Referat Ensefalopati Henry

download Referat Ensefalopati Henry

of 30

description

referat mengenai ensefalopati pada anak

Transcript of Referat Ensefalopati Henry

BAB IPENDAHULUAN

Latar Belakang MasalahEnsefalopati merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan perkembangan neurologis.1 Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya. Dari segi akademis, pasien seringkali mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja dan aritmatik. Sedangkan urtuk fungsi neuropsikologikal, pasien dapat menjadi hiperaktif maupun autis.2Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.3 Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%. Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.4Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.5BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISIEnsefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.1 Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun).6

B. ETIOLOGIEnsefalopati merupakan gangguan pada otak yang memiliki banyak penyebab meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam), metabolik dan iskemik.1 Berbagai macam etiologi ini yang umumnya digunakan untuk klasifikasi ensefalopati.

C. EPIDEMIOLOGIAngka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar 2,64%.3 Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.4 Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.5

D. KLASIFIKASI1. Ensefalopati akibat infeksia. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang mengalami imunosupresi. Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung di dalam parenkim otak. Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun besar yang menonjol. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting.1Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling sulit dibedakan dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara ensefalopati dan ensefalitis pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.7

Tabel1. Perbedaan antara ensefalopati dan ensefalitis7EnsefalopatiEnsefalitis

Manifestasi klinis

DemamTidak umumUmum

Nyeri kepalaTidak umumUmum

Depresi status mentalDeteriorasiMungkin fluktuasi

Tanda neurologis fokalTidak umumUmum

Tipe kejangUmumUmum atau fokal

Temuan Laboratoris

DarahLeukositosis tidak umumLeukositosis umum

LCSPleositosis tidak umumPleositosis umum

MRITerkadang normalAbnormalitas fokal

Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons sistemik terhadap infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi otak secara langsung disebut dengan ensefalopati sepsis.b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi hipotesis yang paling dipercaya adalah multifaktorial.7Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi oleh sawar darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai toll, menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi, IL6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan menginduksi ekspresi mediator inflamasi.7Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF , dan IL 6 yang memegang peranan penting dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat menginduksi cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan perubahan kebiasaan. Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a, juga dikaitkan dengan disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.7Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin dapat menginduksi aktifasi endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adesi pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah korteks akan mengalami pembengkakan dan akan terjadi ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edema sitotoksik.7Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak menurun dan iskemia otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama sepsis berat. Kerusakan aliran darah otak juga merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain, bukan karena efek hipotensi sistemik.7Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan apoptosis sel neuron dan persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan ATP yang dihasilkan oleh mitokondria disebabkan oleh sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria juga dapat menginduksi terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C.7c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan menyebabkan gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resistensi yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin.7d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati sepsis adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi. Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.7e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada, penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.7Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.72. Ensefalopati akibat toksisEnsefalopati yang diinduksi obat.a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit liver primer sebelumnya.8 b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan enzim liver serum. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana tejadi disfungsi kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai hingga berkisar 3-5 tahun berikutnya.8c. Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan mekanisme yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia dengan cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat menghambat carbamoyl phosphate synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik pertama pada siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat juga menurunkan level kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk kompleks asam valproat-kartinin. Defisiensi kartinin mengurangi fungsi mitokondria, dengan menghambat siklus urea dalam hati.8d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah fenobarbital dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan toporimate, inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam valproat, mempercepat terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa obat lainnya dapat menyebabkan keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan produksi ammonia renal ke dalam sirkulasi, obat tersebut antara lain glysin yang digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi ammonia, selain itu carbamazepin, ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin dan salisilat dosis tinggi.8e. Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi carnitine juga menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang diinduksi asam valproat.8Ensefalopati akibat timbal. a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Timbal digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah belah lainnya. Bentuk intoksikasi timbal dapat menyebabkan kebutaan, kolik, nyeri persendian, dan bentuk terparah berupa ensefalopati.1

Gambar1. Efek timbal pada kesehatan manusiab. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal dibandingkan pada dewasa karena berbagai sebab. Eksposure pada anak anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pica. Pada saluran pencernaan anak juga mengabsorbsi timbal lebih cepat dibandingkan pada dewasa dan sistem saraf pusat pada anah lebih mudah diserang agen toksik dibandingkan dengan sistem saraf pusat matur.1Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta dan air susu. Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui ikatan kuat dengan kelompok sulfhidril pada protein dan enzim. Ikatan ini akan menimbulkan toksik pada beberapa sistem enzim.1c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari 5mcg/dL, dan mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL, khususnya pada anak anak. Kadar protoporphyrin digunakan sebagai alat diagnostik pada toksisitias timbal karena protoporphyrin merupakan enzim yang berdasarkan heme yang berkaitan dengan timbal. Peningkatan protoporphyrin berjalan seiring dengan peningkatan kadar timbal pada serum. Peningkatan protoporphyrin terjadi pada 6-8 minggu setelah paparan dan nilai normal dari protoporphyrin adalah kurang dari 35 mcq/dL.1d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala, muntah, ataksia, kejang, paralisis, stupor dan koma. Pada ensefalopati kronik, pasien dapat kehilangan memori, ketidaknormalan kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi sensorik. Selain itu toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam belajar, dan pengurangan IQ.1e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak memperbaiki kerusakan neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal. Terapi farmakologis yang dapat digunakan antara lain dimercaprol 25mg/kgBB/hari, Calsium disodium ethylenediammine tetraacetic acid (CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari drip dengan NaCl atau D5%, Succimer dengan dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari atau D-penicillamin 10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.13. Ensefalopati akibat metabolika. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya merupakan masalah baik bagi neonatus maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung pada waktu dan intervensi yang hati-hati. Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal, dan gangguan metabolik lainnya. Gannguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar, sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatic. 1Pada tahun 1998, The Working Party pada World Congress of Gastroenterology ke 11, membuat standarisasi nomenklatur dari ensefalopati hepatik, yang membaginya dalam tiga tipe yaitu A, B dan C. Tabel 2. Jenis ensefalopati hepatik TypeNomenklatureSubkatagori

AEnsefalopati yang berhubungan dengan gagal hepar akut

BEnsefalopati yang berhubungan dengan bypass portal sistemik dan tanpa penyakit hepatoseluler intrinsic

CEnsefalopati yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal atau shunting sistemik portalEpisodik, persisten dan minimal.

b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik pada anak sangat berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu terdapat penyakit hati kronik dan sirosis. Pada anak kerusakan hepar terjadi secara akut. Penyebab ensefalopati hepatik pada anak bervariasi dari virus hepatitis, hingga kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada dewasa, penyakit hepar yang disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi. Selain itu pada anak edema serebral merupakan komplikasi yang penting yang dapat ditemukan pada stadium awal.1Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis fulminan, akumulasi dari ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada pada otak, ligan yang tidak normal pada reseptor amino butyric acid benzodiazepine (GABA-BDZ), dan deposit mangan pada ganglia basalis.Teori Amonia. Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal dari bakteri pada kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal, berkisar 80-90% ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi berkurang baik pada keadaan hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA, sehingga menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum ammonia lebih dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan perbaikan tingkat ensefalopati hepatik.1Teori kesalahan neurotransmiter. Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat, konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatic (AAA) yaitu triptofan, tyrosin dan phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda (leucine, isoleucine dan valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi ensefalopati hepatik.1Teori GABA. GABA adalah merupakan neurotransmiter inhibitori pada manusia yang bekerja dengan berikatan dengan kompleks reseptor GABA. Peningkatan jumlah benzodiazepine endogen sebagai neurosteroid mengakibatkan inhibisi terhadap neurotransmisi. Perubahan pada kompleks reseptor GABA dan perubahan konsentrasi GABA serebral terjadi pada ensefalopati hepatik. 1Teori Mangan. Akumulasi mangan di ganglia, banyak pada pasien sirosis dan sebaliknya pada transplantasi hepar. Konsentrasi mangan pada serum berhubungan dengan derajat ensefalopati hepatik. Manifestasi klinis pada intoksikasi mangan dan manifestasi ekstrapiramidal dari ensefalopati hepatik menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar mangan yang berperan dalam terjadinya ensefalopati hepatik. 1c. Gejala Klinis Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan kriteria West Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif dan koma dalam. 1Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatik1GradeTingkat kesadaranPersonalitas dan intelektualitasTanda neurologisKelainan EEG

0NormalTidak adaTidak adaTidak ada

SubklinisNormalPelupa, bingung ringan, agitasi, iritabelKetidaknormalan hanya pada analisis psikometrikTidak ada

1Gangguan pola tidur GelisahTremor, apraksia, inkordinasi dan gangguan menulisTremor, apraksia, inkordinasi dan gangguan menulisGelombang trifasik (5siklus/detik)

2Lethargy, Respon lambatAsteriksis, disartria, ataksia, refleks hipoaktifGelombang trifasik (5siklus/detik)

3Somnolen, bingungDisorientasi, amnesia, disinhibisi dan kebiasaan inappropriateAstereksis, refleks hiperaktif, tanda babinsky dan rigiditas ototGelombang trifasik (5siklus/detik)

4KomaTidak adaAktifitas delta

Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih objektif adalah Glasgow Coma Scale (GCS), akan tetapi tidak khas dalam mengukur derajat ringan-berat ensefalopati hepatik.1d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.1Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites saebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik. Seorang anak dengan ensefalopati hepatik sebaiknya ditangani dalam perawatan intensif dengan program transplantasi hepar, akan tetapi sumber daya memang masih terbatas. Management pertama yang dilakukan mencakup airway, breating, dan sirkulasi, sebagaimana penanganan kasus kegawatan lainnya.Managemen cairan. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena adanya hidrasi yang kurang maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance. Status hidrasi sebaiknya dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral, dengan target 6-8cm H2O. Monitoring urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi, dan indikator fungsi renal. Pemberian cairan secara intra vena juga digunakan sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan ensefalopati terganggu.1Kalium. Hipokalemi dapat disebabkan karena pemberian diuretik, muntah, dan diare. Hipokalemi dan gejala penyertanya berupa alkalosis merusak detoksifikasi ammonia, meningkatkan produksi ammonia ginjal, meningkatkan difusi ammonia melewati sawar darah otak. Kebutuhan kalium diperkirakan berkisar 3-6mEq/kgbb/hari.Natrium. Intake natrium total sebanyak 1mEq/kgBB/hari, biasanya cukup adekuat untuk mencegah terjadinya asites. Pada umumnya, sekresi yang tidak sesuai dari hormon anti diuretik, menyebabkan hiponatremi dilusi, yang dapat ditangani dengan pembatasan cairan. Penggunaan NaCl hipertonik dapat dipertimbangkan pada kasus dengan kadar natrium kurang dari 120 mEq/l dan atau turun secara cepat.Antibiotik. Banyak antibiotik yang dapat digunakan pada pasien ensefalopati hepatik untuk membersihkan saluran cerna, antara lain ampisilin, metronidazol, vankomicin, rifamixin. Dari antiboiotik tersebut, rifaximin menunjukkan spectrum luas baik bakteri gram positif maupun negatif dan aerobik maupun anaerobik, selain itu rifaximin diabsorbsi minimal secara sistemik. Helicobacter pylori (bakteri amoniagenik) dapat mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik pada pasien sirosis, terutama dengan adanya hipoklorida gaster. Oleh karena itu pemberian antibiotik juga diberikan untuk membunuh H. pylori.Protein. Pembatasan protein atau bahkan eliminasi total dianjurkan hingga terjadi perbaikan. Pemberian protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan dengan protein hewani, karena lebih dapat ditoleransi dan lebih sedikit mengandung aminium, methionin dan asam amino aromatik.Probiotik. Secara teoritis, bakteri intestinal yang tidak menghasilkan urease akan menurunkan jumlah ammonia enteral.1 Peningkatan metabolisme ammoniaOmithine-Aspartat. Infus 1omithine dan 1-aspartat merupakan usaha untuk menurunkan ammonia serum dengan meningkatkan metabolisme jaringan terhadap urea dan glutamine. Pada hepatosit periportal, 1omithine bekerja sebagai substrat ureagenesis dan mengaktifasi siklus enzim urea omithine transcarbamylase dan carbamoyl phospotase syntase. Aktifitas siklus urea diharapkan mengkonsumsi ammonia dan menurunkan kadar ammonia dalam serum. Pada sel perivena hepatik, dimana enzim siklus urea minimal, aspartan (dan dekarboxylate lainnya) menstimulasi sintesis glutamine dan memulai proses detoksifikasi ammonia. 1Benzoate dan Phenil asetat. Hiperamonia berhubungan dengan kerusakan metabolisme pada bayi baru lahir, penggunaan benzoate dan phenyl asetat merupakan standart pengobatan.e. PencegahanUntuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan memberi pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan pada hati. Selain itu bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah terjadinya ensefalopati.f. PrognosisEnsefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dengan tanda prognostic yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun.14. Ensefalopati akibat iskemika. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi mental.1b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal, dan iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari1: 1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan4) Pemisahan plasenta premature5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau pembentukan simpul pada tali pusat6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari1:1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah yang masif.3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan tahanan vascular janin) dan kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis. Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar bersalin.1Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus venosus, duktus arteriosus, dan foramen ovale dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung dan adrenal lebih diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi pulmonal), hati, ginjal dan usus. Apabila kegawatan janin menyebabkan janin terengah engah maka akan menyebabkan kandungan cairan amnion (mekonium, skuama rambut, lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.1Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang menyebabkan hipoksia dan kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang menyebabkan iskemia dapat menyebabkan berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat yang menghasilkan asidosis pada jaringan lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran darah pembuluh darah distal.c. Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada neonatus preterm, memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada bayi preterm, memperlihatkan infark korteks setempat atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak.1Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam macam bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan merupakan beberapa tanda umum terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik derajat keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan yang meningkat sesaat setelah dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan apneu. Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak adanya reflek tendon.9Tabel 4. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus9TandaDerajat 1Derajat 2Derajat 3

Tingkat kesadaranHiperalertLetargikStupor

Tonus ototNormalHipotonusFlaksid

Refleks tendon/ klonusHiperaktifHiperaktifTidak ada

Reflek moroKuatLemahTidak ada

PupilMidriasisMiosisAnisokor, reflek cahaya minimal

KejangTidak adaAda Desereberasi

EEGNormalPerubahan voltase rendah hingga aktifitas kejangBanyak supresi hingga isoelektrik

Durasi