menjaga pola makan, olah raga dan istirahat yang cukup dengan tidur minimal 8 jam per hari atau minum air putih yang tetap dijaga minimal 2,5 liter setiap hari. Usaha terebut akan sedikit mem-bantu mengurangi gangguan penyakit dan racun dalam tubuh. Kese-hatan sangat dibutuhkan bagi tubuh manusia. Tanpa kesehatan, seluruh aktivitas akan terganggu bahkan mengakibatkan lumpuh atau tidak bisa menjalankan pekerjaan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika

Page 114: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |105

terdapat ujaran yang mengatakan bahwa kesehatan bukan sega-lanya, namun tanpa kesehatan segalanya tidak berarti apa-apa. Jauh sebelum jaman kini, sekitar abad kedua Masehi, seorang Pujangga Romawi, Decimus Iunius Juvenalis membuat karya sastra Satire X yang dalam ungkapan latin disebutkan Mens Sana in corpore sano (drh.chaidir, MM., 2012). Kemudian dalam bahasa Indonesia diartikan ‘di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat’. Hal ini tentu tidak dapat diartikan bahwa dalam tubuh yang sehat selalu terdapat jiwa yang sehat. Namun esensi pepatah ini bahwa dengan kesehatan tubuh diharapkan jiwanya juga sehat dan sebaliknya. Upaya mewu-judkan kesehatan tidak hanya dilakukan oleh seseorang, namun juga dilakukan oleh masyarakat. Masalah kesehatan masyarakat biasanya terjadi karena lingkungan yang kurang sehat sehingga bibit penyakit tumbuh dan berkembang biak, seperti membuang limbah kotoran dengan sembarangan sehingga mengakibatkan pencemaran ling-kungan. Kondisi demikian akan menimbulkan bibit penyakit bagi mas-yarakat. Menurut dr. Nengah Adnyana Oka M., M.Kes (2012) dari Aka-demi Analis Kesehatan Surakarta, masalah kesehatan masyarakat antara lain tentang kesehatan lingkungan, penyehatan lingkungan pemukiman, penyediaan air bersih, pengolahan limbah dan sampah, pengelolaan tempat-tempat umum dan pengolahan makanan, masalah genetik dan pelayanan kesehatan, serta pembiayaan kesehatan. Den-gan demikian konsep kesehatan masyarakat sangat terkait dengan perubahan perilaku sehat sehingga perlu diupayakan oleh masyarakat, dari dan untuk masyarakat.

Oleh karena itu, aspek kesehatan sebaiknya menjadi pertim-bangan dalam merumuskan kebijakan ekonomi dan pembangunan. Kondisi demikian disadari oleh Pemerintah Jokowi & Jk dalam 9 agenda prioritas yang dikenal dengan Nawacita. Dalam butir kelima Nawacita ditegaskan adanya peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi kartu "Indonesia Sehat". Salah satu implementasi, Peme-rintah Kota Bekasi menggelontorkan anggaran daerah hingga Rp100 miliar untuk memback up Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kepen-dudukan (NIK) untuk 26 ribu keluarga, di mana satu kartu dapat digu

Page 115: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

106| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

nakan oleh satu keluarga untuk mendapatkan layanan kesehatan. (Tempo.co, 21 Mei 2017).

Selanjutnya dalam Nawacita ditegaskan bahwa Negara memiliki tanggungjawab untuk merancang dan menjamin bahwa seluruh kebi-jakan ekonomi diarahkan untuk memenuhi pendidikan dan kesehatan. Karena itu, dalam program utamanya, Negara mengalokasikan angg-aran sekurang-kurangnya 5% dari anggaran negara untuk penurunan AKI, Angka kematian bayi dan balita, pengendalian HIV dan AIDS, penyakit menular dan penyakit kronis, serta penambahan iuran BPJS kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD. Implementasi dari program tersebut antara lain Kementerian Kesehatan sejak tahun 2016 telah memprogramkan penguatan kesehatan masyarakat dengan nama ‘Nusantara Sehat’. Kegiatan Nusantara Sehat antara lain menyebar 1.421 tenaga kesehatan ke 251 Puskesmas di berbagai tempat di Indo-nesia. Program itu dinyatakan mampu mempromosikan kesehatan, misalnya ada penurunan kasus diare sebesar 80 persen di Puskesmas Empanang, Kapuas Hulu (Kalimantan Barat). Selain itu, penderita kusta di kawasan Maluku Utara terdata oleh Puskesmas Morotai dan tingkat kesadaran meminum obat kusta sebesar 89,47 persen. Temuan men-arik lainnya adalah selama dua tahun pertama Nusantara Sehat mampu mengidentifikasi permasalahan kesehatan di daerah dan melakukan penguatan tenaga kesehatan di puskesmas setempat. Dengan begitu, kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan dapat dipenuhi. (Tempo.co, 11 Januari 2017).

Upaya pelayanan kesehatan juga dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dengan membentuk ‘Desa Siaga’ melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/MENKES/SK/VI II/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Secara umum, tujuan pengembangan desa siaga adalah terwujudnya masy-arakat desa yang sehat, peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Selanjutnya, secara khusus, tujuan pengem-bangan desa siaga yaitu:

Page 116: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |107

1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa ten-tang pentingnya kesehatan.

2. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa terhadap resiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana, wabah dan kegawatdaruratan dan seba-gainya.

3. Meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat.

4. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa. 5. Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk

menolong diri sendiri di bidang kesehatan.

Konsep Desa Siaga menuntut adanya pemberdayaan dan peran masyarakat untuk memeliharan kesehatan secara mandiri melalui kes-iapan dan kesiapsiagaan masyarakat di tingkat desa. Kondisi tersebut diharapkan mampu merubah cara pandang masyarakat tentang kese-hatan dari top down menjadi bottom up. Perubahan juga diharapkan terjadi dari sentralistik oleh instansi yang menangani kesehatan men-jadi partisipatif, dilakukan oleh masyarakat dalam mengelola kesehatan diri dan masyarakat sekitarnya.

Upaya di atas menegaskan betapa pentingnya kesehatan, mengi-ngat kesehatan merupakan kebutuhan primer seperti halnya pangan dan sandang. Terbukti setiap orang, tanpa kecuali, menginginkan sehat dan akan menghindari berbagai penyebab sakit. Jika pun terlanjur sakit, seseorang akan mengupayakan dengan berbagai cara agar rasa sakit tersebut dapat segera musnah. Kesehatan merupakan hak setiap orang mengingat sejak lahir setiap orang menginginkannya. Oleh sebab itu, hak kesehatan merupakan hak dasar dan melekat pada seseorang karena kelahirannya sebagai manusia, bukan karena pemberian seseorang atau Negara, sehingga hak tersebut tidak dapat dicabut dan dilanggar oleh siapa pun, kecuali oleh Sang Pencipta. Dalam lingkup yang lebih luas, kesehatan juga merupakan kebutuhan dasar masya-rakat, sehingga penyediaan berbagai sarana yang diperlukan untuk mewujudkan kesehatan harus dipenuhi. Pemenuhan tersebut seperti persamaan akses pelayanan kesehatan, mencegah perilaku yang dapat

Page 117: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

108| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

menurunkan kondisi kesehatan masyarakat, menyediakan anggaran dan pelayanan kesehatan yang layak dan memadai untuk seluruh lapisan masyarakat dan membuat kebijakan kesehatan, serta mela-kukan upaya legislasi dengan membentuk peraturan di bidang kese-hatan yang dapat menjamin pelindungan kesehatan masyarakat. Ber-bagai peraturan di bidang kesehatan baik nasional maupun inter-nasional telah diundangkan, antar lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Convention on the Rights of Social, Economic and Culture, dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimi-nation Against Women. Beberapa ketentuan hukum yang mengatur bidang kesehatan baik secara nasional maupun internasional tersebut terdapat sinkronisasi dengan semangat pelindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak asasi manusia.

B. KESEHATAN DAN HAK ASASI MANUSIA Sehat merupakan modal utama bagi seluruh individu dan mas-

yarakat dalam menjalankan aktivitasnya. Sehat tidak hanya tidak terserang penyakit atau bebas dari penyakit akan tetapi juga kondisi sosial dan jiwa nya tidak terganggu sehingga mampu menjalankan segala aktivitas dengan baik. Sehat merupakan kondisi fisik dan psikis tidak terganggu. Demikian semangat yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dikatakan di dalam Pasal 1 angka 1 bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Artinya, tanpa kesehatan manusia sebagai individu tidak akan mampu melaksanakan kegiatan, tidak akan bisa menjalankan hak hidup lainnya seperti hak menikmati pendidikan, hak mendapatkan pekerjaan, hak berserikat dan berkumpul bahkan hak mengeluarkan pendapatnya. Karenanya kesehatan merupakan hak dasar yang apabila dikurangi akan menga-kibatkan penurunan derajat sebagai manusia.

Korelasi lainnya antara hak asasi manusia (HAM) dengan kese-hatan banyak dijumpai dalam beberapa kejadian. Kasus penganiayaan anak atau istri oleh suami, kekerasan dalam rumah tangga, budaya

Page 118: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |109

pasung terhadap anggota keluarga yang dianggap kurang sehat jiwanya. Kasus yang sempat viral tentang kematian bayi Tiara Debora Simanjorang (4 th) atas dugaan keterlambatan penanganan oleh rumah sakit karena persoalan pembiayaan sehingga korban tidak bisa ditangani difasilitas ICU, sehingga dianggap kelalaian Rumah Sakit Mitra Keluarga. (Agus Suntoro, kompas.com). Sederet peristiwa tersebut mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Sebaliknya beberapa program kesehatan dan pelayanan kesehatan juga dapat menimbulkan pelanggaran HAM. Program asuransi kesehatan untuk orang miskin (ASKESKIN) yang kurang mendapat pengawasan dengan baik sehingga akses masyarakat miskin terhadap kesehatan sulit dan terdiskriminasi. Demikian juga kasus dugaan pembuangan pasien lanjut usia, Suparman (65), oleh Rumah Sakit Umum Dadi Tjokrodipo (RSUDT) Bandar Lampung. (M. Rizki, nicedefault.blogspot. co.id). Peristiwa tersebut juga merupakan pelanggaran HAM sebagai akibat kebutuhan pelayanan kesehatan yang kurang baik. Beberapa peristiwa tersebut membuktikan hubungan yang tidak dapat dipisahkan bahwa kesehatan merupakan hak dasar setiap manusia, sebagai hak asasi manusia. Oleh sebab itu, kewajiban Negara yang tidak dapat memenuhi hak atas kesehatan dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia baik pada tingkat pelaksanaan (commission) maupun pembiaran (omission).

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Dengan demikian HAM lahir secara otomatis, diperoleh sejak kelahiran manusia dan melekat dalam diri manusia sampai meninggal. Karenanya HAM merupakan hak dasar manusia yang mutlak dan timeless, tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu dan tidak diberikan oleh Negara, kelompok masyarakat maupun orang per orang. HAM mempunyai karakteristik yang universal sehingga berlaku di mana pun manusia berada serta bersifat egaliter (berlaku untuk semua orang).

Page 119: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

110| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Oleh sebab itu, berdampak luas ketika kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, pemenuhan, peli-ndungan dan penegakan HAM akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas. Ketika terjadi sengketa atau pelanggaran HAM, upaya penegakkan hukum HAM dilakukan secara struktural melalui lembaga-lembaga Negara, pendekatan kultural melalui kesadaran dan tanggung jawab masyarakat serta melalui institusional tertentu yaitu Komnas HAM.

Sebagai turunan dari hak hidup, kesehatan sebagai hak asasi manusia perlu diatur dalam ketentuan yang mengikat secara nasional maupun secara internasional. Beberapa pengaturan tersebut tentu saja harus saling mendukung dan terjadi harmonisasi.

1. Pengaturan Nasional HAM Bidang Kesehatan

Di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, bidang kesehatan sebagai hak asasi manusia merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan. Dijelaskan pula di dalam pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Artinya, terdapat hak dasar individu (the right of self determination) dan hak dasar sosial berupa the right to health care. Hak dasar individu yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri. Kaitannya dengan menjaga kesehatan yaitu berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Sedang hak dasar sosial yaitu hak atas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. (Pasal 5 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan).

Ketentuan pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ter-sebut bertujuan untuk menjamin setiap orang hidup sehat melalui lingkungan yang sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan. Lingkungan yang sehat akan membantu mewujudkan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, semua pihak baik pemerintah dan pemangku kepentingan mempunyai kewajiban untuk melakukan

Page 120: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |111

pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Terjadinya pence-maran atau perusakan lingkungan hidup dapat dimintakan pertang-gung jawaban oleh setiap orang secara hukum melalui gugatan ke pihak penegak hukum. Tindakan ini dijamin oleh Negara untuk mempertahankan hak dasar atas kesehatan masyarakat melalui lingkungan yang sehat, sesuai dengan Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingku-ngan Hidup bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dinyatakan di dalam Pasal 6 bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi penca-paian derajat kesehatan. Usaha meningkatkan derajat kesehatan dapat dilakukan melalui pengobatan dan penyembuhan penyakit secara individu serta mengikutsertakan masyarakat melalui usaha pencegahan dan rehabilitasi secara terpadu dan berkesinambungan.

Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagai-mana amanat pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas, diimplementasikan oleh Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan. Hak atas kesehatan menurut penjelasan undang-undang tersebut adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pelayanan kesehatan dibutuhkan sejak anak dalam kandungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan. Orang tua dan keluarga juga mempunyai kewajiban mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelang-sungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan. Beberapa penyakit terindikasi mengakibatkan cacat permanen, misalnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), Tuberculosis (TBC), kusta, dan polio. Dengan demi-

Page 121: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

112| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

kian, setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan akses pela-yanan kesehatan yang layak, aman, bermutu dan terjangkau dalam arti tidak meninggalkan kualitas pelayanan. Menurut Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH MH, pelayanan kesehatan ialah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama (dalam suatu organisasi) untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terh-adap perseorangan, kelompok atau masyarakat.

Selanjutnya dikatakan bahwa pemerintah dalam rangka penye-diaan pelayanan kesehatan berkewajiban untuk: a. menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau

oleh masyarakat b. membiayai pelayanan kesehatan yang bersifat public goods,

misalnya imunisasi dan pemberantasan berbagai penyakit menular c. membiayai pelayanan kesehatan orang miskin dan usia lanjut.

Memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang. Tidak terkecuali terhadap seseorang yang telah dicabut hak kemerde-kaannya karena putusan Pengadilan. Seorang Warga Binaan di Lem-baga Pemasyarakatan berhak mendapatkan perawatan rohani dan jasmani serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. Demikian amanat Pasal 14 ayat (1) huruf b dan d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Walaupun hak ini dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai Warga Binaan, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan. Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban memberikan dan menyediakan pelayanan kesehatan kepada masya-rakat. Berbagai perlakuan khusus perlu diberikan kepada para manula, ibu hamil, penyandang cacat, dan anak-anak dengan cara memberikan penyediaan fasilitas dan sarana kemudahan/ kelancaran, pelayanan yang baik, keamanan yang terjaga, serta kesehatan, dan keselamatan. Kemudahan dan perlakuan khusus tersebut tercantum dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara empiris, kewajiban ini masih perlu ditingkatkan mengingat masih banyak angka kematian karena kurang pengobatan,

Page 122: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |113

termasuk kematian ibu hamil, bayi dan balita masih relatif tinggi, kekurangan gizi atau gizi buruk, KB dan program kesehatan reproduksi belum merata, pembangunan tata perkotaan masih sering menga-baikan lingkungan sehat, penyakit menular dan berbahaya (TBC, Diare, DBD, Malaria, HIV/AIDs) belum teratasi dengan baik, sistem jaminan kesehatan nasional (melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial/ BPJS) yang belum tertata dan belum dipahami dengan baik oleh masyarakat serta akses pelayanan kesehatan yang masih perlu ditingkatkan, seperti program kesehatan/ puskesmas keliling. Sederet permasalahan tersebut tentunya menjadi ‘PR’ bagi pemerintah dan masyarakat yang harus diikhtiarkan pemecahannya. Dengan begitu, pemerintah bertanggung jawab untuk merencanakan dan menye-diakan fasilitas kesehatan.

Berbicara tentang fasilitas kesehatan, tidak terlepas dari keter-sediaan obat murah. Dalam hal ini pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten memberikan perhatian terhadap hak kesehatan masyarakat, melalui pertama impor paralel atas obat. Pasal 167 huruf a menyatakan bahwa impor suatu produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dan produk farmasi dimaksud telah dipasarkan di suatu negara secara sah dengan syarat produk farmasi itu diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dimungkinkan dan tidak melanggar hak eksklusif Pemegang Paten, dengan syarat produk farmasi itu diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengecualian importasi produk farmasi ini adalah untuk menjamin adanya harga yang wajar dan memenuhi rasa keadilan dari produk farmasi yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Ketentuan ini dapat digunakan apabila harga suatu produk di Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan harga yang telah beredar secara sah di pasar internasional. Di samping kebijakan impor parelel, pemerintah juga mengecualikan atas obat-obatan yang diproduksi atas hasil penelitian ketika paten akan kadaluwarsa. Ketentuan ini dinamakan provisi bolar. Kebijakan kedua ini terdapat dalam Pasal 167 huruf b, bahwa produksi produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum berakhirnya pelindungan paten dengan tujuan

Page 123: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

114| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

untuk proses perizinan kemudian melakukan pemasaran setelah pelindungan paten dimaksud berakhir. Artinya, produk farmasi yang 5 (lima) tahun akan berakhir masa pelindungan patennya, dapat dilakukan litbang untuk menghasilkan produk farmasi baru. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin tersedianya produk farmasi oleh pihak lain setelah berakhirnya masa pelindungan paten. Ketiga, adanya lisensi wajib untuk memproduksi produk farmasi yang diberi paten di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia. Produk farmasi dimaksud antara lain bahan pembuat atau alat untuk mendiagnosis penyakit. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 93 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, bahwa Menteri Hukum dan HAM dapat memberikan lisensi wajib atas impor pengadaan produk farmasi yang diberi paten di Indonesia tetapi belum dapat diproduksi di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia, serta dapat memberikan lisensi wajib untuk mengekspor produk farmasi yang diberi paten dan diproduksi di Indonesia guna pengobatan penyakit pada manusia berdasarkan permintaan dari Negara berkembang atau negara belum berkembang.

Penyediaan fasilitas kesehatan juga tertuang dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa Pemerintah wajib menye-diakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang kompre-hensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan. Upaya kesehatan yang komprehensif meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan. Upaya kesehatan yang komprehensif diseleng-garakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu. Tanggung jawab Pemerintah atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan, yang saat ini telah difasilitasi oleh BPJS. Dengan demikian, dukungan dan bantuan masyarakat dalam program jaminan kesehatan sangat diperlukan dan menjadi suatu kewajiban. Bahkan pemerintah (dan swasta) diwajibkan untuk bertanggung jawab kepada seseorang yang memerlukan penanganan kesehatan sangat serius sehingga membutuhkan penanganan darurat.

Page 124: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |115

Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa: a. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik

pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kese-hatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

b. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik peme-rintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah diwajibkan untuk menga-

lokasikan anggaran kesehatan sebesar minimal 5% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara di luar gaji. Sedangkan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota wajib menyediakan anggaran kesehatan sebesar minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Kewajiban tersebut terdapat pada Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selan-jutnya, berdasar Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk: a. menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat; b. menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi

fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. membina dan mengawasi penyelenggaraan Rumah Sakit; d. memberikan perlindungan kepada Rumah Sakit agar dapat membe-

rikan pelayanan kesehatan secara profesional dan bertanggung jawab;

e. memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa pela-yanan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;

g. menyediakan informasi kesehatan yang dibutuhkan oleh masya-rakat;

Page 125: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

116| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

h. menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa;

i. menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan j. mengatur pendistribusian dan penyebaran alat kesehatan bertek-

nologi tinggi dan bernilai tinggi.

Pada dasarnya Rumah Sakit merupakan institusi pelayanan kese-hatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipe-ngaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Adapun Rumah Sakit menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Tugas utama Rumah Sakit yaitu memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Sedangkan fungsinya seba-gaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yaitu: a. menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kese-

hatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit; b. memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

c. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

d. menyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Dalam menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan

kesehatan, diharapkan dapat terjadi keseimbangan hubungan antara

Page 126: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |117

pemberi dan penerima jasa layanan kesehatan. Hak atas informasi (the right of information) kesehatan juga melekat pada diri seseorang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 7 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab. Sedangkan dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.

Peran serta masyarakat dalam mewujudkan, menjaga dan meningkatkan kesehatan juga diperlukan. Upaya yang dapat dilakukan yaitu menjaga kesehatan setiap orang, kesehatan masyarakat dan pembangunan berwawasan kesehatan. Sebaliknya, setiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai kewajiban untuk meng-hormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. Perhatian pemerintah melalui Nawacita juga menekankan adanya peningkatan akses dan partisipasi masyarakat secara lebih luas dan merata untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani serta membentuk watak bangsa. ‘Kami akan menjamin pemenuhan hak atas kesehatan’ dalam penekanan 42 (empat puluh dua) prioritas utama kebijakan penegakan hukum Nawacita.

2. Aspek Internasional HAM Bidang Kesehatan

Berbagai ketentuan internasional di bidang HAM mengatur tentang kesehatan dan pentingnya pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Penegasan diskriminasi ini dinyatakan dalam pem-bukaan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR), yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dengan Resolusi 217 A (III). Dinyatakan dalam pembukaan tersebut adanya pengakuan atas derajad dan martabat serta hak yang sama tanpa diskriminatif, tidak dapat dicabut oleh seseorang, sekaligus sebagai landasan adanya kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.

Page 127: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

118| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Selanjutnya terkait dengan pengertian kesehatan, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kesehatan mencakup tidak hanya bebas penyakit/tubuh lemah, juga mencakup fisik, mental (enjoy, tidak ada pertentangan kejiwaan, toleransi dan tidak gampang emosi) dan sosial (perasaan aman, damai & sejahtera). Hal ini berarti adanya sehat secara pribadi dan sehat secara sosial, yang merupakan aspek pokok dalam HAM. Dalam instrumen HAM internasional, hak atas kesehatan diatur melalui Pasal 25 ayat (1) DUHAM. yang menekankan pentingnya standar hidup yang layak dan jaminan kesehatan. Dinyatakan dalam pasal 25 ayat (1) tersebut bahwa: a. Everyone has the right to a standard of living adequate for the

health and well being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and

b. (Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan); dan the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control (berhak atas jaminan pada saat pengangguran, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekua-saannnya). Dalam kaitan dengan itu, Pasal 12 Konvensi International tentang

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan EkoSoB) juga mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam kesehatan fisik dan mentalnya. Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Convention on the Rights of Social, Economic and Culture), ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966 dan telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Adapun upaya untuk mewujudkan hak tersebut, negara wajib melak-sanakan tindakan antara lain:

Page 128: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |119

a. menyusun ketentuan-ketentuan untuk melakukan pengurangan tingkat kelahiran, mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat;

b. melakukan perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;

c. melakukan pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; dan

d. penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Penerapan hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai

dalam kesehatan fisik dan mental, perlu diperhatikan 4 (empat) komponen. Pertama, ketersediaan, yaitu tersedianya seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, adanya barang dan jasa pelayanan kesehatan yang cukup serta berbagai program dan kebijakan di bidang pelayanan kesehatan. Kedua, aksesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa yang tersedia tersebut harus dapat diakses oleh setiap orang dengan cara dapat diakses oleh semua orang, terutama oleh masyarakat yang marginal; dapat diakses secara fisik dengan aman bagi semua, terutama bagi kelompok yang rentan atau marginal; dan dapat diakses secara ekonomi, artinya bahwa pelayanan kesehatan berupa fasilitas kesehatan, barang dan jasa harus dapat terjangkau secara ekonomi oleh semua orang termasuk kelompok yang tidak beruntung secara sosial yaitu masyarakat miskin yang wajib dibebani biaya lebih murah dibandingkan dengan masyarakat kaya; serta akses informasi, yaitu mencari dan membagi informasi dan ide tentang masalah kesehatan. Terkait dengan hal ini, Carlos Correa menyampaikan bahwa Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 2001/33 tentang Akses terhadap pengobatan dalam konteks pandemik seperti HIV / AIDS, memberikan mandat kepada negara untuk mengadopsi hukum internasional yang berlaku, termasuk perjanjian internasional untuk menjaga keterbatasan obat-obatan secara preventif, kuratif/paliatif atau teknologi medis yang aman, efektif dan terjangkau serta memperhitungkan akibat dari hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan

Page 129: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

120| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

mental. (Slamet Yuswanto, 2017: 153). Ketiga, penerimaan terhadap fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan sesuai dengan budaya, misalnya menghormati kebudayaan individu, kaum minoritas, kelompok dan masyarakat, dan sensitif terhadap gender. Keempat, kualitas. Fasilitas kesehatan maupun barang dan jasa harus tersedia dalam kualitas yang baik, seperti personil yang secara medis berkualitas, obat-obatan dan fasilitas rumah sakit yang baik dan tidak kedaluwarsa, air minum aman dan dapat diminum, serta sanitasi yang memadai.

Dengan demikian hak atas standar kesehatan tidak hanya meliputi faktor ekonomi dan sosial dalam mencapai kehidupan yang sehat, melainkan mencakup unsur penentu kesehatan seperti makanan dan nutrisi, tempat tinggal, akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi yang memadai, kondisi kerja yang sehat dan aman serta lingkungan yang sehat. Oleh sebab itu, mempekerjakan orang yang dapat merugikan moral atau kesehatan, atau yang membahayakan kehidupan mereka, atau yang sangat mungkin menghambat per-kembangan mereka secara wajar, harus dikenai sanksi hukum. (Pasal 10 ayat (3) Kovenan EkoSoB).

Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh Negara anggota kovenan untuk mewujudkan hak tersebut di atas yaitu melakukan upaya: a. pengurangan tingkat kelahiran, mati dan kematian anak serta

perkembangan anak yang sehat; b. perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri; c. pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit men-

ular, d. endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan; e. penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan

dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang. Secara singkat bahwa kovenan EkoSoB mengatur adanya peng-

hormatan yaitu tidak ada gangguan pelaksanaan hak, dengan mengu-payakan hukum yang melindungi masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan bebas dari diskriminasi etnis, bahasa,

Page 130: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |121

ras dan gender; pelindungan yaitu mencegah tindakan pelanggaran, dengan melakukan tindakan pencegahan dari perilaku diskriminatif yang membatasi akses bidang kesehatan, pendidikan dan kesejah-teraan lainnya; dan pemenuhan yaitu penyediaan kebijakan dan sumber daya, dengan melakukan pemenuhan sarana prasarana di bidang kesehatan, pendidikan dan bidang kesejahteraan lainnya. Upaya menghilangkan diskriminasi, termasuk diskriminasi rasial diatur dalam Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskri-minasi Rasial (Conve ntion on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination/ CERD). Konvensi Internasional ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui resolusi nomor 2106 (XX) pada tanggal 21 Desember 1965 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965. Pasal 5 huruf e (iv) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial memberikan mandat kepada Negara anggota untuk melarang dan menghapuskan semua bentuk diskrimnasi rasial serta menjamin hak setiap orang, terutama menikmati hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, khususnya hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, perawatan medis, jaminan sosial dan pelayanan pelayanan sosial.

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang untuk mempero-lehnya, sehingga tidak diperbolehkan adanya diskriminasi. Hal ini dinyatakan di dalam Pasal 12 dan 14 Konvensi Internasional Pengha-pusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Konvensi ini diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Pasal 12 menyatakan bahwa: a. Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang

tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang pemeliharaan kesehatan dan supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Page 131: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

122| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

b. Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1) ini, negara-negara peserta wajib menjamin kepada perempuan pelayanan yang layak berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa sesudah persalinan, dengan memberikan pelayanan cuma-cuma dimana perlu, serta pemberian makanan bergizi yang cukup selama kehamilan dan masa menyusui. Sedangkan Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa: Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan, dan menjamin bahwa mereka ikut serta dalam dan mengecap manfaat dari pembangunan pedesaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya menjamin kepada perempuan pedesaan hak : a. untuk berpartisipasi dalam perluasan dan implementasi peren-

canaan pembangunan di segala tingkat. b. untuk memperoleh fasilitas pemeliharaan kesehatan yang

memadai, termasuk penerangan, penyuluhan dan pelayanan dalam keluarga berencana.

c. untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial.

Kepedulian terhadap kesehatan juga dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang telah mendunia, setidaknya dilakukan di Kha-zaktan maupun Bangladesh. Deklarasi tentang Pelayanan Kesehatan (Declaration of Primary Health Care) yang dicetuskan di Alma-Ata, Khazaktan pada tahun 1978 mengenalkan untuk per-tama kali slogan Health for all. Deklarasi Alma-Ata tahun 1978 muncul sebagai tonggak utama abad ke-20 di bidang kesehatan masyarakat, dan ini mengi-dentifikasi perawatan kesehatan primer sebagai kunci pencapaian tujuan Kesehatan untuk Semua.

Di dalam deklarasi tersebut juga ditegaskan peran Negara untuk melindungi dan mempromosikan kesehatan yaitu dengan memberikan hak kesehatan kepada masyarakatnya berupa penyediaan makanan dan gizi yang berkecukupan, air bersih dan sanitasi untuk kesehatan lingkungan, pelayanan ibu dan anak, imunisasi, pengobatan dan penyediaan obat dan penyediaan program pendidikan kesehatan serta

Page 132: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |123

penyediaan pelayanan kesehatan primer. Gerakan tentang kepedulian kesehatan juga dilakukan oleh Majelis Kesehatan Rakyat (People’s Health Assembly) yang telah menelurkan Piagam rakyat untuk kesehatan. Piagam ini dirumuskan berdasarkan pandangan rakyat dan organisasi kemasyarakatan dari seluruh dunia, dan pertama kali disetujui dan mulai disahkan pada pertemuan di Savar, Bangladesh, pada bulan Desember 2000. Piagam ini mengajak masyarakat dunia untuk mendukung penerapan hak untuk sehat, menuntut pemerintah dan organisasi internasional melaksanakan kebijakan dan meng-hormati hak untuk sehat, membangun gerakan masyarakat agar kesehatan dan HAM masuk dalam undang-undang serta melawan eksploitasi kebutuhan kesehatan rakyat.

C. RANGKUMAN MATERI Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Pernyataan ini telah

dikuatkan dalam berbagai ketentuan baik nasional maupun interna-sional. Secara nasional, diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Republik Indo-nesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Sedangkan dalam tataran internasional, bidang kesehatan juga diatur dalam berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women), Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 (Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965), dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya (International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights), serta Deklarasi Alma-Ata, Khazaktan tahun 1978 tentang Pelayanan Kesehatan (Declaration of Primary Health Care). Keseluruhan ketentuan di bidang kesehatan tersebut telah sinkron dengan semangat pelindungan, pemenuhan, dan penghor-

Page 133: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

124| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

matan hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal Declaration of Human Rights/UDHR).

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Jelaskan keterkaitan hak asasi manusia dengan kesehatan. 2. Sebutkan dan jelaskan pengaturan nasional hak asasi manusia

bidang kesehatan. 3. Masalah kesehatan juga bukan hanya terkait HAM nasional, mel-

ainkan juga berkaitan dengan standar internasional bidang HAM. Jelaskan keterkaitan tersebut.

4. Mengapa kondisi sehat dikatakan sebagai hak asasi manusia, jel-askan.

5. Saat ini pelayanan kesehatan seringkali menjadi permasalahan bagi masyarakat menengah ke bawah pada umumnya, seperti adanya beberapa kasus dan keluhan kepada rumah sakit atau petugas kesehatan. Bagaimana mengatasi permasalahan tersebut menurut Saudara.

Page 134: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |125

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan artikel ilmiah Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif.

Jakarta: Rajawali. Sri Mamuji dkk. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum.

Jakarta: BP Fakultas Hukum UI. Slamet Yuswanto. 2017. Korelasi HKI dengan HAM, Perspektif

Kesehatan. Majalah Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2017.

Laman Agus Suntoro. Kisah Bayi Debora dan Pentingnya Implementasi Hak

atas Kesehatan dalam http://megapolitan.kompas.com/read/ 2017/09/13/22582741/kisah-bayi-debora-dan-pentingnya-implementasi-hak-atas-kesehatan. Diakses pada tanggal 19 Februari 2018.

drh. Chaidir, MM. 2012. Mens Sana in corpore sano dalam http://drh.chaidir.net/kolom/260-Mens-Sana-In-Corpore-Sano.html. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

M. Rizki. Komnas HAM Selidiki Kasus Dugaan Pembuangan Pasien dalam https://nicedefault. blogspot.co.id/2017/04/contoh-kasus-pelanggaran-ham-tema_29.html. Diakses pada tanggal 20 Februari 2018.

dr. Nengah Adnyana Oka M., M.Kes. 2012. Masalah Kesehatan Masyarakat di Indonesia dalam https://aaknsional. wordpress. com/2012/03/12/masalah-kesehatan-masyarakat-di-Indonesia. Diakses pada tanggal 17 Februari 2018

Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH. Aspek Perlindungan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan Dan Kedokteran dalam https://fh.umj.ac.id/aspek-perlindungan-hukum-dalam-pelayanan-kesehatan-dan-kedokteran. Diakses pada tanggal 20 Februari 2018.

Page 135: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

126| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

--------https://nasional.tempo.co/read/834961/kemenkes-nusantara-sehat-berhasil-mempromosikan-kesehatan. Diakses pada tanggal 17 Februari 2018.

--------https://metro.tempo.co/read/877349/kota-bekasi-gelontorkan-rp-100-miliar-untuk-kartu-sehat. Diakses pada tanggal 17 Februari 2018.

-------WHO called to return to the Declaration of Alma-Ata dalam http://www.who.int/social_ determinants/tools/multimedia/alma_ata/en. Diakses pada tanggal 28 Februari 2018.

-------Deklarasi Kesehatan Dunia-People Health Movement dalam http://www.phmovement.org/sites/ www.phmovement.org/files/phm-pch-indonesian.doc. Diakses pada tanggal 28 Februari 2018.

-------Visi, Misi dan Program Aksi Jokowi-JK 2014 dalam https://abbah.yolasite.com/resources/ VISI%20DAN%20MISI%20JOKOWI%20JK.pdf. Diakses pada tanggal 17 Februari 2918.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia/DUHAM (Universal

Declaration of Human Rights/UDHR). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 Tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional

Page 136: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |127

Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4557).

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)506344

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5606).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922).

Page 137: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

128| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Deklarasi Alma-Ata, Khazaktan tahun 1978 tentang Pelayanan Kesehatan (Declaration of Primary Health Care).

Piagam rakyat untuk kesehatan dari Majelis Kesehatan Rakyat (People’s Health Assembly) Desember 2000, Savar, Bangladesh.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 564/MENKES/SK/VI II/2006 tanggal 2 Agustus 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga.

Page 138: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |129

PROFIL PENULIS

Slamet Yuswanto, mulai meniti karir sebagai PNS di Ditjen Hak Cipta, Paten dan Merek (sekarang bernama Ditjen Kekayaan Intelektual) Keme-nterian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesi sejak tahun 1991 sampai dengan 2013. Melengkapi karirnya, Slamet Yuswanto berkarya di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Nusa Tenggara Barat sebagai Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM (Des 2013 – Agustus

2015) dan pada periode September 2015 - Desember 2016 alih tugas ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara dengan jabatan yang sama. Selanjutnya mendedikasikan diri sebagai Widyaiswara Ahli Utama pada Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan HAM. Pendidikan Tinggi yang diperoleh yaitu S1 Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro pada tahun 1989 dan di Universitas yang sama pada tahun 2002 memperoleh S2 Hukum dengan spesialisasi Hukum Ekonomi dan Teknologi. Selama bekerja, juga pernah menjadi dosen STIE Insan Pembangunan Tangerang, dosen Fakultas Hukum pada Universitas 45 dan Universitas Al Azhar di Mataram. Berbagai forum nasional maupun internasional telah diikuti antara lain Short Course on IP di University of Technology Sydney, Australia pada tahun 1999, Semimar on IP enforcement di Singapura pada tahun 2004, JICA Counterpart for WIPO Training Course on IP Administration di Jepang pada tahun 2007, Seminar on HRD of IP Office di Seoul pada tahun 2013. Saat ini aktif menulis di beberapa jurnal maupun majalah ilmiah. Sedangkan buku yang sudah diterbitkan yaitu “Memahami Paten” dan “Merek Nafas Waralaba.”

Page 139: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

130| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 140: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |131

Page 141: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 7 PERBUATAN MELANGGAR HUKUM DALAM PERKARA

MEDIS Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H. Fakultas Hukum UNS Solo A. PENDAHULUAN

Meningkatnya perkara kesehatan/ medis antara pasien dengan tenaga medis disebabkan oleh perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi yang semakin baik sehingga pasien atau keluarga pasien semakin sadar dan memahami akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan jasa medis/pelayanan jasa kesehatan. Kalau melihat keda-lam peraturan perundangan mengenai kesehatan yang ada di Indo-nesia, di dalam peraturan perundangan tersebut mengatur mengenai hak-hak pasien dalam memperoleh pelayanan jasa kesehatan serta mengatur juga mengenai kewajiban tenaga kesehatan/ medis dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan. Dalam upaya mencari keadilan

Page 142: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |133

terhadap perkara medis, pasien atau keluarga pasien dan tenaga medis, dapat menempuh melalui dua jalur yaitu: jalur peradilan dan jalur non-peradilan. Jalur peradilan ditempuh dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan jalur non-pera-dilan ditempuh melalui penyelesaian di luar peradilan. Dalam perkara medis jika para pihak menempuh penyelesaian di luar peradilan, biasanya meng-unakan cara mediasi. Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu putusan hakim. Putusan hakim atau disebut juga dengan istilah putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara guna menyelesaikan perkara diantara mereka dengan sebaik-baiknya, sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang berperkara mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi

Untuk dapat memberikan putusan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim sebagai aparatur negara yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, serta peraturan hukum yang menga-turnya yang akan diterapkan, baik peraturan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis (Makarao, 2004:124). Upaya hukum untuk mencari keadilan dibidang perkara medis berdasarkan Undang-Undang Republik Indo-nesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat ditempuh dari Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Banding sampai ke Mahkamah Agung. Membahas mengenai perkara medis, para penggugat tidak boleh meninggalkan apa yang menjadi alasan pokok suatu gugatan atau biasa disebut dasar/alas gugatan. Dalam perkara medis yang melibatkan pasien dan tenaga medis, penggugat dapat mengajukan gugatan dengan dasar/alas gugatan wanprestasi dan dasar/alas gugatan perbuatan melawan hukum atas kelalaian tenaga medis dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan, dalam hal ini para penggugat merasa bahwa dalam memberikan pelayanan jasa kese-hatan telah terjadi sebuah kelalaian sehingga menimbulkan kerugian yang nyata bagi penggugat. Gugatan yang diajukan oleh penggugat

Page 143: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

134| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

sering kali kandas ditengah jalan karena sulitnya pernbuktian. Dalam hal ini pihak tenaga medis akan membela diri dan mempertahankan haknya dengan mengemukakan alasan bahwa tindakannya dalam memberikan pelayanan jasa kesehatan sudah sesuai dengan etika standar profesi dan hukum. Kendala lain yang dihadapi dalam pem-buktian perkara medis adalah karena pembuktiannya melibatkan dua ilmu pengetahuan yaitu ilmu kesehatan dan ilmu hukum, sehingga diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap dua ilmu tersebut. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis hendak menuliskan tafsir perbuatan melawan hukum dalam perkara medis baik dari sisi teoritis maupun praktik contoh yang bersumber dari Putusan Mahkamah Agung terkait perbuatan melanggar hukum dalam perkara medis.

B. PENGERTIAN DAN BENTUK PERKARA MEDIS Membahas mengenai perkara medis sampai dengan saat ini belum

ada definisi yang pasti mengenai apa itu perkara medis, namun Nasser dalam makalahnya menyebutkan bahwa perkara medis adalah perkara yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kese-hatan atau antara pasien dengan rumah sakit atau fasilitas kesehatan (Nasser, 2011:2). Biasanya yang diperperkarakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan jasa kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya. Dalam Pasal 66 ayat (1)Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, secara implisit dika-takan bahwa perkara medis adalah perkara yang terjadi karena kepe-ntingan pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Dengan demikian maka perkara medis merupakan perkara yang terjadi antara pengguna pelayanan jasa medis dengan pelaku pelayanan jasa medis dalam hal ini antara pasien dan dokter berikut sarana kesehatan. Dalam literatur disebutkan bahwa perkara medis dapat timbul karena: 1. Malpraktek Medis

Kata malpraktik berasal dari kata ‘mala’, berarti buruk dan ‘praktik’, berarti pelaksanaan profesi. Menurut Coughlin's Dictionary of Law dikutip oleh Wulandari (Wulandari, 2010:2)

‘Malpractice is professional misconduct on the part of a professional person, such as physician, engineer, lawyer, accountant,

Page 144: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |135

dentist, and veterinarian. Malpractice may be the result of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of professional duties; intentional wrong doing or illegal or unethical practice’.

Terjemahan bebasnya bahwa malpraktik adalah sikaptindak profe-sional yang salah dari seorang profesional, seperti dokter, insinyur, sarjana hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan. Malpraktik bisa sebagai akibat ketidaktahuan, kelalaian, atau kekurangan pengetahuan atau kesetiaan dalam pelaksanaan tugastugas profesional; kesalahan berbuat yang disengaja atau praktik yang tidak etis.

Guwandi dalam bukunya merumuskan malpraktek medis adalah kelalaian dari tenaga medis untuk menerapakan tingkat keterampilan dan pengetahuannya didalam memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama. (Guwandi,2007:22). Stedman’s Medical Dictionary seperti dikutip oleh Guwandi memberikan definsi malpraktek adalah salah cara mengobati suatu penyakit atau luka, karena disebabkan sikap tindak yang acuh, sembarangan atau berdasarkan motivasi kriminil. (Guwandi,2007: 23)

Selanjutnya Black Law Dictionary merumuskan malpraktek adalah: ‘any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is

usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountans. Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in proffesional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct’

Terjemahan bebasnya adalah setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak para dokter, penga-cara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar didalam masyarakatnya, sehingga mengaki-

Page 145: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

136| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

batkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk didalamnya setiap sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar ataau kekurang hati-hatian atau sikap tindak ilegal atau sikap tindak tindak bermoral.

Selanjutnya World Health Organization (WHO) sebagaimana dikutip oleh Hanafiah dan Amir merumuskan definisi malpraktek medis sebagai berikut ‘medical malpractice involves the physician’s failure to conform the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury, often resulting in injury, loss, or damage to someone’. (Hanafiah; Amir, 2007:98)

Terjemahan bebasnya adalah: malpraktek dokter termasuk kegagalan tenaga medis dalam menjalankan standar pelayanan jasa medis kepada pasien (dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi pasien), atau kurangnya keahlian, atau kelalaian dalam memberikan pelayanan jasa medis kepada pasien yang mana menyebabkan luka (injury), kerugian, atau kerusakan pada seseorang.

Hyat seperti dikutip oleh Komalawati (Komalawati, 1989:98) berpendapat bahwa kriteria malpraktek oleh dokter adalah (a) Kegagalan dokter atau ahli bedah mengerahkan dan menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya sampai pada tingkat yang wajar, seperti biasanya dimiliki para rekannya dalam melayani pasien; (b) Atau kegagalannya dalam menjalankan perawatan serta perhatian (kerajinan, kesungguhan) yang wajar dan lazim dalam pelaksanaan keterampilannya serta penerapan pengetahuannya; (c) Atau kegagalannya dalam mengadakan diagnosis terbaik dalam mena-ngani kasus yang dipercayakan kepadanya; dan (d) Atau kegagalannya dalam memberikan keterampilan merawat serta perhatian yang wajar dan lazim seperti biasanya dilakukan oleh para dokter atau ahli bedah di daerahnya dalam menangani kasus yang sama.

Mendasarkan beberapa definsi dan pengertian malpraktek tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktek medis apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

Page 146: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |137

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga medis;

b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban;

c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundangan, kode etik tenaga medis, dan standar pelayanan jasa medis.

d. Menimbulkan luka (injury), dan kerugian sebagai akibat dari perbuatannya.

2. Kecelakaan Medis (Medical Mishap, Medical Accident)

Merry dan Smith merumuskan kecelakaan sebagai suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tidak disengaja. Namun demikian tentunya tidaklah semua ‘tindakan yang tak disengaja’ ter-masuk perumusan kecelakaan, karena tindakan kelalaianpun dilakukan tidak dengan sengaja. Dalam kelalaian medis seorang tenaga medis dapat dipersalahkan sedangkan dalam kecelakaan medis tidak dapat dipersalahkan. (Merry dan Smith, 2003:226). Tidak dapat dipersa-lahkannya perbuatan ‘kecelakaan medis’ tentunya harus memenuhi tolak ukur Etik Kedokteran dan Standar Profesi Medis sehingga dapat dikategorikan sebagai bukan tindakan kelalaian medis. Seperti misalnya kasus kecelakaan medis adalah kasus Roe v Minister of Health [1954] 2 WLR 915 Court of Appeal, di mana kasus posisinya,

‘Two claimants had been given an anaesthetic for minor operations. The anaesthetic had been contaminated with a sterilising fluid. This resulted in both claimants becoming permanently paralysed. The anaesthetic had become contaminated during storage. The anaesthetic was stored in glass ampoules which were emerged in the sterilising fluid. It transpired the ampoules had minute cracks which were not detectable with human eye. At the time it was not known that the anaesthetic could be contaminated in this way and the hospital followed a normal procedure in storing them this way’. Kasus ini kemudian mendapatkan putusan yang mengejutkan bahwa ‘There was no breach of duty. The risk was not foreseeable as it was an unknown risk at the time. so the defendant was found not negligent’

Page 147: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

138| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

3. Kelalaian Medis Istilah kelalaian medis adalah terjemahan dari bahasa Inggris‘-

medical negligence’, yang dalam bahasa Belanda disebut ‘medische nalatigheid/ medische onachtzaamheid’. Unsur utama kelalaian medis adalah adanya unsur kelalaian, dimana Hoge Raad dalam Arrest-nya tanggal 3 Februari 1913 merumuskan kelalaian sebagai sifat kurang hari-hati, kurang waspada atau kelalaian tingkat kasar (Een min of meer grove aanmerkelijke onvoorzichtigheid of nalat-igheid).

Kelalaian dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, dalam hal ini mengandung pengertian bahwa selama dari akibat kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau karena hal-hal yang menyangkut sepele, maka tidak ada hukum apa-apa. Prinsip ini dikenal dengan adagium ‘de minimis not curax lex, the law not concern itself with trifles’. Hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkatan tertentu bahkan sampai kepada tingkatan merugikan orang lain dan membahayakan keselamatan jiwa orang lain, maka kelalaian in bisa berubah menjadi serius dan dikatakan sebuah perbuatan kriminal. (Guwandi, 2007:29-31).

Leenen sebagaimana dikutip oleh Guwandi menyatakan bahwa seorang tenaga medis harus bekerja menurut norma ‘medische professionele standard’ yaitu: bertindak dengan teliti dan hati-hati menurut ukuran standar medis dari seorang tenaga medis dengan kepandaian rata-rata dari golongan yang sama dengan menggunakan cara yang selaras dalam perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut (Guwandi, 2007:32). Dari pendapat Leenen tersebut, seharusnya tenaga medis dalam menjalankan tanggungjawab dalam pelayanan jasa medis harus senantiasa selalau berhati-hati, bersikap tidak sembrono dan selalu berpedoman kepada kode etik tenaga medis dan standar pelayanan jasa medis, agar terhindar dari kesalahan dan kelalaian medis.

Pada prinsipnya jika tenaga medis didalam melakukan pelayanan jasa medis melakukan sebuah kelalaian medis, yang mana akibat kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau karena hal-hal yang menyangkut sepele, maka tidak

Page 148: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |139

ada hukum apa-apa. Prinsip ini dikenal dengan adagium ‘de minimis not curax lex, the law not concernitself with trifles’. Hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Namun jika akibat kelalaian tersebut sampai menimbulkan kerugian dan bahkan sampai menyebabkan hilangnya nyawa seseorang, maka kelalalaian itu disebut dengan kelalaian berat (culpa lata), dan bisa dimintakan pertang-gungjawaban perdata. Dalam literatur disebutkan bahwa tolak ukur culpa lata (kelalaian dalam tingkat berat) adalah:

a. Bertentangan dengan hukum; b. Akibatnya dapat dibayangkan; c. Akibatnya dapat dihindarkan; d. Perbuatannya dapat dipersalahkan.

Jika melihat kedalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan/ medis di Indonesia memang menyebutkan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya, namun sayangnya peraturan perundang-undangan sendiri tidak menjelaskan mengenai rumusan/definisi kelalaian dan unsur kelalaian secara terperinci.

Dalam tradisi Civil Law, seperti di Indonesia, jika terdapat gugatan medis yang didalamnya membahas unsur kelalaian tenaga medis, maka Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan undang-undang tidak ada atau tidak jelas. Hakim harus menemukan hukumnya, ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding) terhadap perkara yang datang kepadanya. Hakim didalam merumuskan definisi kelalaian medis, harus berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara. Hakim dapat menggunakan penafsiran hukum dari berbagai sumber hukum, baik sumber hukum materiil maupun sumber hukum formil, yaitu KUH Perdata, peraturan perundang-undangan dalam bidang medis, doktrin-doktrin hukum medis yang sering dipakai, kode etik profesi medis, standar pelayanan jasa medis dan SEMA

Hal ini berbeda dengan sistem Common Law, dimana rumusan mengenai medical negligence sudah sedemikian jelas, disebutkan bahwa dalam hal terdapat sebuah medical negligence yang dilakukan

Page 149: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

140| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

tenaga medis, maka setidaknya harus dipenuhi lima unsur (Owen, 2007:1674) yaitu, a. Adanya kewajiban untuk memberikan perawatan (Duty of Care); b. Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap

kewajiban (Breach of duty); c. Adanya hubungan sebab-akibat yang nyata, yaitu kerugian yang

diderita oleh penggugat (pasien) akibat kelalaian tergugat (tenaga medis) (Cause in fact);

d. Adanya sebab-akibat yang dapat dikira-kira (Proximate cause); e. Adanya derita, kerugian, kerusakan (Harm/damage).

C. DASAR GUGATAN PERKARA MEDIS Sengketa medis yang melibatkan pihak penggugat dan tergugat,

biasanya akan ditempuh melalui jalur peradilan, dimana para pihak yang bersengketa akan mencari keadilan dan kepastian hukum. Dasar/ alas gugatan dalam perkara medis pada umumnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Gugatan Wanprestasi

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUH Perdata, dikenal adanya dua macam perjanjian (Nasution, 2005: 13), yaitu: a. Inspanningsverbintenis, yaitu perjanjian upaya, artinya kedua

belah pihak/para pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.

b. Resuultaatverbintenis, yaitu suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resuultaat atau suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan

Pada umumnya sifat perjanjian yang dibuat antara tenaga medis dengan pasien adalah ‘inspanningsverbintenis’, artinya hubungan hukum ‘inspanningsverbintenis’ ini tidak menjanjikan sesuatu (kesembuhan atau kematian), karena obyek dari hubungan hukum itu berupa upaya tenaga medis yang maksimal berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. Dalam hubungan kontraktual antara pasien dengan dokter, biasanya dibuat dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan nama perjanjian terapeutik. Mengutip pendapat Komalawati

Page 150: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |141

(Komalawati, 1999:139,155) bahwa perjanjian terapeutik tunduk kepada Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya sebuah perjanjian dan tunduk kepada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/ III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik adalah sebagai berikut:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden)

b. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan)

c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) d. Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak)

Sebagaimana juga disebutkan dalam pasal 1338 KUH Perdata bahwasanya ‘semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mem-buatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.’ Dari pasal 1338 KUH Perdata terkandung asas-asas hukum dalam melaksanakan perjanjian, di mana salah satu asas itu adalah asas itikad baik. Dewasa ini asas itikad baik (good faith) mempunyai dimensi pengertian yang sudah semakin luas, disebutkan bahwa Hoge Raad dalam Arrest-nya tanggal 9 Februari 1923 seperti dikutip oleh Jenie bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan ‘Volgens de Eisen Van Redelijkheid en Billijkheid’ (semua perjanjian harus dilaksanakan dengan didasarkan kepada semua hal yang ditangkap baik dengan intelek maupun dengan perasaan) (Jenie, 2007:161)(Oughton dan Davis, 2000:161).

Dalam perjanjian yang dibuat antara tenaga medis dan pasien, tentunya menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, namun dalam pelaksanaannya, perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat berjalan dengan tidak baik, sehingga muncul apa yang disebut dengan wanprestasi. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk (Subekti, 1990: 45). Yahya

Page 151: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

142| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Harahap merumuskan wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali (Harahap, 1986: 60). Rutten seperti dikutip Rosa Agustina merumuskan wanprestasi adalah spesies dari genus perbuatan yang melawan hukum yaitu mengenai pelanggaran terhadap hak subjektif (Agustina, 2003: 33). Dengan perkataan lain wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum adalah merupakan ‘Lex specialis derogat legi generali’.

Dalam suatu perjanjian apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi atau melaksanakan secara sempurna apa yang diperjan-jikannya, maka yang melanggar perjanjian tersebut dinyatakan telah melakukan wanprestasi, akan tetapi apabila tidak dipenuhi secara sempurna prestasi tersebut oleh salah satu bukan sematamata disebabkan karena kesalahannya, misalnya karena terjadi force majeure (overmacht), maka tidak dapat dikatakan wanprestasi. Wanprestasi dalam perkara medis timbul sebagai akibat tidak terpenuhinya prestasi dari sebuah perjanjian yang dibuat antara tenaga medis dengan pasien. Didalam menentukan ada dan tidaknya unsur kelalaian dalam perbuatan wanprestasi terhadap perjanjian medis, selain harus didasarkan kepada sah atau tidaknya perjanjian medis yang dibuat tenaga medis dan pasien, setidaknya dalam gugatan juga harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatan tenaga medis tersebut tidak memberikan prestasi dari

apa yang diperjanjikan para pihak. b. Perbuatan tenaga medis telah melanggar asas-asas hukum dalam

perjanjian, khususnya pelanggaran terhadap asas itikad baik. c. Perbuatan tenaga medis melanggar kode etik profesi dan

kewajiban pemenuhan standar pelayanan jasa medis. d. Adanya hubungan kausal antara kelalaian tenaga medis dengan

kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian tersebut. e. Adanya kerugian nyata yang diderita oleh pasien.

2. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum merupakan istilah yang diterje-mahkan dari bahasa Belanda, yaitu onrechtmatigedaad, yang dalam

Page 152: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |143

sistem Common Law dikenal dengan istilah the law of tort atau unlawful act (Agustina, 2003:6,76). Dalam KUH Perdata tidak ada satu pasalpun yang menjelaskan mengenai definsi dari perbuatan melawan hukum, akan tetapi dalam KUH Perdata hanyalah menyebutkan unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum.

Dalam pasal 1365 KUH Perdata disebutkan bahwa: Tiap per-buatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dalam sejarahnya ketentuan perbuatan melawan hukum yang tercantum dalam 1365 KUH Perdata (Pasal 1401 BW Belanda) berasal dari Pasal 1382 Code Civil Perancis yang berbunyi:

‘Tout fait quelcongue de L’homme, qui cause un dommage, oblige celui par la faute duquel il est arrive, a le reparer’(‘Any act whatever of manwhich causes damage to another obliges him by whose faultit occurred to make reparation’)

Teks pasal 1401 BW Lama/BW Belanda berbunyi : ‘Elke onre-chtmatigee daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebracht, stelt dengene door wiens. Schuld die schade veroorzaakt is in deverpligting om dezel ve tevergoeden’

Hoffman sebagaimana dikutip oeleh Rosa Agustina (Agustina, 2003:36)(Sapardjaja,2002:34) menerangkan bahwa untuk adanya suatu perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur, yaitu: a. Er moet een daad zijn verricht (Harus ada yang melakukan

perbuatan); b. Die daad moet onrechtmatig zijn (Perbuatan itu harus melawan

hukum); c. De daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht

(Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian pada orang lain); d. De daad moet aan schuld zijn te wijten (Perbuatan itu karena

kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya).

Sebelum tahun 1919, Hoge Raad berpendapat dan menafsirkan perbuatan melawan hukum secara sempit, dimana perbuatan melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang telah dianut oleh undang-undang. Pendapat tersebut

Page 153: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

144| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

terlihat dalam Pendapat Hoge Raad dalam Arrest-nya tanggal 18 Februari 1853 mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:

‘Menimbang, bahwa dari hubungan satu dengan lainnnya dan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata masing masing kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa sesuatu perbuatan dapat berupa perbuatan yang rechtmatig dan dibolehkan, dan sipencipta sekalipun demikian karenanya harus bertanggungjawab, bilamana ia dalam hal itu telah berbuat tidak berhati-hati’

Pada waktu itu dianut pendirian bahwa onrechtmatige adalah onwetmatig, yang berarti bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap melawan hukum (onrechtmatige) bilamana perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersangkutan (Djodjodirdjo, 1979:28). Ajaran sempit tersebut sebenarnya berten-tangan dengan doktrin yang dikemukakan oleh para sarjana waktu itu, antara lain Molengraaff yang menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak hanya melanggar undang-undang, akan tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan.

Pendirian sempit dari Hoge Raad tentang arti perbuatan melawan

hukum berlangsung sampai tahuun 1919, antara lain dapat diliat pada Arrest tanggal 6 Januari 1905 mengenai mesin jahit merek Singer dan Arrest tanggal 10 Juni 1910 tentang pipa air ledeng. Pada tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas, Ajaran luas tersebut ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen, dimana Hoge Raad berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar: a. Hak Subjektif Orang Lain.

Menurut Meiyers seperti dikutip oleh Setiawan bahwa hak subjektif menunjuk kepada hak yang diberikan oleh hukum kepada seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya, atau melanggar wewenang khusus yang diberikan oleh hukum kepada seseorang (Setiawan, 1982:17). Yurisprudensi memberi arti hak subjektif sebagai berikut :

Page 154: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |145

• Hak-hak perseorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik;

• Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan dan hak mutlak lainnya;

Suatu pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain meru-pakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu secara langsung melanggar hak subjektif orang lain, dan menurut pandangan dewasa ini disyaratkan adanya pelanggaran terhadap tingkah laku, berdasarkan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang seharusnya tidak dilanggar oleh pelaku dan tidak ada alasan pembenar menurut hukum.

b. Kewajiban hukum pelaku Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang berda-

sarkan hukum, baik tertulis mapun tidak tertulis c. Kaidah kesusilaan.

Yaitu bertentangan dengan norma norma moral, sepanjang dalam kehidupan masyarakat diakui sebagai norma hukum. Utrecht sebagaimana dikutip Agustina menulis bahwa yang dimaksudkan kesusilaan ialah semua norma yang ada didalam kemasyarakatan, yang tidak merupakan hukum, kebiasaan atau agama (Agustina, 2003:39).

d. Kepatutan dalam masyarakat. Bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas

masyarakat terhadap diri dan orang lain. Dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti apa yang menurut masyarakat patut dan layak. Yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah:

• Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;

• Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarakan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.

Selanjutnya dalam Pasal 1366 KUH Perdata disebutkan bahwa Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang

Page 155: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

146| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Dalam ruang lingkup keperdataan istilah dari kesalahan (schuld) juga digunakan dalam arti kealpaan/ kelalaian (onachtzaamheid/ nalati-gheid) sebagai lawan dari kesengajaan. Dimana kesalahan (schuld) dalam arti luas mencakup kealpaan/kelalaian (kesalahan dalam arti sempit) dan kesengajaan, sehingga dalam ruang lingkup hukum perdata unsur kelalaian dan unsur kesalahan mempunyai pertanggungjawaban hukum yang sama. Dalam penafsiran yang lebih teoritik, kesalahan (schuld) sebagai kelalaian/kealpaan maupun kesalahan sebagai kese-ngajaan sebagai salah satu unsur melawan hukum (onrechtmatigee daad) dalam hukum perdata tidak perlu dibedakan, karena pertang-gungan-gugatnya sama. Pada titik kesimpulan dapat dikatakan bahwa dalam pasal 1365 maupun pasal 1366 KUH Perdata terkan-dung prinsip ‘liability based on fault’ atau ‘schuld aansprakeli-jkheid’, di mana fault/schuld (kesalahan) dalam perdata tidak dibe-dakan apakah itu kesalahan (fault/schuld) sebagai kelalaian/ kealpaan maupun kesalahan sebagai kesengajaan. Hal ini diperkuat juga dengan pendapat Van de Mijn sebagaimana dikutip oleh Guwandi yang menyatakan bahwa ‘Berlainan halnya dengan hukum pidana, maka didalam tanggungjawab Hukum perdata, masalah kesalahan/kelalaian bukanlah merupakan sesuatu yang menentukan. Untuk kesalahan kecilpun sudah dapat dimintakan pertanggungjawaban’ (Guwandi, 2007:42).

Dengan mendasarkan pada penafsiran yang luas (extended interpretation) terhadap ketentuan pasal 1365 dan pasal 1366 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum dan rumusan kelalaian secara umum, maka rumusan kelalaian sebagai perbuatan melawan hukum dalam perkara medis setidaknya harus memenuhi unsur: a. Adanya sikap tidak hati-hati/ceroboh/lalai dari tenaga medis

dalam menjalankan tugasnya memberikan pelayanan jasa medis sehingga melanggar hak subjektif dari pasien; Dalam memberikan pelayanan jasa medis, tenaga medis seharusnya menerapkan sikap yang teliti, hati-hati, tidak sembrono dan penuh kesadaran, mengingat pelayanan jasa medis yang diberikan menyangkut hidup dan mati seseorang. Sifat tidak berhati-hati dalam mem-berikan pelayanan jasa medis sehingga melanggar hak subjektif

Page 156: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |147

pasien dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 57 K/Pdt/2006 tanggal 7 September 2006, perkara antara Dr. Warhdani, SP.THT (Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I/Pemban-ding) melawan Shanti Marina (selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding) dan Rumah Sakit Puri Cinere (selaku turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II/turut Terbanding).

b. Adanya pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap kewajiban hukum tenaga medis, kode etik tenaga medis dan standar pelayanan jasa medis; Dalam menjalankan tugasnya, setiap medis harus tetap berpegangan kepada kewajiban hukum tenaga medis, kode etik tenaga medis dan standar pelayanan jasa medis untuk menghindarkan dari perbuatan lalai.

Pelanggaran kewajiban hukum tenaga medis, kode etik tenaga medis dan standar pelayanan jasa medis dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No. 352 PK/Pdt/2010 tanggal 1 November 2010, perkara antara Pemerintah Republik Indonesia. cq. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. cq. Direktur Utama Rumah Sakit Umum Dr. Mohammad Hoesin Palembang (selaku pemohon PK/dulu termohon Kasasi/ Tergugat/ Terbanding) melawan Abuyani bin Abdul Roni (selaku termohon PK/dulu Pemohon Kasasi/ Penggugat/ Pembanding). Dimana Pemohon mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung No.1752 K/Pdt/2007 tanggal 20 Februari 2008 yang telah berkekuatan hukum tetap.

c. Adanya hubungan sebab akibat secara langsung, antara kerugian yang diderita oleh penggugat (pasien) dengan kelalaian tergugat (tenaga medis); Sebagaimana diketahui bahwa dalam KUH Perdata dikenal ajaran Adequate Veroorzaking yaitu bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Dasar untuk menetukan perbuatan yang seimbang adalah penghitungan yang layak Untuk menggugat adanya perbuatan melawan hukum dalam perkara medis, syarat adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) dalam hal terjadinya kerugian yang diderita oleh penggugat (pasien) sebagai akibat dari kelalaian tergugat (tenaga medis) harus

Page 157: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

148| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

terpenuhi. Hubungan sebab akibat (kausalitas) adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dan menjadi kesatuan.

Pengertian dari syarat ini adalah bahwa sebuah gugatan dalam perkara medis harus menyebutkan telah terjadinya sebuah kerugian yang nyata sebagai akibat langsung dari perbuatan lalai seorang tenaga medis (kalau benar ada kelalaian).

Kalau ada suatu perbuatan tetapi tidak menimbulkan suatu kerugian maka syarat ini tidak terpenuhi, atau kalau ada suatu perbuatan dan ada suatu kerugian namun antara perbuatan dan kerugian tidak ada hubungan sebab akibat yang langsung/nyata maka syarat inipun tidak bisa terpenuhi. Dalam gugatan perkara medis yang sering diajukan oleh para penggugat di Indonesia, syarat ini banyak tidak terpenuhi.

Hal ini tercermin dari putusan Putusan MA No.46 K/Pdt/ 2006 tanggal 15 Mei 2009, perkara antara Abraham Lodewyk Tahapary (selaku Pemohon Kasasi/ dahulu Penggugat/ Pemban-ding) melawan PT Siloam Healthcare, Tbk cq. Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci (selaku termohon kasasi I); dr. Rudi Hartanto (selaku termohon kasasi II); dr. Nanda Romli (selaku termohon kasasi III); dr. Rizal S. Pohan (selaku termohon kasasi IV).

d. Adanya kerugian nyata yang diderita oleh pasien. Kerugian akibat perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugian kekayaan (vermogensschade) atau dapat berupa kerugian yang bersifat idiil/moril yang berupa ketakutan, terkejut, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup. Dalam Arrestnya 2 Februari 1912, Hoge Raad dengan tegas menyatakan bahwa pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti baik kerugian yang diderita maupun keuntungan yang akan diperoleh.

Dalam memberikan batasan hukum mengenai unsur kerugian

dalam perkara medis, Putusan Mahkamah Agung mensyaratkan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif sebagai berikut: a. Adanya ‘kerugian nyata’ yang diderita pasien akibat kelalaian

medis yang dilakukan tenaga medis.

Page 158: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |149

‘Kerugian nyata’ disini adalah sebagai suatu kondisi tubuh baik secara fisik maupun secara mental menurun, berubah dan atau tidak normal lagi, kehilangan kemampuan untuk menikmati kesenangan hidup, dan gangguan permanen atau hilangnya fungsi dari tubuh sebagai akibat dari perbuatan lalai tenaga medis.

Hal tersebut dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Agung No No.957 K/Pdt/2006 tanggal 7 September 2006, perkara antara Dr. Warhdani, P.THT (Pemohon Kasasi dahulu Tergugat I/Pembanding) melawan Shanti Marina (selaku Termohon Kasasi dahulu Peng-gugat/Terbanding) dan Rumah Sakit Puri Cinere (selaku turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat II/turut Terbanding).

b. ‘Kerugian nyata’ yang diderita pasien disini, harus diartikan bukan sebagai akibat dari ‘resiko medis’.

Rumusan mengenai unsur ‘kerugian yang nyata’ dalam perkara medis berkaitan sangat erat dengan apa yang disebut resiko medis. Resiko medis adalah suatu resiko fisik dari pasien akibat dari pengobatan medis, terapi, pembedahan, atau obat-obatan yang akan menyakiti fisik pasien atau akan meninggalkan posisi yang lebih buruk ketika efek obat sudah mulai bekerja.

Dalam beberapa contoh perkara medis para tergugat (tenaga medis) sering menggunakan alasan ‘resiko medis’ sebagai penghindaran tanggung jawab dari unsur kelalaian yang dilaku-kannya (avoid from medical liability). Dengan mendasarkan kepada alasan ‘resiko medis’ para penggugat menyatakan kondisi pasien yang semakin memburuk/ menurun/ tidak normal lagi adalah sebagai sebuah resiko medis dari pengobatan dan bukan sebagai akibat kelalaian medis.

Namun demikian Brown dalam artikelnya menyebutkan bahwa resiko medis harus dibedakan dengan unsur ‘kerugian yang nyata’ akibat lalainya tenaga medis.

‘Medical “risk” generally takes two related forms. The first is the physical risk to patients that medical treatment, therapy, surgery, or drugs will harm them or leave them in a worse position than when they started. This risk is referenced in the goal of any physician to “do no harm. The second form of risk is financial and

Page 159: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

150| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

legal, and belongs to the healthcare provider. A patient who has been harmed may file a lawsuit. This second form of risk does not even require actual harm to have been caused, because doctors and other medical care providers may be sued regardless of whether they are truly at fault.’(Brown, 2008:324)

c. Adanya hubungan sebabakibat (hubungan kausalitas) yang langsung antara kerugian nyata yang diderita dengan perbuatan lalai dari tenaga medis.

Hubungan kausalitas antara perbuatan lalai tenaga medis dengan adanya kerugian nyata yang diderita harus dapat dibuktikan oleh pasien. Walaupun masih terdapat silang pendapat mengenai ajaran kausalitas yang mana yang paling tepat untuk digunakan dalam menentukan pertanggungjawaban seseorang, untuk saat ini ajaran Adequate Veoorzaking masih memenuhi rasa keadilan untuk menentukan pertanggungjawaban seseorang. Teori ini mengajarkan bahwa perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab dari akibat yang timbul adalah perbuatan yang seimbang dengan akibat. Adapun dasarnya untuk menentukan perbuatan yang seimbang adalah perhitungan yang layak.

Kekuatan teori ini ialah bahwa teori ini dapat dipandang dari dua sisi baik secara kenyataan maupun secara normatif. Khu-susnya setelah perang dunia, peradilan berkembang menurut cara terakhir di mana pengertian “menurut apa yang layak” sangat bermanfaat. Yang berlaku di sini ialah semua dapat diduga apabila ini sesuai dengan kebijaksanaan hakim.

d. Besaran/ Nilai gugatan ganti kerugian yang diajukan hendaknya mengikuti nilai kelayakan dan kewajaran yang normal (ex aequo et bono).

Walaupun dalam peraturan perundangundangan tidak menga-tur dan tidak membatasi mengenai besaran/jumlah/nilai ganti kerugian, namun hendaknya para penggugat dalam gugatannya menggunakan sebuah nilai kewajaran.

Dalam gugatan ganti kerugian dalam perkara medis, selain disampaikan fakta-fakta mengenai ‘kerugian nyata’ yang diderita oleh pasien, disebutkan juga jumlah/nilai besaran ganti kerugian

Page 160: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |151

yang dimintakan kepada Hakim, namun pada umumnya jumlah/ nilai besaran kerugian dalam gugatan perkara medis nampaknya tidak didasarkan pada nilai yang wajar.

Contoh yang menyebutkan tentang jumlah/nilai besaran ganti kerugian dalam gugatan perkara medis yang tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung, karena disamping unsur kelalaian/ kesalahan tenaga medis tidak terpenuhi, Mahkamah Agung menilai nilai ganti kerugian yang diajukan tidak dalam batas kewajaran dapat diketahui pada perkara antara Abraham Lodewyk Tahapary (selaku Pemohon Kasasi/ dahulu Penggugat/ Pembanding) melawan PT Siloam Healthcare, Tbk cq. Rumah Sakit Siloam Gleneagles Karawaci (selaku termohon kasasi I); dr. Rudi Hartanto (selaku termohon kasasi II); dr. Nanda Romli (selaku termohon kasasi III); dr. Rizal S. Pohan (selaku termohon kasasi IV). Pemohon Kasasi dalam gugatan ganti kerugian meminta kepada Para Termohon Kasasi untuk membayar ganti kerugian yaitu kerugian materiil sebesar Rp 1.880.000.000,- (satu milyar delapan ratus delapan puluh juta rupiah), dan kerugian immateriil sebesar Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah). Hakim dalam Putusan No. 46 K/Pdt/2006 tanggal 15 Mei 2009 tidak mengabulkan gugatan ganti kerugian Pemohon Kasasi.

D. RANGKUMAN MATERI Perbuatan melawan hukum sebagai dasar gugatan perkara medis

dapat dikualifikasikan ke dalam 4 (empat) unsur atau elemen yang harus dipenuhi secara kumulatif yaitu: (1) Adanya sifat kurang hatihati, atau sikap ceroboh dari tenaga medis dalam memberikan pelayanan jasa medis sehingga melanggar hak subjektif pasien; (2) Adanya pelang-garan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap kewajiban hukum tenaga medis, kode etik tenaga medis dan standar pelayanan jasa medis; (3) Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausal (oorzakelijk verband), antara kerugian nyata yang diderita oleh peng-gugat (pasien) dengan kelalaian tergugat (tenaga medis) secara lang-sung; dan (4) Adanya kerugian nyata yang diderita oleh pasien.

Page 161: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

152| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Sebutkan faktor-faktor yang menyebabkan perkara medis semakin

meningkat? 2. Sebutkan dan jelaskan pengertian dan bentuk-bentuk dari perkara

medis ? 3. Jelaskan alas gugat dalam perkara medis? 4. Apakah perbedaan antara kelalaian dan kesalahan dalam ruang

lingkup keperdataan? 5. Jelaskan kriteria perbuatan melawan hukum dalam perkara medis?

Page 162: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |153

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,

Bahder Johan Nasution, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta

Brown, Stephen J. Legal Trends in The Evolution of Medical Risk, AAOS Now Journal, August 2008

Campbell, Henry, Black Law Dictionary, 1979, West Publishing Co, St Paul Minn

Djodjodirdjo, M.A. Moegni , 1979, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta

Guwandi, J., 2007, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Hanafiah, Junus dan Amri Amir, 2007, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Harahap, Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian Cetakan II, Alumni, Bandung.

Jenie, Siti Ismijati, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dihadapan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar UGM tanggal 10 September 2007, tidak diterbitkan.

Komalawati, Veronica 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter Cetakan Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Komalawati, Veronika, 1999, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien): Suatu Tinjauan Yuridis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Makarao, Moh. Taufik, 2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet. I, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Merry, Alan Forbes dan Alexander McCall Smith, 2003, Errors, Medicine and The Law, Cambridge University Press, United Kingdom

Page 163: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

154| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Nasser, M. Perkara Medis dalam Pelayanan Kesehatan, Makalah disampaikan pada Annual Scientific Meeting UGM-Yogyakarta, Lustrum FK UGM, 3 Maret 2011, Yogyakarta.

Oughton, David dan Martin Davis, 2000, Sourcebook on Contract Law Second Edition, Cavendish Publishing Limited, United Kingdom.

Owen, David G.,. The Five Elements of Negligence, Hofstra Law Review, Volume 35, Nomor 4, 2007.

Sapardjaja, Komariah Emong, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, Alumni, Bandung

Subekti, 1990, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. Wulandari, Cahya, Pembuktian Pidana Kasus Malpraktek dan Kendala

Dalam Pembuktiannya, Jurnal Hukum Pandecta UNNES Volume 4, Nomor 2, Juli – Desember 2010

Page 164: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |155

PROFIL PENULIS

Nama Lengkap Dr. Sapto Hermawan, S.H., M.H. Jabatan Struktural/Fungsional IIIA/ Asisten Ahli, NIP 198009092005011001 Lahir di Wonogiri, 9 September 1980, Tempat tinggal di Perum Fajar Indah Mutiara Blok A-5, Jalan Kronggahan II, Kronggahan RT 4 RW 7, Baturan Colomadu – Surakarta 57171, Jawa Tengah. Alamat Kantor: Fakultas Hukum UNS Solo, Jurusan Hukum Administrasi, Jl. Ir.Sutami 36A Surakarta. Nomor

HP 0813288-79988, Nomor Telepon/Faks: 0271 664989, surat elektronik: [email protected].

Page 165: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

156| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 166: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM
Page 167: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 8 ASPEK HUKUM PIDANA

DALAM KESEHATAN BERKAITAN MALPRAKTIK

MEDIK Dr. Diana Haiti, S.H.M.H. Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin A. PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meni-ngkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilak-sanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindu-ngan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pemben-tukan sumber daya manusia Indonesia.

Page 168: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |159

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokt.eran (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116, Tam-bahan Lembaran Negara Nomor 4431, untuk selanjutnya disingkat UU No. 29/2004) menerangkan bahwa dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masya-rakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan nemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu penge-tahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kema-juan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terh-adap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.

Rumah Sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di Rumah Sakit mempunyai karakteristik dan org-anisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang harus diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pem-berian pelayanan yang bermutu, membuat semakin kompleksnya per-masalahan dalam Rumah Sakit.

Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat jumlahnya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tun-tutan pidana maupun perdata dengan hampir selalu mendasarkan kep-ada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari perilaku yang dituntut adalah malpraktik medik yang merupakan sebutan "genus" (kumpulan) dari kelompok perilaku profesional medis yang menyi-

Page 169: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

160| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

mpang dan mengakibatkan cidera, kematian, atau kerugian bagi pas-iennya.

Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penye-mbuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tang-gung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan mas-yarakat.

Korban malpraktik di Indonesia kerap sulit mencari keadilan, sistem hukum yang ada saat ini belum berpihak pada pasien. Reformasi dibidang kesehatan yang mencakup berbagai substansi, termasuk mal-praktik sangat diperlukan untuk mencegah terus bertambahnya kor-ban. Adanya reformasi kesehatan yang mencakup berbagai substansi khususnya korban malpraktek semakin marak.

Buku ajar ini membahas tentang Aspek Hukum Pidana dalam kese-hatan berkaitan malpraktik medik meliputi: pengertian malpraktik medik, kelalaian medik, perbedaan malpraktik medik dengan kelalaian medik, dasar pemidanaan malpraktik medik.

B. PENGERTIAN MALPRAKTIK MEDIK

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan: "praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik." Kamus Inggris-Indonesia John M. Echols dan Hasan Shadily Cetakan ke 12 mengartikan malpractice atau malpraktik adalah: "(1) salah mengobati, cara mengobati pasien yang salah; (2) tindakan yang salah". Sedangkan arti malpractice, dalam Dorland's Medical Dictionary 27th Edition, adalah: "praktik yang tidak tepat atau yang menimbulkan masalah"; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah" ("impro-per or injurious practice; inskillful and faulty medical or surgical treat-ment"). Istilah malpractice dalam Stedman's Medical Dictionary diar-tikan sebagai: "kesalahan penanganan pasien karena ketidaktahuan, ketidakhati-hatian, kelalaian, atau adanya niat jahat" (mistreatment of patient through ignorance, carelessness, neglect, or criminal intent). Black's Law Dictionary 5th ed. menyebutkan: "Malpraktik adalah setiap sikap tindak yang salah, kurang ketrampilan dalam ukuran yang tidak

Page 170: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |161

wajar. Istilah ini umumya digunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat ketram-pilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata-rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang memercayai mereka, termasuk di dalamnya adalah sikap tindak profesi yang salah, kurang ketrampilan yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk, ilegal, atau sikap tindak amoral." (Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accounts. Failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill and learnng commonly applied under the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services of those entitled to rely upon them. It is any proffesional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity, in professional or yudiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct).

Veronica menyatakan bahwa istilah malpraktik berasal dari malp-ractice yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter.

J. Guwandi menyebutkan bahwa malpraktik adalah istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum seperti dokter, ahli hukum, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan sebagainya. Apabila ditujukan kepada profesi medis, maka akan dise-but malpraktik medik.

Malpraktik medik menurut Safitri Hariyani yang mengutip dari pendapat Vorstman dan Hector Treub dan juga atas rumusan Komisi Annsprakelijkheid dari KNMG (IDI-nya Belanda), adalah: "Seorang dokter melakukan kesalahan profesi jika ia tidak melakukan peme-riksaan, tidak mendiagnosis, tidak melakukan sesuatu, atau tidak mem-biarkan sesuatu yang oleh dokter yang baik pada umumnya dan

Page 171: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

162| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dengan situasi kondisi yang sama, akan melakukan pemeriksaan dan diagnosis serta melakukan atau membiarkan sesuatu tersebut."

Untuk menguji apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau bukan, Leenen menye-butkan lima kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu: 1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan

dengan kelalaian (culpa). Bila seorang dokter bertindak onvoor-zichteg, tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi unsur culpa lata;

2. Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standaard);

3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische cate-gorie);

4. Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden); 5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (asas propo-

rsionalitas) dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis tersebut (Out het concreet handelingsdoel).

Sungguh tidak mudah menentukan tindakan dokter itu suatu mal-praktik atau bukan. Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Leenen, menurut Guwandi, ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab: 1. Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan mela-

kukan demikian? 2. Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga sebenarnya

tidak akan dilakukan oleh teman sejawatnya yang lain? 3. Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, intentional)? 4. Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undang-undang? 5. Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu medical error? 6. Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)? 7. Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian

pihak dokter? 8. Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau dibayangkan

(foreseeability) sebelumnya?

Page 172: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |163

9. Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat (inherent risk) pada tindakan medik tersebut?

10. Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul reaksi negatif karena obat-obat tertentu?

Adami Chazawi menyebutkan bahwa malpraktik medik terjadi kalau dokter atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan seng-aja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang mela-nggar standar profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedok-teran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang; dengan meni-mbulkan akibat (causaal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membe-ntuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.

Menurut Munir Fuady, agar suatu tindakan dokter dapat digolo-ngkan sebagai tindakan malpraktik haruslah memenuhi elemen-elemen yuridis sebagai berikut: 1. Adanya tindakan, dalam arti "berbuat" atau "tidak berbuat" (peng-

abaian); 2. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau oleh orang di bawah

pengawasannya (seperti oleh perawat), bahkan juga oleh penyelia fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, klinik, apotek, dan lain-lain;

3. Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi, atau manajemen kesehatan;

4. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya; 5. Tindakan tersebut dilakukan secara:

a. melanggar hukum, dan atau; b. melanggar kepatutan, dan atau; c. melanggar kesusilaan, dan atau; d. melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.

6. Dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati-hatian (kelalaian, kecerobohan);

7. Tindakan tersebut mengakibatkan pasiennya mengalami: a. salah tindak, dan atau; b. rasa sakit, dan atau; c. luka, dan atau;

Page 173: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

164| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

d. cacat, dan atau; e. kematian, dan atau; f. kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau; g. kerugian lainnya terhadap pasien; yang menyebabkan dokter

harus bertanggung jawab secara administrasi, perdata, mau-pun pidana.

Herkutanto mengutip dari World Medical Association State-ment on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari 44th World Medical Assembly Marbela-Spain, September 1992, yang menye-butkan bahwa: "Malpraktik media adalah kegagalan dokter untuk memenuhi standar prosedur dalam penanganan pasien, adanya ketidak-mampuan atau kelalaian sehingga menimbulkan penyebab langsung adanya kerugian pada pasien." (Medical Malpractice involves the physician's failure to conform to the standard care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient).

C. KELALAIAN MEDIK (CULPA, NEGLIGENCE) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kelalaian dari

asal kata lalai yang berarti "tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan (kewajiban, pekerjaan, dsb.), lengah. Dalam An Indone-sian English Dictionary 3th Edition, kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness. Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, terjemahan dari: culpa (Lat.) atau schuld (Bld.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah "kekhilafan atau kelalaian yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut". Istilah culpa sering diperlawankan dengan kata dolus, delict, opzet (Bid.). Dalam Black's Law Dictionary 5th ed, disebutkan bahwa: "Kelalaian adalah kegagalan untuk bersikap hati-hati yang umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut; ia merupakan suatu tindakan yang umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati tidak akan melakukan dalam keadaan yang sama, atau kegagalan untuk melakukan apa yang oleh orang lain pada umurnya dengan hati-hati dan wajar justru akan melakukan dalam

Page 174: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |165

keadaan yang sama" (Negligence is the failure to use such care as reasonable prudent and careful person would use under similar circumstances; it is doing some of act which a person of ordinary prudence would not have done under similar circumstances or failure to do what a person of ordinary prudence would have done under similar circumstances).

Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kealpaan (culpa), namun dari penjelasan pembuat undang-undang (KUHP) atau Memorie van Toelichting (MvT) dapat diketahui bahwa schuld atau culpa merupakan kebalikan murni dari dolus (sengaja) maupun kebetulan (casus). Yang dituntut adalah bahwa orang kurang berpikir cermat, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah dibanding dengan orang lain pada umumnya. Dari Memorie van Antwoord (memori jawaban) yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan kemam-puannya secara keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat salah karena kelalaiannya, tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut seharusnya ia gunakan.

Treub, seorang pakar hukum pidana dari Belanda, menyebutkan bahwa yang penting adalah ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dapat diharapkan dari seorang dokter. Bukan ukuran dari seorang dokter yang terpandai atau yang paling hati-hati, tetapi ukuran dari seorang dokter rata-rata pada umumnya. Treub mengatakan bahwa: "Baru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan arau tidak melakukan yang dokter-dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama, akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melakukan."

Lamintang mengutip pendapat van Bemmelen yang mengatakan bahwa culpa meliputi tiga hal, yaitu: 1. Tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan untuk melakukan

sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu; 2. Suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang atau suatu

constitutief gevolg; dan 3. Unsur-unsur selebihnya dari delik.

Page 175: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

166| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Jonkers, yang dikutip J. Guwandi, menyebut adanya unsur-unsur kesalahan (kelalaian) sebagai tolok ukur di dalam hukum pidana: 1. Bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkeheid); 2. Akibatnya dapat dibayangkan (voorzienbaarheid); 3. Akibatnya dapat dihindarkan (vermijdbaarheid); 4. Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid).

Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak peduli,

tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya di claim tatapergaulan hidup di masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, arau karena menyangkut hal-hal yang sepele, maka tidak ada akibat hukum apa-apa. Prinsip ini berdasarkan adagium De minimis not carat lex. Hukum tidak rnencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkat tertentu dan tidak mem-pedulikan benda atau keselamatan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu bisa berubah menjadi delik. 1. Jenis Kelalaian

Menurut teori hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: a. Kealpaan ringan (culpa levissima) b. Kealpaan berat (culpa lata)

Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati

atau sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut dengan tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud, yaitu: (1). Orang yang sekatagori dengan seseorang yang dinilai tindakannya, dan (2). Orang yang memiliki katagori lebih.

Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang sekatagori dengan seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama dengan tindak seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila

Page 176: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |167

tindakannya berbeda, maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan seseorang yang dinilai tersebut termasuk kategori kealpaan besar (culpa lata/grove schuld).

Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang memiliki kategori lebih dari seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama dengan tindakan seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakan orang itu berbeda, maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan seseorang itu termasuk katagori kealpaan kecil. (levisima culpa).

Para sarjana hukum rata-rata berpendapat bahwa kesalahan dalam hukum pidana yang bukan kesengajaan ini harus diartikan sebagai kesalahan kasar (grove schuld, culpa lata). Meskipun ukuran grove schuld ini belum setegas kesengajaan, namun dengan istilah grove schuld ini kesalahan kasar sudah ada.

Dalam hukum pidana, seseorang tidak diharapkan untuk bertindak secara sangat atau paling hati-hati, akan tetapi cukup bertindak hatihati, yaitu sebagaimana orang pada umumnya bertindak atau bertindak secara wajar. Sebagai contoh butir b) tersebut: Kasus Hasting v. Baton Rouge Center Hospital, 498 So. 3d 713 (S.C. La 1986) mengenai seorang pasien yang dari suatu Unit Gawat Darurat hendak ditransfer ke rumah sakit lain, sedangkan pasien belum distabilkan. Pasien yang menderita luka tusuk di dada tersebut akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit lain. Hal ini karena dokter spesialis on call tidak mau datang, padahal malam itu adalah gilirannya jaga. Alasannya, karena pasien tidak mempunyai asuransi. Padahal menurut ketentuan yang terdapat pada hospital by laws, secara jelas dilarang untuk mentransfer pasien tanpa memperhatikan keadaannya. Hakim mem-persalahkan dokter spesialis tersebut dan mangatakan bahwa dalam kasus ini sudah jelas kesalahannya dan tidak diperlukan kesaksian dari saksi ahli lagi. Dalam hal ini hakim menerapkan doktrin Res Ipsa loquitur atau The thing speaks for itself.

Page 177: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

168| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

2. Unsur-unsur Kelalaian Untuk berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut

J. Guswandi, harus dipenuhi empat unsur yang dikenal dengan nama 4D, yaitu: a. Duty to Use Due Care

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/ perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya. Adagium primum non-nocere terutama harus ditaati. Hubungan pasien dokter/rumah sakit itu sudah harus ada pada saat peristiwa itu terjadi. Timbulnya hubungan ini bahkan juga dapat terjadi dari suatu pembicaraan per telepon. Di dalam kasus "O'Neil v. Montefiori Hospital, 11 App, Div. 2d 132. 202 N.Y. 2d 436 (1st Dep. 1960)", seorang dokter mengadakan pembicaraan telepon dengan seorang pasien tentang kondisinya. Tanpa memeriksa lebih dahulu secara fisik, dokter tersebut mengizinkan pasien itu pulang/keluar dari rumah sakit dengan hanya memesan agar besok pagi kembali lagi ke rumah sakit. Namun pasien itu pada malam harinya ternyata meninggal dunia. Pengadilan berpendapat bahwa seorang dokter yang telah menerima seseorang sebagai pasien untuk dirawat dan diobati, namun tanpa memeriksa lagi pasiennya, telah terbukti adanya kewajiban sebagaimana terdapat pada unsur pertama: Duty of due care. b. Deriliction (Breach of Duty)

Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat diper-salahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolok ukur yang dipakai

Page 178: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |169

secara umum adalah sikaptindak seorang dokter yang wajar dan setingkat di dalam situasi dan keadaan yang sama. 3. Damage (Injury)

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah "cedera atau kerugian" yang diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dalam bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain. 4. Direct Causation (Proximate Cause)

Untuk berhasilnya suatu gugaran ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) dan kerugian (damage) yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, kecuali jika penyim-pangannya sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai.

D. PERBEDAAN MALPRAKTIK MEDIK DENGAN KELALAIAN MEDIK Terminologi malpraktik medik (malpractice medic) dan kelalaian

medik (negligence) merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istitah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, Bolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif (mens rea, giuilty, mind), sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan

Page 179: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

170| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

(criminal malpractice) dan yang sampai terungkap ke pengadilan mem-ang tidak banyak. Demikian pula di luar negeri yang tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian. Namun perbe-daannya tetap ada. Oleh karena itu, malpraktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang dilakukan: 1. Dengan sengaja (doles, vorsatz, willens en wetens handelen, inte-

ntional) yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik, melakukan eutanasia, memberi surat medik yang isinya tidak benar, dan sebagainya.

2. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa) atau karena kelalaian, misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal.

Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dila-kukan, yaitu: 1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya

dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau seha-rusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.

2. Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.

Malpraktik medik dapat masuk ke ranah hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarat dalam 3 aspek, yaitu: 1. syarat sikap batin dokter; 2. syarat dalam perlakuan medis, dan 3. syarat mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam sikap batin

adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik, syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang, dan syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa

Page 180: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |171

pasien. Semua perbuatan dalam pelayanan medik dapat menga-lami kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menim-bulkan malpraktik medik, apabila dilakukan secara menyimpang. Dapat diartikan bahwa umumnya menimbulkan malpraktik dan tidak selalu berakibat terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum. Alasannya, karena untuk terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum, selain perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medik tersebut menyimpang, masih ada syarat sikap batin akibat yang tidak mudah dipahami dan diterapkan. Bahkan kasus kongkret tertentu menunjukkan perbuatan yang ternyata salah kadangkala bisa dibenarkan dengan alasan tertentu. Hal itu berarti untuk kasus kongkret tertentu kadang diperlukan syarat lain; misalnya kepatutan dan pembenaran dari sudut logika umum. Misalnya, salah dalam membuat diagnosis tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar, misalnya fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan sesuai standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosis.

E. DASAR PEMIDANAAN MALPRAKTIK MEDIK Sebelum menguraikan dasar pemidanaan atas terjadinya mal-

praktik medik, perlu kiranya diingatkan kembali bahwa penggunaan terminologi malpraktik medik di sini adalah malpraktik medik dalam arti luas, tidak sebatas pada kelalaian atau kelalaian medik. Jadi ter-masuk pula malpraktik yang terjadi karena adanya kesengajaan (delik dolus/opzet).

Undang-undang (KUHP) tidak membuat pengertian tentang sengaja (dolus/opzet), tetapi pengertian sengaja dapat ditemukan dalam Memorie van Toelichting (MvT), bahwa untuk adanya kesengajaan harus memuat willens (kehendak) dan wetens (menge-tahui). Remmelink mengatakan, berkenaan dengan substansi, harus dikaitkan dengan perbuatan (tindakan) terhadap mana kehendak tertuju dan akibat serta situasi yang melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya. Dalam dolus (sengaja), sebab itu mengandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) atau volontie et connaissance. Tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki)

Page 181: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

172| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dan wetens (disadari atau diketahui). Namun dalam praktik peradilan pada delik materiil seperti pembunuhan, unsur mengetahui (wetens) tidak diharuskan ada, tetapi cukup diartikan dapat mengetahui, misalnya sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortusarrest. Dalam memori kasasinya terhukum mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah janin dalam kandungan itu pada waktu ia gugurkan berada dalam keadaan hidup atau mati, sedang pengadilan pun tidak pernah menyatakan tentang terbuktinya penge-tahuan terhukum mengenai masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Lamintang menyimpulkan bahwa dalam Memorie van Toelichting, dolus (opzet) itu juga diartikan sebagai willens en wetens, maka di dalam peradilan, seperti tercermin dari arrestarrest Hoge Raad, perkataan willens atau menghendaki itu diartikan sebagai kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dan wetens atau mengetahui itu diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengetahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendaki.

Dalam konsteks pemahaman tersebut maka ada tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Pasal-pasal dalam KUHP yang relevan dengan tanggungjawab pidana yang berhubungan dengan malpraktik medik adalah Pasal 267, 299, 322, 344, 346, 347, 348, 349, 351, 359, 360 dan 361 KUHP.

2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Pasal 80 s/d Pasal 86;

3. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Pasal 75 s/d Pasal 80.

F. RANGKUMAN Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak

atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi

Page 182: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |173

Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang untuk memperoleh standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.

Dokter dan pasien adalah dua subjek hukum yang terkait dalam hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter dan pasien adalah hubungan yang objeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya. Dalam hubungan dokter pasien ini dapat terjadi sengketa medik yang timbul karena adanya kesenjangan antara harapan pasien/keluarga pasien dengan kenyataan yang ada setelah dilakukan upaya medik, ditambah lagi dengan kurangnya pemahaman tentang masalah teknis medis dari pihak pasien serta informasi dari pihak dokter yang tidak memuaskan pasien/keluarga pasien. Perlindungan bagi pasien dan rambu-rambu untuk dokter dibina antara lain oleh hati nurani dan moral, etika medis, disiplin profesi, dan aturan hukum. Moral dan etika medis adalah rambu-rambu paling tua untuk menjaga hubungan antara dokter dan pasien dalam berbagai dimensi agar berlangsung dalam batas-batas yang dianggap wajar dan baik, sedangkan aturan hukum sebagai rambu-rambu baru menyusul jauh kemudian. Hubungan dokter-pasien yang bersifat kemitraan akan mengantar kedua pihak pada pemahaman dan keyakinan bahwa yang dilakukan hanyalah sebatas upaya, yang oleh karenanya dokter dan pasien harus melak-sanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan sebaik baiknya.

Malpraktik medik dapat masuk dalam lapangan hukum pidana apabila memenuhi syarat-syarat dalam 3 aspek, yaitu (I) syarat sikap batin dokter; (2) syarat dalam perlakuan medis, dan (3) syarat mengenai hal akibat. Pada dasarnya syarat dalam sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik. Syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang. Syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang

Page 183: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

174| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Praktik Kedokteran. Khusus mengenai Ketentuan Pidana dalam Bab X Undang-Undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Juni 2007 menyatakan Pasal 75 Apt (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata "penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau" dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata "kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau" serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata "atau huruf e" Undang-Undang Nomor 29 Tatum 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik/Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Jelaskan Apa yang dimaksud dengan malpratk medik. 2. Jelaskan perbedaan antara malpraktik medik dengan kelalaian

medik. 3. Jelaskan syarat-syarat malpraktik medik dapat dimasukan keranah

hukum pidana. 4. Jelaskan suatu tuntutan berdasarkan kelalaian harus mem-enuhi

empat unsur. 5. Jelaskan dasar hukum yang dapat menjadi dasar dalam pemi-

danaan malpraktik medik dalam KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Page 184: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |175

DAFTAR PUSTAKA

Ameln ,Fred. 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Penerbit

Grafikatama, Jakarta Chazawi, Adami. 2007. Malpraktek Kedokteran Tinjauan Norma dan

Doktrin Hukum. Banyumedia Publishing, Malang. Fuady,Munir ,2005. Sumpah Hipocrates (Aspek Hukum Malpraktek

Dokter) , Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta. Guwandi, J. 1981. Dokter dan Hukum. Monelia, Jakarta. ................... 1994.,Kelalaian Medik (Medical Negligence) Penerbit

Fakultas Kedokteran Indonesia , Jakarta. ................... 2006, Dugaan Malpraktik Medik & Draft RPP “Perjanjian

Terapeutik anatara Dokter dan Pasien, Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, Jakarta.

Hariyani Safitri, 2005, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter dan Pasien,Penerbit Diadit Media,Jakarta.

Hanafiah, Yusuf dan Amri Amir. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi 3.EDG. Jakarta

Helmi, 2004. “Malpraktek Dokter dan Dokter Gigidalam Perspektif Hukum Kesehatan”. Seminar Hukum Kesehatan di RSUD Ulin Banjarmasin Tanggal 9 Oktober 2004. IDI Wilayah Kalsel – RSUD Ulin – PERHUKI Wilayah Kalsel.

Herkutanto , 2008 , Dimensi Hukum Dalam Pelayanan Kesenatan, Lokakarya Nasional Hukum dan etika Kedokteran, Proceeding Ikatan Dokter Indonesia.Makasar.

Indriyanti D, Alexandra. 2008. Mafia Kesehatan. Pinus Book Publisher, Yogyakarta.

Isfandyarie, Anny. 2005. Malpraktek dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana. Fous Media. Jakarta.

Iskandar ,Dalmy. 1998. Rumah Sakit,Tenaga Kesehatan dan Pasien , Penerbit Sinar Grafika , Jakarta.

Page 185: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

176| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Komalawati, Veronika. 1989. Huum dan Etika dalam Praktek Dokter. Peserbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

............., 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis. PPT Citra Aditya, Bandung.

Lamintang, 1997. Dasar –dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Projodikoro,Wirjono, 2003, Tindak Pdana Tertentu Di Indonesia, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung.

Remmelink, Jon. 2003. Hukum Pidana, Terjemahan Tristam Pascal Moeliono, Marjanne Termorshuizen, Widati Wulandari. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

................. , Jon . 2003, (Trans) Hukum Pidana, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Van Bemmelen, JM. (Trans). 1986. Hukum Pidana 3, Bagian Khusus Delik-Delik Khusus. Binacipta, Bandung.

Yunanto,Ari dan Helmi , 2009, Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dari Perspektif Etikomedikolegal , Penerbit Andi, Yogyakarta.

Page 186: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |177

PROFIL PENULIS

Dr. Diana Haiti, S.H. M.H. lahir di Banjarmasin, 14 April 1968. Menyelesaikan Pendidikan S1 (sarjana Hukum) pada Fakultas Hukum Univer-sitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin tahun 1991. Tahun 2001 menyelesaikan Pendidikan S2 Di Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Sura-baya. Tahun 2016 menyelesaikan Pendidikan S3 Program Doktor Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Sejak Tahun

1994 sebagai Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Pada Fakultas Hukum Universitas lambung Mangkurat Banjarmasin mengajar beberapa mata kuliah diantaranya: Hukum Pidana, Kriminologi, Viktimologi, Hukum Kesehatan. Dan Hukum Rumah Sakit Juga sebagai Pengajar Di Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Jabatan fungsional akademik sekarang adalah Lektor Kepala pada mata kuliah Hukum Pidana.

Page 187: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

178| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 188: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM
Page 189: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 9 ASPEK HUKUM PERDATA

DALAM KESEHATAN Muchtar Anshary Hamid Labetubun,SH.,MH Fakultas Hukum Universitas Pattimura A. PENDAHULUAN

Penjelasan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan pemerintahan yang berkaitan dengan tujuan hidup masyarakat harus sesuai dengan hukum. Termasuk dalam upaya perlindungan hak asasi manusia warga negaranya.Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsurkesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.

Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kesehatanjuga merupakan salah satu kebutuhan dasarmanusia, disamping sandang, pangan danpapan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini.

Page 190: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |181

Memahami etikaKesehatan merupakan bagian penting dari kese-jahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Dasar, setiap orang memiliki hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Tercapainya tujuan nasional maka diselenggarakanlah upaya pem-bangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu. Termasuk di antaranyapembangunan kesehatan secara umum dan menyediakan pelayanan kesehatan secara khusus. Di Indonesia, aspek hukum dalam bidang kesehatan telah diimplementasikan dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang yang bersifat sektoral, diantaranya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 yang diganti oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 9 tahun 2014 tentang Klinik, dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

Semua bidang kehidupan masyarakat sekarang ini diliputi aspek hukum. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur, akan tetapi keteraturan bagi seseorang belum tentu sama dengan keteraturan bagi orang lain, oleh karena itudiperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar manusia melalui keserasian antara ketertiban dan landasan hukum.

Pembinaan dan pengembangan hukum di bidang kesehatan, bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dan memperlancar pembangunan di bidang kesehatan. Peraturan perun-dang-undangan yang diinginkan itu tentunya peraturan yang dapat menjamin dan melindungi masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang diharapkan serta dapat melindungi tenaga kesehatan.

Page 191: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

182| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Peraturan tersebut harus memiliki aspek hukum yang bersifat menyeluruh dan mantap sehingga dapat mengatur mengenai pela-yanan kesehatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.

Aspek hukum perdata dalam pelayanan kesehatan antara tenaga kesehatan dan pasien dapat dilihat dalam suatu transaksi terapeutik yang dibuat oleh kedua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah transaksi (perjanjian atau verbintenis) untuk menentukan mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter (Hermien Hadiati, 1991: 45). Transaksi secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Het Burgerlijk Wetboek) yang selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata, yang untuk berlakunya secara sah transaksi tersebut secara umum harus memenuhi 4 (empat) syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya (toesteming

van degene die zich verbinden); 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (bekwaamheid om en

verbindtenis aan te gaan); 3. Mengenai suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); 4. Karena suatu sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).

Transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah pihak dibebani dengan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.Seperti yang disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Pada dasarnya hubungan dokter pasien dalam tansaksi terapeutik itu bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas informasi (the right to be informed). Antara dokter dan pasien timbul hak dan kewajiban timbal balik. Apabila hak dan kewajiban ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak dalam transaksi terapeutik, maka wajarlah apa-

Page 192: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |183

bila pihak yang lain terutama pihak yang merasa dirugikan akan meng-gugat. (Hermien Hadiati, 1991: 46)

B. PERJANJIAN TERAPEUTIK Selama ini para dokter mengetahui apabila ia sudah memiliki

ijazah kedokteran, kedokteran gigi, dokter spesialis dan memiliki surat izin dokter (SID) dan surat izin praktek (SIP) memang dapat memasang papan praktik dan siap untuk memberikan layanan kesehatan yang sesuai dengan kemampuan dan ijazah maupun izin dokter dan izin praktek yang telah dimilikinya. Apalagi apabila dia bertugas di instansi pelayanan kesehatan berupa rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun pusat kesehatan lainnya sehingga hanya ada satu dalam pemikirannya bahwa ia harus menjalankan profesinya sesuai dengan misi yang ditu-gaskan. Tidak ada dalam pikirannya bahwa pada saat menerima pasien tersebut telah terjadi suatu perjanjian atau transaksi yang disebut dengan transaksi terapeutik (M. Jusuf Hanafiah, Amir Amri, 2008 : 42).

Ditinjau dari sudut hukum (baik dari sudut keadilan sebagai peraturan perundang-undangan maupun sebagai hak yang dikaitkan dengan hak-hak dasar yang telah melekat pada diri manusia sejak lahirnya), hukum kedokteran bertumpu pada dua hak asasi manusia, yakni hak atas pemeliharaan kesehatan (the right to healthcare) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination atau zelfbeschikkingrecht). (A. Triama Ohoiwutun, 2007 : 7)

Perjanjian atau transaksi atau persetujuan adalah hubungan timbal balik yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian terapeutik atau transaksi tera-peutik terjadi antara dokter dengan pasien yang berakibat pada timbu-lnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Dalam perjanjian tera-peutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk hubungan me-dis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan terbentuknya hubungan hokum (A. Triama Ohoiwutun, 2007 : 7). Kon-trak terapeutik merupakan kontrak yang dikenal dalam pelayanan kesehatan. Istilah kontrak terapeutik merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu therapeutic contract. Para ahli di bidang hukum kesehatan telah memberikan pengertian tentang kontrak terapeutik.

Page 193: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

184| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Fred Ameln memberikan pengertian kontrak terapeutik adalah “kontrak di mana pihak dokter berupaya secara maksimal menyem-buhkan pasien (inspaningsverbintenis) jarang merupakan resultaat-sverbintenis” (Fred Ameln, 1991: 76). Dalam definisi ini kontrak terapeutik disamakan dengan inspaningsverbintenis karena dalam kontrak ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya yang dilakukan belum tentu berhasil. Para pihaknya dalam kon-trak ini adalah dokter dan pasien.

Yang dimaksud dengan inspaningverbintenis ialah suatu perikatan atau perjanjian yang prestasi atau hasilnya dari salah satu pihak (dokter) belum pasti, dokter hanya berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien, namun kesembuhan dari pasien belum tentu berhasil. Berbeda dengan resultaatverbintenis yaitu suatu perikatan atau perjanjian yang prestasi atau hasilnya sudah pasti. Ini biasa sering terjadi pada dokter gigi (Sunarto Ady Wibowo, 2009 : 20).

Di dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434/Men. Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi para dokter di Indonesia, memuat tentang pengertian perjanjian tera-peutik, yaitu perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial) serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan, dan kekhawatiran makhluk insan.

Hermien Hadiati Koeswadji mengemukakan pengertian kontrak terapeutik. Beliau menggunakan istilah transaksi terapeutik untuk kontrak terapeutik. Menurutnya kontrak terapeutik adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter. Dalam transaksi terapeutik tersebut kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, dan bila transaksi sudah terjadi maka kedua belah pihak terikat akan hak dan kewajiban sebagaimana yang telah disepakati oleh keduanya (Salim HS, 2006 : 45-46).

Oleh sebab itu rumusan pengertian kontrak terapeutik dari pendapat para sarjana dan undang-undang tersebut perlu disem-purnakan sebagai berikut: ”kontrak terapeutik ialah suatu perjanjian/ persetujuan antara pasien dengan tenaga kesehatan, dokter atau

Page 194: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |185

dokter gigi dan rumah sakit dalam hal pelayanan kesehatan. Rumah sakit tidak terlepas tanggung jawabnya dari pada wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum tenaga kesehatan yang ada dalam naungannya (Sunarto Ady Wibowo, 2009 : 21).

Terdapat tiga unsur yang terkandung dalam definisi perjanjian terapeutik, yaitu: 1. Adanya subjek hukum Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi

pasien, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. 2. Adanya objek hukum Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya

maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien 3. Kewajiban pasien Kewajiban pasien adalah membayar biaya atau

jasa terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya atau jasa itu ditentukan secara sepihak oleh tenaga kese-hatan/dokter/dokter gigi, sementara pasien sendiri tidak mem-punyai kekuatan untuk tawar menawar terhadap apa saja yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi. Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk

pada aturan-aturan yang ditentukan dalam KUHPerdata sebagai dasar adanya perikatan. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang” (HS Salim, 2006 : 49).

Pada perjanjian terapeutik di samping terikat pada perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata, para pihak juga terikat oleh undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kontrak terapeutik dapat dikaji dan dianalisis dalam berbagai ketentuan sebagai berikut, yaitu (Subekti, : 323): 1. Buku III KUHPerdata Pada prinsipnya dalam Buku III KUHPerdata

tidak mengatur hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan, tetapi ketentuan itu memiliki hubungan yang cukup erat deng-annya karena ketentuan tersebut dapat dijadikan rujukan di dalam menyelesaikan berbagai masalah yang berhubungan dengan perja-njian terapeutik. Apabila di dalam ketentuan khusus tidak diatur, ketentuan yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata dapat dite-rapkan. Terdapat Sembilan pasal yang memiliki hubungan antara

Page 195: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

186| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dokter dengan tenaga kesehatan, yaitu pasal 330, 1320, 1330, 1338, 1338, 1339, 1365, 1366, 1367 KUHPerdata.

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Selain dalam bentuk undang-undang, ketentuan yang mengatur

tentang perjanjian terapeutik juga diatur dalam peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan keputusan Menteri Kesehatan.

C. HUBUNGAN HUKUM PERDATA DALAM PELAYANAN KESEHATAN Hubungan hukum antara pasien dengan penyelenggara kesehatan

dan pihak pelayanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit, dokter, perawat, bidan) dalam melakukan hubungan pelayanan kesehatan. Pertama adalah hubungan medis yang diatur oleh kaidah-kaidah medis, dan kedua adalah hubungan hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hubungan hukum yang terjadi dalam pelayanan medis ialah berdasarkan perjanjian yang bertujuan untuk melakukan pelayanan dan pengobatan pasien demi kesembuhan pasien (Hermien Hadiati Koeswadji, 1998 : 101).

Upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit bertolak dari hubungan dasar dalam bentuk transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik sebagai suatu transaksi mengikat antara pihak pemberi pelayanan dengan pasien sebagai penerima pelayanan dalam perikatan transaksi tera-peutik tersebut. Untuk menilai sahnya perjanjian hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan tersebut diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa unsur-unsur syarat perjanjian dalam transaksi terapeutik meliputi: 1. Adanya sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Adanya kecakapan antara pihak membuat perikatan; 3. Suatu hal tertentu yang diperbolehkan; 4. Karena suatu sebab yang halal.

Page 196: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |187

Pelaksanaan dan pengaplikasian perjanjian itu sendiri harus dilak-sanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata dan perikatan tersebut berdasarkan perikatan usaha yang berdasarkan prinsip kehati-hatian.

Perikatan antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien dapat dibedakan dalam dua bentuk perjanjian, yaitu (Pengurus Besar IDI, 1994 : 18 dalam Endang Kusuma Astuti, Bandung, 2009 : 94): 1. Perjanjian perawatan, dimana terdapat kesepakatan antara rumah

sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan serta tenaga perawatan melakukan tindakan penye-mbuhan.

2. Perjanjian pelayanan medis, dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis. Secara teoritis proses terjadinya pelayanan kesehatan diawali

dengan keputusan pasien dan keluarganya untuk mendatangi dokter dan rmah sakit, kedatangan pasien dapat ditafsirkan untuk mengajukan penawaran (offer, aanbod) kepada dokter untuk meminta pertolongan dalam mengatasi masalah kesehatan yang dideritanya. Apabila pasien dan keluarganya menyetujui untuk menjalani pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka rumah sakit bersedia untuk memberikan pelayanan kesehatan yang diperlukan pasien, maka hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit timbul sejak pasien masuk ke rumah sakit dan sepakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Pasien dengan segala kewajibannya yang telah itemukan oleh rumah sakit berhak atas pelayanan kesehatan dengan indikasi penyakit pasien tersebut. Dalam perjanjian ini kewajiban rumah sakit adalah melakukan penyediaan fasilitas perawatan yakni sarana alat kesehatan, dokter, tenaga kesehatan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada pasien.

Perjanjian yang dilakukan antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dijadikan tolak ukur berdasarkan syarat sah terjadinya perjanjian antara pasien dan pem-

Page 197: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

188| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

beri pelayanan kesehatan berdasarkan perjanjian terapeutik yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak dalam melaksanakan upaya penyembuhan.

Secara umum hubungan hukum antara penyelenggara pelayanan kesehatan dengan pasien ialah upaya penyembuhan bukan merupakan perikatan hasil (resultaasverbitenis), melainkan perikatan usaha (inspanningsverbitenis) secara maksimal dan berdasarkan prinsip kehatihatian yang hasilnya belum pasti. Sebaliknya pasien juga harus memberikan informasi yang jelas, lengkap dan jujur kepada dokter terkait dengan penyakit yang dideritanya. Sehingga, tidak menye-babkan kesalah pahaman antara kedua belah pihak guna tercapainya tujuan pelayanan kesehatan yang lebih optimal.

D. HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK Secara umum hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu

yang merupakan kebutuhan pribadinya, sesuai dengan keadilan, moralitas dan legalitas (Sofyan Lubis, 2009 : 38). Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum suatu Pengantar menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhnya dilindungi oleh hokum (Sudikno Mertokusumo, 2005 : 24.).

Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) macam hak berdasarkan sumber pemenuhnya, yakni (Janus Sidabalok, 2006 : 18.): 1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu

kita lahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernafas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara dan bahkan negara wajib menjamin pemenuhannya.

2. Hak yang lahir dari hukum, yaitu hak yang diberikan oleh negara kepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum.

3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini di dasarkan pada perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain. Berikut beberapa hak dan kewajiban antara para pihak:

Page 198: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |189

a. Pasien Hak pasien sebenarnya merupakan hak yang asasi yang

bersumber dari hak dasar individual dalam bidang kesehatan, the right of self determination. Meskipun sebenarnya sama fundamentalnya, hak atas pelayanan kesehatan sering dianggap lebih mendasar (Danny Wiradharma, 1996 : 56 ).

Sementara hak pasien selalu dihubungkan dengan peme-liharaan kesehatan, maka hak utama dari pasien tentunya adalah hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan, dan bantuan dari tenaga kesehatan yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal (Sofyan Lubis, 2009 : 8.).

Dalam pandangan hukum, pasien adalah subyek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selalu tidak dapat mengambil keputusan karena sakit. dalam pergaulan hidup normal seharihari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi, secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan (Bahder Johan, : 31-32.) .

Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi (Titik Triwulan Tutik, : 27.): 1) Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan

memuaskan; 2) Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa

membedakan unsur SARA. 3) Jaminan keamanan, keselamatan dan kenyamanan.

Page 199: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

190| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

4) Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan primer. Menurut Fred Ameln bahwa di dalam beberapa literatur

hukum kesehatan disebutkan beberapa hak pasien, yaitu : 1) Hak atas informasi 2) Hak memberikan persetujuan 3) Hak memilih dokter setiap pasien memang berhak untuk

memilih dokter yang ia percaya akan mampu untuk membantu menyembuhkan penyakit yang di deritanya. Faktor kepercayaan ini sangat lah penting dalam hubungan dokter pasien. Meskipun pada dasarnya setiap pasien berhak memilih dokter ini tidak berlaku. Jadi dapat dikatakan bahwa hak memilih dokter ini bersifat relatif. Hak memilih dokter ini tidak berlaku apabila pasien merupakan seorang karyawan pada suatu perusahan tertentu dimana perusahan itu telah memilih seorang atau beberapa orang dokter sebagai dokter perusahaan. Tugas dokter ini melayani pengobatan terhadap karyawan-karyawan dari perusahaan tersebut yang sakit. Sehingga biaya pengobatan ditanggung perusahaan. Dalam keadaan posisi demikian apabila ia ingin menggunakan hak nya, pasien itu dapat mendatangi dokter lain yang ia sulai selain dokter yang telah ditunjuk oleh perusahaan.

4) Hak memilih rumah sakit. hal ini cukup penting karena apabila seorang dirawat suatu rumah sakit yang ia sendiri tidak menyukai rumah sakit tersebut karena hal-hal tertentu, misalnya segi kebersihan yang kurang baik, suasana yang tidak menye-nangkan maka tujuan pengobatan tidak akan tercapai. Keco-cokan akan rumah sakit juga akan banyak membantu proses penyembuhan pasien karena pasien merah betah dan cocok sehingga semua peraturan rumah sakit maupun dokter akan ia laksana dengan suka rela. Seperti hal nya dengan hak memilih dokter, maka hak memilih rumah sakit pun kadang-kadang tidak dapat digunakan, misalnya suatu perusahaan telah menjalin kontrak dengan suatu rumah sakit yang akan merawat semua karyawannya apabila sakit dan memerlukan perawatan.

Page 200: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |191

Dalam keadaan yang demikian apabila ada seorang karyawan perusahaan tersebut sakit maka hanya di rumah sakit itulah ia harus dirawat dengan biaya dari perusahaan. Dan apabila ia ingin rumah sakit lain maka biaya perawatan dan pengobatan berasal dari uang sendiri.

5) Hak atas rahasia kedokteran yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala rahasia yang oleh pasien secara disadari atau tidak disadari disampaikan kepada dokter lain, segala sesuatu yang oleh dokter telah diketahuinya sewaktu mengobati dan merawat pasien. Pengecualian dari hak atas rahasia kedokteran ini adalah:

• Diatur oleh undang-undang, misalnya Undang-Undang ten-tang penyakit menular: dokter harus melapor kepada Kanwil Kesehatan tentang adanya penyakit menular itu.

• Pasien merupakan bahaya untuk umum atau orang lain, misalnya pasien yang menderita nightblindness.

• Diperoleh suatu hak sosial, misalnya perusahaan memberikan uang kepada orang yang tidak dapat bekerja karena penyakit tertentu. Hal ini didasarkan oleh keterangan tentang penyakit yang berasal dari dokter.

Ketiga pengecualian ini bersifat relatif, sedangkan pengecualian yang bersifat absolut adalah:

• Adanya izin dari pasien, artinya dengan adanya izin dari pasien maka dokter dapat menyampaikan perihal rahasia kepada pihak lain yang sesuai dengan izin pasien itu. Izin ini dapat diberikan secara lisan maupun tulisan.

• Pasien melakukan suatu tindakan tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien itu telah memberi izin. Misalnya pasien masuk ke ruangan dokter bersama temannya sehingga ada kesan pasien telah mengizinkan dokter utuk melanggar rahasia kedokteran karena temannya itu mendengar semua keluhannya.

• Untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi. 6) Hak menolak pengobatan berdasarkan hak untuk menentukan

diri sendiri, maka seorang pasien mempunyai hak untuk

Page 201: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

192| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

menentukan apakah ia akan menerima pengobatan atau me-nolak pengobatan yang akan menyembuhkan penyakitnya.

7) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu dalam hal ini pasien telah bersedia menerima pengobatan dari dokter namun ia me-nolak untuk suatu tindakan medis tertentu. Misalnya ia menolak untuk dioperasi, atau ia menolak untuk ditransfusi darah dari golongan tertentu.

8) Hak untuk menghentikan pengobatan pada umumnya orang menghentikan pengobatan yang sedang dijalani karena sebab psikologis dan ekonomis. Alasan psikologis dimaksud adalah bahwa pasien telah tidak percaya lagi akan manfaat dari pengo-batan tertentu bagi penyembuhan penyakitnya. Jadi pasien telah mengambil kesimpulan bahwa diobati atau tidak diobati maka hasilnya sama saja, oleh karena itu menolak pengobatan adalah lebih baik. Sedangkan alasan ekonomis dimaksud bahwa pasien sebenarnya ingin mendapatkan pengobatan atas dirinya, tapi karena ketiadaan keuangan yang mencukupi untuk membiayai pengobatan itu maka ia menghentikan pengobatan tersebut. Dalam praktek sehari-hari, apabila pasien itu sedang menjalani opname di suatu rumah sakit haruslah mengisi suatu formulir tertentu yang menyatakan bahwa penghentian pengobatan itu atas dasar kemauan pasien sendiri dan bukan karena dipaksa keluar oleh pihak rumah sakit.

9) Hak atas second opinion apabila pasien ingin mendapatkan perbandingan terhadap keterangan dokter yang mengobatinya atau sekedar mendapatkan penjelasan dari dokter lain, maka ia dapat menghubungi dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang mengobatinya yang mendapat second opinion.

10) Hak melihat rekam medis rekam medis atau rekam kesehatan yang merupakan terjemahan dari medical record adalah suatu lembaran yang berisi atau memuat keterangan mengenai riwayat penyakit, laporan pemeriksaan fisik, catatan pengamatan terhadap penyakit dan lain-lain dari seorang pasien. Pasien mempunyai hak untuk mengetahui tentang dirinya dan pen-yakitnya melalui rekam medis. Pada dasarnya rekam medis itu

Page 202: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |193

adalah milik rumah sakit sedangkan isinya merupakan milik pasien, sehingga pasien dapat memberikan kuasa pada orang lain yang ia kuasakan dengan surat kuasa khusus untuk melihat rekam medis nya apabila ia memerlukannya (Alfred A Ameln, 1993 : 42-450.

Dalam pedoman hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah

sakit menurut Surat Edaran Dirjen yanmed No. YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997, dijabarkan tentang hak dan kewajiban pasien. Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang memiliki manusia sebagai person: (Pitono Soeparto, dkk, 2006 : 45-46). 1) Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib

dan peraturan yang berlaku di rumah sakit. 2) Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi, adil dan jujur. 3) Pasien berhak memperoleh pelayanan medis yang bermutu

sesuai dengan standar profesi kedokteran/ kedokteran gigi dan tanpa diskriminasi.

4) Pasien berhak memperoleh asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi keperawatan.

5) Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

6) Pasien berhak dirawat oleh dokter yang secara bebas menen-tukan pendapat klinis dan pendapat etiknya tanpa campur tangan dari pihak luar.

7) Pasien berhak meminta konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.

8) Pasien berhak atas “privacy” dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.

9) Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi: - Penyakit yang diterima - Tindakan medis apa yang akan dilakukan

Page 203: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

194| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

- Kemungkinan tersulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya

- Alternatif terapi lainnya - Prognosisnya - Perkiraan biaya pengobatan

10) Pasien berhak menyetujui/memberi izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

11) Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya.

12) Pasien berhak didampingi keluarganya dalam keadaan kritis. 13) Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama/ keperca-

yaan yang dianutnya selama itu tidak mengganggu pasien lainnya.

14) Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah skait.

15) Pasien berhak mengajukan usul, saran, perbaikan atas perla-kuan rumah sakit terhadap dirinya.

16) Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.

Pasien memiliki hak-hak sebagaimana diatur dalam Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang juga menyebutkan hak pasien dalam Pasal 52 yaitu: 1) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4) menolak tindakan medis; dan 5) mendapatkan isi rekam medis.

Dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga menyebutkan tentang kewajiban pasien, yaitu:

Page 204: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |195

1) memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;

2) mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi; 3) mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kese-

hatan; dan 4) memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Hak pasien lainnya sebagai konsumen adalah hak untuk didengar dan mendapatkan ganti rugi apalagi pelayanan yang didapatkan tidak sebagaimana mestinya. Masyarakat sebagai konsumen dapat men-yampaikan keluhannya kepada pihak rumah sakit sebagai upaya perbaikan rumah sakit dan pelayanannya (Titik Triwulan Tutik, : 31).

Berbarengan dengan hak tersebut, pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menja-lankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien harus dienuhinya dalam pelayanan kesehatan, yaitu:

1) Kewajiban memberi informasi. 2) Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kes-

ehatan. 3) Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam

hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan. 4) Kewajiban memberikan imbalan jasa. 5) Kewajiban memberikan gantirugi, apabila tindakannya

merugikan dokter atau tenaga kesehatan.

Kewajiban pasien menurut Surat Edaran Dirjen yanmed No. YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (Pitono Soeparto, : 46. )

1) Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk menaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit.

2) Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala intruksi dokter dan perawat dalam pengobatannya.

Page 205: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

196| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

3) Pasien berkewajiban memberikan informasi dengan dengan jujur dan selengkapnya tentang penyakit yang diderita kepada dokter yang merawat.

4) Pasien dan/ atau penanggungnya berkewajiban untuk mel-unasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit/ dokter.

5) Pasien dan/ atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah dibuat.

Menurut Alfred yang menjadi kewajiban pasien adalah: (Fred Ameln, dalam Veronica Komalawati, 1989 : 96-97). 1) Memberikan informasi selengkapnya perihal penyakitnya kepada

dokter. 2) Mematuhi nasehat dokter. 3) Menghormati privasi dokter yang mengobatinya (menyimpan ra-

hasia dari dokter yang mengobatinya). 4) Memberi imbalan jasa.

Selain itu menurut Alfed A Ameln dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Kedokteran lebih luas dijelaskan yang menjadi kewajiban pasien antara lain : (Alfred A Ameln, : 45) 1) Pasien wajib memberi keterangan informasi sebanyak mungkin

tentang penyakitnya. Kewajiban ini dapat dikaitakan dengan “itikad baik” pasien. Pasien mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi tentang tindakan-tindakan apa saja yang telah ia lakukan dalam menangani penyakitnya itu. Informasi pasien merupakan salah satu sumber yang dapat digunakan oleh dokter untuk menegakkan diagnosa terhadap penyakit pasien dan diagnosa ini pula yang wajib disampaikan oleh dokter kepada pasien beserta terapi terbaik yang akan diterapkan.

2) Pasien wajib menaati petunjuk dari instruksi dokter. Dalam upaya menerapkan terapi pada penyakit pasien maka selain dokter, pasien tersebut telah menunjukkan pula keinginannya untuk segera sembuh. Petunjuk dari dokter kepada pasien dapat berupa perintah atau berupa larangan.

3) Pasien wajib menaati peraturan rumah sakit (hal ini berlaku juga terhadap keluarga pasien dan rumah sakit). Dalam rangka

Page 206: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |197

memberi sarana perawatan untuk kesembuhan pasien maka rumah sakit memberi aturan/ peraturan. Dan peraturan tata tertib yang dibuat itu harus dipahami dan ditaati oleh pasien dan keluarga pasien. Aturan tentang jadwal besuk bagi pasien yang sedan gopname tidak lain untuk menunjang upaya penyembuhan pasien, karena pasien itu membutuhkan istirahat yang cukup.

4) Pasien wajib memberikan imbalan jasa kepada dokter. Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi sosial seorang dokter dalam masyarakat sehingga di sini dapat diharapkan suatu imbalan jasa yang tidak selalu sesuai dengan jasa yang telah diberikan oleh dokter, tetapi tentu pula dokter memperhatikan status sosial ekonomi pasien, terutama pasien dengan status ekonomi yang rendah.

5) Pasien atau keluarga wajib melunasi biaya rumah sakit. Saat pasien dirawat di rumah sakit maka rumah sakit mengeluarkan sejumlah biaya yang jumlahnya tidak sedikit. Pengeluaran tersebut harus segera ditutupi dengan biaya yang dibebankan kepada pasien yang bersangkutan atau yang menanggungnya. Hal ini merupakan hal yang wajar karena rumah sakit pun harus mempersiapkan pengeluaran lain untuk berikutnya di samping untuk membayar gaji para karyawannya.

Hak dan kewajiban pasien juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyebutkan Pasal 31 tentang kewajiban pasien, yaitu: 1) setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap Rumah Sakit atas

pelayanan yang diterimanya; 2) ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan

Peraturan Menteri.

Pasal 32 tentang hak pasien yaitu: 1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit; 2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; 3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi;

Page 207: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

198| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; 7) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya

dan peraturan yang berlaku di rumah Sakit; 8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada

dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk datadata medisnya.

10) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

11) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideri-tanya;

12) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; 13) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang

dianutnya selama dalam perawatan di Rumah sakit; 14) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit; 15) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya; 16) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan

agama dan kepercayaan yang dianutnya; 17) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit diduga memberikan

pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

18) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 208: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |199

b. Dokter Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak

dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan

sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.

2) Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien.

3) Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.

4) Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan.

5) Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya.

Disamping hak-hak tersebut dokter juga mempunyai

kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 34 Tahun 1983, di dalamnya ter-kandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi (Bahder Johan Nasution, : 34-35). 1) Kewajiban umum; 2) Kewajiban terhadap penderita; 3) Kewajiban terhadap teman sejawatnya; 4) Kewajiban terhadap diri sendiri.

Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran ter-

sebut, Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan sebagai berikut: (Bahder Johan Nasution, : 34-35). 1) Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan

yang ia miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian ter-

Page 209: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

200| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

sebut tidak menjanjikan menghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Karenanya bukan merupakan inspanningver-bittenis. Ini berarti bahwa dokter waib berusaha hati-hati dan kesungguhan (met zorg eh inspanning) menjalankan tuga-snya. Perbedaan antara resultaatverbitenis dengan inspan-ningsverbitenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.

2) Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya (karena dokter dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).

3) Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitanya. Kewajiban dokter ini dalam hal perjanjian perawatan (behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.

Kewajiban dokter di rumah sakit menurut Surat Edaran

yanmed No. YM.0204.3.5.2504 tahun 1997 adalah sebagai berikut: (Pitono Soeparto, : 47-48). 1) Dokter wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan

hubungan antara dokter tersebut dengan rumah sakit. 2) Dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan

standar profesi dan menghormati hak-hak pasien. 3) Dokter wajib merujuk pasien ke dokter lain/ rumah sakit lain

yang mempunyai keahlian/kemampuan yang lebih baik, apabila ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.

4) Dokter wajib memberikan kesempatan pada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya.

Page 210: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |201

5) Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.

6) Dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

7) Dokter wajib memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkan.

8) Dokter wajib membuat rekam medis yang baik secara 9) berkesinambungan berkaitan dengan keadaan pasien. 10) Dokter wajib terus menerus menambah ilmu pengetahuan

dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran. 11) Dokter wajib memenuhi hal-hal yang disepakati/ perjanjian

yang telah dibuatnya. 12) Dokter wajib bekerja sama dengan profesi dan pihak lain yang

terkait secara timbal balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.

13) Dokter wajib mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.

Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran disebutkan yang menjadi hak-hak dokter, yaitu : 1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan

tugas sesuai dengan standar profesi dan standar operasional; 2) Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan 3) standar prosedur operasional; 4) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien

atau keluarganya; dan 5) Menerima imbalan jasa.

Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran juga disebutkan mengenai kewajiban dokter, yaitu:

Page 211: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

202| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;

2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mem-punyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengo-batan;

3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mamou melakukannya; dan

5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

c. Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang perlu diketahui oleh semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit agar dapat menyesuaikan dengan hak dan kewajiban di bidang profesi masing-masing. Karena hak dan tanggung jawab ini berkaitan erat dengan pasien sebagai penerima jasa, maka masyarakatpun harus mengetahui dan memahaminya.

Hak rumah sakit adalah kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki rumah sakit untuk mendapatkan atau memutuskan untuk berbuat sesuatu Yaitu (https://somelus.wordpress.Com /2008/11/ 26/hak-dan-kewajiban-rumah-sakit-dokterdan-pasien/): 1) Membuat peraturan-peraturan yang berlaku di RS nya sesuai

dengan kondisi atau keadaan yang ada di RS tersebut (hospital by laws).

2) Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala pera-turan RS.

3) Mensyaratkan bahwa pasien harus mentaati segala instruksi yang diberikan dokter kepadanya.

Page 212: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |203

4) Memilih tenaga dokter yang akan bekerja di RS, melalui panitia kredential.

5) Menuntut pihak-pihak yang telah melakukan wanprestasi (termasuk pasien, pihak ketiga, dll).

6) Mendapat jaminan dan perlindungan hukum. 7) Hak untuk mendapatkan imbalan jasa pelayanan yang telah

diberikan kepada pasien.

Kewajiban rumah sakit:

1) Mematuhi peraturan dan perundangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

2) Memberikan pelayanan pada pasien tanpa membedakan golongan dan status pasien.

3) Merawat pasien sebaik-baiknya dengan tidak membedakan kelas perawatan (Duty of Care).

4) Menjaga mutu perawatan tanpa membedakan kelas pera-watan (Quality of Care).

5) Memberikan pertolongan pengobatan di Unit Gawat Darurat tanpa meminta jaminan materi terlebih dahulu.

6) Menyediakan sarana dan peralatan umum yang dibutuhkan. 7) Menyediakan sarana dan peralatan medik sesuai dengan

standar yang berlaku. 8) Menjaga agar semua sarana dan peralatan senantiasa dalam

keadaan siap pakai. 9) Merujuk pasien ke RS lain apabila tidak memiliki sarana,

prasarana, peralatan dan tenaga yang diperlukan. 10) Mengusahakan adanya sistem, sarana dan prasarana pen-

cegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana. 11) Melindungi dokter dan memberikan bantuan administrasi dan

hukum bilamana dalam melaksanakan tugas dokter tersebut mendapatkan perlakuan tidak wajar atau tuntutan hukum dari pasien atau keluarganya.

12) Mengadakan perjanjian tertulis dengan para dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut.

Page 213: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

204| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

13) Membuat standar dan prosedur tetap untuk pelayanan medik, penunjang medik, maupun non medik.

14) Mematuhi Kode Etik Rumah Sakit (KODERSI).

Dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan tentang kewajiban rumah sakit, yaitu :

1) Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;

2) Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepen-tingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;

3) Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

4) Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan kemampuan pelayanannya;

5) Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;

6) Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;

7) Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pela-yanan kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani pasien;

8) Menyelenggarakan rekam medis; 9) Menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak

antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, lanjut usia;

10) Melaksanakan sistem rujukan; 11) Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan

standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan;

Page 214: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |205

12) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur me-ngenai hak dan kewajiban pasien;

13) Menghormati dan melindungi hak-hak pasien; 14) Melaksanakan etika Rumah Sakit; 15) Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penang-

gulangan bencana; 16) Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan

baik secara regional maupun nasional; 17) Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik

kedokteran atau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;

18) Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (hospital by laws);

19) Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan

20) Memberlakukan seluruh lingkungan rumah sakit seb-agai kawasan tanpa rokok.

Selain itu hak-hak rumah sakit disebutkan juga dalam Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 tentang Rumah Sakit, yaitu: 1) Menentukan jumlah, jenis, dan kualifikasi sumber daya

manusia sesuai dengan klasifikasi Rumah Sakit; 2) Menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remu-

nerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3) Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka mengembangkan pelayanan;

4) Menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

5) Menggugat pihak yang mengakibatkan kerugian; 6) Mendapatkan perlindungan hokum dalam melaksanakan

pelayanan kesehatan; 7) Mempromosikan layanan kesehatan yang ada di Rumah

Sakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-unda-ngan; dan

Page 215: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

206| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

8) Mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan.

E. RANGKUMAN MATERI Aspek hukum perdata dalam kesehatan adalah bagian dari

Perjanjian Terapeutik yang merupakan suatu bentuk perjanjian atau perikatan antara tenaga kesehatan dalam hal ini Dokter dengan pasien, yang berlaku semua ketentuan hukum perdata, dalam Perjanjian tera-peutik pada hubungan dokter Dan pasien tercakup dalam pengertian perjanjian Inspannings verbintenis (berdasarkan usaha) yaitu objek Dari pada perjanjian terapeutik adalah bukan pada hasil yang ingin dicapai yaitu kesembuhan, melainkan suatu usaha dokter yang maksimal untuk kesembuhan pasien. Perjanjian yang terjadi antara dokter dengan pas-ien untuk dilakukan tindakan medis adalah pada saat pasien datang membawa keluhan, menyatakan menyetujui untuk diambil tindakan medis, dilakukan anamnesa, (wawancara), dan berdasarkan pada info-rmed consent yang diperoleh dokter menjadi dasar untuk dilakukan tindakan medis. Pada saat itulah terjadi kesepakatan antara dokter dengan pasien yang disebut dengan perjanjian terapeutik.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Jelaskan apa itu Perjanjian Terapeutik ? 2. Bagaimana hubungan hukum antara Pasien dengan Tenaga Kese-

hatan, jelaskan ! 3. Uraikan secara singkat Hak dan Kewajiban para pihak dalam Perjan-

jian Terapeutik ?

Page 216: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |207

DAFTAR PUSTAKA

Alfred A Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran dalam Husein Kerbala, Segisegi Etis dan Yuridis Informed Consent, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan-Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : Rineka Cipta, 2005.

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta Barat, Bina Rupa Aksara, 1996.

Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2009.

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta: Grafikatama Jaya,1991.

Hermien Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Surabaya : Citra Aditya Bakti, 1991

HS Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUHPerdata. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1998.

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggungjawaban Menurut Hukum Perdata, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006.

M.Jusuf Hanafiah, Amir Amri, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Buku Kedokteran, Jakarta, 2008.

Pitono Soeparto, dkk, Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Surabaya, Airlangga University Press, 2006.

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2005.

Page 217: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

208| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak DI Luar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009.

Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009.

S. Soetrisno, Malpraktek : Medik dan Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, Tangerang : Telaga Ilmu Indonesia, 2010.

Veronica Komalawati, Hukum dan etika Praktek Dokter, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1989.

Y.A. Triama Ohoiwutun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, Bayumedia Publishing, Malang, 2007.

Page 218: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |209

PROFIL PENULIS

MUCHTAR ANSHARY HAMID LABETUBUN,SH.,MH, berasal dari Suku Kei / Nuhu Evav, dilahirkan di Tual Kabupaten Maluku Tenggara (Sekarang Kota Tual) pada Tanggal, 30 Juli 1978, putra ke tiga dari empat bersaudara, putra dari pasangan Bapak Abdul Hamid Labetubun (Alm) dan Ibu Kalsum Narew. Menikah dengan Anita Elly, Amd.Keb dan dikaruniai

tiga putri bernama Meyraini Summah Labetubun, Khotimah Much-tarani Labetubun, dan Zahira Rizqiella Labetubun.

Menempuh pendidikan formal pada SD N Lengga Desa Elaar Let Kabupaten Maluku Tenggara lulus Tahun 1992, MTs Filial Mastur Kabupaten Maluku Tenggara lulus Tahun 1995, SMU N 1 Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara lulus Tahun 1998, Sarjana Hukum (SH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Lulus Tahun 2003 dengan Judul Skripsi: Perdamaian Di Depan Sidang Pengadilan dalam Penyelesaian Perkara Perdata: Suatu Tinjauan Hukum Di Pengadilan Negeri Tual, Magister Hukum (MH) Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang lulus Tahun 2010 dengan Judul Tesis: Perlindungan Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) atas Desain Industri Terhadap Produk Kerajinan Kerang Mutiara Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Di Kota Ambon.

Saat ini menjadi Dosen Tetap di Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, pada Tahun 2005 diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Tahun 2006. Sekertaris Bagian (Jurusan) Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Pattimura Periode 2016-2020.

Selain itu Penulis aktif menulis artikel yang dipublikasikan dibeberapa jurnal pada beberapa Perguruan Tinggi dan sebagai Pe-makala pada Konferensi dan Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh APHK (Asosiasi Pengajara Hukum Keperdataan), ADHAPER (Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata) dan APHKI (Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual).

Page 219: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

210| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 220: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |211

Page 221: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

212| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

BAB 10 ASPEK HUKUM

ADMNISTRASI DALAM KESEHATAN

Dr. Zuardin Arif, SKM, M.H.Kes Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya A. PENDAHULUAN

Kehidupan manusia dalam suatu masyarakat memerlukan perli-ndungan kepentingan. Menurut Sudikno Mertokusumo perlindungan kepentingan tersebut tercapai dengan terciptanya pedoman hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam masyarakat agar tidak merugikan orang lain dan dirinya sendiri (Mertukusumo S, 2012). Pedoman untuk berprilaku atau bersikap dalam kehidupan bersama ini disebut norma atau kaedah. Jimly Asshi-ddiqie menyebutkan, bahwa yang disebut norma atau kaedah adalah pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran, atau perintah (Asshiddiqie, J, 2006). Baik

Page 222: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |213

anjuran maupun perintah dapat berisi kaedah yang bersifat positif atau negatif, sehingga mencakup norma anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.

Paul Scholten mengemukakan bahwa hukum bukanlah kumpulan norma-norma (C.A. Paul Scholten, 1934) (er is geen andere regel dan die van het feiten complex in zijn geheel). Hal senada juga yang dikemukakan oleh Van Kan bahwa “...het recht is een geheel van dwingende leefrechts ter beveiling van de belangen der mensen in samenleving (Van Kan, 1951). Dengan demikian, hukum memang sengaja diciptakan untuk melindungi kepentingan manusia dalam kehidupan bersama, oleh karena itu sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Llewellyn bahwa hubungan antara hukum dan masyarakat demikian erat. Selanjutnya, beliau mengemukakan sebagai berikut: “Law or legal system is an aspect of organized society, and in so far as an attempt is made to explain the system as a whole, to describe its structure, or to indicate the relations of the system or its parts to society, however misguided the result may seem to one or other contemporary school of sociologists”. Selain itu, Karl Llewellyn menyebutkan bahwa hukum adalah “...what officials do about dispute is....the law itself”. Hart (1984) mengemukakan bahwa yang disebut sebagai hukum apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu: 1. Rules forbidding or enjoining certain types of behavior under

penalty: 2. Rules requiring people to compensate those whom they injure in

certains ways; 3. Rule specifying what must be done to make wills, contracts, or

other arrangements which confer right and create obligations; 4. Courts to determine what the rules are and when they have been

broken, and to fix the punishment or compensation to be paid; 5. A legislature to meke new rules and abolish old ones.

Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Hart di atas, hukum dapat

meliputi baik sebagai peraturan tingkah laku dalam masyarakat, put-usan pengadilan mengenai apakah peraturannya untuk dapat dihukum,

Page 223: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

214| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

maupun pembentuk undang-undang yang membuat hukum baru serta menghapus peraturan yang lama.

Membahas hukum kesehatan di Indonesia pada prinsipnya tidak terlepas dari sistem hukum yang dianut oleh suatu negara atau masyarakatnya. Menurut literatur hukum, ada dua sistem hukum yang paling menonjol yaitu sistem Eropa Kontinental dan sistem Anlgo Saxon. Namun dengan adanya kedua sistem hukum di atas, menurut Hermien Hadiati Koeswadji (2002) tidak menutup kemungkinan adanya sistem hukum yang ketiga, yaitu sistem hukum campuran. Khususnya bagi suatu masyarakat yang majemuk (pluralistik) seperti Indonesia, kemungkinan dianutnya sistem hukum yang ketiga ini bisa saja terjadi.

Sistem hukum Anglo Saxon dan Eropa Kontinental dalam kaitan ini akan saling melengkapi, utamanya dalam menerapkan kaedah-kaedah hukum kesehatan. Kondisi demikian, sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Sluiters seorang pakar hukum kesehatan dari Bel-anda dan Margaret Brazier dari Inggris, “bahwa negara Belanda adalah terlampau kecil untuk dapat dengan kekuatan sendiri membentuk suatu hukum kesehatan yang sedemikian luas dan rumit. Kita dapat mengambil contoh dari negara Amerika yang telah mempunyai pengalaman lebih dulu, di sini menandakan adanya saling memerlukan satu sama lainnya” (J. Guwandi, 2003).

Konsep kesehatan (health) menurut WHO (World Health Organization) tahun 1946, adalah: “a state of complete psysical, men-tal and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Rumusan kesehatan tersebut, mengalami perkembangan menjadi: the enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental righs of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition. Sel-anjutnya, definisi ini lebih diartikan: “The health of all people is fun-damental to the attainment of peace and security and is independent upon the fullest cooperation of individuals and states”. Melalui Konfrensi Otawa 1986, WHO selanjutnya merumuskan kesehatan sebagai:

Page 224: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |215

“Health has been considered less as an abstract state and more as a men us to end which can be expreseed in functional terms as resource which permits people to lead an individually, socially, and economically productive life. Health is a resource for everyday life, not the object of living. It is positive concept emphazing social and personal resources as well a physical capabilities” ( Manoj Sharma dan Ashutosh Atri, 2010).

Banyak aspek kesehatan yang harus dipertimbangkan (Patricia A. Potter dan Anne G. Perry, 2009) mengemukakan bahwa kesehatan merupakan suatu keadaan yang didefinisikan seseorang berdasarkan nilai, kepribadian dan gaya hidupnya. Selanjutnya, Pender, Murdaugh dan Parsons mengemukakan, bahwa kesehatan sebagai perwujudan potensi manusia intrinsik dan ekstrinsik melalui tingkah laku yang diarahkan oleh tujuan hidup, perawatan diri yang kompeten, dan hubu-ngan dengan orang lain yang memuaskan, dengan penyesuaian yang dilakukan untuk mempertahankan integritas struktural dan harmoni dengan lingkungan.

Selanjutnya dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan kesehatan adalah: “state of being hale, sound or whole in body, mind or soul, wellbeing. Freedom from pain or sickness”, sedangkan untuk sehat (healthy) diartikan: free from disease, injury, or bodily ailment, or any state of the system peculiarly susceptible or liable to disease or bodily ailment. Apa yang dirumuskan dalam Black’s Law Dictionary tersebut tidak berbeda dengan apa dirumuskan oleh WHO, bahwa kesehatan mengandung makna dalam keadaan kuat baik fisik maupun rohani dan terbebas dari rasa sakit atau penyakit. Indonesia melalui UU No.36 Tahun 2009 merumuskan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Apabila dikaitkan dengan hukum, maka hukum kesehatan men-urut Verbog dan Tengker merupakan salah satu bidang hukum yang masih sangat muda usianya. Selain itu, walaupun relung-relungnya sebagai suatu disiplin ilmu sudah mulai merekah, namun batas-batas hukum kesehatan belum dapat ditarik secara sempurna. Semenjak tahun limapuluhan hukum kesehatan berkembang sebagai suatu pengkhususan ilmu hukum, terutama di negara Belanda dan Perancis

Page 225: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

216| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

yang selanjutnya disusul oleh Amerika Serikat (Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987).

B. PENGERTIAN DAN PENGATURAN PELAYANAN KESEHATAN Pelayanan kesehatan (health care service) merupakan salah satu

upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keselu-ruhan. Menurut Lavey dan Loomba mengatakan bahwa ;

“Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditu-jukan terhadap perorangan, kelompok atau masyarakat”.

Pengertian pelayanan kesehatan di atas, senada dengan penda-patnya Abdul Bari Syaifudin (2002)yang menyatakan bahwa ;

“Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk mem-elihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat”.

Masih dalam kaitannya dengan batasan pelayanan kesehatan di atas, Soerjono Soekanto (1999) enyatakan bahwa :

“Pelayanan kesehatan merupakan suatu usaha profesi kesehatan untuk mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan pada setiap orang atau masyarakat yang lebih baik dari keadaan kesehatan sebe-lumnya, secara terus menerus dan berkesinambungan agar dapat hidup sejahtera serta produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan kondisi, situasi dan kemampuan yang nyata dari setiap orang ataupun masyarakat”.

Menurut Wiku Adisasmito (2008) dalam studinya tentang analisis kebijakan kesehatan berpendapat bahwa ;

“Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditu-jukan untuk meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara

Page 226: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |217

terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya”.

Dari pengertian pelayanan kesehatan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, bentuk dan jenis pelayanan kesehatan mengandung banyak ragamnya, oleh karenanya sangat ditentukan oleh (Azrul Azwar, 1996) : 1. Pengorganisasian pelayanan, apakah diselenggarakan secara man-

diri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi; 2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeli-

haraan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya;

3. Sasaran pelayanan kesehatan, apakah untuk perseorangan, kelua-rga, kelompok ataupun untuk masyarakat secara keseluruhan.

Dilihat dari segi bentuk dan jenis pelayanan kesehatan, Hodgetts

dan Cascio sebagaimana dikutip oleh Azrul Anwar (2008) menjabarkan pelayanan kesehatan menjadi 2 (dua) macam, yakni ; 1. pelayanan kesehatan masyarakat, yakni bagian dari pelayanan

kesehatan yang tujuan utamanya memelihara dan meningkatkan kesehatan dan mencegah penyakit serta sasaran utamanya adalah kelompok dan masyarakat;

2. pelayanan medis, yakni bagian dari pelayanan kesehatan yang tu-juan utamanya menyembuhkan penyakit dan memulihkan kese-hatan serta sasaran utamanya adalah perseorangan dan keluarga.

Bilamana ditinjau dari segi pengaturan, pelayanan kesehatan

secara yuridis formal diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran, walaupun di dalam kedua Undang-Undang ter-sebut tidak ditemukan perumusan mengenai pelayanan kesehatan. Di dalam ketentuan umum Pasal 1 butir 11 hanya dirumuskan pengertian mengenai upaya kesehatan, yang menentukan bahwa:

Page 227: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

218| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

“Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan berkesina-mbungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan mas-yarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.

Lebih lanjut Pasal 46 menentukan bahwa, “Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diseleng-garakan upaya kesehatan terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat”. Kemudian Pasal 47 menentukan bahwa, “Upaya kesehatan diseleng-garakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, pre-ventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, men-yeluruh dan berkesinambungan”.

Dari ketentuan tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa, pada dasarnya masalah pelayanan kesehatan telah jelas diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, oleh karena pelayanan kesehatan meru-pakan bagian integral dari upaya kesehatan, yang diarahkan untuk me-wujudkan kesehatan secara perseorangan maupun kelompok atau masyarakat dengan berbagai pendekatan upaya kesehatan. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa, “Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana yang dima-ksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan pelayanan kese-hatan”.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga tidak ditemukan perumusan mengenani pela-yanan kesehatan, namun bila diperhatikan pada Bab II tentang Asas dan Tujuan, pada Pasal 3 nya dapat ditemukan ketentuan mengenai perlindungan kepada pasien dan meningkatkan mutu pelayanan medis. Secara lengkap Pasal 3 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 mene-ntukan bahwa Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk : 1. Memberikan perlindungan kepada pasien 2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang

diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan 3. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter, dan

dokter gigi”.

Page 228: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |219

Berdasarkan pada ketentuan tersebut di atas, maka dapat disim-pulkan, bahwa pengaturan tentang pelayanan kesehatan telah menda-patkan legitimasi yuridis dalam hukum positif yang berlaku setidak-tidaknya melalui amanat Undang-undang No.36 Tahun 2009 dan Undang-undang No. 29 tahun 2004, bahwa upaya kesehatan sasaran utamanya adalah perseorangan, keluarga, kelompok ataupun mas-yarakat.

C. HUKUM ADMNISTRASI DALAM KESEHATAN Ada berbagai istilah Hukum Administrasi yang dikenal di dalam

cabang hukum. Di Netherland dinamakan “Administratief Recht” dan Bestuursrecht”, di Perancis dinamakan “Droit Administratif”, di Inggris dan Amerika dinamakan “Administrative Law”, di Jerman dinamakan “Vervaltungsrecht” sedangkan di Indonesia terdapat istilah-istilah seperti “Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Administrasi Negara” (Prajudi Atmosudirdjo, 1986)

Istilah administrasi diantara para sarjana di Indonesia sendiri juga belum terdapat suatu keseragaman. Ada yang menggunakan istilah “tata usaha”, “tata pemerintahan” ataupun “administrasi”. Dalam penelitian ini digunakan istilah hukum administrasi negara dengan mengutip alasan-alasan yang diberikan oleh Rochmat Soemitro yang menyatakan bahwa: 1. Kata “administrasi” sudah diterima umum dan sudah digunakan

oleh pemerintah. Hal ini terbukti adanya nama “Lembaga Adm-inistrasi Negara”, “Administrasi Niaga” dan sebagainya. Di dala-mnya termasuk pula Administrasi Negara yang dilihat dari sudut hukumnya adalah Hukum Administrasi Negara;

2. Kata administrasi berasal dari kata Latin “administrare” mem-punyai dua arti yaitu: a. “tata usaha” yaitu setiap penyusunan keterangan yang

dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud men-dapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan lain.

b. “administrasi” yaitu untuk menyatakan pemerintahan suatu negara, propinsi, waterschap (subak), kota-kota dan maskapai-

Page 229: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

220| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

maskapai besar. Di Amerika Serikat yang disebut “adminis-tration” itu dimaksudkan keseluruhan pemerintah termasuk presiden; Dalam kata “administrasi” ini maka sudah tersimpul pula kata “tata usaha” sehingga apabila mengunakan kata administrasi negara maka didalamnya sudah tersimpul pula makna dari tata usaha. Kata administrasi memudahkan dalam mempelajari buku-buku asing yang di dalamnya terdapat kata “administration” atau “administratie” (Rochmat Soemitro, 1979) .

c. Dari istilah yang digunakan tersebut, maka berikut ini dikem-ukakan batasan hukum administrasi negara. Pengertian hukum administrasi negara di dalam Black’s Law Dictionary, didefi-nisikan sebagai berikut: “The law governing the organization and operation of the exe-cutive branch of government (including independent agencies) and the relations of the executive with the legislature, the judi-ciary, and the public”.

Menurut Sjachran Basah, pada hakekatnya hukum administrasi negara adalah pertama memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya dan yang kedua melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara dan juga melindungi administrasi negara itu sendiri11 . Sedangkan administrasi Negara mempunyai 2 (dua) arti, pertama dalam arti luas yaitu aktivitas-aktivitas badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan kedua dalam arti sempit yaitu aktivitas badan eksekutif dalam melaksanakan pemerintahan (Bachsan Mustafa, 2001).

Prajudi Atmosudirdjo memberikan batasan hukum administrasi Negara sebagai hukum yang bersifat operasional, artinya hukum yang membuat dan dipergunakan oleh para pejabat dan instansi negara dalam melakukan tugas, kewajiban, dan fungsi masing-masing, baik secara individual maupun instansional (Prajudi Atmosudirdjo, 1986). Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa campur tangan pemerintah yang dilakukan oleh alat-alat perlengkapan negara atau administrasi negara harus diberi landasan hukum yang

Page 230: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |221

mengatur dan melandasi administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Hukum yang memberikan landasan tersebut dinamakan Hukum Administrasi Negara.

Mengenai eksistensi hukum kesehatan, pada kenyataannya masih menimbulkan berbagai pendapat di kalangan para sarjana. C.J. Gaud-smid mengemukakan bahwa hukum kesehatan merupakan spesialisasi di dalam bidang hukum administrasi Negara (H.J.J.Leenen, 1988). Pendapat C.J. Gaudsmid tersebut, disempurnakan oleh Leenen:

“Bahwa hukum kesehatan merupakan spesialisasi horizontal yang dapat didekati atau dipelajari baik dari perspektif undang-undang dasar dan perjanjian-perjanjian internasional maupun dari segi hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara. Lebih lanjut Leenen mengemukakan bahwa hukum kesehatan merupakan kesel-uruhan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan langsung dengan pelayanan kesehatan dan penerapan kaedah-kaedah hukum perdata, hukum adiministrasi negara dan hukum pidana selama aturan-aturan itu mengatur hubungan hukum dalam pemeliharaan kesehatan”.

Selanjutnya, Van der Mijn seorang ahli hukum kesehatan menge-mukakan bahwa hukum kesehatan adalah:

“Sebagai seperangkat ketentuan yang secara langsung berhu-bungan baik dengan perawatan kesehatan maupun penerapan hukum sipil umum, hukum pidana dan hukum administrasi negara. Hukum kedokteran, mempelajari hubungan hukum di mana dokter adalah salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan” (Veronica Komalawati, 1989).

Dengan demikian, hukum kesehatan (gezondheidsrecht, health law) adalah lebih luas dari pada hukum kedokteran/medik (medical law). Hukum kedokteran di negara-negara maju lebih menekankan pada pengaturan pertanggungjawaban tenaga medik dalam mela-ksanakan profesinya (Kenneth Veitch, 2007). Baik hukum kesehatan maupun hukum kedokteran pada prinsipnya bukan saja menerapkan ketentuan hukum yang berlaku pada masalah yang dihadapi, tetapi keduanya mengandung aspek etik dan moral (Brenda Greene, 2005).

Berdasarkan pendapat Leenen dan Van der Mijn di atas, nampak bahwa pokok dari hukum kesehatan adalah ketentuan-ketentuan

Page 231: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

222| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

hukum yang berkenaan dengan pelayanan kesehatan dan di dalamnya juga diterapkan ketentuan hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara. Namun demikian, Van der Mijn membedakan hukum kesehatan dengan hukum kedokteran, maka tidak demikian dengan Leenen yang secara umum memberi batasan rumusan gezond-heidsrecht sebagai keseluruhan aktivitas yuridis dan pengaturan hukum di bidang pemeliharaan kesehatan beserta studi ilmiahnya. Lebih lanjut Leenen menentukan bahwa hukum kesehatan merupakan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan (zorg voor de gezondheid), dengan kata lain obyek hukum kesehatan adalah perawatan kesehatan.

Melalui perkembangannya, Leenen, Dute dan Kastelein mengemu-kakan bahwa hukum kesehatan selain menerapkan kaedah perdata dan administrasi negara juga menerapkan kaedah pidana. Engberts dan Kalman-Bogerd dalam Gezondheidrecht (2009) juga mengemukakan bahwa: “...het gezondheidrecht is een harizontal specialisme. Dat wil zeggen dat het zich niet laat onderbrengen in enn van de klassieke deelgebeiden van het recht: het privaatrecht (soms ook burgerlijjkrecht genoemd) en het publiekrecht, waarvan dell uit maken het staats en bestuursrecht en het strafrecht”. Penulis lain yaitu Gevers, Hondius dan Hubben dalam Health Law, Human Right and The Biomedicine Canve-nsion juga mengemukakan bahwa: “...health law is nothing more than a set of rules of civil, penal and administrative law having only one feature in common, namely their concern wiht problems of health care (K.M.Gevers, et all, 2005). Berdasarkan uraian di atas secara luas, dapat disimpulkan bahwa aspek hukum kesehatan meliputi: hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi negara, hukum dagang (yang meliputi asuransi kesehatan) dan hukum internasional dalam pembe-rantasan penyakit-penyakit tertentu seperti HIV (Human Immunode-ficiency Virus)/AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome), SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) dan flu burung (avian influenza).

Page 232: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |223

D. ASPEK-ASPEK HUKUM KESEHATAN

Aspek-aspek hukum kesehatan secara visual dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

Keterangan: 1. Aspek Pelayanan Kesehatan 2. Aspek Hukum Perdata 3. Aspek Hukum Pidana 4. Aspek Hukum Administrasi Negara 5. Aspek Hukum Dagang 6. Aspek Hukum Internasional

Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Leenen di atas, bahwa hukum kesehatan pada prinsipnya merupakan pengkhu-susan atau cabang ilmu hukum.

E. MALPRAKTIK ADMNISTRASI Persoalan hukum admnistrasi yang dapat terjadi dalam pelayanan

kesehatan terkait dengan malpraktik admnistrasi (administrative mal-praktik). Malpraktik administrasi terjadi jika dokter, tenaga kesehatan atau rumah sakit melakukan praktek dengan melanggar hukum admi-nistrasi negara seperti menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan praktek atau tindakan yang tidak sesuai dengan ijin yang dimilikinya, atau ijin yang dimilikinya sudah kadaluarsa dan ataupun menjalankan praktek tanpa membuat catatan medis yang jelas.

1 2 3

4

5

6

Page 233: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

224| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Aspek Hukum Administrasi dalam Penyelenggaraan Praktik Kedok-teran Setiap dokter/dokter gigi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik kedokteran dipersyaratkan untuk memi-liki izin. Izin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu: 1. izin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele

bevoegdheid) 2. izin dalam arti pemberian kewenangan secara materiil (materieele

bevoegdheid).

Secara teoritis, izin merupakan pembolehan (khusus) untuk mela-kukan sesuatu yang secara umum dilarang. Sebagai contoh: dokter boleh melakukan pemeriksaan (bagian tubuh yang harus dilihat), serta melakukan sesuatu (terhadap bagian tubuh yang memerlukan tindakan dengan persetujuan) yang izin semacam itu tidak diberikan kepada profesi lain.

Pada hakikatnya, perangkat izin (formal atau material) menurut hukum administrasi adalah: 1. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian izin (formal atau mate-

rial) dapat memberi kontribusi, ditegakkannya penerapan standar profesi dan standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh para dok-ter (dan dokter gigi) dalam pelaksanaan praktiknya.

2. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam rangka penyele-nggaraan praktik kedokteran, dan mencegah penyelenggaraan pra-ktik kedokteran oleh orang yang tidak berhak.

3. Mendistribusikan kelangkaan tenaga dokter/ dokter gigi, yang dik-aitkan dengan kewenangan pemerintah daerah atas pembatasan tempat praktik dan penataan Surat Izin Praktik (SIP).

4. Melakukan proses seleksi, yakni penilaian administratif, serta kem-ampuan teknis yang harus dipenuhi oleh setiap dokter dan dokter gigi.

5. Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.

Page 234: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |225

Dari sudut bentuknya, izin diberikan dalam bentuk tertulis, berda-sarkan permohonan tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan izin juga didasarkan pada kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis kedokteran. Pengeluaran izin dilan-daskan pada asas.asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik, persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan. Sela-njutnya apabila syaratsyarat tersebut tidak terpenuhi (lagi) maka izin dapat ditarik kembali. Telah terjadi beberapa perubahan mendasar yang berkaitan dengan perizinan di dalam UUPK, yaitu: 1. Digunakan terminologi Surat Tanda Registrasi (STR) yang diter-

bitkan oleh KK, sebagai pengganti terminologi Surat Penugasan (SP).

2. Untuk mendapatkan STR pertama kali dilakukan uji kompetensi oleh organisasi profesi (dengan sertifikat kompetensi).

3. Surat Tanda Registrasi (STR) diberikan oleh KKI dan berlaku selama lima tahun serta dapat diperpanjang melalui uji kompetensi lagi.

4. Masa berlaku SIP sesuai STR. Dengan kata lain, bila masa berlaku STR sudah habis maka SIP juga habis.

Sebagai implementasi dari UUPK, telah dikeluarkan Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 tentang Penye-lenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi untuk menata lebih lanjut masalah perizinan, termasuk aturan peralihan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul.

F. TANGGUNG JAWAB (LIABILITY) INSTITUSI LAYANAN KESEHATAN Pada doktrin liability korporasi, rumah sakit juga dianggap ber-

tanggung jawab apabila terjadi administrative malpraktik. Tanggung jawab melekat pada rumah sakit karena berutang legal duty terhadap pasien dan kewajiban tersebut tidak dapat di delegasikan terhadap staf medis maupun pihak lain. Pengadilan Conectitut mendefinisikan Cor-porate Liability sebagai “.

“Corporate negligence is the failure of those entrusted with the task of providing accommodations and facilities necessary to carry out

Page 235: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

226| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

the charitable purpose of the corporation to follow . . . the established standard of conduct to which the corporation should conform.”

Sebelum pertengahan tahun 1960-an pengadian pada umumnya membatasi tanggung jawab Rumah Seakit hanya sebatas persolan per-ekrutan karyawan dan pemeliharaan peralatan Rumah Sakit, bangunan dan lahan. Tugas ini tetap menjadi kewajiban potensial hingga saat ini.

Kelalaian pada peralatan ketika terjadi kerusakan yang tidak diperbaiki, peralatan yang disalahgunakan, atau tujuan yang tidak diperbolehkan. Tugas dan tanggung jawab rumah sakit termasuk dalam pemeliharaan perawatan, secara teratur sebelum digunakan. Peraturan dan ketentuan otoritas perizinan, standar akreditasi, dan buku petunjuk yang disediakan oleh produsen untuk memelihara peralatan dapat diterima pengadilan sebgai bukti standar perawatan yang diharapkan. Kegagalan pihak Rumah Sakit dan personal medis untuk memenuhi standar tersebut merupakan pelanggaran kewajiban.

Berdasarkan teori negligence, dokter dan penyedia layanan kese-hatan memiliki kewajiban untuk mengingatkan pasien tentang risiko yang diketahui saat pasien dipasangkan peralatan medis. Selain itu, saat ini pengadilan memperluas tanggung jawab rumah sakit untuk memberitahu pasien tentang risiko saat alat medis dilengkapi. Orga-nisasi layanan kesehatan juga memiliki tanggung jawab korporasi untuk memberikan pelatihan kepada karyawannya (Showalter, J. S. 2012)

G. PENYEDIA LAYANAN KESEHATAN SEBAGAI ENTITAS HUKUM Fasilitas pelayanan kesehatan mungkin saja dimiliki dan diken-

dalikan oleh beberapa entitas hukum. Beberapa entitas mungkin saja dimiliki oleh masyarakat, pemerintah maupun swasta. Terdapat dua jenis fasilitas layanan kesehatan swasta diantaranya dimiliki oleh swa-sta dan secara swadaya ataupun organisasi keagamaan. Dalam menge-mbangkan atau mengatur fasilitas tersebut penyedia layanan dapat memilih berbagai bentuk organisasi. Diantaranya bentuk bisnis kor-porasi atau non profit korporasi. Setiap bentuk badan hukum memiliki kekurangan dan kelebihan dalam menyediakan layanan kesehatan untuk masyarakat secara menyeluruh.

Page 236: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |227

Tanggung jawab dan aturan hukum yang berbeda untuk setiap jenis entitas di evaluasi berdasarkan tanggung jawab fasiltas layanan kesehatan, hal pertama yang dilakukan menentukan jenis entitas hukum dalam kasus khusus. Hal tersebut menjadi rumit karena pada kenyataannya beberapa fasilitas layanan kesehatan berbentuk orga-nisasi hybrid. Sebagai contoh rumah sakit milik pemerintah dapat dikelola oleh suatu lembaga swasta atau bisa dikelola untuk profit pada lembaga non-profit. Pada kasus tersebut mengevaluasi tanggungg jawab hukum menjadi lebih kompleks.

Secara historis, pada umumnya kepemilikan Rumah Sakit baik pemerintah atau swasta bersifat non-profit. Beberapa tahun belaka-ngan mulai terlihat trend orientasi profit. Penyedia layanan yang dimiiki oleh pemerintah merujuk pada fasilitas public. Banyak rumah sakit dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimiliki dan diatur oleh pem-erintah daerah seperti rumah sakit pemda maupun Puskesmas (Harris, D. M, 2008)

H. RANGKUMAN MATERI Malpraktik admnistrasi adalah apabila tenaga kesehatan (pemberi

jasa pelayanan kesehatan) telah melanggar hukum administrasi. Pela-nggaran hukum administrasi tersebut antara lain seperti tidak mem-punyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewe-nangan yang dimiliki.

Tanggung jawab hukum profesi kesehatan dalam malpraktik admi-nistrasi berupa pelanggaran terhadap ketentuan administrasi dalam pelaksanaan praktik profesi. Pelanggaran hukum administrasi dalam praktek profesi pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban hukum administrasi praktek profesi kesehatan. Kewajiban administrasi dalam praktek profesikesehatan dapat berupa kewajiban administrasi yang berhubungan dengan kewenangan sebelum profesi kesehatan tertentu melakukan pelayanan kesehatan dan kewajiban administrasi pada saat profesi kesehatan tertentu sedang melakukan pelayanan kesehatan.

Berdasarkan pada dua bentuk kewajiban administrasi di atas, maka terdapat dua bentuk juga pelanggaran administrasi, yaitu pelang-

Page 237: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

228| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

garan hukum administrasi tentang kewenangan praktek profesi dan pelanggaran administrasi mengenai pelayanan kesehatan. Terhadap pelanggaran administrasi tersebut, sanksi yang dapat diberikan adalah pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau kewajiban mengikuti pen-didikan atau pelatihan di institusi pendidikan profesi kesehatan.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Apakah perbedaan antara hukum kesehatan (Health Law) dan

hukum medis (Medical Law) ? 2. Bagaimanakah aspek hukum admnistrasi dalam pelayanan kese-

hatan menurut H.J.J.Leenen ? 3. Sebutkan dan jelaskan teori perbuatan administrative malpraktik ? 4. Sebutkan kewajiban admnistrasi dalam praktik kedokteran/profesi

kesehatan ? 5. Sebutkan dan jelaskan sanksi yang dapat diberikan dalam pelang-

garan admnistrasi praktik kedokteran/profesi kesehatan ?

Page 238: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |229

DAFTAR PUSTAKA Abdul Bari Syaifudin, 2002. Buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta Asshiddiqie, J. 2006. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Mahkamah

Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kenpaniteraan. Azrul Anwar, 2008. Kebijakan dan Sistem Kesehatan, Materi Kuliah

Kebijakan dan Sistem Kesehatan, Progran Studi Magister Ilmu Hukum,Pascasarjana UNSOED, Purwokerto.

Azrul Anwar, 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga, Binarupa Aksara, Jakarta

Brendan Greene, 2005, Understanding Medical Law, By Gavendish Publishing Oregon, USA.

C.A. Paul Scholten, 1934. Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlands Burgerlijk Recht. Algemeen Deel, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle.

D.D.Engberts dan L.E. Kalkman-Bogerd, 2009, Gezondheidsrecht, Bohn Stafleu van Loghum. Leiden.

Harris, D. M. 2008. Contemporary issues in healthcare law and ethics. Hermien Hadiati Koeswadji, 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan, Citra

Aditya Bakti, Bandung. Hall, M. A., Orentlicher, D., Bobinski, M. A., Bagley, N., & Cohen, I. G.,

2018. Health care law and ethics. Wolters Kluwer Law & Business. H.L.A.Hart, 1984. The Concept of Law, Oxford Unversity Press, Oxford H.J.J.Leenen, 1988. Handboek Gezondheidsrecht, Samson Uitgeverij

Alphen aan den Rijn, Brussel. J.Guwandi, (2003), Dokter, Pasien, dan Hukum, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta. J.K.M.Gevers, et all, 2005. Health Law, Human Rights and The

Biomedicine Convention, International Studies in Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers and VSP.

Kenneth Veitch, 2007. The Jurisdiction of Medical Law, by Ashgate Ltd, England.

Page 239: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

230| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Manoj Sharma dan Ashutosh Atri, 2010. Essential of International Health, By Jones and Bartleett Publishers LLC, USA.

Mertokusumo, S, 2012. Teori Hukum. Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.

Patricia A. Potter dan Anne G. Perry, 2009, Fundamentals of Nursing (Fundamental Keperawatan), Penerjemah dr.Adrina Ferderika, Edisi 7 Buku 1, Salemba Medika, Jakarta

Showalter, J. S.,2012. The law of healthcare administration. Health Administration Press

Soerjono Soekanto dan Herkutanto, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Remaja Karya, Bandung

Soejono Soekanto, 1990. Segi-segi Hukum Hak dan kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, CV. Mandar Maju, Bandung

S.Verbogt dan F.Tengker, Tanpa Tahun, Bab-Bab Hukum Kesehatan, Nova, Bandung.

Van Kan, 1951. Inleiding tot de Rechtswetenschap, V.U.B. Haarlem. Veronica Komalawati, 1989. Hukum dan Etika dalam Praktik Dokter,

Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Wiku Adisasmito, 2008. Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan

Diagnosis Related Group (DRG), Kelayakan Penerapannya di Indonesia, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta

Page 240: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |231

PROFIL PENULIS

Dr. Zuardin Arif, SKM, M.H.Kes, Penulis lahir di Kota Baubau, 12 Mei 1987, menyelesaikan pendidikan Doktoral (Dr) pada Fakultas Kese-hatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Mak-assar, dengan minat Studi Kebijakan dan Hukum Kesehatan predikat Cum Laude, Magister Hukum Kesehatan (M.H.Kes) Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan Predikat Cum Laude dan Sarjana Kesehatan Mas-yarakat (SKM), Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Tamalatea Makassar. Saat ini bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya. Selain Itu penulis juga bekerja sebagai Penyuluh Anti Korupsi LSP KPK RI dan Asesor Kompetensi BNSP RI. Email: [email protected], Scopus ID: 57207834348.

Page 241: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

232| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Page 242: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |233

Page 243: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 11 PERTANGGUNG JAWAB

HUKUM BIDANG KESEHATAN

Dr. Anna Yuliana, M.Si STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

A. PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB HUKUM Tanggung jawab dalam kamus Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkirakan, dan sebagainya) (Dar-yanto, 1997). Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu kese-harusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya (Hamzah, 2005). Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensikebebasan seorang tentang perbua-tannya yang berkaitan dengan etika atau moraldalam melakukan suatu perbuatan (Notoatmojo, 2010).

Tanggung jawab hukum itu terjadi karena adanya kewajiban yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang melakukan perjanjian, hal

Page 244: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |235

tersebut juga membuat pihak yang lain mengalami kerugian akibat haknya tidak dipenuhi oleh salah satu pihak tersebut.

Tanggung jawab hukum memiliki beberapa arti. Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikansebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada (Khairunnisa, 2009).

Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang mel-ahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggung-jawabannya (Titik Triwulan, 2010).

B. MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB Macam-macam tanggung jawab adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab dan Individu

Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari per-buatan mereka. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan.

Istilah tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka 2. Tanggung jawab dan kebebasan

Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan. Orang yang dapat bertanggung jawab terhadap tindakannya dan mem-pertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas. Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan

Page 245: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

236| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya.

Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh penge-tahuan dan energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian. Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. 3. Tanggungjawab sosial

Dalam diskusi politik sering disebut istilah tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi dari tanggu-ngjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada, tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi.

Untuk mengimbangi tanggungjawab sosial, pemerintah membuat sejumlah sistem, mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela. Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri sendiri dan orang lain.Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan sebagai ganti tanggungjawab. 4. Tanggung jawab terhadap orang lain

Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang lain. Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia

Page 246: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |237

saling memberikan tanggung jawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya, anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit. Ini khususnya menyangkut manusia yang karena berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk perkawinan atau tidak. Tang-gungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa beranekaragam. Yang penting adalah prinsip sukarela – pada kedua belah pihak. Pertang-gungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh digantikan dengan perwalian. 5. Tanggungjawab dan risiko

Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehi-langan pekerjaan dan bahkan harta bendanya. Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut, misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah, melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggung jawab dan bijaksana. 6. Tanggung Jawab dalam Pelayanan Kesehatan

Pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan atau pelayanan medis yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud adalah dokter yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien.

Apabila dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan meng-akibatkan kerugian terhadap pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit, terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu.

Page 247: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

238| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Apabila kesalahan dilakukan oleh dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter sebagai pelak-sana tindakan medis dapat dikenakan sanksi.

Dengan demikian pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan merupakan pertanggungjawaban yang terjadi karena adanya unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merugikan pasien. Rumah sakit sebagai pihak yang mempe-kerjakan tenaga kesehatannya harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya tersebut.

Bisa dilihat Tanggung Jawab dalam Hukum Kesehatan diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, sebagai berikut: a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,

tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menim-bulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

C. TANGGUNG JAWAB HUKUM PIDANA BIDANG KESEHATAN Hukum pidana termasuk dalam hukum yang berlaku umum,

dimana setiap orang harus tunduk kepada peraturan dan pelaksanaan aturan ini dapat dipaksakan, sehingga setiap anggota masyarakat termasuk asisten profesi harus taat, juga termasuk orang asing yang berada dalam wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana, bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari: 1. Kesengajaan (Dolus): dalam KUHP dicantumkan kesengajaan adalah

kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan -perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

Page 248: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |239

2. Kealpaan (Culpa), pada umumnya kealpaan itu terdiri dari dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disam-ping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari per-buatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang.

Dengan demikian tiap melanggar hukum, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar, berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Selanjutnya agar perbuatan pelang-garan hukum dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diar-tikan bahwa orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri. Setiap tindakan medis selalu mengandung resiko, sekecil apa-pun tindakan medis, dapat saja menimbulkan resiko yang besar sehi-ngga mengakibatkan pasien mengalami kerugian.

Dalam hal terjadi resiko baik yang dapat diprediksi maupun tidak dapat diprediksi, profesi kesehatan tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya. Tanggung jawab profesi kesehatan dapat dimintakan apabila berbuat kesalahan atau kelalaian. Dalam dunia kesehatan, tuntutan malpraktik berdasarkan hukum pidana (dengan kata lain sebagai krimi-nalitas dalam bidang medik) yang tercatat dalam literatur-literatur sebenarnya tidak banyak. Meskipun demikian, perlu diketahui bebe-rapa perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktik pidana antara lain: Penganiayaan (Mishandeling), kealpaan yang menyebabkan luka-luka dan kealpaan yang menyebabkan kematian.

Tidak semua malpraktik medis masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 unsur yang harus dipenuhi yaitu: pertama, sikap batin profesi kesehatan (ada kesengajaan atau dolus atau culpa); kedua, tindakan medis yang dilakukan melanggar standar profesi, standar operasional prosedur atau mengandung sifat melawan hukum, tidak sesuai dengan kebutuhan media pasien; ketiga, menimbulkan luka-luka (Pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien.

Page 249: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

240| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Pertanggungjawaban pidana dengan mengedepankan dan mene-tapkan pelaku tindak pidana sebagai subyek hukum pidana, dalam ketentuan perundang-undangan agar pelaku tindak pidana dapat dipe-rtanggungjawabkan atas segala perbuatan hukum yang dilakukannya sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, dengan dapat dipertanggungjawabkannya subyek hukum pidana tersebut tentunya akan memberikan detteren effect untuk tidak melakukan tindak pidana, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana di kemudian hari. Perbedaan mendasar antara tindak pidana biasa dan tindak pidana medis terletak pada fokus tindak pidana tersebut. Fokus tindak pidana biasa terletak pada akibat dari tindak pidana, sedangkan pada tindak pidana medis fokusnya pada sebab atau kausa dari tindak pidana dan pertanggungjawaban pidananya harus dapat dibuktikan tentang adanya kesalahan professional.

Kesalahan dalam tindak pidana medis pada umumnya terjadi karena kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal ini dapat terjadi karena tenaga kesehatan mela-kukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang harusnya dilakukan. Penentuan tentang ada tidaknya kelalaian dalam pelaksanaan tindakan asisten profesi, harus dilihat secara komprehensif yakni ada tidaknya kompetensi dan kewenangan yang dimiliki seorang asisten profesi, bagaimana seharusnya asisten parawat melakukan tindakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan ukuran sikap dan tindakan asisten profesi dalam situasi dan kondisi. Penentuan tingkat kesalahan tentang ada atau tidaknya kela-laian asisten profesi harus dibedakan antara lain. 1. Masa kerja asisten profesi dengan kemampuan rata-rata; 2. Fasilitas sarana kesehatan yang tersedia pada waktu dilakukannya

tindakan pelayanan kesehatan; 3. Faktor-faktor penunjang lainnya yang berpengaruh dalam tindakan

medis yang telah dilakukan oleh asisten profesi.

Asisten profeasi yang melakukan praktik pelayanan kesehatan masyarakat, hanya dapat dituntut secara pidana apabila terjadi culpa lata yaitu cacat baik permanen maupun tidak dan juga terjadi kematian dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tersebut, selain melakukan

Page 250: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |241

culpa lata, asisten profesi dapat dituntut secara pidana apabila ia mela-kukan perbuatan melawan hukum, dimana dalam menjalankan praktik pelayanannya bertentangan atau tidak sesuai dengan tata atau keter-tiban yang dikehendaki oleh hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini, asisten profesi hanya dapat mela-kukan praktik pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan perun-dang-undangan sehingga nantinya tidak menimbulkan perbuatan melawan hukum yang dapat dituntut pertanggungjawabannya secara pidana.

D. TANGGUNG JAWAB HUKUM PERDATA BIDANG KESEHATAN Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung

jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan tetapi jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-undangan dari per-buatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menim-bulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut: 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur keseng-

ajaan maupun kelalaian) 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian

Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kela-

laian) sebagaimanapun terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: “tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa

Page 251: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

242| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian seba-gaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata yaitu: “setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang diseba-bkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam Pasal 1367 KUHPerdata yaitu: a. seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugain yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya;

b. orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua dan wali;

c. majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertang-gung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya;

d. guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada dibawah pengawasan mereka;

e. tanggung jawab yang disebutkan diatas berkahir, jika orangtua, wali, guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.

Selain dari tanggung jawab perbuatan melawan hukum, KUH-Perdata melahirkan tanggung jawab hukum perdata berdasarkan wan-prestasti. Diawali dengan adanya perjanjian yang melahirkan hak dan

Page 252: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |243

kewajiban. Apabila dalam hubungan hukum berdasarkan perjanjian tersebut, pihak yang melanggar kewajiban (debitur) tidak melak-sanakan atau melanggar kewajiban yang dibebankan kepadanya maka ia dapat dinyatakan lalai (wanprestasi) dan atas dasar itu ia dapat dimi-ntakan pertanggungjawaban hukum berdasarkan wanprestasi. Sem-entara tanggungjawab hukum perdata berdasarkan perbuatan mela-wan hukum didasarkan adanya hubugan hukum, hak dan kewajiban yang bersumber pada hukum.

E. TANGGUNG JAWAB BAGIAN ADMINISTRASI

BIDANG KESEHATAN Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemeri-

ntah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi asisten profesi untuk menjalankan tugasnya (surat ijin kerja, surat ijin praktek), batas kewenangan serta kewajiban asisten profesi.

Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pelanggaran administrasi adalah apabila asisten profesi telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran terhadap hukum administrasi tersebut antara lain seperti para asisten profesi yang tidak mempunyai surat ijin kerja, surat ijin praktek, atau melangar batas kewenangan. Aspek hukum administrasi dalam penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan, setiap asisten profesi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin menjalankan praktik dipersyaratkan untuk memiliki ijin. Ijin menjalankan praktik memiliki dua makna, yaitu: 1. Ijin dalam arti pemberian kewenangan secara formil (formeele

bevoegdheid); 2. Ijin dalam arti pemberian kewenangan secara materil (materieele

bevoegdheid). Pada hakikatnya, perangkat ijin menurut hukum administrasi adalah:

3. Mengarahkan aktivitas artinya, pemberian ijin (formal atau materil) dapat memberi kontribusi dan standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh asisten profesi dalam pelaksanaan praktiknya;

Page 253: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

244| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

4. Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam pelaksanaan praktik dan mencegah penyelenggaraan praktik pelayanan kesehatan oleh orang yang tidak berhak ;

5. Melakukan proses seleksi yakni penilaian administrasi, serta kema-mpuan teknis yang harus dipenuhi oleh setiap perawat ;

6. Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.

Dari sudut bentuknya, ijin diberikan dalam bentuk tertulis, berda-sarkan permohonan tertulis yang diajukan. Lembaga yang berwenang mengeluarkan ijin juga didasarkan pada kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis tenaga kesehatan. Pengeluaran ijin dilandaskan pada asas keterbukaan, ketertiban, ketelitian, keputusan yang baik, persamaan hak, kepercayaan, kepatutan dan keadilan. Sela-njutnya apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka ijin dapat ditarik kembali. Di dalam Undang-Undang Tenaga Kesehatan Tahun 2014, hal mendasar yang berkaitan dengan perizinan yaitu: 1. Digunakan Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh MTKI

yang berlaku selama lima tahun ; 2. Untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi, pertama kali dilakukan

uji kompetensi oleh organisasi profesi (dengan sertifikat kom-petensi) ;

3. Masa berlaku Surat Ijin Praktek sesuai dengan Surat Tanda Regis-trasi. Dengan kata lain, bila masa berlaku Surat Tanda Registrasi sudah habis maka Surat Ijin Praktek juga habis.

Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir kar-ena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi ter-hadap penyelenggaraan praktik tenaga kesehatan dalam hal ini asisten profesi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang Tenaga Kesehatan telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati setiap tenaga kesehatan yakni: Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur, bagi asisten profesi setiap kewenangan sudah dicantumkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan

Page 254: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |245

tentang Asisten Tenaga Kesehatan. Ketiadaan persya-ratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan malpraktik.

Ketiadaan surat ijin praktik dan surat tanda registrasi dalam men-jalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administratif malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Bentuk Sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini adalah teguran lisan, teguran tertulis, denda admini-stratif dan pencabutan izin. Berdasarkan Undang-Undang Tenaga Kese-hatan, dimana tercantum bahwa setiap asisten tenaga kesehatan harus memiliki Sertifikat Ujian Kompetensi dan Surat Tanda Registrasi untuk dapat menjalankan praktik yang telah ada sebelum di undangkan peraturan ini untuk jangka waktu 6 tahun.

Dengan demikian, asisten profesi yang telah melakukan praktik de-ngan memiliki surat tanda registrasi tidak dapat dikenai sanksi administratif, karena telah dilindungi oleh ketentuan ini. Namun dalam ketentuan tersebut juga telah diuraikan kewenangan berupa tindakan-tindakan yang boleh dilakukan meliputi, melakukan kebersihan ling-kungan pasien, meja, tempat tidur, dan kelengkapannya; melakukan personal hygiene pasien termasuk asistensi terhadap pasien; mela-kukan pencucian peralatan dan melakukan dekontaminasi peralatan keperawatan; membersihkan dan merapihkan alat tenun dan tempat tidur pasien; melakukan asistensi penggantian alat tenun tempat tidur yang ada pasien diatasnya; mengidentifikasi dan melaporkan situasi lingkungan yang dapat membahayakan keselamatan klien atau pasien.

Dengan adanya batasan kewenangan tindakan yang boleh dila-kukan asisten, maka akan memperjelas dan mempertegas apabila pada praktiknya asisten melakukan pelayanan kesehatan diluar batasan, dapat dimintai pertanggungjawaban hokum.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa asisten profesi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana, perdata dan administrasi dalam praktik pelayanan yang dilakukannya. Tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seseorang tentang perbuatannya, yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu per-buatan. Dasar pertanggungjawaban yaitu adanya kesalahan dan risiko. Prinsip pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti,

Page 255: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

246| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesa-lahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah perawat tergugat langsung bertanggung jawab sebagai risiko tindakannya.

Aspek pertanggungjawaban secara hukum perdata, seorang asis-ten profesi dapat diminta pertanggungjawaban secara perdata dan tindakan asisten profesi dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum, apabila dari tindakan tersebut terpenuhinya unsu-unsur yang tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata, adanya kerugian nyata yang diderita sebagai akibat langsung dari perbuatan tersebut. Sementara pertanggungjawaban dalam kategori wanprestasi apabila terpenuhinya unsur-unsur wanprestasi yang terdapat pada Pasal 1234 KUHPerdata.

Aspek pertanggungjawaban hukum pidana, seorang asisten profesi dapat diminta pertanggungjawabannya pada saat terpenuhinya unsur-unsur, antara lain: suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum, ma-mpu bertanggung jawab, adanya kesalahan (schuld) berupa kesenga-jaan (dolus) seperti yang tercantum dalam Pasal 338 KUHP, 340 KUHP, atau karena kealpaan (culpa) yang dimana terdapat pada Pasal 359 KUHP dan 360 KUHP. Sedangkan asisten profesi juga dapat diminta pertanggungjawaban secara administrasi apabila asisten profesi melanggar hukum administrasin seperti tidak mempunyai surat tanda registrasi, surat izin kerja, surat ijin praktik dan melanggar.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Uraikan tentang arti tanggung jawab secara hukum ? 2. Bagiamana perbedaan tanggung jawab secara hukum pidana dan

perdata dalam bidang kesehatan? 3. Sebutkan kategori perbuatan yang melanggaar hokum! 4. Syarat perijininan apa saja yang harus dimiliki seorang praktisi

kesehatan sehingga dianggap memenuhi syarat untuk melakukan praktik?

5. Sebutkan batasan tanggung jawab tenaga administrasi kesehatan!

Page 256: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |247

DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. (1997). Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Appolo. Djojodirdjo, M. M. (1982). Perbuatan Melawan Hukum : Tanggung

Gugat (aansprakelijkheid) Untuk Kerugian Yang Disebabkan Karena Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

Hamzah, A. (2005). Kamus Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. Hayek, F. A. (2001). Tanggung Jawab Individu. Jakarta: Pradya

Paramitha. Indonesia, U. U. (2014). Keperawatan No 38. Jakarta: Republik

Indonesia. Indonesia, U.-U. R. (2014). Tenaga Kesehatan, Nomor 36 . Jakarta:

Republik Indonesia. Khairunnisa. (2009). Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum

Direksi. Tesis, 4. Komariah. (2019). Edisi Revisi Hukum Perdata. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang. Notoatmojo, S. (2010). Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta. Permenkes. (2017). Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga

Kesehatan. Jakarta: Republik Indonesia. Poernomo, B. (1994). Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia

Indonesia. Shaw, G. B. (1999). Persaingan Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press. Titik Triwulan, S. F. (2010). Perlindungan Hukum bagi Pasien. Jakarta:

Prestasi Pustaka. Widiyono. (2004). Wewenang dan Tanggung Jawab. Bogor: Ghalia

Indonesia. Yulianto, R. (2017). Analisa terhadap tindakan perawat dalam

melakukan tindakan khitan. Tesis, 106. KUHAP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHPER.. Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Page 257: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

248| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

PROFIL PENULIS

Anna Yuliana lahir di Tasikmalaya, 8 Juli 1976. Mendaptkan gelar Doktor dari Sekolah Far-masi ITB dan University of La Reunion, Per-ancis. Aktif sebagai dosen di berbagai bidang ilmu yang terkait dengan mikrobiologi dan bioteknologi selain juga mengisi mata kuliah umum yaitu Kewirausahaan dan Etika Profesi. Aktif melakukan berbagai penelitian. Pene-litian yang ditekuninya terkait dengan meta-bolit sekunder dari mikroba terutama dari ja-mur Monascus.

Hasil penelitiannya dimuat di jurnal nasional dan internasional. Beberapa buku baik bertema bidang keahlian maupun fiksi telah diter-bitkan secara nasional.

Page 258: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |249

Page 259: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BAB 12 PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK MELALUI MEDIASI

dr.Rospita Adelina Siregar, MH.Kes Universitas Kristen indonesia

A. PENDAHULUAN Sengketa medik merupakan perselisihan yang timbul akibat hubu-

ngan hukum antara dokter dengan pasien dalam upaya melakukan penyembuhan. Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu ked-okteran umumnya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif pasif. Beberapa sarjana berpendapat bahwa ada dua hal yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yang pertama adalah konflik (conflict), dan yang kedua adalah. sengketa (dispute), tetapi kedua istilah ini ham-pir sama dan yang membedakannya adalah konflik pengertiannya. Masalah yang muncul paling sering dari semua kasus tuntutan pasien kepada dokter/dokter gigi atau rumah sakit umumnya merupakan masalah miskomunikasi yang terjadi antara pasien dan dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit, sehingga istilah yang tepat adalah“Sengketa Medik”, jadi, tuduhan malpraktik sangatlah tidak tepat untuk dokter/

Page 260: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |251

dokter gigi, mengingat sampai saat ini masih banyak dokter/dokter gigi yang berpraktik atas dasar kemanusiaan.

Melihat dari sisi hubungan hukum antara dokter dengan pasien dapat terjadi karena dua hal, yakni hubungan karena kontrak (tera-peutik) dan hubungan karena undang-undang (zaakwarneming). Dalam hubungan kontrak, dokter dan pasien telah dianggap sepakat mela-kukan perjanjian apabila dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien, sedangkan hubungan karena undang-undang muncul karena kewajiban yang dibebankan pada dokter. Pada kontrak tera-peutik, hubungan dimulai dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi atau laboratorium . Dalam penyelesaian kasus sengketa medik harus ada putusan dan pertimbangan logika medis dan logika hukum untuk menentukan apakah sengketa medik tersebut masuk dalam kategori malpraktik kedokteran atau tidak.

B. RINCIAN PEMBAHASAN MATERI

Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit/fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan ada-lah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memper-hatikan atau mengabaikan prosesnya. Padahal dalam hukum kesehatan diakui bahwa tenaga kesehatan atau pelaksana pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang dilakukan (Inspanning Verbintennis) dan tidak menjamin/ menggaransi hasil akhir (Resultalte Verbintennis). Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya sudah dapat diduga pers menghukum tenaga kesehatan mendahului pengadilan dan menjadikan tenaga kesehatan sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama dan juga karir tenaga kesehatan ini. Sementara itu pengaduan ke kepolisian baik di tingkat Polsek, Polres maupun Polda diterima dan diproses seperti layaknya sebuah perkara pidana. Menggeser kasus

Page 261: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

252| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

perdata ke ranah pidana, penggunaan pasal yang tidak konsisten, kesu-litan dalam pembuktian fakta hukum serta keterbatasan pemahaman terhadap seluk beluk medis oleh para penegak hukum di hampir setiap tingkatan menjadikan sengketa medik terancam terjadinya disparitas pidana.

Dengan berkembangnya sistem dan mekanisme penyelesaian sen-gketa, maka diatur secara formal, berupa landasan yuridis mediasi di luar pengadilan yang dasarnya adalah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut membahas Alternatif Penyelesaian Sengketa yang disebutkan dalam 2 pasal yaitu Pasal 1 butir 10 dan Pasal Berda-sarkan ketentuan dalam Undang-undang tersebut7, mediasi meru-pakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Berarti termasuk sengketa medik dapat diselesaikan secara mediasi.

Sebelum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut mediasi di luar peradilan belum ada ketentuannya. Keluarnya Peraturan Mahka-mah Agung RI No. 1 Tahun 2008 lebih mendorong penyelesaian seng-keta melalui mediasi di luar pengadilan yang membuat kesepaka-tannya sesuai pada Pasal 23 Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008. Prosedur mediasi di pengadilan diatur berdasarkan Pera-turan Mahkamah Agung RI No,.: 1 Tahun 2008. Pasal 4 dalam Peraturan Mahkamah Agung tersebut menyatakan semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Jika dilihat dari isi Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008, mediasi tidak hanya dilakukan setelah perkara masuk ke peng-adilan, tetap dapat juga dilakukan kesepakatan di luar pengadilan. Pasal 23 ayat (1) Peraturan Mahkamah, Agung RI No. 1 Tahun 2008, para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadian dengan kesepakatan perda-maian dapat mengajukar~kesepakatan perdamaian tersebut ke penga-dilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.

Page 262: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |253

Pada Pasal 130 HIR berbunyi: 1. Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak meng-

hadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya, akan mencoba memperdamaikan mereka itu. (IR.329.)

2. Jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sid ang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pi-hak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yang dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan dan akan sebagai keputusan hakim yang biasa. (Rv.31; IR.195 dst.)

3. Terhadap keputusan yang demikian tidak diizinkan orang minta naik banding.

4. Jika pada waktu mencoba memperdamaikan kedua belah pihak itu perlu dipakai seorang juru bahasa, maka dalam hal itu hendaklah dituruti peraturan pasal berikut.

Pada Pasal 154 RBg berbunyi: 1. Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang

menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantara ketua berusaha mendamaikannya

2. Bila dapat mencapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk mentaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.

3. Terhadap suatu keputusan tetap’semacam itu tidak dapat dia-jukan banding.

4. Bila dalam usaha untuk mendamaikan para pihak diperlukan campur tangan sorang jur u bahasa, maka digunakan ketentuan -ketentuan yang diatur dalam pasal berikut. (Rv.31; IR.130.KUH Perdata juga mengatur perdamaian seperti pada Pasal 1851:

“Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.”

Page 263: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

254| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Pasal 1855: “Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan

yang termaktub di dalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum, maupun maksud itu dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan.” Pasal 1858:

“Diantara pihak-pihak yang bersangkutan suatu perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu keputusan hakim pada tingkat akhir. Perdamaian itu tidak dapat dibantah dengan alasan bahwa terjadi kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan.”

Keunggulan dari mediasi dalam penyelesaian sengketa medik modern memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Voluntary (sukarela)

Keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para pihak, sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak para pihak.

2. Informal fleksibel; Tidak seperti litigasi (pengadilan), proses mediasi sangat flek-sibel. Bahkan bisa saja para pihak dengan dibantu mediator dapat mendesain sendiri prosedur mediasi.

3. Interest based (dasar kepentingan) Dalam mediasi tidak dicari siapa yang benar atau salah, tetapi lebih untuk menjaga kepentingan-kepentingan masing-masing pihak.

4. Future looking (memandang ke depan) Karena lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, med-iasi lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang bersengketa ke depan, tidak berorientasi ke masa lalu.

5. Parties oriented Dengan prosedur yang informal, maka para pihak yang ber-kepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada lawyer/pengacara/advokat

Page 264: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |255

6. Parties control Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari masing-masing pihak. Mediator tidak dapat memaksakan untuk tercapainya kesepakatan; lawyer/pengacara tidak dapat menundanunda waktu atau memanfaatkan ketidaktahuan klien dalam hal beracara seperti di pengadilan (litigasi).

Litigasi adalah sebuah proses di mana pengadilan menjatuhkan

keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses hukum yang terlihat dalam tingkat mana hukum dan kewa-jiban. Kedua proses penyelesaian sengketa medik antara mediasi dan litigasi sama sekali berbeda, tetapi kedua cara tersebut meru-pakan bentuk penyelesaian sengketa medik. Litigasi banyak digu-nakan untuk penyelesaian sengketa medik, tetapi mediasi secara perlahan menjadi lebih dikenal dan efektif dalam penyelesaian sengketa medik, serta perlahan-lahan juga kedua proses ini men-jadi saling bergantung, di mana dalam proses pengadilan untuk sengketa medik merupakan suatu kewajiban untuk melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum putusan pengadilan. Yang paling menonjol dalam proses litigasi adalah biaya cukup tinggi, waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, belum lagi formalitas dan kompleksitas dari proses litigasi.

Kerugian yang dapat terjadi dari proses litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit, akan ada dampak rep-utasi rumah sakit, dokter/dokter gigi dan biaya premi asuransi pro-fesi dokter/dokter gigi jadi meningkat. Bukan hanya reputasi yang rusak, tetapi juga perasaan pribadi sehingga sering menimbulkan beban psikologis tidak seperti yang dialami oleh penggugat. Dari sudut pandang masyarakat menyebabkan penurunan kualitas pelayanan kesehatan dari hasil putusan litigasi, di mana dokter/ dokter gigi tidak akan mengambil suatu risiko dalam menjalankan profesinya, sehingga menyebabkan biaya kesehatan yang tinggi. Litigasi kadang-kadang menyebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada klaim yang diterima oleh penggugat, dan juga penggugat juga harus mencari peng acara untuk mewakilinya, beg-

Page 265: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

256| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

itu juga sebaliknya pihak tergugat. Litigasi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa medik akan menempatkan keberlang-sungan hubungan yang tidak baik antara dokter/dokter gigi dan/ atau rumah sakit dengan pasien dan/atau keluarganya. Semua alasan ini, untuk penyelesaian sengketa medik yang terbaik adalah melalu mediasi.

Pertimbangan dengan ditetapkannya Peratuan Mahkamah Ag-ung Republik Indonesai Nomor 2 Tahun 2003 tentang prosedur Me-diasi di Pengadilan adalah: 1. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di penga-

dilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.

2. Proses mediasi lebih cepat, murah dan dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang dihadapi dengan memuaskan.

3. Pelembagaan proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalakan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (Adjudikatif).

Secara etimologi (Bahasa), mediasi berasal dari Bahasa latin mediare yang berarti “berada di tengah” karena seseorang yang akan melakukan mediasi (mediator) harus berada di tengah orang yang bertikai atau bersengketa.

Secara harfiah mediasi memiliki kata dasar “media” yang berarti alat atau sarana komunikasi, atau dapat diartikan sebagai yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan dsb), perantara atau penghubung , secara keseluruhan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mediasi diartikan sebagai proses mengikutsertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai nasihat.

Munir Fuady mendefinisikan mediasi adalah sebagai salah atu alternative penyelesaian sengketa dimana suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak mem-ihak dan netral yang akan berkerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan seng-

Page 266: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |257

keta tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak, pihak ketiga yang membantu menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak mediator.

Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan. Mediator menjembatani perte-muan para pihak, melakukan negosiasi, menawarkan alternative solusi dan secara bersama-sama para pihak merumuskan kesepa-katan penyelesaian sengketa. Mediator hanyalah membantu men-cari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama menye-lesaikan sengketa yang mereka alami.

C. MACAM-MACAM MEDIATOR Mediator terdiri dari dua macam, diantaranya:

1. Mediator yang ditunjuk oleh para pihak secara bersama (Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)

2. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

Sedangkan Moore membedakan mediator menjadi tiga golongan yaitu: 1. Social network mediators

Golongan pertama Social network mediators yaitu mediator berperan dalam sebuah sengketa atas dasar adanya hubungan sosial antara mediator dan para pihak yang bersengketa, misalnya bila terjadi sengketa antara teman kerja dan teman usaha, mediator yang bela dari tokoh agama termasuk dalam golongan ini.

2. Authoritative mediator

Golongan kedua, Authoritative mediator yaitu mereka yang berusaha membantu pihak yang brsengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan memiliki posisi yang kuat sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas unutk mempengaruhi hasil akhir dari

Page 267: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

258| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

sebuah proses mediasi. Dan selama dalam menjalankan perannya tidak boleh menggunakan peran ataupun kewena-ngannya.

Golongan Authoritative ini ada tiga tipe atau jenis yaitu: 1. Tipe benovalent mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Dapat memiliki atau tidak memiliki hubungan dengan para pihak.

b. Mencari penyelesaian yang baik bagi para pihak. c. Tidak berpihak dalam hal substansi. d. Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu peman-

tauan dan implementasi kesepakatan. 2. Tipe Managerial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Memiliki hubungan otoritatif dengan para pihak sebelum dan sesudah sengketa berakhir.

b. Mencari penyelesaian yang diupayakan bersama-sama dengan para pihak dalam ruang lingkup kewenangan.

c. Berwenang untuk memberi nasihat dan saran jika para pihak tidak mencapai kesepakatan.

d. Kemungkinan memiliki sumber daya untuk membantu peman-tauan dan implementasi kesepakatan.

e. Memiliki kewenangan membuat keputusan. 3. Tipe Vested Interest mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Mempunyai hubungan dengan para pihak atau diharapkan me-miliki hubungan masa depan dengan para pihak.

b. Memiliki kepentingan yang kuat terhadap hasil akhir. c. Mencari penyelesaian yang dapat memenuhi kepentingan me-

diator atau kepentingan pihak yang disukai. d. Kemungkinan mempunyai sumber daya untuk membantu pe-

mantauan dan implementasi kesepakatan. e. Kemungkinan dapat menggunakan tekanan agar para pihak

mencapai kesepakatan.

3. Independent mediators. Golongan ketiga, Indpendent mediators yaitu mediator dapat

menjaga jarak antar pihak maupun terhadap persoalan yang teangah dihadapi, dan tipe seperti ini sering ditemukan ditengah masyarakat.

Page 268: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |259

Budaya yang mengembangkan tradisi kemandirian akan mengahasilkan mediator yang professional, model mediasi yang seperti ini mulai di praktekkan dan berkembang di amerika utara, dan hal ini kita lihat lagi dan berkembangnya para mediator seperti halnya profesi pengacara, dokter, akuntan, dsb.

D. KEWENANGAN DAN TUGAS MEDIATOR

1. Kewenangan Mediator a. Mengontrol proses dan menegaskan aturan dasar Mediator

berwenang mengontrol proses mediasi dari awal sampai akhir dan memfasilitasi pertemuan para pihak serta membantu para pihak dalam melakukan negosiasi.

b. Mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi Mediator berwenang menjaga dan mempertahankan struktur dan momentum dalam negosiasi. Dimana para pihak diberkan kesempatan melakukan pembicaraan dan tawar menawar dalam menyelesaikan sengketa.

c. Mengakhiri proses bilamana mediasi tidak produktif lagi. Dalam proses mediasi sering ditemukan para pihak sangat sulit berdiskusi secara terbuka. Mereka mempertahankan prinsip secara ketat dan kaku, terutama pada saat negosiasi

2. Tugas Mediator

a. Melakukan diagnosis konflik. b. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis

para pihak. c. Menyusun agenda. d. Memperlancar dan mengendalika komunikasi. e. Mediator harus menyusun dan merangkai kembali tuntutan

para pihak,menjadi kepentingan sesungguhnya dari para pihak. f. Mediator bertugas dan berusaha mengubah pandangan

egosentris masing-masing pihak menjadi pandangan yang mewakili semua pihak.

Page 269: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

260| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

g. Mediator bertugas dan berusaha mengubah pandangan parsial (berkutat definisi tertentu) para pihak mengenai suatu per-masalahan ke pandangan yang lebih universal (umum).

h. Memasukkan kepentingan kedua belah pihak dalam pen-definisian permasalahan.

i. Mediator bertugas menyusun proposisi mengenai perm-asalahan para pihak dalam Bahasa dan kalimat yang tidak menonjolkan unsur emosional.

j. Mediator bertugas menjaga perpernyataan para pihak agar tetap berada dalam kepentingan yang sesungguhnya.

E. PERAN DAN FUNGSI MEDIATOR Sisi peran yang terlemah adalah apabila meditor hanya melaka-

sanakan Peran Mediator sebagai berikut: 1. Penyelenggara pertemuan. 2. Pemimpin diskusi netral. 3. Pemelihara atau penjaga aturan perundang-undangan agar proses

perundingan berlangsung secara beradab. 4. Pengendali emosi para pihak. 5. Pendorong pihak atau perunding yang kurang mampu atau segan

mengemukakan pandangannya.

Sedangakan sisi kuat mediator adalah bila dalam perundingan me-diator mengerjakann atau melakukan atau melaksanakan hal-hal se-bagai berikut: 1. Mempersiapkan dan membuat notulen perundingan. 2. Merumuskan titik remu atau kesepakatan para pihak. 3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan seb-

uah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan untuk di sele-saikan.

4. Menyusun dan mengusulkan alternative pemecahan masalah. 5. Mambantu para pihak menganalisa alternatif pemecahan masalah.

Sedangkan menurut Fuller dalam Riskin dan Westbrook ada 7 (tujuh) fungsi mediator yaitu antara lain:

Page 270: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |261

1. Sebagai ”Catalyst/Katalisator” yaitu mengandung pengertian bah-wa kehadiran mediator dalam proses perunding mampu mendo-rong lahirnya suasana yang konstruktif bagi diskusi.

2. Sebagai “Edukator/Pendidik” yaitu berarti sesorang harus berusaha memahami aspirasi, prsedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, ia harus berusaha meliba-tkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.

3. Sebagai “Translator/penerjemah” yaitu berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui Bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.

4. Sebagai “Resource person/Narasumber” yaitu berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.

5. Sebagai “Bearer of bad news/Penyandang berita jelek” yaitu berarti seorang mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.

6. Sebagai “Agen of Reality/Agen Realitas” yaitu berarti meditor harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin atau tidak masuk akal ter-capai melalui perundingan.

7. Sebagai “Scspegoat/Kambing Hitam” yaitu berarti seorang mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepa-katan hasil perundingan.

Adapun manfaat atau keuntungan dalam penyelesaian proses mediasi, antara lain: 1. Relatif lebih murah dibaningkan dengan alternatif-alternatif yang

lainnya. 2. Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk mene-

rima dan adanya rasa memiliki putusan mediasi tersebut. 3. Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk men-

egosiasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari.

Page 271: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

262| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

4. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa.

5. Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki beberapa keun-tungan, akan tetapi memiliki beberpaa kekurangan-kekurangan dan adapun kekurangnnya antara lain: 1. Bisa memakan waktu yang lama 2. Mekanisme eksekusi yang sulit. Karena cara eksekusi putusan ha-

nya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak. 3. Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyele-

saikan sengketanya sampai selesai. 4. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika infor-

masi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya. 5. Jika Lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan

adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias.

Dan untuk mendapatkan suatu mediasi yang baik dan unggul maka sangat dibutuhkan beberapa syarat yaitu antara lain: 1. Adanya kekuatan tawar menawar yang seimbang antara pihak. 2. Para pihak menaruh harapan terhadap hubungan dimasa depan. 3. Terdapatnya banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya

pertukaran (trade offs). 4. Adanya urgensi untuk menyelesaikan secara lebih cepat. 5. Tidak ada rasa permusuhan yang mendalam atau yang telah

berlangsung lama diantara pihak. 6. Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka

tidak memiliki pengharapab yang banyak dan dapat dikendalikan. 7. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, maka kepentingan-

kepentingan pelaku lainnya, seperti pengacara atau penjamin tidak diberlakukan lebih baik dibandingkan dengann mediasi.

Page 272: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |263

Proses penyelesaian sengketa lewat mediasi sangat efektif bagi penyelesaian sengketa yang melibatkan banyak pihak atau melibatkan masyrakat, misalnya pada kasus sengketa medik yang selalu memper-karakan adalah pasien dan/atau keluarga pasien, dalam kasus sengketa medik biasanya dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan dan rumah sakit dan tidak menutup kemungkinan dari pihak pasien/ keluarga untuk melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa medik. Sebab dengan menggunan mediator pihak yang bersengkat dokter, dokter gigi, tenaga kesehatan, rumah sakit, pasien, dan keluarga pasien tidak perlu harus datang ke lembaga pengadilan dalam rangka menyelesaikan perkara yang mereka hadapi.

Adapun yang merupakan kewajiban dan tugas dari suatu mediasi dapat digolongkan menjdai 4 (empat) tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pertama: Menciptakan forum

Dalam tahapan ini adapun hal-hal yang dilakukan seorang mediator adalah sebagai berikut: a. Rapat Gabungan b. Statement pembukaan oleh mediator, dalam hal ini yang dila-

kukan mediator adalah: 1) Mendidik para pihak. 2) Menentukan aturan main pokok. 3) Membina hubungan dan kepercayaan.

c. Statement para pihak, dalam hal ini dilakuakn seorang med-iator adalah: 1) Dengarkan pendapat (hearing). 2) Menyampaikan dan klarifikasi informasi. 3) Cara-cara interaksi.

2. Tahap kedua: Mengumpulkan dan membagi bagi informasi Dalam tahapan ini adapun hal-hal yang dilakukan seorang

mediator adalah sebagai berikut: a. Mengembangkan informasi selanjutnya. b. Mengetahui lebih mendalam kemauan para pihak. c. Membantu para pihak untuk dapat mengetahui kepenti-

ngannya.

Page 273: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

264| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

d. Mendidik para pihak tentang cara tawar menawar penyele-saian masalah.

3. Tahap ketiga: Pemecahan masalah Dalam tahapan ini adapun hal-hal yang dilakukan seorang

mediator adalah sebagai berikut: a. Menetapkan agenda. b. Kegiatan pemecah masalah. c. Mempasilitasi kerjasama. d. Identifikasi dan klarifikasi isu dan masalah. e. Mengembangkan alternative dan pilihan-pilihan. f. Memperkenalkan pilihan-pilihan tersebut. g. Membantu para pihak untuk mengajukan, menilai dan mempri-

oritaskan kepentingan-kepentingannya. 4. Tahap keempat: Pengambilan keputusan

Dalam tahapan ini adapun hal-hal yang dilakukan seorang mediator adalah sebagai berikut: a. Rapat rapat bersama. b. Melokalisir pemecahan masalah dan mengevaluasi pemecahan

masalah c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan perbe-

daan. d. Mengkonfirmasi dan klarifikasi kontrak. e. Mendorong para pihak untuk membandingkan proposal penye-

lesaian masalah dengan alternative diluar kontrak. f. Mendorong para pihak untuk menghasilkan dan menerima pe-

mecahan masaslah. g. Mengusahakan formula pemecahan masalah yang win-win

solution dan tidak hilang muka. h. Membantu para pihak untuk mendapatkan pilihannya. i. Membantu para pihak untuk mengingat kembali kontraknya.

Menurut Suyud Margono pada tahapan proses mediasi para sarj-ana atau praktisi mediasi berbeda dalam melihat dan membagi tah-apan yang terdapat dalam proses mediasi. Dan margono mengung-kapakan dua pendapat sarjana yaitu:

Page 274: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |265

1. Pendapat Riskin dan Westbrook, tokoh ini mengungkapkan ada 5 (lima) tahapan yang dilakukan daam mediasi yaitu: a. Sepakat untuk menempuh proses mediasi. b. Mamahami masalah. c. Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah. d. Mencapai kesepakatan. e. Melaksanakan kesepakatan.

2. Pendapat Kovach, membagi proses mediasi menjadi 8 tahapan yaitu: a. Penataan dan pengaturan awal. b. Pengantar atau pembukaan oleh mediator. c. Pernyataan pembukaan oleh para pihak. d. Pengumpulan informasi. e. Identifikasi masalah-masalah, penyusunan agenda, dan kaukus. f. Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah. g. Melakukan tawar menawar. h. Kesepakatan penutupan.

Salah satu keunggulan dari mediasi adalah prosesnya sangat rahasia.mediator harus memberitahukan para pihak komunikasi dian-tara mereka asupan maupun diskusi selama proses mediasi yang sifa-tnya rahasi. Secara umum semua informasi yang dibahas dalam proses mediasi dan materi yang dalam mediasi tidak dpat dijadikan bukti da-lam siding pengadilan. Charlton dan Dewdney (2004) menyoroti kera-hasiaan mediasi dipandang sebagai salah satu bahan kunci untuk mendiring para pihak yang bersengketa untuk berunding satu dengann yang lain dalam mencapai suatu penyelesaian sengketa medik. Dilihat dari langkah-langkah cara menempatkan proses mediasi memastikan privacy: 1. Ruang tertutup kecuali para pihak menyepakati lain. 2. Tidak ada pencatatan yang dilakukan oleh mediator dalam proses

mediasi yang disimpan. 3. Tidak ada publikasi secara luas apa yang terjadi dalam proses

mediasi.

Page 275: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

266| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Perilaku mediator diatur berupa pedoman oleh ketua Mahkamah Agung, dengan harapan, mengahsilkan penyelesaian adil, lamggeng, memuaskan para pihak, hemat waktu, hemat sumber daya. Pedoman tersebut juga mengatur bahwa agar praktik pemberian jasa mediasi tidak merugikan para pihak yang bersengketa dan tidak bertentangan dengan tujuan pelembagaan proses mediasi ke dalam sistem peradilan. Dalam pedoman perilaku mediator merupakan perangkat peraturan yang mengikat orang-orang yang menjalankan fungsi mediator dalam rangka Peraturan Mahkamah Agung no. 1 Tahun 2008.

Pedoman perilaku mediator paling penting yang harus diketahui baik oleh para pihak maupun mediator itu sendiri yaitu: 1. Ketidakberpihakan terhadap salah satu pihak. 2. Dilarang mempengaruhi atau mengarahkan para pihak untuk

menghasilkan syarat-syarat dalam penyelesaian sengketa. 3. Mediator tidak mempunyai kepentingan pribadi terhadap salah

satu pihak. 4. Mediator mempunyai kewajiban dalam menjaga dan memelihara

kerahasiaan yang terungkap dalam proses mediasi. 5. Mediator dilarang menjadi mediator dalam sebuah sengketa yang

diketahui bahwa keterlibatannya menimbulkan benturan kepen-tingan.

6. Mediator senantiasa meningkatkan kemampuan atau ketrampilan tentang mediasi melalui pendidikan, pelatihan, seminar, dan konfe-rensi.

7. Mediator dilarang menerima honorarium berdasarkan hasil akhir proses mediasi, sehingga seorang dan/atau lembaga mediasi untuk meminta honorarium terlebih dahulu dilakukan sebelum menjal-ankan fungsi sebagai mediator.

Menurut Eddi Junaidi Berakhirnya Mediasi dapat terjadi jika: 1. Berhasil mencapai kesepakatan

Keberhasilan mediasi sangat ditentukan oleh peran para pihak dalam membicarakan permasalaha mereka serta mencari solusi dari permasalahan tersebut, karena denganitikad baik dari para piahk sehingga mediasi berhasil. Dalam suatu proses mediasi yang berhasil peran mediator wajib wajib materi-materi kesepa-

Page 276: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |267

katan yang akhirnya ditandatangani oleh para pihak, serta dibua-tkan akta kesepakatan baik oleh mediator atas persetujuan para pihak dapat dibuat oleh pengecara maupun oleh notaris.

2. Gagal mencapai kesepakatan. Kegagalan mediasi dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu: a. Tidak mencapai kesepakatan. b. Salah satu pihak telah dua kali berturut-turut dalam pertemuan

mediasi tidak hadir sesuai jadwal yang sudah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan stelah dipanggil secara apatut.

c. Melampaui waktu yang sudah disepakati oleh para pihak, kecuali para pihak sepakat untuk dan/atau menghendaki perpanjangan waktu proses mediasi.

d. Atas kehendak salah satu pihak menghentikan proses mediasi. e. Salah satu pihak tidak menunjukkan itikad baik dalam proses

mediasi. 3. Berakhirnya mediasi apabila:

a. Sudah ada kesepakatan atau hasil yang dicapai para pihak mengenai permasalahnnya.

b. Salah satu pihak atau kedua belah pihak sepakat untuk tidak melanjutkan persengketaanya.

c. Salah satu pihak kedua belah pihak menerima hasil-hasil dari yang di rumuskan mediator.

d. Meninggalnya salah satu pihak atau kedua belah pihak berse-ngketa.

F. RANGKUMAN MATERI Mediasi adalah sebagai salah atu alternatif penyelesaian sengketa

dimana suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan berkerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak, pihak ketiga yang membantu menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak mediator. Adapun manfaat atau keuntungan dalam penyelesaian proses mediasi, antara lain; a. Relatif lebih murah

Page 277: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

268| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

dibaningkan dengan alternatif-alternatif yang lainnya, b. Adanya kecen-derungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan adanya rasa memiliki putusan mediasi tersebut, c. Dapat menjadi dasar bagi para pihak yang bersengketa untuk menegosiasi sendiri sengketa-sengketanya di kemudian hari, d. Terbukanya kesempatan untuk mene-laah masalah-masalah yang merupakan dasar dari suatu sengketa, dan d. Membuka kemungkinan adanya saling kepercayaan diantara pihak yang bersengketa, sehingga dapat dihindari rasa bermusuhan dan dendam.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi memiliki beberapa keun-tungan, akan tetapi memiliki beberpaa kekurangan-kekurangan dan adapun kekurangnnya antara lain; a. Bisa memakan waktu yang lamab. Mekanisme eksekusi yang sulit.

Karena cara eksekusi putusan hanya seperti kekuatan eksekusi suatu kontrak, c. Sangat digantungkan dari itikad baik para pihak untuk menyelesaikan sengketanya sampai selesai, d. Mediasi tidak akan membawa hasil yang baik terutama jika informasi dan kewenangan tidak cukup diberikan kepadanya dn d. Jika Lawyer tidak dilibatkan dalam proses mediasi, kemungkinan adanya fakta-fakta hukum yang penting yang tidak disampaikan kepada mediator, sehingga putusannya menjadi bias.

LATIHAN DAN EVALUASI 1. Apa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa melalui me-

diasi? 2. Apa keuntungan menyelesaikan sengketa melalui mediasi di bang-

dingkan dengan melalui pengadilan? 3. Sebutkan kewenangan dan tugas mediator? 4. Sebutkan dan jelaskan tahapan penyelesaian sengketa melalui me-

diasi? 5. Kapan penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dikatan ber-

hasil atau selesai?

Page 278: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |269

DAFTAR PUSTAKA

Ari Yunanto, Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktek Medik, Tinjauan

dan Perspektif Medikolegal, Andi Offset, Yogyakarta, Hal. 34 Chazawi, Adami, 2007, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan

Doktrin Hukum, Bayumedia Publishing, Malang. Hal, 23 Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran, Jakarta: Binarupa Aksara, Cet.

I, 1996, hal. 42. Departemen Pendidikan Nasional, Kmaus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3

Balai Pustaka: Jakarta, 2002. Hlm. 726. Eddi Junaidi, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medik, Ed. 1,

Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 58. Isfandyarie, Anny, 2005, Malpraktik dan Resiko Medik dalam Kajian

Hukum Pidana, Fokus Media, Jakarta., Hal. 12 Mohammad Hatta, 2013, Hukum Kesehatan &Sengketa Medik, Lyberty

Yogyakarta, Hal. 18 Munir Fuady, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 50-51. Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 30. Munir Fuady, Op., Cit. hlm. 48-50. Lihat juga Salim HS, Hukum Kontrak,

Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 157.

Rini Fitriani, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Ed. 1 Cet. 2, Yogyakarta: Deepublish. 2016. Hlm. 7-8.

Safitri Hariyani, Sengketa Medik Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta: Diadit Media, 2004, hal. 11.

SIREGAR, Rospita Adelina. Effective Communication Between Doctor and Patient Will Prevent Medical Dispute. 2013..

Sudiarto , Negosiasi, Mediasi, dan Arbitrase: Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia, Edisi 1, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013. Hlm. 43.

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, Cetakan ke 2, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004. Hlm. 59

Page 279: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

270| ETIKA PROFESI & ASPEK HUKUM

Syahrani, Ridwan, 2006, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Hal. 31

Takdi Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakad, Ed. 1, Jakarta: Rajawali Pers, 2010. hlm. 15.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 30 tahun 199 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung, RI, Pedoman Perilaku , 2010. Majalah Hukum dan Makalah Hukum Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume VII Nomor 1 Januari - Juni

2019 Vera Polina Br Ginting, 20017, Penanggulangan Malpraktek yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan, jurnal online FH Unila, Hal.23 http:/Wmc-iainws.com Muslih MZ, Mediasi: Pengantar Teori dan

Praktek, diakses pada tanggal 29 februari 2020.

Page 280: ETIKA PROFESI DAN ASPEK HUKUM

BIDANG KESEHATAN |271

PROFIL PENULIS

Rospita Adelina Siregar, penulis dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 20 Oktober 1965. Status menikah dengan dikarunia 3(tiga) orang putra, beruntung ia dibesarkan di kota Metropolitan yang akhirnya mengantarkan ke cita-cita sejak kecilnya ingin jadi dokter , berhasil lulus pada tahun 1990 dari Fakultas Kedokteran Univ-ersitas Kristen Indonesia di Jakarta, lalu tahun 2009 lulus dari Pendidikan

Strata 2 dari Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kesehatan dari Universitas Khatolik Soegijapranata Semarang dan saat ini tercatat sebagai Cad. Dr. di Program Doktor Ilmu Hukum Di Universitas Borobudur Jakarta. Sejak tahun 1995 sampai saat ini menjadi Dosen tetap di FKUKI Jakarta, home base di Departemen Ilmu Forensik dan Medikolegal mengampu Mata kuliah di bidang Etiko MedikoLegal dan Humaniora, sebagai Mediator non Hakim , Anggota Pengurus Besar IDI bidang BHP2A dan Wakil Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, alamat koresponden : [email protected]