ISSN: 2302-7851
Volume 2 No. 1
Juni - Desember 2013
BERKALAILMIAH
MAHASISWAFARMASI
INDONESIABIMFI
BIMFI
INDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL
Volume 2 No. 1Juni - Desember 2013
BERKALAILMIAH
MAHASISWAFARMASI
INDONESIA BIMFIINDONESIAN PHARMACY STUDENT JOURNAL
ISSN: 2302-7851
ii
BOARD OF TRUSTEE
Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia
Prof. Dr. Yahdiana Harahap, MS, Apt Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
BOARD OF DIRECTOR
Rahmi Khamsita, S.Farm., Apt
PENANGGUNG JAWAB
ISMAFARSI
PIMPINAN UMUM
M. Khairuman Universitas Padjadjaran
WAKIL PIMPINAN UMUM
Restri Akhsanitami Universitas Padjadjaran
SEKRETARIS
Anggita Sekarsari Universitas Padjadjaran
Fitri Arum Sari Universitas Indonesia
BENDAHARA
Adiba Hasna Ramadhani Universitas Padjadjaran
Sulistiyaningsih Universitas Indonesia
PIMPINAN REDAKSI
Nita Kristiani Universitas Gadjah Mada
DEWAN REDAKSI
Agus Al Imam B. Universitas Indonesia
Sujatmoko Universitas Padjadjaran
Oktavia Rahayu A. Universitas Brawijaya
Dina Aruni S. Universitas Jenderal Soedirman
Yonika Arum Larasati Universitas Gadjah Mada
Dewi Purwaningsih Universitas Hasanuddin
Nur Idiani Islami Universitas Andalas
PUBLIKASI
Retno Rela Mahanani S. Universitas Indonesia
Ade Putri Yulianti Universitas Tanjungpura
Jihan Shasika Rani Universitas Andalas
Nia Anzini Universitas Tanjungpura
Aris Setiyo Universitas Airlangga
Prima Ramadhani Universitas Andalas
Muliawati Universitas Hasanuddin
HUMAS DAN PROMOSI
Rhesa Ramadhan UIN Syarif Hidayatullah
Citra Utami Universitas Hasanuddin
Fitri Wulandari Universitas Indonesia
Hartika Guspayane Universitas Indonesia
Adlina Arsi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
TATA LETAK DAN LAYOUT
Mutiara Annisa M. Institut Teknologi Bandung
Septian Anggadibya Universitas Padjadjaran
Hesti Lestari Universitas Padjadjaran
Khalidazia Universitas Andalas
Diah Lestari Universitas Indonesia
SUSUNAN PENGURUS
iii
Susunan Pengurus............................................................................................................................. ...... ii
Daftar Isi...................................................................................................................................................... iii
Petunjuk Penulisan............................................................................................................................. ... iv
Setitik Ilmu................................................................................................................................................. ix
Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................... x
PENELITIAN
Uji Efektivitas Crustashellac Nanopartikel Sebagai Bio-Termitisida Pembasmi Rayap
Alami yang Aman Murah dan Ramah Lingkungan
Ronny Martien, Halida Rahmania, Yogi S. Laksono, Uli Rianiari, Wistiani T. Wardani
........................................................................................................................................................................... ....................................................... 1
Kajian Aktivitas Infusa Daun Mimba (Azadirachta indicajuss.) sebagai Obat Herbal Pereda
Osteoarthritis
R Arindra Hanuraga, Nadya Agustina, Agung Utan NS, Nurul Hidayati
.................................................................................................................................................................................................................................. 6
Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol 70% Daun Gambir (Uncaria gambir (huntes) roxb.)
Terhadap Aktivitas Listrik Jantung pada Tikus Hipertensi
Tika Nurhasanah dan Santi Purna Sari
.................................................................................................................................................................................................................................. 13
Modifikasi Struktur dan Penambatan Molekular Obat Antimikroba Golongan Inhibitor
Dihydrofolate Reductase (DHFR)
Agus Al Imam Bahaudin, Dessy Dian Septysari, dan Nazulanita Rahma
.................................................................................................................................................................................................................................. 21
Uji Aktivitas Sediaan Tonik Penumbuh Rambut Ekstrak Metanol dari Bonggol Pisang
Kepok (Musa Balbisiana) pada Tikus Putih Jantan
Nazulanita Rahma, Noorviana Farmawati, Agung Ismal Saleh
.................................................................................................................................................................................................................................. 33
ADVERTORIAL
IAN LC: Inhalation Aerosol Nebulizer For Lung Cancer, A New Treatment Alternative For
Lung Cancer Bases On Nanoparticles Of Soursop Leaf Isolates
Andika Dewi Ramadhani, Kun Rasyida, Siti Zulaikha, Dian Ayu Eka Pitaloka, Farichatul Izzah, Endah
Puspitasari
.................................................................................................................................................................................................................................. 38 SMEDDS EKJP: Self-Micro Emulsifying Drug Delivery System Ekstrak Kulit Jeruk Purut
sebagai Inovasi Ko-Kemoterapi Doxorubicin Berbasis Fitofarmaka
Prisnu Tirtanirmala, Nindi Wulandari, Rahmawaty Rachmady
.................................................................................................................................................................................................................................. 47
Sirup Ekstrak Air Sirih Merah (Piper crocatum) : Inovasi Baru Obat Diabetes Berbasis
Herbal
Fera Amelia, Ellsya Angeline R., Erni Wijayanti
.................................................................................................................................................................................................................................. 58
DAFTAR ISI ISSN: 2302-7851
iv
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI)
Indonesian Pharmacy Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang
menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi
validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel
penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika,teknologi
sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka,
laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta
editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa
farmasi.
Kriteria Artikel
1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar
farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks
(pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran).
2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu
dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.
3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini
ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format
terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan.
4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik
yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena
sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada
hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca.
5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari
ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang
farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi
mahasiswa farmasi.
6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam,
bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi).
7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan
kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.
PETUNJUK PENULISAN
v
Petunjuk Bagi Penulis
1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta
ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi.
Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman
judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal
15 halaman.
3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah
dikirim melalui email ke alamat [email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta
alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai
berikut:
1. Judul karangan (Title)
2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)
3. Abstrak (Abstract)
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (Introduction)
- Metode (Methods)
- Hasil (Results)
- Pembahasan (Discussion)
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika
sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
- Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
- Pembahasan
- Kesimpulan
- Saran
5. Daftar Rujukan (Reference)
6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang
telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki.
7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan
kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat
korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.
8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi
200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis.
vi
9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan
merupakan pengulangan kata-kata dalam judul.
10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).
11. Tabel
12. Gambar
13. Metode statistik
14. Ucapan terima kasih
15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam
keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat
1. Artikel dalam jurnal
i. Artikel standar
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for
pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3.
atau
Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for
pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3.
Penulis lebih dari enam orang
Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in
Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.
ii. Suatu organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety
and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4.
iii. Tanpa nama penulis
Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15.
iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk
kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2.
v. Volum dengan suplemen
Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer.
Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82.
vi. Edisi dengan suplemen
Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin
Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97.
vii
vii. Volum dengan bagian
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin dependent
diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6.
viii. Edisi dengan bagian
Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing
patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8.
ix. Edisi tanpa volum
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid
arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.
x. Tanpa edisi atau volum
Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood
transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.
xi. Nomor halaman dalam angka Romawi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction.
Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.
2. Buku dan monograf lain
i. Penulis perseorangan
Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY):
Delmar Publishers; 1996.
ii. Editor, sebagai penulis
Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill
Livingstone; 1996.
iii. Organisasi dengan penulis
Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The
Institute; 1992.
iv. Bab dalam buku
Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors.
Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press;
1995.p.465-78.
v. Prosiding konferensi
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of
the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19;
Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996.
viii
vi. Makalah dalam konferensi
Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical
information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92.
Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva,
Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.
vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis
1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor :
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled
nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services
(US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860.
2. Diterbitkan oleh unit pelaksana :
Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and
education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.:
AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research.
viii. Disertasi
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation].
St. Louis (MO): Washington univ.; 1995.
ix. Artikel dalam Koran
Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually.
The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5).
x. Materi audiovisual
HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.
3. Materi elektronik
i. Artikel journal dalam format elektronik
Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online]
1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK
http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm
ii. Monograf dalam format elektronik
CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H.
CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.
iii. Arsip computer
Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2.
Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.
ix
Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI)
Indonesian Pharmacy Student Journal
Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia
Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal
merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia
(ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali.
Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa
farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia.
Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum
dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial,
petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang
dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal
tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta
penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing.
Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti
Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia
Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan
adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi.
Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa
Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh
Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa
perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi
Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website.
Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi
ilmu kefarmasian.
SETITIK ILMU
x
Salam dari Pimpinan Umum,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan
kesempatan sehingga BIMFI ini bisa kembali hadir di dunia kefarmasian Indonesia. Salawat selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman.
Terima kasih tak lupa diucapkan kepada seluruh pihak yang telah terlibat dalam proses perjalanan
hingga terbitnya BIMFI ini.
Menulis sebuah artikel ilmiah bagi sebagian besar mahasiswa farmasi mungkin bukan menjadi
hal baru. Namun, untuk mempublikasikan karya yang telah dibuat, masih kurang membudaya bagi
mahasiswa. Sebagai wadah jurnal mahasiswa farmasi pertama dan satu-satunya di Indonesia, BIMFI
telah berhasil menjadi konsumsi yang produktif untuk perkembangan ilmu kefarmasian bagi
mahasiswa dan akademisi farmasi. BIMFI dapat dijadikan acuan referensi jurnal bagi mahasiswa sesuai
kebutuhannya. Melalui BIMFI, ISMAFARSI telah menunjukkan kesungguhannya dalam mendukung
Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia, mengenai Wajib Publikasi Ilmiah bagi S1, sehingga dapat
memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia.
Pada tahun pertama, BIMFI telah tersebar luas di beberapa kampus farmasi dari Aceh hingga
Manado. Walaupun telah memasuki tahun kedua, BIMFI diharapkan dapat terus menjadi salah satu
wadah mahasiswa melatih budaya mempublikasikan tulisan ilmianya. Dengan adanya berkala ilmiah
ini, kami juga berharap dapat melakukan pemetaan terhadap penelitian terkait ilmu kefarmasian di
Indonesia.
Dengan mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikel-artikel
yang dipublikasikan dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 5 artikel
penelitian dan 3 artikel advertorial dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik
yang bisa dimuat di BIMFI karena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang
dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari.
Terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kesalahan yang telah penyusun
lakukan. Sampai berjumpa pada edisi berikutnya. Partisipasi teman-teman mahasiswa farmasi akan
selalu kami nantikan. Semoga berkala ilmiah ini dapat terus membawa manfaat bagi kita semua.
Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia!
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
M. Khairuman
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM
1 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian ABSTRAK
Penggunaan kayu sudah sangat essensial dalam kehidupan masyarakat. sehingga, berbagai hal yang mungkin dapat menurunkan kualitas serta harga jual kayu menjadi perhatian utama. Di antara masalah paling merugikan bagi masyarakat yang memanfaatkan nilai jual kayu adalah keberadaan rayap. Kitosan diketahui memiliki aktivitas bio-termitisida (pembasmi rayap alami) sehingga peneliti berupaya untuk menghasilkan inovasi berupa bahan anti rayap baru yang memanfaatkan kemampuan potensial kitosan dalam penghambatan rayap.
Crustashellac adalah inovasi baru anti rayap berbahan aktif kitosan yang dicampurkan ke dalam plitur. Alasan penggunaan tekhnologi nano adalah untuk memaksimalkan kelarutan kitosan dalam pelarut plitur. Pengujian efek biotermitisida dilakukan selama satu minggu dengan variable tergantung adalah jumlah kematian rayap per kelompok perhari. Kemudian data yang yang didapat diolah menggunakan statistika model ANOVA Secara keseluruhan dari setiap variable memiliki sigifikansi 0,036. Dari hasil tersebut disimpulkan hasil variabel memiliki perbedaan yang signifikan. Variabel yang berpotensi sebagai biotermitisida terbaik ada pada kitosan industri dalam dalam larutan asam tanpa adanya pelitur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapat hasil data bahwa, crustashellac yang terbentuk memiliki pemerian berwarna cokelat bening. Encer. dan masih dapat melapisi kayu. Kata kunci: kitosan, biotermitisida, nanopartikel, crustashellac ABSTRACT
The usage of woods and their product had already influence people’s life. Thus, protection of
woods became main problems, many things that may treathen woods has to begun being reduced. One of them is the presence of white ant (Termites). That’s why this research aims to make the new innovative product of biotermiticide with chitosan as its active ingredient.
Crustashellac is a new innovation of anti-termite with active material chitosan that mixed into plitur. Crustashellac name consists of two words, namely crustacea representing the family of crustaceans as the source of chitosan and shellac that is raw materials of plitur.Biotermiticide test run for a week. And being observed everyday to count the dead termits. Then data is proceed with ANOVA test.
Study shown that overall, for each variable has a significance 0,036. Based on that test, the best variable as biotermiticide is the high-deacetylation degree chitosan that soluted in acid pH 4. Crustashellac had appearance as a liquid, clear, and still can made a layer. Keywords: chitosan, biotermiticide, nanoparticle, crustashellac
UJI EFEKTIVITAS CRUSTASHELLAC NANOPARTIKEL SEBAGAI BIO-TERMITISIDA PEMBASMI RAYAP ALAMI YANG AMAN MURAH DAN RAMAH LINGKUNGAN Ronny Martien1*, Halida Rahmania2, Yogi S. Laksono2, Uli Rianiari2, Wistiani T. Wardani2 1Dosen Bagian Farmasetika, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada 2Mahasiswa program S1 Farmasi, Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s Email : [email protected]
2
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN
Salah satu masalah paling merugikan
bagi masyarakat yang memanfaatkan nilai jual
kayu di kehidupan sehari-harinya adalah
keberadaan rayap. Rayap adalah bahan
pengurai alami. Namun, akibat pembangunan
pemukiman masyarakat yang terlalu pesat, rayap
terpaksa memangsa bangunan berbahan kayu,
kertas, arsip, buku, dan tanaman. Di Indonesia,
kerugian akibat serangan rayap mencapai 224-
238 milyar rupiah per tahun (1).
Limbah kulit udang memiliki kandungan
yang dapat beraktivitas sebagai bio-termitisida
atau pembasmi rayap alami(2). tetapi
pemanfaatannya pada kayu masih belum terlalu
optimal. Untuk memudahkan masyarakat
mengakses kitosan, penyisipan atau
panggabungan kitosan pada bahan yang sudah
dikenal masyarakat dan biasa diaplikasikan pada
kayu. Cara tersebut dapat dilakukan sebagai
sarana memperkenalkan kitosan sebagai anti
rayap pada masyarakat. Chrushtashellac merupakan inovasi
terbaru pembuatan plitur bio-termitisida.
Penamaan bahan pelitur termitisida siap pakai
tersebut didasari oleh dua kata, yaitu Crustacea
sebagai nama genus dari udang dan shellac
yaitu bahan dasar pembuatan pelitur.
Nanopartikel merupakan suatu partikel yang
berukuran nano (3). Satu nanometer adalah 10-
9meter. Kitosan yang tadinya tidak larut pada
alkohol dibuat menjadi nanokitosan yang
kelarutannya akan lebih besar pada alkohol(4).
2. METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Teknologi Farmasi UGM Unit III Fakultas
Farmasi, Jl Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta.
Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2012
hingga bulan Juni 2012. Bahan yang digunakan
adalah LImbah kulit udang, Kitosan Industri.
Shellac, HCl. NaOCl 0,315%, methanol,
aquadest, NH3 37%. Asam Asetat 1%, NAOH
1M.
2.1. Pembuatan Kitosan
Kitin yang telah dihasilkan setelah
melalui proses deproteinasi dimasukkan dalam
larutan NaOH dengan konsentrasi 20, 30, 40, 50,
dan 60% (berat) pada suhu 90-100 C sambil
diaduk selama 60 menit. Hasilnya berupa slurry
disaring, endapan dicuci dengan menggunakan
aquadest lalu ditambah HCl encer agar pH netral
kemudian dikeringkan.
2.2. Perhitungan Derajat Deasetilasi
Perhitungan Derajat Deasetilasi(2).
(1)
Dilakukan pembacaan dengan FTIR
untuk melihat perbedaan kitosan industri dengan
kitosan hasil.
2.3. Pembuatan Nanokitosan
Ada beberapa metode yang digunakan
dalam membuat nanokitosan :
Metode Z.G. Hu, et al, 2007(5)
Siapkan 1 mg/ml larutan kitosan dengan
melarutkan kitosan dalam asam asetat 1% v/v,
vortex campuran. Larutkan TPP dalam aquadest
dengan konsentrasi 1 mg/ml. Tambahkan 1 ml
dari larutan TPP 1 mg/ml ke dalam 5 ml larutan
kitosan 0,5% b/v sambil diaduk dengan magnetic
stirrer pada suhu kamar selama 30 menit.
Nanopartikel secara spontan akan terbentuk
setelah penambahan TPP ke dalam larutan
kitosan.
3 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Metode penambahan NH3
0,2 gram kitosan dilarutkan dala 500 ml
Asam Asetat 1%, diaduk menggunakan jartest
sampai terbentuk larutan kitosan. Kemudian
larutan kitosan ditetesi 20 tetes NH3 (p) 37%
sampai terbentuk gel kitosan putih.
Setiap dari nanokitosan yang terbentuk
dibuktikan oleh hasil dari pembacaan TEM, atau
Transmition Electron Microscop sebab, nano
pertikel yang dihasilkan akan memiliki ukuran
yang sangat kecil.
2.4. Uji Politer Biotermitisida
Pengujian dilakukan dengan cara
pelapisan kayu dengan politur yang telah
tercampur dengan nanokitosan. Uji pengaruh
nanokitosan pada politur kayu terhadap
biotermitisida kitosan menggunakan rayap tanah
Macrotermes gilvus. Pengumpanan kepada
rayap dilakukan dengan mengelem pipa pralon
diatasnya.Kemudian, diberi plastisin agar padat
dan mampat, sehingga semua lubang kecil dapat
tertutupi sehingga rayap tidak kabur.
Pengamatan dilakukan setiap 24 jam sekali
pada jam 5 sore sebab rayap tidak tahan
terhadap cahaya(6).
2.5. Analisa Data
Untuk melihat perbedaan, data yang
diperoleh diubah dalam bentuk persentase.
Persen perubahan kadar dianalisis dengan
Kolmogorov-Smirnovuntuk melihat apakah data
terdistribusi normal atau tidak. Jika hasil analisis
Kolmogorov-Smirnov data terdistribusi normal,
maka analisis dilanjutkan dengan ANOVA satu
arah, namun bila data tidak terdistribusi normal
maka metode analisis statistik yang digunakan
adalah Mann-Whitney dengan taraf kepercayaan
95%.
3. HASIL 3.1 Pembuatan Kitosan
Karakterisasi derajat deasetilasi untuk
kitosan industri adalah 98 %. Sedangkan untuk
kitosan hasil produksi sendiri adalah DD 30%=
24, 58%. DD 40%= 30,01%, DD 50%= 30,83%.
Perbedaan derajat deasetilasi yang terjadi
mengakibatkan kitosan hasil produksi sendiri sulit
larut, sehingga tidak bias diproses dalam bentuk
nano. Pembuatan Nanokitosan dilanjutkan
menggunakan kitosan industri.
3.2. Pembuatan Nanokitosan
Kriteria dari nanokitosan yang kami
hasilkan Pengujian TEM dilakukan di
Laboratorium TEM MIPA UGM. Didapat 8 sampel
nanokitosan untuk karakterisasi nanokitosan,
didapat hasil pengukuran penampang
nanokitosan sebagai berikut : 1= 62,8282 ; 2=
62,8282; 3=66,6 4= 58,33; 5= 54,1176; 6=
42,825; 7= 43,75; 8= 55,83. Sehingga, secara
keseluruhan rerata ukuran partikel nanokitosan
yang berhasil dikarakterisasi adalah 55,838 nm,
dengan SD 6,808%, LE= 2,8997. Kisaran dari
ukuran partikel nanokitosan adalah
52,938<55,838<58,7377 . Hal ini menunjukkan
karakter nano kitosan yang dibentuk memenuhi
kriteria sebagai nanopartikel.
Gambar 1. Nanokitosan
3.3. Uji Politur Biotermitisida
Pengujian Biotermitisa dilakukan dengan
membuat 8 formula berbeda.
4
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Tabel 1. Tabel Formulasi Parameter
Dari setiap kelompok kemudian diamati
efek biotermitisidanya dengan cara menghitung
jumlah rayap yang mati dalam tiap parameter.
Kemudian data diplotkan ke dalam grafik untuk
mengetahui parameter yang memiliki nilai
pembasmian rayap tertinggi diantara kelompok
yang diujikan.
Gambar 2. Grafik Jumlah Kematian Rayap Tiap Parameter
4. PEMBAHASAN
Hasil efek biotermitisida yang diplotkan
dalam grafik dapat dilihat parameter kitosan
industri dalam larutan asam tanpa pencampuran
pelitur memiliki efek biotermitisida yang lebih baik
dibanding dengan parameter lainnya. Dari
keseluruhan parameter dalam tes ANOVA dan
didapat signifikansi sebesar 0,036. Dari hasil
tersebut memiliki arti bahwa data yang didapat
memiliki perbedaan secara signifikan. Disebut
signifikan apabila uji anova menunjukkan hasil
kurang dari 0,05%. Dari hasil ini bisa disimpulkan
pencampuran kitosan industri dalam larutan
asam lebih efektif sebagai agen biotermitisida.
Kemampuan larutan kitosan dalam
membasmi rayap tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan asam. Asam juga dapat menjadi
racun bagi rayap. Akan tetapi, asam juga
berbahaya manusia(7). Dari segi ketahanan,
asam sangat mudah tercuci dan rusak.
Sehingga, secara ketahanan, produk
crustashellac lebih unggul, karena pelitur akan
membentuk lapisan yang dapat meningkatkan
keterikatan kitosan pada kayu, sehingga tidak
mudah tercuci. Dari hasil juga dapat dilihat
bahwa ternyata peningkatan derajat deasetilasi
yang kurang signifikan tidak mempengaruhi efek
biotermitisida. Namun, peningkatan derajat
deasetilasi mempengaruhi kelarutannya dalam
asam. Apabila dilihat dari uji ANOVA yang
dilakukan signifikansi yang didapat 0,490 ;
apabila diacukan pada studi literatur, signifikansi
tidak menunjukkan nilai yang diinginkan, atau
hasil pengaruh derajat deasetilasi tidak memiliki
perbedaan secara signifikan.
5. SIMPULAN
Kitosan yang merupakan limbah rumah
tangga ternyata memiliki khasiat dalam hal
termitisida. Penerepan tekhnologi nano terbukti
berhasil membuat kitosan yang lebih memiliki
ukuran nao, sehingga, dispersinya dalam alcohol
menjadi lebih baik. Pengujian efek biotermitisida
menunjukkan efek terbaik penghambatan adalah
larutan kitosan industri dalam asam.
6. SARAN
Untuk dapat membuat produk siap jual
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, mengenai,
ketahanan crustashellac dan optimalisasi
konsentrasi bahan baku.
5 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
7. UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini didanai oleh Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia melalui
Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2011.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Dr.rer.nat.Ronny Martien, M.Si selaku dosen
pembimbing penelitian atas dukungan dan
bimbingannya
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tarumingkeng, R. C. Biologi dan Perilaku
Rayap [serial online] 2005.
http:/tumotou.net/biologi dan prolaku
rayap.htm, diakses tanggal 28 juni 2012
[2] Radihtya, Zulfahmi. Pemanfaatan Limbah
Kulit Udang sebagai Bahan Anti Rayap (Bio-
termitisida) pada Bangunan Berbahan Kayu
[Skripsi]. Jurusan Teknik Kimia : Universitas
Diponegoro Semarang.; 2010
[3] Setiowati, Nurani. Determination of Optimum
Conditions for Nanoparticle Formation from
Caesalpinia sappan Wood as An Antiacne
Agent [Thesis]. Faculty of Mathematic and
Natural Sience : Bogor Agricultural
University.; 2011.
[4] Musthaba MS, Sanjula B, Sayeed A, Alka
A,Javed A. Status of Novel DrugDelivery
Technology for Phytotherapeutics. June
2009;6. doi:10.1517/17425240902980154.
625-637.v6.
[5] Szeto Yau-shan, Zhingan Hu. ATA Journal
for Asia on Textile & Apparel Article
Exploring Nanochitosan. Cina . 2007
[6] Prasetyo Kurniawan Wiji, , S.Hut. & DR.
Sulaeman Yusuf. Mencegah & Membasmi
Rayap secara Ramah Lingkungan &
Kimiawi. Jakarta (Indonesia): Agromedia
pustaka; ISBN: 979-3702-23-0
[7] Tabbu, C.R. dan B . Hariono. 1991 .
Pencemaran lingkungan oleh limbah
peternakan dan pengolahannya . Bull . FKH
UGM 10(2):71-83.
6
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian ABSTRAK
Efek anti-osteoartritis daun mimba (Azadirachta indica) diteliti menggunakan tikus terinduksi
adjuvant dan mencit yang terinduksi nyeri. Daun mimba dibuat menjadi infusa, diberikan secara oral kepada mencit untuk menguji efek analgesik, kepada mencit untuk diuji efek analgesiknya dan kepada tikus untuk diuji aktivitas antiinflamasi dan indeks artritisnya sebagai parameter efek pereda osteoartritis. Hewan uji dibagi atas kelompok kontrol normal, kontrol negatif, kontrol positif, dan kelompok perlakuan dengan infusa daun mimba (dosis 0,36, 0,73, dan 1,46 mg/20 g berat badan untuk uji analgesik; dosis 2,52, 5,04, dan 1,01 mg/200 g berat badan untuk uji antiinflamasi). Indeks Artritis ditentukan pada hari ke-17 dan 31, udem volum ditentukan setiap hari selama 31 hari dan jumlah geliat dihitung setiap 5 menit selama 1 jam, kemudian data dianalisis dengan ANOVA dan uji t (p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks artritis, udem volume dan jumlah geliat mengalami penurunan dengan pemberian infusa daun mimba. Selain itu, efek maksimum pereda osteoarthritis dicapai dosis III daun mimba. Infusa daun mimba efektif dalam mengurangi gejala Osteoartritis, dan hasil konversi dosis III ke dosis manusia, menunjukkan dosis 0.565 gr / kgBB atau setara dengan 14 lembar daun. Kata kunci: Azadirachta indica Juss., tikus terinduksi adjuvant, analgesik, anti-inflamasi, indeks artritis. ABSTRACT
Anti-osteoarthritic effect of Azadiracta indica were investigated using rats induced adjuvant
and mice induced pain. Neem leaf are made into infusion , administered orally to mice to test the analgesic effect, the rats to test the anti-inflammatory and arthritis index as a parameter reliever effects of osteoarthritic. The models were divided into normal control group , negative control , positive control , and the group treated with neem leaf infusion ( doses of 0.36 , 0.73 , and 1.46 mg/20 g body weight to test analgesics ; doses of 2.52 , 5.04 , and 1.01 mg/200 g body weight to test anti-inflammatory ). Arthritis Index is determined on days 17 and 31, edema volume is determined every day for 31 days and the number of writhing was calculated every 5 minutes for 1 hour , then the data were analyzed by ANOVA and t-test ( p < 0.05 ) . The results showed that the index of arthritis, edema volume and the amount of stretching was clearly decreased with administration of Neem leaf infusion. Moreover, the maximum effect is achieved at dose III. In conclusion, infusion of neem leaves is effective in reducing symptoms of osteoarthritis, and the conversion the third dose to human dose, in the amount of 0.565 g/kg, equivalent to 14 sheets of leaves Keywords: Azadirachta indica Juss., adjuvant-induced rat arthritic, analgesic, anti-inflamatory, arthritic index.
KAJIAN AKTIVITAS INFUSA DAUN MIMBA (Azadirachta indicaJUSS.) SEBAGAI OBAT HERBAL PEREDA OSTEOARTHRITIS R Arindra Hanuraga*, Nadya Agustina, Agung Utan NS, Nurul Hidayati Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, *Corresponding author’s email : [email protected]
7 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN Di Indonesia, rematik adalah penyakit
kronis yang sering kita jumpai di masyarakat,
salah satu jenis rematik yang sering diderita
adalah osteoartritis (OA). Osteoarthritis adalah
gangguan yang mempengaruhi bantalan sendi
diarthrodial dari kerangka perifer dan aksial. Hal
ini ditandai dengan penurunan dan hilangnya
kartigo articular, sehingga terjadi pembentukan
osteofit, nyeri, keterbatasan gerak, deformitas
dan kecacatan(1).
Pengobatan osteoartritis yang sering
dilakukan secara konvensional adalah dengan
pemberian DMARD’s (Disease Modifiying Anti
Rheumatic Drugs). Obat-obat ini berkhasiat anti
radang kuat dan dapat menghentikan atau
memperlambat kerusakan tulang rawan. Obat ini
kadang juga dikombinasikan dengan NSAID’s
(Non-Streoid Anti Inflammation Drugs) untuk
memperkuat efeknya. Tetapi, DMARD’s bersifat
toksik bagi darah dan ginjal(2) dan NSAID’s dapat
mengakibatkan pendarahan pada
gastrointestinal(2). Oleh karena itu, sampai
sekarang terus dicari bahan obat yang
mempunyai aktifitas anti-rematik yang tidak
toksik.
Pohon Mimba (Azadirachta indica Juss.)
adalah salah satu flora yang ada di Indonesia.
Secara turun temurun, terdapat bukti-bukti
empiris di beberapa daerah di Indonesia yang
masyarakatnya percaya bahwa menggunakan
rebusan daun mimba (Azadirachta indica Juss.)
dapat digunakan sebagai penghilang pegal-pegal
atau anti rematik. Ini harus dibuktikan sehingga
tidak menjadi racun yang akan merugikan bagi
manusia. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa
daun pohon ini berefek sebagai anti-viral(3), anti-
bakteri(4), anti-paralitik(5), antioksidan(6,7).
Kandungan-kandungan yang sudah diketahui
dari pohon ini merupakan triterpenoid golongan
limonoid, contohnya azadirachtin, nimbin,
salanin, azadirachtol dan 30%-50% minyak(8).
Zat-zat tadi diduga berefek anti feedant dan
insektisida,(8) yang artinya dapat berefek racun
pada manusia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
adanya efek pereda Osteoartritis, dengan
parameter efek analgesik, anti-inflamasi, dan
anti-artritis pada ekstrak daun pohon mimba
(Azadirachta indica Juss.) pada tikus artritis yang
diinduksi menggunakan complete freund’s
adjuvant (CFA) dan mencit galur Balb/C yang
diinduksi asam asetat glasial.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Alat dan Bahan
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah daun mimba, complete
freund’s adjuvant (Sigma) yang mengandung
Mycobacterium butyricum, asam asetat glasial
(Merck) sebagai penginduksi nyeri, natrium
diklofenak (Novartis) sebagai reference drug anti-
radang (kontrol positif), parasetamol (Sigma)
sebagai reference drug analgesik (kontrol positif).
Alat-alat yang digunakan adalah neraca, lemari
pendingin, alat gelas, kompor listrik,
plestismometer, dan panci infusa. Hewan uji
yang dipergunakan adalah tikus betina galur
Sprageue Dawley (SD), umur 2 bulan, berat
badan 150-250 g dan mencit betina galur Balb/C
umur 1 bulan diberi pakan BR2-F dan minum ad-
libitum.
2.2. Prosedur Penelitian 2.2.1. Preparasi Bahan Uji
Determinasi tumbuhan mengacu pada
buku flora of Java(9). Pengumpulandaun
8
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Azadirachta IndicaA. Juss. yang diambil dari
daerah Kentungan Yogyakarta, dicuci dibawah
air mengalir, ditiriskan. Dikeringkan tanpa
pemanasan tambahan.Pembuatan Infusa daun
mimba 0,5%. Daun mimba sebanyak 0,5 gram
dimasukkan ke dalam panci infusa, ditambah air
sebanyak 100 mL. Panci dipanaskan selama 15
menit dihitung mulai suhu di dalam panci
mencapai 900C. Kemudian diserkai selagi panas,
kekurangan volume ditambahkan melalui ampas
dengan aquadest panas.
2.2.2. Uji Aktivitas Anti-Artritis dan Anti- Inflamasi
Model uji in vivo yang digunakan adalah
tikus yang diberi complete freund’s
adjuvant(CFA), yang akan menginduksi artritis
dan inflamasi kronis. Menggunakan tikus galur
Sprague Dawley(SD) jantan, yang dibagi menjadi
lima kelompok:
Tabel 1. Perlakuan Uji pada Tikus galur SD
Kelompok (n=5) Perlakuan Daun Mimba
I (kontrol normal) Tanpa perlakuan
II (Kontrol negatif) Hari 1 diberi CFA, hari 17-
30 diberi aquadest
III (Kontrol positif) Hari 1 diberi CFA, hari 17-
30 diberi Na-diklofenak
IV (Perlakuan I) Hari 1 diberi CFA, hari 17-
30 diberi 2,52 mg/200gr
BB infusa daun mimba
V (Perlakuan II) Hari 1 diberi CFA, hari 17-
30 diberi 5.04 mg/200gr
BB infusa daun mimba
VI (Perlakuan III) Hari 1 diberi CFA, hari 17-
30 diberi 10.08 mg/200gr
BB infusa daun mimba
Tikus disuntik pada paha kanannya
sebanyak 0.1 mL(10). Ditunggu 16 hari, sehingga
efek artritis terlihat. Pada hari 17 dan 31
ditetapkan indeks artritis(11) dan volume udem.
Hasil pengamatan dari persentase indeks artritis
dan volume udem dianalisis menggunakan
analisa statistika one way-ANOVA (p<0,05).
2.2.3. Uji Efek Analgesik Pada uji analgesik, penginduksi rasa
nyeri adalah asam asetat 0,1%. Mencit jantan
galur Balb/C dibagi menjadi enam (VI) kelompok,
dengan perlakuan berikut:
Tabel 2. Perlakuan Uji pada Mencit galur Balb/C
Kelompok (n=5) Perlakuan Daun Mimba
I (kontrol normal) Tanpa perlakuan
II (Kontrol
negatif)
Diberi as. asetal glasial
0,1% sesuai dosis
III (Kontrol
positif)
Diberi as. asetat 0,1%,
diberi suspensi
Parasetamol 1.3
mg/kgBB(12)
IV (Perlakuan I) Diberi as. asetat 5%, lalu
0,364 mg/20gr BB infusa
daun mimba
V (Perlakuan II) Diberi as. asetat 5%, lalu
diberi 0,768 mg/20gr BB
infusa daun mimba
9 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
VI (Perlakuan III) Diberi as. asetat 5%, lalu
diberi 1,456 mg/20gr BB
infusa daun mimba
Setelah diberikan asam asetat 0,1%(13),
maka mencit akan menggeliat. Jumlah geliat
inilah yang dihitung per lima menit selama 1 jam.
Data yang dikumpulkan berupa geliat
kumulatif mencit masing-masing kelompok
perlakuan. Lalu dihitung daya analgesiknya
menggunakan rumus sebagai berikut,
Daya analgesik = {100-(P/K x 100)}100%
dengan:
P = Jumlah geliat kumulatif kelompok percobaan
tiap individu
K = Jumlah geliat kumulatif kelompok kontrol
rata-rata(14)
Data daya analgesik yang diperoleh
dianalisis dengan uji statistik ANOVA satu arah
(p<0,05) dan uji t-LSD (p<0,05).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daun mimba (Azadirachta indica Juss.)
yang digunakan dalam penelitian ini diberikan
dalam bentuk infusa agar menyerupai
penggunaan daun mimba ini di masyarakat, yaitu
dengan cara direbus dengan air. Ini untuk
membuktikan apakah rebusan ini berfungsi
sebagai pereda osteoarthritis. Infusa daun mimba
ini kemudianmenjadi tiga uji sebagai parameter
pereda osteoarthritis, yaitu uji analgesik, anti-
infalamasi, dan penentuan indeks atritis, karena
ketiganya dapat memberikan efek yang sinergis
dalam mengurangi osteoarthritis.
Pada uji analgesik digunakan metode
rangsang kimia. Metode ini dipilih, karena sesuai
untuk menguji bahan yang zat-zat aktif
analgesiknya belum diketahui dengan pasti
golongan zat tersebut. Metode yang lain,
contohnya adalah metode Hot-Plate cocok dan
sensitif untuk zat-zat golongan atau turunan
opiat. Pada metode rangsang kimia ini digunakan
asam asetat glasial karena bersifat iritator kuat
pada jaringan peritoneal. Rangsang nyeri ini juga
dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang
melepaskan mediator-mediator nyeri yang akan
dihantarkan sampai ke otak sebagai rasa nyeri.
Pada uji ini tidak terdapat kendala yang berarti,
tetapi ada beberapa percobaan yang harus
diulang karena mencit yang diuji mati karena
kesalahan penyuntikan, dengan hasil sebagai
berikut:
Grafik 1. Daya Analgesik Daun Mimba
Dapat dilihat pada grafik bahwa terdapat
daya anlgesik pada dosis I, II, dan III infusa daun
mimba, dan bahkan pada dosis III daya
analgesiknya hampir sebesar kontrol positifnya.
Hasil ini juga dibuktikan dengan uji statistik one
way-ANOVA, dimana terdapat perbedaan yang
10
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
bermakna antara perlakuan dosis dan kontrol
negatif (p<0,05).
Selanjutnya dalah uji dari efek anti
inflamasi dan efek pereda artritis pada tikus galur
SD betina. Pada uji ini digunakan CFA (Complete
Freund’s Adjuvant) sebagai penginduksi artritis
dan inflamasi. Ini dikarenakan CFA dapat
memicu system imun untuk bekerja berlebihan
dengan manifestasi udem dan artritis. Kedua uji
ini dilakukan secara bersamaan untuk
menghemat waktu, biaya, serta kesalahan yang
mungkin terjadi. Pada uji anti-inflamasi, diukur
volume udemnya sebagai data dan pada arthritis
dilihat dari suatu skala. Skala yang digunakan
untuk mnegukur tingkat keparahan terjadinya
suatu artritis dilihat dari gejala-gejala yang timbul,
lalu dinyatakan sebagai indeks arthritis. Tikus
dapat dikatakan arthritis apabila indeks yang
terjadi ≥ 1 dan biasanya ditandai dengan
bengkak, kemerahan, serta perubahan bentuk
pada jari dan telapak kaki. Skalanya sebagi
berikut(12) :
Tabel 3. Indeks Artritis
No Gejala artritis pada tikus Skor
1 Bengkak dan merah pada 1 jari
kaki
0,25
2 Bengkak dan merah sedikitnya
2 jari kaki
0,5
3 Bengkak pada telapak kaki 0,75
4 Bengkak dan merah pada jari
kaki dan perubahan bentuk
pada telapak kaki
1,00
5 Bengkak dan merah pada jari
kaki dan telapak kaki
1,25
6 Bengkak dan merah pada jari
kaki dan sedikit bengkak pada
sebagian telapak dan
pergelangan kaki
1,50
7 Bengkak dan merah pada jari
kaki dan telapak kaki serta
bengkak pada seluruh telapak
dan pergelangan kaki
1,75
8 Bengkak dan merah pada jari
kaki, telapak dan pergelangan
kaki
2,00
Pada hari ke-1 sampai hari ke-16, tikus
diinduksi dengan CFA dan belum mendapat
perlakuan dengan tujuan membuat tikus menjadi
menderita artritis yang ditandai dengan indeks
arthritis ≥ 1. Persentase indeks artritis dihitung
pada hari ke-17 dan hari ke-31. Sementara untuk
pengukuran volume udem dilakukan dari hari
pertama sampai ke-31 untuk melihat respontikus
tiap harinya. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Grafik 2. Daya anti-inflamasi hari ke-31
11 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Grafik 3. Daya anti-artritis hari ke-31
Grafik 4. Volume Udem Tikus
Pada hari ke-16, semua tikus telah
terkena artritis, yang ditunjukkan dari semua tikus
mempunyai indeks artritis sebesar 2. Dapat
dilihat dari hasil diatas, bahwa tikus yang
diberikan dosis daun mimba dan kontrol positif,
mulai menunjukkan hasilnya kira-kira pada hari
ke-20, yang mana paling tinggi memberikan efek,
dapat dilihat pada grafik adalah kontrol positif lalu
dosis III, II, dan I. Uji statistik juga menunjukkan
bahwa diantara kelompok-kelompok tersebut
terdapat perbedaan yang bermakna antara
kontrol negatif dan dosis I, II, III (p<0.05). Tetapi,
apabila dilihat dari definisi tikus yang mengalami
artritis, yaitu lebih besar dari atau sama dengan
satu, hanya kelompok dosis III daun mimba dan
kontrol positiflah yang meredakan osteoarthritis. Dari hasil percobaan ini, dapat
disimpulkan bahwa infusa daun mimba memiliki
efek meredakan penyakit osteoarthritis, karena
ketiga parameter yang diujikan memiliki hasil
yang positif. Yang perlu diperhatikan adalah
dosis III infusa daun mimba mempunyai efek
yang hampir sama dengan kontrol positif yang
diujikan yaitu parasetamol dan Na-Diklofenak.
Oleh karena itu, dosis 3 ini dapat menjadi pilihan
dalam terapi yang digunakan dalam masyarakat,
yang apabila dikonversikan dosisnya kepada
manusia, dosisnya menjadi sekitar 0,565
gr/70kgBB, atau sebanding dengan kira-kira 14
lembar daun mimba yang telah kering.
4. SIMPULAN Infusa daun mimba (Azadiracta indica
Juss.) dapat memberikan efek analgesik, anti-
inflamasi, menurunkan indeks artritis yang dapat
dijadikan parameter dalam meberikan efek
pereda osteoarthritis.
Dosis III infusa daun mimba (Azadiracta
indica Juss.) memiliki efek yang sama dengan
kontrol positif yang diberikan, yaitu parasetamol
untuk efek analgesik dan Na-diklofenak untu anti-
inflamasi dan penentuan indeks arthritis. Hasil konversi dosis III dari mencit/tikus
kepada manusia sebesar 0,565gr/70kgBB atau
kira-kira 14 lembar daun.
5. SARAN
Perlu dilakukan uji toksisitas dari infusa
daun mimba ini, agar pada akhirnya diharapkan
bahwa masyarakat dapat mengkonsumsi pereda
osteoarthritis yang berefek baik dan juga aman
atau tidak toksis, sehingga dapat menjadi
alternatif obat yang ada di pasaran.
12
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA [1] Sukandar EY, Retnosari A, Joseph S. ISO
Farmakoterapi. Jakarta: ISFI Penerbitan;
2008
[2] Mulyaningsih S, Darmawan E. Anti-arthitic
Effect of Musa paradisiaca sapientum L dan
Aloe vera L. in Adjuvant-induced Arthritic
Rats. Yogyakarta: Fakultas Farmasi
Universitas Islam Indonesia; 2006
[3] Gogati SS, Marathe AD. Anti-viral Effect of
Neem leaf (Azadirachta indica A. Juss.)
extract on Chinkugunga and Measles
viruses.J. Res. Edu. Ind. Med.1989 8: 1-5
[4] Singh N, Sastry MS. Antimicrobial activity of
Neem oil. Ind. J.Pharmaciol. 1997; 13: 102-
106
[5] Allan EJ, Stuchbury T, Mordue (Luntz) AJ.
Azadirachta indica A. Juss (Neem tree): In
vitro culture, micropropagation and the
production of azadirachtin and other
secondary metabolites. Didalam Bajaj YPS
(Ed) Biotechnology in Agriculture and
Forestry Science Series. Springer, Berlin
Heidelberg NY: Medical aromatic
plant.1999; 43: 11-41
[6] Bandyopadhyay U, Biswas K, Catterjee R,
Bandyopadhyay D, Chattopadhyay I,
Ganguly CK, Chakraborty T, Bhattacharya
K, Banerjee RK. Gastroprotective Effect of
Neem (Azadiracta indica) Bark Ekstrak:
Possible involvement of H+-K+-ATPase
Inhibition and Scavegening of Hidroxyl
Radical. Life sci. 2002; 71 : 2845-2865
[7] Sultana B, Anwar F, Przybylski R.
Antioxidant Activity of Phenolic Component
Present in Bark of Azadirachta indica,
Terminalia arjuna, Acacia nilotica, Eugenia
jambolana Lam. Trees J. Food Chem. 2007;
104: 1106-1114
[8] Carpinella MC, Defago MT, Valladares G,
Palacios SM. Anti-Feedant and Insecticide
Properties of a Limonoid from Melia
azedarch (Meliaceae) with Potential Use for
Pest Management. J. Agric. Food Chem.
2003; 51: 369-374
[9] Backer CA, van der Brink RCB. Flora of
Java vol II. Groningen: N.V.P. Noorfhoff;
1963
[10] Anderson AJ. Lysosomal Enzyme Activity in
Rats with Adjuvant Induced Arthritis. Annual
Rheumatics Disease. 1970; 29(2): 307-313
[11] Smit F. Picrorhiza scrophulariiflora from
Traditional Use to
Immunomodulatory.[Dissertation]. Utrecht :
Rijksuversiteit Utrech; 2000
[12] Donatus TA. Interaksi Kurkumin dengan
Parasetamol: Kajian Terhadap Efek
Farmakologi dan Toksikologi, Perubahan
Hayati Parasetamol.[Disertasi]. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada; 1994
[13] Hayuningtyas R. Efek Analgetik Etanol Daun
Mindi Hasil Soxhletasi pada Mencit Putih
Jantan.[Skripsi]. Surakarta: Universitas
Muhamadiyah Surakarta; 2006
[14] Turner RA. Screening Methods in
Pharmacology. New York: Academic Press,
100,101,113-114; 1965
13 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian ABSTRAK
Daun gambir (Uncaria gambir) mengandung katekin yang secara empiris bersifat antihipertensi melalui mekanisme penghambatan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) secara non-spesifik. Tekanan darah erat kaitannya dengan aktivitas jantung. Penggunaan daun gambir sebagai antihipertensi harus dipastikan keamanannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun gambir terhadap aktivitas listrik jantung pada tikus hipertensi. Tiga puluh enam tikus Sprague Dawley dibagi dalam enam kelompok yakni normal, negatif, atenolol dengan tiga kelompok dosis. Induksi larutan NaCl (3,65 g/kg bb) diberikan pada setiap kelompok perlakuan, kecuali kelompok normal, secara per oral selama 14 hari. Pada hari ke-15 dilanjutkan pemberian sediaan uji berupa larutan CMC 0,5% (kontrol normal dan negatif), atenolol 13,5 mg/200 g bb, dan ekstrak daun gambir dengan dosis 200; 400; dan 800 mg/bb hingga hari ke-28. Pengukuran aktivitas listrik jantung dilakukan pada hari ke-21 dan 28 dengan menggunakan elektrokardiogram CareWell®. Hasil analisis menunjukan bahwa pemberian ekstrak dosis 800 mg/bb selama 7 hari dapat menurunkan laju jantung, memperbesar tegangan T, memperpanjang interval PR dan memperpanjang interval QT. Sedangkan, pemberian dosis 800 mg/bb selama 14 hari hanya menurunkan laju jantung dan memperpanjang interval PR. Penggunaan ekstrak daun gambir pada dosis 800 mg/bb dapat mempengaruhi aktivitas listrik jantung. Kata kunci: aktivitas listrik jantung, Uncaria gambir (Huntes) Roxb. elektrokardiogram , hipertensi ABSTRACT
Gambir leaves (Uncaria gambir) contain catechin which empirically can be used as
antihypertensive through its mechanism as non spesicific Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor. Blood pressure is closely related to the heart activity. It is necessary to test the safety of gambir leaves as antihypertensive against cardiovascular system. This research aimed to know the effect of 70% ethanol extract of gambir leaves against heart electrical activity in hypertensive rats. Thirty six male rats strain Sprague-Dawley were divided into six groups consist of normal control, negative control, atenolol, with three dose groups. All groups except normal group was administered orally with NaCl solution for 14 days.On 15th day continued by giving CMC 0,5% (normal and negative groups), atenolol 13,5 mg/bw and the gambir leaves extract (200; 400; and 800 mg/bw). Heart electrical activity was measured on the day 21st and 28th using electrocardiogam CareWell®. Result from analysis showed that giving extract dose 800 mg/bw for 7 days could decrease heart rate, increase T voltage, prolong PR and QT interval. While giving extract dose 800 mg/bw for 14 days only decrease heart rate and prolong PR interval. The usage of gambir leaves extract dose 800 mg/bw effected the heart electrical activity. Keywords : heart electrical activity, Uncaria gambir (Huntes) Roxb, electrocardiogram, hypertension.
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 70% DAUN GAMBIR (Uncaria gambir (Huntes) Roxb.) TERHADAP AKTIVITAS LISTRIK JANTUNG PADA TIKUS HIPERTENSI Tika Nurhasanah1* dan Santi Purna Sari.1 1Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Indonesia *Corresponding author’s email : [email protected]
14
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN
Penggunaan obat herbal di Indonesia
semakin meningkat. Selama kurun waktu tahun
2000-2006 tercatat jumlah pengguna obat herbal
di Indonesia meningkat dari 15,2% menjadi
38,30%.[1]Meningkatnya penggunaan obat herbal
dikarenakan terdapat anggapan dimasyarakat
bahwa obat herbal lebih aman dibandingkan obat
konvensional.[2] Meskipun begitu tidak semua
obat herbal aman dikosumsi. Uji keamanan dan
efek samping pada obat herbal perlu dilakukan
terutama obat herbal yang digunakan untuk
mengobati penyakit kardiovaskuler.
Salah satu penyakit kardiovaskuler
dengan prevelansi tertinggi di Indonesia adalah
hipertensi dengan persentase 31,7% pada tahun
2007.[3]Hipertensi adalah peningkatan persisten
tekanan darah hingga ≥ 140/90
mmHg.[4]Keterbatasan dan efek samping dari
obat-obatan konvensional mendorong
penggunaan herbal sebagai alternatif terapi
hipertensi.[5]Salah satunya adalah gambir
(Uncaria gambirI (H.) Roxb). Gambir merupakan
tanaman asli Indonesia yang banyak tumbuh di
Sumatera Barat.Bagian tanaman gambir yang
sering dimanfaatkan adalah daunnya.[6] Berikut
gambar tanaman gambir.
Gambar 1. Tanaman Gambir
Berdasarkan penelitian terdahulu gambir
dapat bermanfaat sebagai antihiperlipidemia,
menormalkan kadar glukosa, dan menormalkan
tekanan darah.[7] Gambir juga banyak
dimanfaatkan sebagai zat penyamak, antidiare,
astrigen, antiinflamasi, dan antioksidan.[8]
Kandungan kimia pada daun gambir adalah
katekin (7-33%), asam kateku tanat (20-55%),
pirokatekol (20-30%), gambir flouresen (1-3%),
kateku merah (3-5%), kuersetin (2-4%), dan
sedikit alkaloid.[9]Kandungan katekin yang tinggi
pada daun gambir diduga memberikan efek
penurunan tekanan darah. Berdasarkan
penelitian sebelumnya, katekin dapat
menurunkan tekanan darah melalui
penghambatan ACE (Angiotensin Converting
Enzyme) secara non spesifik.[10][11]
Penghambatan terhadap ACE akan menurunkan
stroke volume sehingga curah jantung berkurang
dan tekanan darah menurun.[12]
Sampai saat ini belum ada uji keamanan
penggunaan ekstrak daun gambir sebagai
antihipertensi. Salah satu uji keamaan yang
dapat dilakukan adalah melihat efek ekstrak
terhadap aktivitas listrik jantung. Mekanisme
penurunan tekanan darah erat kaitannya dengan
kerja jantung. Tekanan darah dipengaruhi oleh
resistensi perifer dan curah jantung. Peningkatan
curah jantung dapat terjadi karena peningkatan
denyut jantung dan/atau stroke volume, begitu
juga sebaliknya.[13]Aktivitas listrik jantung dapat
diketahui melalui perekaman elektrokardiogram
(EKG). Apabila terjadi gangguan terhadap
jantung dapat dilihat melalui EKG karena
perubahan pada otot dan segala aktivitas jantung
umumnya berhubungan dengan perubahan
aktivitas listrik.[14]
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
pengaruh pemberian ekstrak etanol 70% daun
gambir (Uncaria gambrir (H.) Roxb) terhadap
15 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
aktivitas listrik jantung tikus yang diinduksi
hipertensi oleh NaCl. Hasil penelitian ini
diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah
mengenai pengaruh ekstrak daun gambir
terhadap aktivitas listrik jantung sehingga dapat
diketahui keamanan penggunaan ekstrak daun
gambir sebagai antihipertensi.
2. METODE 2.1 Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan adalah
simplisia daun gambir dari sentra pertanian
gambir, Sumatera Barat. Simplisia diekstraksi
dengan metode soxhletasi pada suhu 68ºC
dengan pelarut etanol 70% oleh Laboratorium
Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Serpong. Sebagai pembanding
digunakanpenyekat β kardioselektif yakni,
atenolol yang diperoleh dari PT. Pratapa Nirmala
(Farenheit) Indonesia.
2.2 Hewan Uji Hewan yang digunakan adalah tikus
putih galur Sprague Dawley yang diperoleh dari
Balai Pengawasan Obat-obatan dan Makanan
(BPOM). Jumlah tikus yang digunakan 36 ekor,
usia 3 bulan dengan berat 150-200 gram.
Perlakuan kepada hewan uji pada penelitian ini
telah mendapat ethics approval dari Komite Etik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.3 Standardisasi Ekstrak
Standardisasi ekstrak etanol 70% daun
gambir terbagi menjadi parameter non spesifik
dan spesifik. Parameter non spesifik terdiri dari:
penetapan susut pengeringan, penetapan kadar
abu total, dan penetapan kadar abu tidak larut
asam. Parameter spesifik terdiri dari organoleptis
dan penetapan kadar katekin.[15]
2.3.1 Penetapan Kadar Katekin Penetapan kadar katekin menggunakan
spektrofotometer ultraviolet pada panjang
gelombang 279 nm dan 300 nm. Pelarut yang
digunakan adalah etil asetat.Absorban sampel
pada 300 nm tidak lebih dari 0,03.[15] Perhitungan
dilakukan dengan rumus:
% Katekin = As 279 x Ws x 100% (1)
Ap 279 W
dengan:
As 279 = Absorban sampel pada λ 279 nm
Ap 279 = Absorban katekin standar pada λ 279
nm
Ws = Berat katekin standar
W = Berat ekstrak gambir
2.4 Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap
yakni tahap induksi hipertensi dan perekaman
aktivitas listrik jantung. Rancangan penelitian
menggunakan rancangan acak sederhana dengan
cara pengundian.Kelompok perlakuan terbagi
dalam 6 kelompok yakni, normal, negatif, dosis 1,
dosis 2, dosis 3, dan atenolol. Masing-masing
kelompok terdiri dari 6 tikus.
2.5 Perlakuan pada Kelompok Percobaan Perlakuan pada tiap kelompok diberikan
secara oral. Selama 14 hari setiap kelompok
kecuali kelompok normal diberikan larutan NaCl
3,65 g/kg untuk menginduksi tikus menjadi
hipertensi. Sedangkan kelompok normal hanya
diberikan larutan CMC 0,5%. Pada hari ke-15
hingga ke-28 masing-masing kelompok diberikan
perlakuan yang berbeda. Kelompok normal dan
negatif diberikan larutan CMC 0,5%. Kelompok
pembanding diberikan atenolol 13,5 mg/bb, dosis
1 diberikan ekstrak daun gambir 200mg/bb, dosis
2 diberikan ekstrak daun gambir 400mg/bb, dan
dosis 3 diberikan ekstrak daun gambir 800
16
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
mg/bb. Pada hari ke-21 dan ke-28 dilakukan
perekaman elektrokardiogram pada masing-
masing tikus.
2.5.1 Perekaman Elektrokardiogram (EKG) Perekaman EKG menggunakan alat
elektrokardiograf CareWell® dilakukan pada
hantaran II standar Einthoven. Sebelum
dilakukan perekaman tikus dianestesi dengan
uretan 950 mg/kg secara intraperitoneal. Dalam
penelitian ini terdapat 5 parameter EKG yang
dibahas yakni, frekuensi denyut jantung, interval
PR, kompleks QRS, interval Q-T, dan tegangan
gelombang T.
Frekuensi denyut jantung dihitung
dengan menghitung jumlah kotak kecil antara
dua puncak gelombang R. Frekuensi denyut
jantung per menitdihitung dengan cara:
Denyut/menit = 60 (2)
Jumlah kotak kecil x 0,04 detik
Analisa waktu interval PR diperoleh
dengan mengukur jarak dari awal gelombang P
hingga awal gelombang R. Waktukompleks QRS
diperoleh dengan pengukuran jarak dari akhir
gelombang P sampai keakhir gelombang S,
sedangkan interval QT diukur dari akhir
gelombang P hingga akhir gelombang T. Lama
interval PR, QRS, dan QT dengan satuan detik
diukur dengan cara:
Interval = Jarakpengukuran (mm) x 1000 (3)
Kecepatankertas (25 mm/detik)
Besar tegangan gelombang T (milivolt)
diperoleh dengan mengukur tinggi masing-
masing gelombang dar ibase line (milimeter)
kemudian dikalikan dengan 0,1 sehingga
diperoleh besar tegangan dalam satuan milivolt.
3. HASIL& PEMBAHASAN 3.1 Standardisasi Ekstrak
Ekstrak etanol 70% daun gambir
(Uncaria gambir (H.) Roxb.) berbentuk pasta
semipadat, berwarna cokelat hitam dengan bau
yang khas serta rasa kelat Hasil standarisasi
menunjukan bahwa ekstrak daun gambir memiliki
rata-rata persen susut pengeringan sebesar
7,8% ± 0,32%; kadar abu total sebesar 0,8% ±
0,04%; dan kadar abu tidak larut asam sebesar
0,33% ± 0,023%.Kadar rata-rata katekin pada
ekstrak etanol 70% daun gambir sebesar 49,86%
± 2,3%.
3.2 Elektrokardiogram Tikus Normal
Gambar 2. Elektrokardiogram Tikus Normal
Hasil EKG tikus normal pada penelitian
ini menunjukan bahwa gelombang P, gelombang
R serta gelombang T mengarah positif,
sedangkan gelombang Q sering tidak muncul.
Gelombang T berujung lancip, berbentuk
asimetris, dan terbentuk langsung dari
gelombang S tanpa berhenti pada base-line.
Namun, gelombang T akan menurun dengan
perlahan bahkan hingga awal gelombang P.
Hasil elektrokardiogram tikuspada penelitian ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya.[16][17]
Pada gambar 2 dapat terlihat bahwa laju
jantung kelompok negatif tidak ada perbedaan
dengan kelompok normal. Hal ini membuktikan
bahwa induksi hipertensi NaCl meningkatkan
tekanan darah melalui peningkatan stroke
volume bukan peningkatan laju jantung.[18]
17 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
3.3 Laju Jantung
Gambar 3. Grafik laju jantung rata-rata hari ke-
21 dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal
Dari gambar 2 juga terlihat bahwa pemberian
dosis 3 selama 7 dan 14 hari dapat menurunkan
denyut jantung secara bermakna. Efek
penurunan laju jantung oleh dosis 3 diduga
akibat mekanisme katekin sebagai penghambat
ACE (Angiotensin Converting Enzyme) non-
spesifik.[10][11]ACE inhibitor dapat meningkatkan
aktivitas parasimpatis sehingga mempengaruhi
denyut jantung.[19]
3.4. Interval PR
Gambar 4. Grafik interval PR rata-rata hari ke-21
dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal
Pada gambar 3 terlihat bahwa pemberian
dosis 3 ekstrak daun gambir 800 mg/BB selama
7 dan 14 hari dapat memperpanjang interval PR
secara bermakna. Interval PR dipengaruhi oleh
laju denyut jantung, apabila denyut jantung
melambat maka interval PR akan lebih
panjang.[20][21]. Hasil perpanjangan interval PR ini
sejalan dengan efek penurunan laju jantung yang
ditunjukan oleh dosis 3.
3.5 Interval QRS
Gambar 5. Grafik interval QRS rata-rata hari ke-
21 dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal
Interval QRS memiliki arti penting pada
aktivitas listrik jantung karena menggambarkan
penyebaran impuls di seluruh ventrikel.[20] Pada
gambar 4 terlihat bahwa pemberian perlakuan
selama 7 dan 14 hari tidak mempengaruhi
interval QRS.
3.6 Interval QT
Gambar 6. Grafik interval QT rata-rata hari ke-21
dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal
Interval QT menggambarkan lamanya
aktivitas depolarisasi dan repolarisasi
ventrikel.Interval QT dipengaruhi oleh laju denyut
jantung, apabila denyut jantung melambat maka
interval QT akan lebih panjang.[20] Pada gambar
5 terlihat bahwa pemberian dosis 3 ekstrak
18
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
800mg/BB selama 7 hari dapat memperpanjang
interval QT. Hasil perpanjangan interval QT ini
sejalan dengan efek penurunan laju jantung yang
ditunjukan oleh dosis 3.
3.7 Tegangan T
Gambar 6. Grafik tegangan T rata-rata hari ke-21
dan 28. * P<0,05 terhadap kelompok normal
Pada gambar 6 terlihat bahwa pemberian
dosis 3 selama 7 hari dapat meningkatkan
tegangan T. Peningkatnya tegangan T
mengindikasi adanya hiperkalemia.[20][21]Hal ini
dapat disebabkan karena efek dari katekin
sebagai penghambat ACE (Angiotensin
Converting Enzyme) non-spesifik yang terdapat
pada ekstrak daun gambir. Penghambat ACE
diketahui dapat menyebabkan hiperkalemia.[22]
4. SIMPULAN Pemberian ekstrak etanol 70% daun
gambir (Uncaria gambir (H.) Roxb) dosis 800
mg/BB pada tikus hipertensi secara oral selama
7 hari dapat menurunkan laju jantung,
meningkatan tegangan T, memperpanjang
interval PR, dan interval QT. Sedangkan,
pemberian ekstrak dosis 800 mg/BB selama 14
hari dapat menurunkan laju jantung dan
memperpanjang interval PR.Penggunaan ekstrak
daun gambir pada dosis 800 mg/BB sebagai
antihipertensi perlu pengawasan karena dapat
mempengaruhi aktivitas listrik jantung.
5. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut mengenai
senyawa spesifik ekstrak etanol 70% daun
gambir (Uncaria gambir (H.) Roxb) yang
mempengaruhi aktivitas listrik jantung dan
mekanismenya.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Supardi, S., Nurhadiyanto, F., WittoEng, S.
Penggunaanobat tradisional buatan pabrik
dalam pengobatan sendiri di
Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia
2003; 2(4).
[2]. Sari, L. O. R. Pemanfaatan obat tradisional
dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian
2006; (1): 7-1.
[3]. Departemen Kesehatan Republik Indonesi.
Pedoman pengendalian penyakit jantung
dan pembuluh darah. Depkes RI 2009; 19-
15.
[4]. Brunton, Laurence., Parker, Keith.,
Blumenthal, Donald.,Buxton, Ian. Goodman
&Gilman’s: manual of pharmacology and
therapeutics. United States: The McGraw-
Hill Companies; 2008.p. 562-546.
[5]. Talha, Jawaid., Priyanka, Maddheshiya.,
Akanksha, Awasthi. Hypertension and
herbal plants. International Research
Journal of Pharmacy 2011; 2(8): 30-26.
[6]. Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia. Monografi ekstrak
tumbuhan obat indonesia. Vol.2. BPOM RI
2006;61-56.
[7]. Sugiyama, S. Pharmacological action of
gambir. Yakugaku Zasshi Journal of
Japanesse History of Pharmacy2005;(40):
33-29.
[8]. Anggraini, T., Tai, A., Yoshino, T., Itani, T.
Antioxidative activity and catechin content of
19 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
four kinds of Uncariagambir extracts from
West Sumatra, Indonesia. African Journal of
Biochemistry Research 2011; 5(1); 38-33.
[9]. Dhalimi, Azmi. Permasalahan gambir
(Uncaria gambir) di Sumatera Barat dan
alternatif pemecahannya. Vol 5. Perspektif
2006; 59-46.
[10]. Liu, J. C., et al. Antihypertensive effects of
tannins isolated from traditional Chinese
herbs as non-specific inhibitors of
angiontensin converting enzyme. Life
sciences 2003; 73(12); 1555-1543.
[11]. Black, H. R., et al. A comparison of the
treatment of hypertension with Chinese
herbal and Western medication. Journal of
clinical hypertension 1986; 2(4); 371.
[12]. Nafrialdi. (2009). Antihipertensi. dalam
Farmakologi dan Terapi. Vol 5. Jakarta:
Penerbit Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
360-341.
[13]. Corwin, E. J. Buku Saku Patofisiologi(E.
Pakaryaningsih, Penerjemah). Jakarta:
Buku Kedokteran EGC 2001.p. 359-339.
[14]. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari
Selke Sistem (Brahm U, Penerjemah).
Ed.2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
2001,p. 265-258.
[15]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Farmakope Herbal Indonesia. Vol 1.
Jakarta: Depkes RI 2009, 29-24.
[16]. Ho, D., et al. Heart rate and
electrocardiography monitoring in
mice. Current protocols in mouse biology
2011; 139-123.
[17]. Tampubolon, Sari, Agustina. Pengaruh
penyuntikan perasan buah
Averrhoacarambola Terhadap
elektrokardiogram tikus putih
(Rattusnorvegicus). [Skripsi] Program
StudiBiologi: Universitas Indonesia; 1994.
[18]. Martha, R. Frinda, Ayu. Pengembangan
model tikus hipertensi yang diinduksi
dengan propilthiourasil, NaCl, dan adrenalin
(seri online). [Skripsi] Sekolah Farmasi:
Institut Teknologi Bandung (diunduh pada
22 Februari 2013). Tersedia di
http://digilib.itb.ac.id.
[19]. MacFadyen, R. J.,Craig. S.,Allan, D.
Aldosterone blockade reduces vascular
collagen turnover, improves heart rate
variability and reduces early morning rise in
heart rate in heart failure
patients. Cardiovascular Research
1997: 35(1); 34-30.
[20]. Widjaja, Soetopo. EKG praktis. Jakarta:
Binarupa Aksara 2009. 32-17.
[21]. Bekken, N.J. et al. ECG interpretation
madeincredibly easy .Ed.2. Pennsylvania:
Springhouse Corporation 2001.p. 45-51.
[22]. Reardon, L. C., Macpherson, D. S.
Hyperkalemia in outpatients using
angiotensin-converting enzyme inhibitors:
how much should we worry?.Archives of
Internal Medicine 1998: 158(1); 26.
20
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
ABSTRAK
Infeksi bakteri adalah salah satu penyakit yang paling banyak menyerang manusia yang ditangani dengan pemberian antimikroba. Namun permasalahan dalam agen antimikroba adalah timbulnya resistensi bakteri terhadap antimikroba sehingga dapat membatasi penggunaan antimikroba serta mengurangi potensinya. Salah satu agen antimikroba yang luas digunakan adalah kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol yang bekerja melalui penghambatan metabolisme folat dalam biosintesis asam nukleat melalui penghambatan enzim dihydrofolate reductase (DHFR) dan dihydropteroate synthase (DHPS). Meskipun telah dikombinasi, resistensi bakteri akan trimetoprim dan sulfametoksazol terus meningkat sehingga perlu dilakukan modifikasi terhadap salah satunya untuk menurunkan resistensi maupun meningkatkan potensinya. Dalam karya tulis ini dijelaskan modifikasi struktur terhadap trimetoprim menggunakan tiga ligan standar, yaitu trimetoprim, ligan 53R, dan ligan N22. Ligan standar dan ligan modifikasi selanjutnya ditambatkan pada enzim DHFR terkompleks NADPH bakteri Staphylococcus aureus yang diperoleh dari bank data protein dengan kode 3FRB menggunakan software Autodock Tools 4.2 terintegrasi dalam PyRx Virtual Screening Tools. Hasil penambatan (docking) divisualisasi menggunakan program PyMOL dan LIGPLOT+ Version v.1.4.4. Setelah itu,pada ligan modifikasi dilakukan overlay terhadap ligan standar masing-masing. Dari hasil docking diperoleh energi ikatan antara ligan dengan enzim DHFR terkompleks NADPH. Afinitas terbaik ditunjukkan oleh ligan dengan energi ikatan terendah yaitu modifikasi terhadap ligan N22 berupa 6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine dengan energi ikatan sebesar -10,36 kkal/mol. Kata kunci: afinitas, docking, energi ikatan, enzim DHFR, trimetoprim ABSTRACT
Bacterial infections are one of the most commondiseases which can be cured by antimicrobial therapy. However, antimicrobial therapy can cause bacterial resistance that can lead to limitation of its use and reduction of its potency. A combination of trimethoprim and sulfamethoxazole (co-trimoxazole) is one of the antimicrobial agents commonly used worldwide. It works by blocking folate metabolism through inhibition of dihydrofolate reductase (DHFR) and dihydropteroate synthase (DHPS). Eventhough the combination had shown synergistic effects, bacterial resistance of the drug has continued to increase. Hence, structural modification need to be performed to reduce bacterial resistance and increase its potency. Structural modification of trimethoprim were performed by using three standard ligands, those were trimethoprim, 53R ligand, and N22 ligand. Standard ligands and modification ligands were docked into DHFR – NADPH complex enzyme from Staphylococcus aureus obtained from protein data bank encoded 3FRB by using Autodock Tools 4.2 integrated in PyRx Virtual Screening Tools. Docking results were visualized using PyMOL and LIGPLOT+ Version v.1.4.4. Overlay towards the standard ligand was performed to each modification ligand using the same program. Binding energy between ligand and DHFR – NADPH complex enzyme was obtained. The best affinity was shown by the lowest binding energy, which was the modification of N22 ligand, 6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine with a binding energy of -10,36 kcal/mol.
Keywords: affinity, docking, binding energy, DHFR, trimethoprim
MODIFIKASI STRUKTUR DAN PENAMBATAN MOLEKULAR OBAT ANTIMIKROBA GOLONGAN INHIBITOR DIHYDROFOLATE REDUCTASE (DHFR)
Agus Al Imam Bahaudin*, Dessy Dian Septysari, dan Nazulanita Rahma
Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok, 16425 *Corresponding author’s email : [email protected]
21 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN Dewasa ini, penyakit yang disebabkan
infeksi bakteri semakin meluas. Infeksi bakteri ini
menyerang di banyak sistem dalam tubuh
manusia, termasuk saluran pencernaan, saluran
pernafasan, saluran kemih, dan lain-lain. Lini
pertama pengobatan infeksi ini adalah
penghambatan terhadap mikroba penyebab
infeksi tersebut menggunakan obat antibiotik,
antimikroba, dan sejenisnya. Contoh bakteri
patogen yang dapat menimbulkan infeksi pada
manusia adalah golongan Streptococci,
Staphylococci, E. coli, dan lain-lain. (8)
Salah satu obat antimikroba yang selama
ini banyak digunakan adalah trimethorim yang
dikombinasikan dengan sulfametoksazol
(kotrimoksazol). Efek sinergis kedua obat
tersebut dalam penghambatan metabolisme folat
sebagai bagian dari biosintesis asam nukleat dan
protein dikombinasikan untuk meningkatkan
potensi antimikroba serta menghindari resistensi.
Namun saat ini, resistensi bakteri terhadap kedua
golongan tersebut telah banyak dilaporkan
sehingga membatasi penggunaan keduanya.
Meski begitu, kotrimoksazol tetap disukai sebagai
lini pertama agen antimikroba (10).
Resistensi terhadap bentuk kombinasi
telah dilaporkan dalam bentuk in vivo. Prevalensi
resistensi E. coli dan S. aureus terhadap
kotrimoksazol meningkat pada pasien yang diberi
pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut.
Selama lima tahun penggunaan, resistensi S.
aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%(6).
Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada
beberapa jenis mikroba Gram negatif.
Sekelompok peneliti Antimicrobial Resistance in
Indonesia (AMRIN) dalam penelitian di RS Dr.
Soetomo Surabaya juga mendapatkan tingkat
resistensi antibiotik E. coli dan S. aureus pada
penyakit infeksi lini pertama mencapai 90% dan
pada penyakit infeksi lini kedua mencapai 50%(5).
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah untuk
mendapatkan model modifikasi dari inhibitor
enzim dihydrofolate reductase dengan afinitas
terbaik melalui penambatan molekular obat
(docking).
2. METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan untuk mencari
ligan terbaik sebagai inhibitor enzim dihydrofolate
reductase adalah dengan menggunakan 3
pembanding yaitu trimetoprim sebagai ligan
standar 1 (A), ligan 53R sebagai ligan standar 2
(B) dan ligan N22 sebagai ligan standar 3 (C).
Dari masing-masing ligan standar tersebut
dilakukan modifikasi untuk mencari modifikasi
terbaik dengan cara membandingkan energi
ikatan antara senyawa modifikasi dengan
senyawa aslinya (ligan standar).
Ligan standar A(1) (Trimetoprim) diperoleh
dengan cara visualisasi 3D dengan
menggunakan software Marvin Beans,
sedangkan ligan standar B dan C diperoleh dari
bank data protein dengan kode ligan 53R(13)
(ligan standar B) dan N22 (12)(ligan standar C).
Ligan standar B dan C pada dasarnya juga
merupakan modifikasi lanjutan dari trimetoprim
yang telah diteliti. Enzim DHFR yang digunakan
diperoleh dari sumber yang sama dengan kode
protein 3FRB. Kode protein tersebut merupakan
enzim DHFR yang telah terkompleks NADPH
dan Trimetoprim. Oleh karena itu sebelum
ditambatkan strukturnya, enzim tersebut
dihilangkan trimetoprimnya terlebih dahulu
dengan Autodock Vina.
Dalam desain modifikasi struktur,
dilakukan subtitusi pada rantai samping masing-
masing ligan standar (Tabel 1). Subtitusi
22
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dimaksudkan untuk menambah hidrofobisitas
karena loka aksi dari enzim DHFR berupa pocket
hidrofobik. Peningkatan hidrofobisitas diharapkan
dapat menambah interaksi antara ligan dengan
enzim DHFR sehingga afinitasnya pun semakin
meningkat.
Validasi terhadap enzim DHFR dan
metode yang digunakan dilakukan dengan
melihat nilai RMSD masing-masing ligan standar.
Nilai RMSD terendah yang diperoleh pada
masing-masing standar adalah < 2 Å, yaitu
sebesar 1.097 Å pada ligan A, 1.043 Å pada
ligan B, dan 1.289 Å pada ligan C.Software
docking yang digunakan adalah Autodock Tools
4.2 dan PyRx-Virtual Screening Tool. Sedangkan
software visualisasi yang digunakan adalah
PyMOL dan LigPlot+ Version v.1.4.4.Koordinat
docking (grid center) yang digunakan yaitu
koordinat x = 24,7389, koordinat y = 12,0330,
dan koordinat z = 38,9155. Sedangkan
parameter dockingyang digunakan adalah
Lamarckian Genetic Algorithm (GA) dengan
number of GA runs sebanyak 100 kali, number of
individuals in population sebanyak 100,
maximum number of energy evaluationsyaitu
250000 (short), rate crossover sebesar 0,8, rate
of gene mutation 0,02, dan subparameter lainnya
disesuaikan dengan default.
Ligan yang diperoleh dipreparasi dengan
mengubah format file .pdb menjadi format file
.pdbqt. Masing-masing ligan ditambatkan
terhadap enzim DHFR dengan menggunakan
software Autodock Tools 4.2 yang terintegrasi
dalam PyRx-Virtual Screening Tool dengan
menggunakan Autogrid Dimensions (koordinat
grid center) dan parameter Lamarckian Genetic
Algorithm seperti yang telah
disebutkan.Kemudian dilakukan autogrid dengan
parameter grid center diatas yang dilanjutkan
dengan autodock dengan parameter Lamarckian
GA seperti diatas.Akan diperoleh nilai energi
ikatan (binding energy) dengan satuan kkal/mol
yang merupakan energi ikatan hasil penambatan
antara ligan obat dengan enzim DHFR
(penjumlahan dari intermol energy, internal
energy, torsional energy, dan unbound energy).
Selanjutnya dilakukan visualisasi terhadap ligan
hasil modifikasi menggunakan software PyMOL
dan LigPlot.
Parameter hidrofobisitas pada ligan dilihat
dari nilai Log P. Log P dihitung dengan
menggunakan software Marvin Beans. Semakin
tinggi nilai Log P, maka ligan tersebut semakin
lipofil.
Tabel 1.Desain modifikasi struktur ligan A, B, dan C Ligan Substituen Rumus Bangun
A R3 R4 R5
Ligan A OCH3 OCH3 OCH3
Ligan A1 (C6H5)(CH3)2I - OCH3
Ligan A2 I CH2CH3 CH2CH3
23 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
B R1 R2 R3 R4 R5
Ligan B - - - - -
Ligan B1 CH3 - - - CH3
Ligan B2 - CH3 - - CH3
C R1 R2
Ligan C OCH3 OCH3
Ligan C1 I CH2CH3
Ligan C2 OCH3 I
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Visualisasi Enzim Dihydofolat reductase (DHFR)
Enzim Dihydrofolat reductase (DHFR)
berperan mereduksi dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Enzim DHFR yang digunakan
adalah enzim DHFR yang telah dikompleks
dengan kofaktor NADPH. Berikut visualisasi
enzim DHFR dan lokasi site active dari enzim
DHFR.
Gambar 1. Visualisasi Enzim DHFR yang
dikompleks dengan NADPH dengan menggunakan software PyMOL
Selama percobaan, visualisasi NADPH
dihilangkan untuk mempermudah dalam hal
melihat interaksi antara ligan hasil modifikasi
dengan reseptor enzimnya serta melihat
kemiripan loka aksi dan posisi antara ligan hasil
modifikasi dengan ligan standarnya.
Untuk menentukan apakah ligan
modifikasi memiliki afinitas tinggi terhadap
reseptor yaitu enzim DHFR atau tidak, digunakan
nilai energi ikatan yang diperoleh dari
penambatan struktur. Semakin rendah energi
ikatan antara ligan dengan reseptor, maka
semakin mudah pula ligan berikatan dengan
reseptor sehingga afinitasnya makin tinggi. Nilai
energi ikatan masing-masing ligan modifikasi
dibandingkan dengan ligan standarnya.
Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar A (Trimetoprim) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan A
Trimetoprim yang telah disetujui
penggunaannya sebagai antimikroba golongan
inhibitor DHFR digunakan sebagai ligan standar
1.
24
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 2. Hasil docking ligan A menggunakan Software Pymol (kiri) dan Software Ligplot
(kanan)
Gambar 3. Hasil Docking ligan A2 menggunakan Software PyMOL (kiri) dan Software LigPlot
(kanan)
Tabel 2. Nilai energi ikatan pada modifikasi Ligan A
Ligan Substituen Energi Ikatan (kkal/mol)
R3 R4 R5 Ligan A OCH3 OCH3 OCH3 -9,03 Ligan A1 (C6H2)(CH3)2F - OCH3 -9,83 Ligan A2 I CH2CH3 CH2CH3 -9,95
25 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 4. Overlay Ligan A2 terhadap Ligan A dengan Software PyMOL (Kiri/Trimetoprim-Biru, Ligan
A2-Merah) dan Software LigPlot (Kanan)
Substitusi R4 (para) akan menghasilkan
terbentuknya ikatan hidrofobik sehingga mampu
meningkatkan kecenderungan interaksi antara
ligan dengan enzim DHFR. Adanya susbtitusi
halogen pada posisi ini akan meningkatkan
afinitas ikatan antara ligan dengan enzim
sehingga ligan A1 dan A2 memiliki nilai energi
ikatan lebih rendah dari ligan A (standar).Meski
begitu, lipofilisitas juga ditentukan oleh substituen
lain yang terletak pada posisi R3 dan R5.
Parameter hidrofobisitas ini dilihat dari Log P di
mana Log P dari ligan A adalah sebesar 1,05;
ligan A1 sebesar 4,31; dan ligan A2 sebesar
4,52. Dapat dilihat bahwa substitusi gugus
halogen dan alkil yang terdapat di gugus metoksi
pada trimetoprim akan meningkatkan
hidrofobisitas, terutama jika ketiga gugus
metoksinya diganti dengan gugus lain yang
meningkatkan lipofilisitas seperti halogen atau
alkil.
Sedangkan substitusi pada R3 dan R5
(meta) terbatas dalam hal ukuran karena adanya
protein dan kofaktor. Substitusi pada gugus ini
akan memberikan pengaruh sterik pada ligan.
Hal ini terlihat pada perbedaan antara ligan A1
dan A2 di mana pada ligan A1 terdapat substitusi
gugus bulky yaitu (C6H3)(CH3)2F pada posisi
meta yang menyebabkan ketidaksesuaian
dimensi molekular dengan loka aksi sehingga
nilai ikatan energi ligan A1 lebih rendah
dibandingkan ligan A2.
Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar B (53R) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan B
Ligan Standar 2 diambil dari Protein Data
Bankdengan kode ligand 53R yang memiliki
rumus kimia C22H22N4O. Ligand 53R, selanjutnya
disebut ligand B, diambil sebagai salah satu
standar karena memberikan hasil energi ikatan
yang tergolong rendah setelah ditambatkan pada
makromolekul DHFR-NADPH yang digunakan.
Karena itu, ligand ini diambil sebagai salah satu
standar untuk dimodifikasi. Dari hasil
penambatan molekul, diperoleh dua ligan
modifikasi terbaik dari ligan standar B. Keduanya
memiliki energi ikatan yang lebih rendah
dibandingkan energi ikatan pada ligan B.
26
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 5. Hasil docking Ligan B menggunakan Software PyMOL (kiri) dan Software LigPlot (kanan)
Gambar 6. Hasil docking Ligan B1 menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot
(Kanan)
Tabel 3. Nilai energi ikatan pada modifikasi Ligan B Nama Ligan Substituen Energi Ikatan
(kkal/mol)
Ligan B R1-R5 = -H -9,6 Ligan B1 R1 dan R5 = -CH3
R2-R4 = -H -10
Ligan B2 R2 dan R5 = -CH3
R1, R3, R4 = -H -9,88
27 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 7. Overlay Ligan B1 terhadap Ligan B dengan Software PyMOL (Kiri/ Ligan B Standar-Ungu,
Ligan B1-Biru) dan Software LigPlot (Kanan)
Adanya propargyl linker (jembatan
propargil) antara cincin 2,4-diaminopiridin dengan
cincin bifenil memaksa cincin bifenil untuk masuk
lebih dalam ke bagian loka aksi hidrofobik
sehingga meningkatkan hidrofobisitas(7). Adanya
cincin bifenil subtitusi meta dengan jembatan
propargil memiliki selektivitas tinggi terhadap
enzim DHFR. Cincin fenil distal (fenil yang tidak
terikat langsung dengan propargyl linker) akan
masuk lebih dalam ke bagian loka aksi hidrofobik
sehingga menghasilkan interaksi hidrofobik yang
sesuai(7).
Peningkatan nilai energi ikatan antara
ligan standar dengan ligan modifikasi salah
satunya dipengaruhi oleh peningkatan
hidrofobisitasnya. Namun perbedaan nilai energi
ikatan antara ligan B1 dan ligan B2 tidak
dipengaruhi oleh hidrofobisitas. Hal ini dilihat dari
perhitungan Log P. Log P dari ligan B adalah
5,09; ligan B1 6,03; dan ligan B2 6,03. Dari sini
dapat dilihat bahwa substitusi dimetil pada posisi
orto maupun meta pada ligan B akan
meningkatkan hidrofobisitas dengan nilai yang
setara.
Perbedaan pada nilai energi ikatan
antara dua ligan modifikasi terletak pada
pengaruh sterik, yaitu pada posisi substitusi
metil. Ligan B1 tersubstitusi metil pada dua posisi
orto sedangkan ligan B2 tersubstitusi metil pada
posisi orto dan meta. Modifikasi pada ligan B1
menghasilkan nilai energi yang lebih rendah
dibanding ligan B2. Sehingga dapat dikatakan
bahwa substitusi dimetil pada posisi R1 dan R5
lebih memberikan kesesuaian dimensi molekuler
dibanding substitusi dimetil pada posisi R2 dan
R5.
Perbandingan Hasil Docking Ligan Standar C (N22) dengan Ligan Modifikasi dari Ligan C
Ligand Standar 3 diambil dari Protein
Data Bank dengan kode ligand N22 yang
memiliki rumus kimia C17H20N4O2. Ligand N22,
selanjutnya disebut ligand C, diambil sebagai
salah satu standar karena memberikan hasil
energi ikatan yang tergolong rendah setelah
ditambatkan pada makromolekul DHFR
terkompleks NADPH. Karena itu, ligand ini
diambil sebagai salah satu standar untuk
dimodifikasi. Dari hasil penambatan molekul,
28
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
diperoleh dua ligan modifikasi terbaik dari ligan
standar C. Keduanya memiliki energi ikatan yang
lebih rendah dibandingkan energi ikatan pada
ligan C.
Gambar 8. Hasil Docking Ligan C menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot (Kanan)
Gambar 9. Hasil Docking Ligan C1 menggunakan Software PyMOL (Kiri) dan Software LigPlot
(Kanan)
Tabel 4. Nilai energi ikatan pada modifikasi pada Ligan C Nama Ligan Substituen Energi Ikatan
(kkal/mol)
Ligan C R1&R2 = -OCH3 -9,76 Ligan C1 R1 = -I
R2 = -CH2-CH3 -10,36
Ligan C2 R1 = -OCH3 R2 = -I
-10,3
29 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 10. Overlay Ligan C1 terhadap Ligan C dengan Software PyMOL (Kiri/Ligan Standar C-
Orange, Ligan C1-Biru) dan Software LigPlot (Kanan)
Adanya propargyl linker (jembatan
propargil) antara cincin 2,4-diaminopiridin
dengan cincin fenil memaksa cincin fenil untuk
masuk lebih dalam ke bagian hidrofobik active
site sehingga meningkatkan hidrofobisitas(7).
Subtitusi halogen akan menghasilkan
elektronegativitas tinggi dan terbentuk ikatan
hidrogen sehingga meningkatkan aktivitas
inhibisi. Lalu, subtitusi etil lebih baik daripada
metoksi karena mampu meningkatkan interaksi
hidrofobik. Interaksi hidrofobik dinilai dari
parameter Log P. Ligan C menghasilkan nilai
Log P sebesar 2,40; ligan C1 sebesar 4,76;
dan ligan C2 sebesar 3,65. Dari sini dapat
dilihat bahwa ligan C1 memang diperkirakan
memiliki nilai hidrofobisitas yang paling besar
sehingga ligan C2 memiliki nilai energi ikatan
paling baik dibandingkan ligan C lainnya.
4. SIMPULAN Dari masing-masing ligan standar
diambil salah satu hasil modifikasi yang
menghasilkan energi ikatan paling baik (paling
negatif) yaitu ligan A2, B1 dan C1 (lihat tabel
8). Namun, dari ketiga ligan terbaik tersebut
diambil kembali ligan dengan energi ikatan
yang paling rendah di antara semua ligan dan
di antara ligan yang terbaik yang menunjukkan
kecenderungan ikatan dengan reseptor paling
baik yaitu ditunjukkan oleh ligan C1 dengan
rumus struktur dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Ligan C1 (6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-
iodophenyl)prop-1-ynyl)pyrimidine-2,4-diamine)
Adanya substitusi halogen sebagai
pengganti gugus metoksi pada cincin benzena
yang terikat pada inti pyrimidine mampu
meningkatkan afinitas terhadap enzim DHFR
yang dibuktikan dengan semakin rendahnya
energi ikatan. Semakin elektronegatif suatu
substituen halogen maka energi ikatannya
semakin rendah sehingga di antara substituen
halogen yang energi ikatannya paling rendah
adalah substituen Iodo. Selain itu, adanya
ikatan C rangkap 3 yang menjembatani antara
inti pirimidin dengan benzena akan
30
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
meningkatkan kecenderungan ikatan antara ligan dengan reseptor semakin baik.
Tabel 5.Perbandingan Energi Ikatan antara Ligan Standar dengan Ligan Modifikasi
No Nama Ligan Nama IUPAC Energi Ikatan
1 Ligan A (Trimetoprim-
standar)
5-[(3,4,5-trimethoxyphenyl)
methyl]pyrimidine-2,4-diamine
-9,03
2 Ligan A1 (modifikasi 1
dari ligan A)
5-{[3-(4-flouro-2,6-dimethylphenyl0-5-
methoxyphenyl]methyl}
pyrimidine-2,4-diamine
-9,83
3 Ligan A2 (modifikasi 2
dari ligan A)
5-[(3,4-diethyl-5-iodophenyl)methyl]
pyrimidine-2,4-diamine
-9,95
4 Ligan B (53R-standar) 5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-
6-methylpyrimidine-2,4-diamine
-9.60
5 Ligan B1 (modifikasi 1
dari ligan B)
5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-
6-methylpyrimidine-2,4-diamine
-10.00
6 Ligan B2 (modifikasi 2
dari ligan B)
5-[(3R)-3-(5-methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-
6-methylpyrimidine-2,4-diamine
-9.88
7 Ligan C (N22-standar) 5-(3-(2,5-dimethoxyphenyl)prop-1-ynyl)-6-
ethylpyrimidine-2,4-diamine
-9.67
8 Ligan C1 (modifikasi 1
dari ligan C)
6-ethyl-5-(3-(5-ethyl-2-iodophenyl)prop-1-
ynyl)pyrimidine-2,4-diamine
-10.36
9 Ligan C2 (modifikasi 2
dari ligan C)
5-(3-(3-iodo-6-methoxyphenyl)prop-1-ynyl)-6-
ethylpyrimidine-2,4-diamine
-10.3
DAFTAR PUSTAKA [1] C. Oefner, et al. 2009. S. aureus F98Y
DHFR Complexed with TMP.
http://rcsb.org/pdb/explore/explore.do?struct
ureId=3FRB diakses pada 9 Januari 2013
pukul 17.15
[2] Czekster, Clarissa M.; Vandemeulebroucke,
An ; dan Blanchard, John S. 2011. Kinetic
and Chemical Mechanism of the
Dihydrofolate Reductase from
Mycobacterium tuberculosis. Biochemistry,
2011, 50 (3), pp 367–375
[3] Drug Bank, Open Data Drug & Drug Target
Database. 2013.
http://www.drugbank.ca/drugs/DB00440
diakses pada 10 Januari 2013 pukul 14.20
WIB
[4] Harris, Rodney M. 2009. Using AutoLigand
with AutoDockTools: A Tutorial. California
USA: The Scripps Research Institute
Molecular Graphics Laboratory 10550N
Torrey Pines Rd.
[5] Husada, Dominicus., et al. 2012. Akurasi
Diagnostik Prokalsitonin Sebagai Petanda
Serologis untuk Membedakan Infeksi Bakteri
dan Infeksi Virus pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 13, No. 5, Februari 2012.
[6] Jawetz, E., J.L. Melnick., E.A. Adelberg.,
G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.
31 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1995. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi ke-20.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
[7] J.L., Paulsen., Bendel S.D., Anderson A.C.
2011. Crystal structures of Candida albicans
dihydrofolate reductase bound to propargyl-
linked antifolates reveal the flexibility of
active site loop residues critical for ligand
potency and selectivity. Journal
Chem.Biol.Drug Des. 78: 505-512
[8] Kepro.
http://www.kepro.nl/catalogus/product-
102.html diakses pada 9 Januari 2013 pukul
16.35 WIB
[9] King, Ross D.; Muggletont, Stephen; Lewis,
Richard A.; Sternberg, Michael J. E. 1992.
Drug design by machine learning: The use
of inductive logic programming to model the
structure-activity relationships of
trimethoprim analogues binding to
dihydrofolate reductase. Proc. Natd. Acad.
Sci. USA Vol. 89, pp. 11322-11326,
Biophysics.
[10] P., Huovinen. 2001. Resistance to
trimethoprim-sulfamethoxazole. 2001 Jun
1;32(11):1608-14. Epub 2001 May
4.National Center for Biotechnology
Information, U.S. National Library of
Medicine.
[11] Polshakov, V.I. 2001. Dihydrofolate
reductase: structural aspect of mechanism
of enzyme catalysis and inhibition. Russia
Chemical Bulletin, International Edition, Vol.
50, No. 10, pp. 1733 – 1751.
[12] Protein Data Bank. 5-[3-(2,5-
dimethoxyphenyl)prop-1-yn-1-yl]-6-
ethylpyrimidine-2,4-diamine.
http://rcsb.org/pdb/ligand/ligandsummary.do
?hetId=N22 diakses pada 9 Januari 2013
pukul 17.10
[13] Protein Data Bank. 5-[(3R)-3-(5-
methoxybiphenyl-3-yl)but-1-yn-1-yl]-6-
methylpyrimidine-2,4-diamine.
http://rcsb.org/pdb/ligand/ligandsummary.do
?hetId=53R diakses pada 9 Januari 2013
pukul 17.05
[14] Ryan, K.J., Champoux, J.J. S. Falkow, J.J.
Plonde, W.L. Drew, F.C. Neidhardt, dan
C.G. Roy. 1994. Medical Microbiology An
Introduction to InfectiousDiseases. 3rd ed.
Connecticut: Appleton&Lange.
[15] Todar, Kenneth. Staphylococcus (page 2).
http://textbookofbacteriology.net/staph_2.ht
ml diakses pada 9 Januari 2013 pukul 17.30
WIB
[16] U.S. Food and Drug Administration. 2012.
BBB - Staphylococcus
aureushttp://www.fda.gov/food/foodsafety/fo
odborneillness/foodborneillnessfoodbornepa
thogensnaturaltoxins/badbugbook/ucm0700
15.htm diakses pada 10 Januari 2013 pukul
15.15 WIB
32
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
ABSTRAK
Bonggol pisang kepok telah diketahui khasiatnya sebagai penumbuh rambut secara empiris. Dalam penelitian ini, dilakukan ekstraksi terhadap bonggol pisang dengan pelarut metanol. Ekstrak pekat metanol yang dihasilkan lalu diformulasikan dalam sediaan tonik penumbuh rambut. Sediaan kemudian diujicobakan ke tikus putih jantan galur Sprague Dawley dengan membandingkan dengan kontrol negatif, kontrol positif, dan kontrol normal. Data panjang rambut diukur pada hari ke 7, 14, dan 21. Hasil pengamatan pada masing-masing minggu menunjukkan bahwa metanol memiliki khasiat sebagai penumbuh rambut. Uji statistika dilakukan dengan Uji Kruskal-Wallis dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan bermakna dalam aktivitas menumbuhkan rambut antar kelompok (p<0.05). Pada hari ke-21, rambut dicukur dan ditimbang untuk melihat aktivitas ekstrak dalam melebatkan rambut. Dari hasil uji statistika menggunakan ANOVA ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antar kelompok dalam hal aktivitas melebatkan rambut tikus uji (p>0.05). Kata kunci: bonggol pisang kepok, ekstrak, uji aktivitas, tonik penumbuh rambut
ABSTRACT
Banana’s weevil had empirically well known as hair growth promotor. The aim of this study is to determine hair growth promotor activity of banana’s weevil from methanol extract. Banana’s weevil extract was formulated into hair tonic and its pharmacological effect was tested in Sprague Dawley male rats by comparing the results with negative control, positive control, and normal control. Hair length was measured in day 7, day 14, and day 21. According to the result, methanol extract of banana’s weevil had pharmacological effect in stimulating hair growth. Statistically, the extract had significant difference in enhancing hair growth between groups using Kruskal-Wallis test (p<0.05). The hair was shaved and measured to determine extract’s activity in promoting hair growth in day 21. Meanwhile, statistic test using ANOVA showed that there was no significant difference between groups in promoting hair growth of rats (p>0.05). Keywords: banana’s weevil, extract, activity test, hair tonic
UJI AKTIVITAS SEDIAAN TONIK PENUMBUH RAMBUT EKSTRAK METANOL DARI BONGGOL PISANG KEPOK (Musa balbisiana) PADA TIKUS PUTIH JANTAN Nazulanita Rahma*, Noorviana Farmawati, Agung Ismal Saleh Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Depok, 16424 *Corresponding author’s email: [email protected]
33 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN Alopesia atau kebotakan merupakan
permasalahan yang umum dialami masyarakat.
Beberapa cara tradisional dapat digunakan untuk
memecahkan masalah ini. Namun, seiring
dengan perkembangan zaman, aktivitas manusia
yang semakin padat dan mobilitasnya pun
semakin tinggi. Tentunya cara tradisional kurang
aplikatif. Oleh karena itu, dibutuhkan metode lain
yang efektif, praktis, serta tidak dibutuhkan waktu
yang lama dalam aplikasinya.
Berdasarkan penelitian Vany Priskila
(2012)5 diketahui bahwa ekstrak air bonggol
pisang dapat digunakan sebagai penumbuh
rambut. Penelitian dilakukan menggunakan 5
formula yang diuji cobakan pada tikus galur
Spraque Dawley yaitu kontrol normal, placebo,
ekstrak 2%, 4%, 8%, dan pemberian minoxidil.
Dari hasil penelitian tersebut, diketahui bahwa
panjang pertumbuhan rambut pada pemberian
ekstrak sebanyak 4% hampir menyamai hasil
pertumbuhan rambut dengan pemberian
minoxidil, yaitu penumbuh rambut konvensional
yang telah banyak digunakan masyarakat,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa
penggunaan ekstrak bonggol pisang memiliki
efektivitas hampir sama seperti pada
penggunaan obat penumbuh rambut.
Sementara itu, pada tahun 2009, Suraj
R. et al.8 menguji ekstrak pada Prunus dulcis
dalam aktivitasnya sebagai penumbuh rambut.
Ekstraksi dibuat dalam beberapa pelarut
berdasarkan kepolarannya, yaitu petroleum eter,
kloroform, metanol, dan air. Hasilnya adalah
ekstrak petroleum eter Prunus dulcis
menunjukkan aktivitas farmakologi tertinggi
sebagai penumbuh rambut. Dengan dasar bahwa
aktivitas farmakologi sebagai penumbuh rambut
berasal dari kandungan kimia yang sama atau
setidaknya berasal dari golongan senyawa yang
sama yang memiliki sifat yang sama, maka
penyusun bermaksud meneliti aktivitas
farmakologi sebagai penumbuh rambut dari
ekstrak metanol bonggol pisang Musa balbisiana
dalam sediaan tonik untuk memudahkan dalam
penggunaan sehari-hari.
2. METODE 2.1. Bahan dan Peralatan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain bonggol pisang, metanol, etanol 96
%, propilenglikol, natrium metabisulfit, metil
paraben, propil paraben, menthol, aquadest.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain penguap putar, alat refuks, dan alat-
alat gelas.
2.2. PROSEDUR PENELITIAN 2.2.1. Prosedur Pembuatan Ekstrak Metanol
dari Bonggol Pisang Kepok Sebanyak 300 g bonggol pisang kepok
yang telah dipotong dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 2000 ml pada alat refluks kemudian
ditambahkan 1200 ml metanol. Ekstraksi
dilakukan 3 kali. Ekstrak yang diperoleh
dicampur, kemudian diuapkan hingga diperoleh
ekstrak pekat.
2.2.2. Prosedur Formulasi Sediaan Tonik Penumbuh Rambut
Komposisi bahan dalam formulasi
sediaan tonik penumbuh rambut tertera pada
tabel 1.
34
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Tabel 1. Komposisi Sediaan Tonik Penumbuh Rambut No. Nama Bahan Presentase Bahan
(%) 1. Ekstrak bonggol pisang kapok 4 2. Etanol 96% 30 3. Propilen glikol 15 4. Na metabisulfit 0,01 5. Metil paraben 0,1 6. Propil paraben 0,01 7. Air 50,58
Natrium metabisulfit dilarutkan dalam 5
ml aquadest kemudian ditambahkan ekstrak
pekat bonggol pisang yang telah diperoleh. Metil
paraben dan propil paraben masing – masing
dilarutkan dalam etanol sebanyak 5 ml, kemudian
kedua larutan dicampur. Menthol dilarutkan
dalam larutan sebelumnya lalu ditambahkan
propilenglikol sedikit demi sedikit. Larutan ekstrak
bonggol pisang dicampur dengan larutan berisi
propil paraben dan metil paraben hingga semua
bahan tercampur homogen. Saring jika perlu.
2.2.3. Prosedur Uji Aktivitas Sediaan Tonik
pada Hewan Coba Tikus putih jantan yang akan digunakan
diaklimatisasi terlebih dahulu selama 2 minggu,
kemudian tikus tersebut dibagi menjadi 4
kelompok perlakuan antara lain kontrol normal,
kontrol positif, kontrol negatif, kelompok yang
diberikan sediaan tonik rambut. Pada kelompok
kontrol normal tikus tidak dioleskan bahan yang
diujikan, pada kelompok kontrol positif tikus
dioleskan minoksidil 2%, pada kontrol negatif
tikus dioleskan sediaan tonik yang tidak
mengandung bahan aktif. Pada setiap
kelompoknya terdiri dari 4 ekor tikus.
Rambut pada bagian punggung masing-
masing tikus dicukur dengan alat pencukur
rambut dengan luas 2x2 cm2. Setelah diperoleh
rambut yang pendek, lalu dioleskan krim
depilatori selama 3-5 menit pada bagian yang
dicukur. Kemudian rambut tikus yang masih
tersisa dibersihkan dengan menggunakan
aquadest. Tikus didiamkan selama 24 jam
kemudian dioleskan bahan yang akan diujikan
sebanyak 1 ml. Pengamatan terhadap panjang
rambut dilakukan pada hari ke-7, ke 14, dan ke-
21. Pengamatan terhadap ketebalan rambut
dilakukan dengan menghitung bobot rambut rata-
rata.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil formulasi sediaan
tonik penumbuh rambut dengan bahan aktif
ekstrak bonggol pisang diperoleh sediaan tonik
yang berwarna kecoklatan yang jernih. Pada uji
aktivitas penumbuh tambut yang diujicobakan
pada tikus putih jantan selama tiga minggu,
ekstrak metanol bonggol memiliki khasiat
penumbuh rambut. Berikut grafik pertumbuhan
rambut pada tikus putih jantan sebagai hewan
coba :
35 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Gambar 1. Grafik rata-rata panjang rambut tikus pada hari ke-7, 14, dan 21
Pada minggu pertama, rambut tikus
yang diolesi ekstrak metanol lebih panjang
dibandingkan kontrol positif. Pada minggu
kedua, perbedaan panjang tersebut makin
jelas terlihat, walau pada minggu ketiga rata-
rata panjang rambut antara ekstrak metanol
dan kontrol positif hampir sama. Berdasarkan
grafik rata-rata pertumbuhan rambut dapat
dilihat bahwa ekstrak metanol memiliki
aktivitas penumbuh rambut.
Pada masing-masing waktu
pengamatan, data yang diperoleh diuji secara
statisitik, namun pada tiga kali pengamatan
tersebut data yang diperoleh tidak terdistribusi
normal dan/atau tidak homogen sehingga
tidak dapat diuji dengan Uji ANOVA. Uji
kemudian dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis
dan diperoleh bahwa terdapat perbedaan
secara bermakna dalam aktivitas
menumbuhkan rambut pada tikus putih jantan
dari semua zat uji yang dicobakan (p<0.05).
Uji terhadap kelebatan rambut juga
dilakukan dengan cara mencukur rambut tikus
pada bagian uji pada hari ke-21 dan
menimbang beratnya. Berikut grafik yang
diperoleh dari hasil penimbangan.
Gambar 2. Grafik rata-rata bobot rambut tikus
Dari grafik terlihat bahwa bobot rambut
tikus pada kelompok metanol lebih berat
dibanding kelompok lainnya. Namun setelah diuji
secara statistik, di mana data terdistribusi normal
dan homogen sehingga dilakukan uji ANOVA,
diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan
36
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
bermakna antar kelompok dalam hal kelebatan
rambut (p>0.05).
4. SIMPULAN Ekstrak bonggol pisang kepok dapat
diformulasikan sebagai tonik penumbuh rambut.
Sediaan tonik ekstrak metanol bonggol pisang
kepok memiliki aktivitas penumbuh rambut
terhadap tikus putih jantan galur Sprague
Dawley.
DAFTAR PUSTAKA [1] Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2000. Parameter Standar Umum Ekstrak
Tanaman Obat. Jakarta: Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan.
[2] Departemen Kesehatan Republik Indonesia
& Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan. 1985. Formularium
Kosmetika Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
[3] Gunawan, Sulistia Gan; Setiabudy, Rianto;
Nafrialdi (Ed) . 2007. Farmakologi dan
Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
[4] Pratisto, A. 2009. Statistik Menjadi Mudah
dengan SPSS 17. Jakarta: Pt. Elex Media
Komputindo.
[5] Priskila, Vany. 2012. Uji Stabilitas Fisik dan
Uji Aktivitas Pertumbuhan Rambut Tikus
Putih Jantan dari Sediaan Hair Tonic yang
Mengandung Ekstrak Air Bonggol Pisang
Kepok (Musa balbisiana). Depok: Fakultas
Farmasi Universitas Indonesia.
[6] Rieger, M. 2000. Harry’s Cosmeticology 8th
Edition. New York: Chemical Publishing Co.,
Inc.
[7] Rowe, R. C.; Sheskey, P. J.; Owen , S. C.
(Ed). 2009. Handbook of Pharmaceutical
Exipient sixth edition. London: American
Pharmaceutical Association.
[8] Suraj, R.; Rejitha, G; Sunilson, J. Anbu
Jeba, Anandarajagopal, K; Promwichit, P.
2009. In vivo hair growth activity of Prunus
dulcis seed in rats. Biology and Medicine, I
(4): 34 – 38, 2009.
[9] Tjitrasoepomo, Gembong. 1999. Taksonomi
Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
[10] Wade, Ainley, Weller, Paul J. 1994.
Handbook of Pharmaceutical Excipients.
UK: The Pharmaceutical Press, London
37 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial ABSTRACT
Cancer is the major cause of death worldwide; one of the kinds is caused by lung cancer. The current treatment is only extending patients’ lives, but not curing. Nowadays, chemotherapy becomes the alternative which has been used on lung cancer treatment, whereas chemotherapy is not so cancerous cell-selective that may attack the normal cells. The herbal chemopreventive agent is a better alternative than chemotherapy. The substance of acetogenins in soursop leaf has been examined selectively cytotoxic kills the cancerous cells, yet acetogenins insulator has a bad solubility in the water, and thus needs another alternative dosage form that is inhalation aerosol nebulizer for lung cancer. The innovation of nanoparticles technology is able to diminish the size of soursop insulator to be as small as DNA so it will increase the cellular uptake of medicine ingredients into cancerous cells better than micro particles. The production of slow inhalation aerosol nebulizer for lung cancer is the solution of lung cancer treatment that increases acetogenin solubility and efficiency as well as the medicine absorption and bioavaibility. Thus, this inhalation aerosol nebulizer for lung cancer is able to directly attack the cancer cell, and is also able to selectively kill the lung cancer cell. Keywords: lung cancer, chemopreventive, soursop, nanoparticles, aerosol ABSTRAK
Kanker adalah penyebab utama kematian di seluruh dunia. Salah satu jenisnya adalah kanker paru-paru. Pengobatan yang ada saat ini hanya bersifat memperpanjang usia pasien, tapi tidak menyembuhkan. Kemoterapi merupakan solusi yang digunakan untuk kanker paru-paru namun kemoterapi tidak bersifat selektif membunuh sel kanker, melainkan dapat menyerang sel normal. Agen herbal kemopreventif merupakan solusi yang lebih baik dari kemoterapi, salah satunya pada daun sirsak. Kandungan zat aktif dari daun sirsak yang bernama acetogenin dapat berperan dalam membunuh sel kanker serta mampu mendeteksi dan membedakan antara sel kanker dan normal. Pembuatan sediaan aerosol nebulizer inhalasi berbasis nanopartikel merupakan solusi dalam pengobatan kanker paru-paru yang selektif menyerang sel kanker secara langsung pada paru-paru tanpa harus mengalami metabolisme dalam tubuh. Kata kunci: kanker paru-paru, kemopreventif, sirsak, nanopartikel, aerosol
IAN LC: Inhalation Aerosol Nebulizer For Lung Cancer, A New Treatment Alternative For Lung Cancer Bases On Nanoparticles Of Soursop Leaf Isolates* Andika Dewi Ramadhani1, Kun Rasyida*1, Siti Zulaikha1, Dian Ayu Eka Pitaloka1, Farichatul Izzah1, Endah Puspitasari2
1Student of Faculty of Pharmacy, University of Jember 2Department of Biology, Faculty of Pharmacy, University of Jember *Presented in International (Bio) Medical Student Congress 2013, Jakarta, Indonesia *Corresponding author’s email : [email protected]
38
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. INTRODUCTION Cancer is the main cause of death
worldwide and brings about 7.6 million deaths
(around 13% of all deaths) in 20081. According to
the American Cancer Society (2007) in 2012 lung
cancer incidence rate is 226,160 thousand
deaths per year amounted to 160,340 thousand
people. It is estimated that approximately 1.2
million new cases of lung cancer and 1.1 million
deaths from lung cancer occurred in 2000, with
the ratio of men: women around 2:7. In
Indonesia, lung cancer cases are diagnosed
when the disease was at an advanced stage.
With the increased of public awareness about the
disease, knowledge of physicians and diagnostic
tools, early detection should be done2.
Chemotherapy is commonly be the last
option done by the practitioners for cancer
patients (besides surgery)6. The body healthy
cells are often being the victim of chemotherapy
drugs attack since the cells are infected by those
chemistry substances. Therefore the
chemotherapy side effect is unavoidable and
even becomes further problem as well as death
for the patients7. The drugs used have not yet
selectively stray certain specific cell or organ in
the body8.
Another cancer medication is
chemopreventive. Chemopreventive is more
advantageous than chemotherapy. One of the
prospective chemopreventive agent candidates is
soursop leaf. Soursop leaf contains compounds
which can kill cancerous cells, like acetogenin.
Acetogenin attacks cells selectively. Acetogenin
is able to detect and differ between cancerous
cells and normal cells. But acetogenin insulator is
difficult to dissolve in the water so it has bad
dispersion in the preparation9. Nanoparticles
technology is needed to reduce the size of
acetogenin insulator8.
Acetogenin sized nanoparticles need to
be packaged in a suitable pharmaceutical dosage
forms, which can lead to a better therapeutic
effect. Pharmaceutical preparations which can be
used is in the form of aerosol inhalation
nebulizer. Preparations in the form of aerosol
inhalation nebulizer can reach his workplace in
the lungs - pulmonary directly with a faster onset,
due directly to the respiratory tract. Its use is
more convenient, less contact with the hands, the
required dosage and side effects are smaller.
2. REVIEW OF LITERATURE 2.1 Lung Cancer Lung cancer is all malignancies of the
lung disease, including lung malignancy which
comes from itself or from outside the lung
malignancy (tumor metastasis in the lung).
Cancer is a disease of genes. A normal cell
become a cancer cell occurs when the various
causes of imbalance between oncogene function
of genes suppresor tumor grows in the process of
a cell. Genes which have mutations cause
hyperexcretion oncogenes and loss of tumor
suppressor gene function causes cells to grow
uncontrollably. This phases known as the
Multistep carcinogenesis. Chromosome changes
such as loss of chromosome or LOH
heterogeneity is also suspected as a mechanism
of abnormal cell growth in cancer cells. From
various studies have been known that a few
oncogenes that play a role in the process of lung
carcinogenesis, including gene myc, k-ras gene,
while the gene such as suppresor tumors, p53
gene, rb gene. Change in the location of
chromosomes 1p, 3p and 9p often found in cell
lung cancer 1.
There are two major types of lung
cancer, non-small cell lung cancer and small cell
lung cancer grows and spreads roomates each in
39 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
different ways and is treated differently.
Approximately 173.770 new cases of lung cancer
will be diagnosed in 2004 and approximately
43.000 of these cases will be small cell lung
cancer (SCLC). The 3-year overall survival in
SCLC is only 5 to 10%3. SCLC accounts for
almost 10% of all cancer-related Deaths in men
and 5% in women4. Current medications used
are surgery, radiotherapy, and chemotherapy.
But those medications just extend the patients’
lives, not yet cure the patients1. In Western
countries, the curative medications have 40-65%
relapse rate with only 30% success rate of
perfectly living5.
Lungs are sponge-shaped organ located
in the chest. The right lung has three lobes and
the left lung has two lobes. Lungs have a work to
carry the air out of the body, take in oxygen and
get rid of carbon dioxide gas (substance residues
breathing). Lungs membrane called pleura,
protect the lungs and allows them to move during
breathing. Trachea brings air into the lung.
Trachea divides into tubes called bronchi which
divided into smaller branches called bronkiol. At
the end of these small branches are tiny air sacs
called alveoli. Under the lungs there is muscle
called the diaphragm that separates the chest
from the abdoment. When breathe, the
diaphragm moves up and down, forcing air in and
out of the lungs. Organs located below the ribs
have a daunting task, we breathe as well as a
variety of pests that roam freely in the air. These
can causes various diseases lung. In general
disruption in the airways may be a blockage
(obstruction) or lung disorders that cause
restrictive. For example, a large tumor in the
lungs can cause airway collapse where tumor
present in the airway causes obstruction of the
airways. Tumor pressing chest wall can cause
damage or destruction of bone chest wall and
cause pain. Fluid in the pleural space are often
found in lung cancer also disrupt lung function3.
2.2 Cancer Chemopreventive Agent The understanding of Carsinogenesis
process is a strategy development in cancer
medication. Cancer therapy approach uses
chemopreventive agent which is more promising
than conventional anti-cancer drugs.
Chemopreventive agent is defined as chemical
compound that is able to obstruct and compress
carcinogenesis process in human so that the
cancer growth can be prevented11. In cancer
curative therapy, chemopreventive agent
development is based on cell cycle regulation
including growth hormone receptors and protein
kinase, angiogenesis blocking, cyclooxygenase-2
(COX-2) enzyme blocking, and apoptosis
induction. Chemopreventive agent has specific
target action through its molecular mechanism.
Cells cycle and apoptosis regulation abnormality,
COX-2 enzyme increase, and and angiogenesis
process, only occur in cancerous cell, though in
some cases angiogenesis occurs in heart.
Therefore, chemopreventive agent is relatively
safe and has no influence on normal cells12.
Cancer therapy approach through
antiangiogenesis can be done with vasculostatin
agent that can obstruct new blood vessel forming
process13. Cancerous cells are died as it gets no
oxygen and nutrition supply. Angiogenesis
blocking becomes a vital point in cancer
medication. The lymphogenic and hematogenous
spread of cancerous cell is related to
angiogenesis. Tumor cells quickly penetrate
through endothelial cell and follow the blood flow
throughout the body and spread to other organs.
Initiation, invasion, and metastatic cancer
believed as an incident that depends a lot on
angiogenesis. Based on a practical observation,
40
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
most angiogenesis inhibitors also have action as
antiinvasion and antimetastatic component.
Moreover, malignant tumor and cancer will
initiate COX-2 over expression. COX-2
expression increase is followed by prostaglandin
E production which takes part in proliferation and
spurs on cancerous cell angiogenesis process.
Some chemical compounds used for
chemopreventive agent have COX-2 blocking
activity so it can reduce malignant cells
transformation14.
One of the cancerous cell abnormal
phenotype is cell cycle dysregulation control, in
which there is a mechanism control trouble so the
cell will grow without mechanism control as
normal cells do15. Retinoblastoma (Rb) and
protein p53 as tumor pressuring agent are the
important protein in cell cycle adjustment as
either antiproliferation material or apoptosis
process controller because of DNA defect. P53
inactivation will cause an over proliferating on
cell. Antiproliferative effect from several chemical
compounds that has potential to be anticancer is
through its ability in delaying cell cycle by
obstructing either cyclin-CDK or other protein
kinase activity. Natural chemopreventive agent,
such as flavonoid, is able to induce G2 phase
arrest. Another chemopreventive agent like
curcumin can affect cell cycle on G1/G0 and G2/M
phases. Chemopreventive agent influence
through cell cycle blocking may cause the cell
stops splitting and stop cell proliferation16.
Apoptosis is a programmed cell death as
a response to particular stimulant. A protein
group that takes part in cell death is Bcl-2. Some
members of Bcl-2 protein family are
antiapoptosis, like Bcl-2, Bcl-XL (PGE, Mcl1, and
Bag) function as cell death deterrent, while
proapoptosis members of Bcl-2 protein family
such as Bak, Bax, and Bad induce apoptosis.
Besides drugs chemical compound disposal
through efflux P-gp (P-glycoprotein) pump, Bcl-
2/Bcl-XL over expression in cancer also
increases chemotherapy and radiotherapy
resistance. Therefore, the important target in
cancer medication is not only pressuring P-gp
expression but also antiapoptosis protein
expression15.
2.3 Soursop (Annona muricata L.) Soursop’s Latin name is Annona
muricata L17. Its active content which is able to
kill cancerous cell is acetogenin (Fig.4).
Acetogenin obstructs and kills cancerous cell in
two stages. First, acetogenin detects and differs
between cancerous cell and normal cell.
Acetogenin selectively attacks the cell. Only
those detected as cancerous cells attacked,
whereas the normal cells don’t. It is different from
chemotherapy drugs method that attacks not only
cancerous but also normal cell. Consequently,
normal cell is broken and died, and it will lead to
various side effects18.
Picture 1. Acetogenin common structure18.
41 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
2.4 Acetogenin Mechanism Action Acetogenin differs between cancerous
cell and normal cell by the cell need of ATP. ATP
is cell energy source not only to grow and
develop but also run its function as cell. Since the
cancerous cell develops, grows, and duplicates
faster and more active than normal cell, it needs
more ATP energy. Acetogenin detects higher
ATP need on cancerous cell9. The second stage,
acetogenin goes into cancerous cell and sticks
on mitochondria inside wall. Mitochondria are
organelles inside the cell. Mitochondria function
as a place to produce ATP for cell. Food
carbohydrates ends in mitochondria, then it will
be changed to be energy. After that, acetogenin
will block ATP production in mitochondria
cancerous cell. Consequently, the energy supply
for cancerous cell will stop, so it is weak and
finally die19.
Annonacin acetogenin activity is related
to the ability in obstructing ATP production on
NAD+ forming process. Ubiquinone
oxidoreductase (complex I) is banded with NADH
oxidation on tumor cell plasma membrane in
mitochondria electron transport system. Inhibitor
is selective to cancerous cell which is related to
ATP production. Annonacin acetogenin obstructs
ATP production by disturbing mitochondria
complex 1. It disrupts membrane permeability
and obstructs cancerous cell growth, so the body
has a chance to do mechanism adjustment of cell
death through apoptosis triggered by TNF α20.
Picture 2. Acetogenin mechanism action20.
2.5 Nanoparticle Nanoparticle is a material sized between
1-100 nanometer (nm). This material is shown in
either crystal or non-crystal shape which its
atoms are arranged in order. The drug size
difference between nanoparticle and micro
particle in chemotherapy drugs will impact on
physical, chemical, and biological characteristic.
Because of the comparable size of the
components in the human cells, nanoparticles
are of great interest in drug delivery. It appears
that nature, in making the biological systems, has
extensively used nan-ometer scale.
This difference contributes a huge
advantage so it brings nanometer-sized material
as superior material in various fields, including
biology and pharmacy. Several nanoparticles
characteristics can be changed significantly
through size controlling in nanometer order,
chemical composition adjustment, surface
modification, and particles interaction controlling.
These size-based characteristics believed as the
result of wide surface high ratio to material
volume21.
In recent years, researches on
nanoparticles have been done intensively in
some countries. It is not only related to
42
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
nanoparticles synthesis method, but also their
produced characteristic. In energy industry,
nanoparticles are entangled in producing more
efficient solar cell. In health industry, like
pharmacy and biology, nanoparticles technology
is proven able to increase cellular uptake so that
it can upgrade drug active ingredients
effectiveness8,22. According to its characteristic,
nanoparticle has been applied in several
technology researches, such as: cell labeling,
drug delivery, tumor cell destruction by heating
(hyperthermia), and magnetic resonance imaging
(MRI) visualization. Nanoparticles application and
development will keep growing concerning the
nanometers order of body cell parts as life unit.
Protein is about 5 nm, DNA which has helical
structure is about 2 nm, and there are some body
organ parts have nanometers sized. Nanoparticle
size is equal to all parts in body organ21.
Micrometer-sized drugs are difficult to
interact with protein and nanometer-sized cell
parts. Thus, many medications failed in curing.
Nanoparticle can be used to control biomolecules
interaction in the body so it has high sensitivity
with high control precision and can be done
selectively. Consequently, nanoparticle must be
designed to be able to interact with protein and
cell without disturbing their normal activity and it
must be biocompatible and poisonless8.
One of the leading causes of cancer
associated deaths in most men and women in the
Western world is lung cancer. There are various
types of treatments depending on the type and
the stage of the cancer. A recent type of therapy
is targeted gene therapy which aims to target
genes that cause lung cancer. However, this
therapy has some drawbacks including lack of
proper vectors for delivery. These drawbacks can
potentially be overcome by using various types of
nanoparticles. Researchers have attempted to
treat lung cancer with a variety of types of
nanoparticle matrices including lipid, polylactide-
co-glycolide, albumin, poly (ω-pentadecalactone-
co-butylene-co-succinate), cerium oxide, gold,
ultra-small superparamagnetic iron oxide
nanoparticles, super paramagnetic iron oxide,
lipid–polycation–DNA N-[1-(2,3- dioleoyloxyl)
propyl]-NNN-trimethylammoniummethylsulfate,,
silica-overcoated magnetic cores, and
polyethyleneglycol phosphatidylethanolamine.
There are various ways in which nanoparticles
enhance drug delivery, and these include
encapsulation against immune response, tissue
penetration, target selectivity and specificity,
delivery monitoring, promoting apoptosis, and
blocking pathways for cancer initiation and
progression. Nanoparticles can act as good
vectors for delivering drug to the target neoplastic
lesions within the lung, increase cellular uptake,
increase tissue penetration and help in tracking
the drug. In the future, combination therapies
may play a key role in the treatment of lung
cancer using the existing therapies24.
2.6 Inhalation Aerosol Nebulizer Inhalation Aerosol is a preparation that
contains one or more substances berkhaiat with
size less than 50 μm and containing propellant in
a pressurized container, administered through
nasal or oral airway for local or systemic effect.
Recent advances in technology have
also created renewed interest in the inhalation
delivery of drugs, Including those for the
treatment of lung cancer. Regional drug delivery
via inhalation offers many advantages in the
administration of pharmaceutical compounds for
the prevention and treatment of respiratory
diseases Because the drugs are delivered at
intensified dose levels directly to the site of
disease, limiting systemic exposure23.
43 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
3. DISCUSSION
Lung cancer is a malignant tumor /
carcinoma that grows in the lungs. This cancer
causes more deaths. Treatment of lung cancer
began to switch from chemotherapy to
chemopreventive agents. Chemopreventive more
beneficial than chemotherapy as a
chemopreventive agent has inhibitory activity of
cancer progression and may increase the
possibility of healing and reduce the pain
experienced by cancer patients. One of the
plants that are known to act as a
chemopreventive agent is soursop leaves.
Soursop is an abundant plant in Indonesia.
Soursop leaf contains acetogenin that have anti-
cancer activity. Acetogenin works selectively
against cancer cells that attack only cancer cells
without damaging normal cells. These
compounds also cause apoptosis of cancer cells
due to the supply of energy (ATP) inhibited by
acetogenin. Acetogenin has poor solubility in
water so disolusinya too bad. Therefore, before it
is formulated in pharmaceutical preparations,
acetogenin made in the form of nanoparticles.
Acetogenin shaped nanoparticles
encapsulated in the form of inhalation aerosol
dosage nebulizer. Inhalation Aerosol is a
preparation that contains one or more
substances berkhaiat with size less than 50 μm
and containing propellant in a pressurized
container, administered through nasal or oral
airway for local or systemic effect. Aerosol
inhalation in a nebulizer is made with the
following formulation:
R / acetogenin 52.74 mg
Tween 80 2.51 mg
Liquid NaCl 0.9%
5 ml of ethanol ad
Formulating both the mixing and storage
in a temperature of 4 º C to keep the material -
the material is not contaminated, so that the
resulting product is sterile24.
Technological innovation can reduce the
size of nanoparticles isolates soursop leaf to
match the size of DNA that can increase the
cellular uptake of the drug substance into the
cancer cells than chemotherapy drugs are still
measuring microparticles and can lower the dose
of the drug. Preparation of nanoparticle-based
dosage nebulizer is a solution in the treatment of
lung cancer that can increase the solubility and
effectiveness and improve bioavaibilitas
acetogenin drug in the lungs so it can attack
cancer cells directly and may provide a
therapeutic effect longer in the lungs and can kill
lung cancer cells selectively25.
Picture 3. Inhalation Aerosol Nebulizer25.
4. CONCLUSION
Lung cancer is a malignant tumor/
carcinoma that grows in the lungs. This cancer
causes more deaths. This cancer causes many
deaths both to men and women. Lung cancer
medication turns to change into chemo
preventive agent from chemotherapy. Chemo
preventive is more beneficial than chemotherapy
since it has a cancer growth obstructing activity
and is able to increase the recovery possibility as
well as decreases the pain suffered by the
44
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
patient. One of the plants that detected able to be
chemo preventive agent is soursop leaf. Soursop
is a kind of plant that commonly grows in
Indonesia. Soursop leaf contains acetogenin that
has anti-cancer activity. Acetogenin selectively
attacks the cancerous cell, without destroying
normal cell. This chemical compound also
causes cancerous cell apoptosis because the
energy supply (ATP) is obstructed by acetogenin.
Acetogenin has a bad solubility in the water and
also bad dissolution. Therefore, before
formulating into pharmacy dosage form,
acetogenin is made in nanoparticle.
The innovation of nanoparticles
technology is able to diminish the size of soursop
insulator to be as small as DNA so that after
being formed into nanoparticles, it will increase
the cellular uptake of medicine ingredients into
cancerous cells better than chemotherapy’s
micro particles medicine, and will decrease the
medicine dosage. Thus, this modification of
acetogenin is expected to attack the cancer cells
directly and can provide a longer therapeutic
effect in the lungs and can kill lung cancer cells
selectively. REFERENCES
[1] WHO. World Health Statistic [Internet].
Switzerland: WHO; 2012 [cited 2012 Nov
15]. Available from: URL : HYPERLINK
http:// www.who.int/ mediacentre/
factsheets/fs297/en/.
[2] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Kanker Paru : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia ; 2003.
[3] Nucleus Precise News Letter. Kanker Paru
(Lung Cancer). 2011.
[4] Haura, Eric B. Treatment of Advanced Non–
Small-Cell Lung Cancer: A Review of
Current Randomized Clinical Trials and an
Examination of Emerging Therapies. Cancer
Control. 2001; 8(4) 2009.
[5] Lascone C, Paliotta A, Fernia S. Surgery in
Multimodal Management of Solid Tumors:
Updates in Surgery. USA: Springer. 2009:
79-87.
[6] Wong LC, Ngan HYS, Cheung ANY, Cheng
TYN, Choy DTK.. Chemoradiation and
Adjuvant Chemoterapy In Cervical Cancer.
J Clin Oncol. 1999; 17 (7): 2055-2060.
[7] Mandie Aljo. Neoadjuvant Chemotherapy in
Treatment of Cervical Cancer-
Controversies. Arch Oncol. 2005; 13 (2): 89-
90.
[8] Wong C, Stylianopoulos T, Cui J, Martin J,
Chauhan VP, Jiang W, Popovic Z, Jain RK.,
Bawendi MG, Fukumura D. Multistage
Nanoparticle Delivery System for Deep
Penetration Into Tumor Tissue. Proc Natl
Acad Sci, USA. 2011; 108 (6): 2426-2431.
[9] Wu F, Wo G, Zeng L, Yan Z, Schwedler JT,
Jerry L, Ughlin. Additional Bioactive
Acetogenins, Annomutacin from The Leaves
Of Annona Muricata and (2,d-TRAN.S AND CIS)-l OR-Annonacin-A-Ones. J Nat P&s.
1995; 58 (9): 1430-1437.
[10] Wahyono Dwi. Ciri Nanopartikel Kitosan dan
Pengaruhnya Pengukuran Partikel dan
Efisiensi Penyalutan Ketoprofen. Bandung:
IPB. 2010; 1: 7-32.
[11] Kakizoe T. Chemoprevention of Cancer
Focusing on Cinical Trial, National Cancer
Center. Jpn J Clin Oncol. 2003; 33 (9): 421-
442.
[12] Chang LC, and Kinghorn AD. Flavonoid as
Chemopreventive Agent, Boiactive
Compound from Natural Sources, Isolation,
Characterization and Biological Properties.
New York: Tailor & Friends. 2001: 850-878.
45 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[13] Matter A. Tumor Angiogenesis as a
Theurapeutic Target. DDT. 2001; 6 (19):
1005-1020.
[14] Brem SMD. Angiogenesis and Cancer
Control: From Concept to Therapeutic Trial,
Moffitt Cancer Center & Research institute.
1999 [cited 2012 Nov 15]. Available from:
URL:HYPERLINKhttp://www.medscape.com
/cancercontrol/1999/v06.n02.brem/cc0605.0
2.brem-01.html.
[15] Gondhowiardjo S. Proliferasi Sel dan
Keganasan, Majalah Kedokteran Indonesia.
2004; 54 (7): 289-299.
[16] Pan MH, Chen WJ, Lin S, Ho CH, Lin JK.
Tangeretin Induces Cell Cycle Through
Inhibiting Cyclin Dependent Kinase 2 & 4
Activities As Well As Elevating Cdk Inhibitor
p21 in Human Colorectal Carcinoma Cells,
Carsinogenesis. Oxford: Oxford University
Press. 2002; 23: 1677-1684.
[17] ITIS. Integrated Taxonomic Information
System [Internet]. U.S. 2012 [cited 2012 Nov
5]. Available from: URL HYPERLINK : http://
www.itis.gov/ servlet/ SingleRpt/
SingleRpt?search_topic=TSN&search_value
=18098.
[18] Vares Lauri and Toom Lauri. Synthesis of
Acetogenin Analogues: Master Thesis in
Organic Chemistry. Piret Villo. 2012; 1: 4-12.
[19] Liaw CC, Chang FR, Lin CY, Chou CJ, Chiu
HF, Wu MJ, Wu YC. New Cytotoxic
Monotetrahydrofuran Annonaceous
Acetogenins from Annona Muricata. J Nat
Prod. 2002; 65: 470-475.
[20] Amelia F, Angeline E, Wibowo KW, Afnani
GN. Tablet Salut Enterik Ekstrak Etanol
Daun Sirsak (Annona muricata L.) sebagai
Anti Kanker Kolon yang Potensial. BIMFI.
2012; 1: 47-56.
[21] Kumar CSSR, Hormes J, Leuschner C.
Nanofabrication Towards Biomedical
Applications, Wilet-VCH Verlag GmbH & Co.
KgaA. Germany: Weinheim. 2005; 1: 245-
255.
[22] Sona PS. Nanoparticulate Drug Delivery
Systems for The Treatment of Diabetes.
Digest Journal of Nanopartikels and
Biostructures. 2010; 5 (2): 411-418.
[23] Z.Wang, farnesol for aerosol inhalation:
nebulization and Activity Against Human
Lung Cancer Cells. 2003. p.95-100,
[24] L Zhang, FX Gu, JM Chan, AZ Wang, RS
Langer and OC Farokhzad. Nanoparticles in
Medicine: Therapeutic Applications and
Developments. 2008. p. 761-769.
[25] Rajiv Dhand. Aerosol Delivery Durin g
Mechanical Ventilation: From Basic
Techniques to New Devices. 2008. p 45-60
46
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial
ABSTRAK
Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi pada dosis tinggi dan jangka waktu lama dapat menyebabkan kardiotoksisitas, hepatotoksisitas dan penurunan sistem imun. Efek samping doxorubicin dapat ditekan dengan penggunaan ko-kemoterapi. Pemilihan agen ko-kemoterapi dari alam sebagai kardioprotektor, hepatoprotektor dan imunomodulator merupakan peluang yang prospektif dalam pengembangan obat.
Salah satu tanaman yang berpotensi adalah jeruk purut (Citrus hystrix D.C.) yang mengandung flavonoid rutin, naringin dan hesperidin. Ekstrak kulit jeruk purut (EKJP) mempunyai aktivitas antioksidan dan dapat menangkal radikal bebas. EKJP diketahui dapat memperbaiki profil histopatologi jantung dan hepar serta meningkatkan aktivitas sistem imun pada tikus yang diinduksi doxorubicin. Perlu dilakukan optimasi formulasi EKJP menjadi sediaan yang praktis dan bermanfaat optimal bagi masyarakat.
SMEDDS (self-microemulsifying drug delivery system) merupakan sistem penghantaran obat yang modern secara self-microemulsifying. SMEDDS terbukti dapat memperbaiki oral bioavalability obat-obat hidrofobik. Senyawa flavonoid bersifat hidrofobik sehingga permeabilitas mukosa intestinalnya sangat rendah. Maka dari itu, EKJP dengan kandungan utama flavonoid cocok diformulasikan menjadi SMEDDS.
SMEDDS EKJP mempunyai potensi dan keuntungan yang menjanjikan karena bahan bakunya mudah diperoleh dengan harga terjangkau. Penelitian yang ada membuktikan khasiat EKJP sebagai agen ko-kemoterapi doxorubicin sehingga membuka peluang EKJP untuk dikembangkan menjadi fitofarmaka di Indonesia. Dengan begitu, perkembangan obat herbal di Indonesia dapat semakin maju dan beragam. Kata kunci: SMEDDS, Citrus hystrix D.C., ko-kemoterapi, doxorubicin, fitofarmaka ABSTRACT
Usage of doxorubicin as a chemotherapeutic agent in high doses and for long periods can cause cardiotoxicity, hepatotoxicity and decrease immune system. Side effects can be reduced using combination of doxorubicin and co-chemotherapy agent. Selection of co-chemotherapy agent from natural plant as cardioprotector, hepatoprotector and immunomodulator is a prospective opportunities in drug development.
One of the potential plants is kaffir lime (Citrus hystrix D.C.) that contains flavonoids naringin rutin and hesperidin. Kaffir lime peel extract (KLPE) has antioxidant activity and can counteract free radicals. Previous study reported that KLPE can repair heart and liver histopathology profile and increase activity of immune system in mice induced doxorubicin. Need to be optimized dosage formulations of KLPE so KLPE can be practical and useful.
SMEDDS (self-microemulsifying drug delivery system) is a modern drug delivery systems that can be through self-microemulsifying. SMEDDS shown to improve oral bioavalability hydrophobic drugs. Flavonoid compounds are hydrophobic so mucosal intestinal permeability is very low. Therefore, the flavonoids of KLPE can be formulated to be SMEDDS.
SMEDDS KLPE has potential and promising advantages because raw materials easily available at affordable prices. Previous study proven that efficacy KLPE as co-chemotherapy agent creating potential to be developed into fitofarmaka in Indonesia. Development of herbal medicine in Indonesia can be more advanced and diverse.
Keywords: SMEDDS, Citrus hystrix D.C., co-chemotherapy, doxorubicin, phytopharmaca
SMEDDS EKJP: SELF-MICRO EMULSIFYING DRUG DELIVERY SYSTEM EKSTRAK KULIT JERUK PURUT SEBAGAI INOVASI KO-KEMOTERAPI DOXORUBICIN BERBASIS FITOFARMAKA Prisnu Tirtanirmala*, Nindi Wulandari, Rahmawaty Rachmady Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s email : [email protected]
47 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN Doxorubicin merupakan salah satu agen
kemoterapi antikanker yang dianggap efektif dan
banyak digunakan1. Namun, penggunaan
doxorubicin pada dosis yang tinggi dan pada
jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
kardiotoksisitas yang juga mempunyai
manifestasi klinik pada hepatotoksisitas2. Agen
pendamping kemoterapi (ko-kemoterapi)
merupakan strategi terapi kanker dengan
mengkombinasikan suatu senyawa dengan
agen kemoterapi. Senyawa atau obat ini dapat
meningkatkan efikasi terapi sekaligus
menurunkan toksisitas agen kemoterapi
pasangannya terhadap jaringan normal3.
Pemilihan agen pendamping dari alam sebagai
kardio-hepatoprotektor merupakan sebuah
peluang yang prospektif dalam pengembangan
obat.
Salah satu tanaman yang berpotensi
untuk dikembangkan sebagai agen pendamping
adalah jeruk purut (Citrus hystrix D.C). Kulit
buah jeruk purut mengandung flavonoid rutin,
naringin dan hesperidin4. Ekstrak kulit jeruk
purut (EKJP) diketahui dapat memperbaiki profil
histopatologi jantung dan hepar tikus yang
diinduksi oleh doxorubicin5,6. Naringin dan
hesperidin mempunyai aktivitas antioksidan dan
dapat menangkal radikal bebas7,8. Dari data-
data tersebut terlihat bahwa ekstrak kulit jeruk
purut mempunyai potensi yang kuat untuk
dikembangkan menjadi agen pendamping
kemoterapi. Namun, masih perlu dilakukan
optimasi untuk memformulasikan ekstrak kulit
jeruk purut agar menjadi sediaan yang praktis
dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas
secara optimal.
SMEDDS (self-microemulsifying drug
delivery system) merupakan sistem
penghantaran obat yang modern dimana pada
sistem ini obat dihantarkan secara self-
microemulsifying. SMEDDS terbukti dapat
memperbaiki oral bioavalability obat-obat
hidrofobik dan lipofilik dengan membentuk
emulsi o/w secara spontan ketika kontak
dengan cairan tubuh yang terjadi di
gastrointestinal9. Disamping itu, senyawa
flavonoid dilaporkan mempunyai kelarutan di
air yang sangat rendah sehingga
permeabilitas terhadap mukosa intestinal juga
sangat rendah10. Maka dari itu, ekstrak kulit
jeruk purut yang mempunyai kandungan utama
flavonoid cocok untuk diformulasikan menjadi
sediaan dengan terobosan baru yang
menjanjikan, yaitu SMEDDS.
2. PEMBAHASAN 2.1 Kemoterapi dan Ko-kemoterapi
Kemoterapi adalah pengobatan dengan
menggunakan senyawa kimia. Saat ini
kemoterapi identik dengan pengobatan terhadap
penyakit kanker11. Agen kemoterapi membunuh
sel-sel yang membelah dengan cepat seperti sel
kanker. Namun, sel normal lain yang membelah
dengan cepat seperti sel epitel mulut, sel imun,
dan gastrointestinal juga mendapatkan efek
kemoterapi sehingga dapat menimbulkan
berbagai efek samping12. Ko-kemoterapi
merupakan strategi terapi dengan
mengkombinasikan suatu senyawa dengan
agen kemoterapi. Penggunaan agen tambahan
bersama dengan agen kemoterapi merupakan
usaha terapi kanker untuk meningkatkan
efektivitas agen kemoterapi sekaligus
menurunkan efek sampingnya. Selain itu, ko-
kemoterapi juga dapat menurunkan resiko
perkembangan kanker yang resisten terhadap
salah satu jenis obat. Salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan adalah
mengkombinasikan senyawa fitokimia atau obat
48
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
yang non-toksik namun efektif melawan sel
kanker dengan agen kemoterapi, yang mana
akan meningkatkan efikasinya dan menurunkan
toksisitasnya terhadap jaringan normal3.
2.2 Doxorubicin Doxorubicin merupakan antibiotik
golongan antrasiklin yang banyak digunakan
untuk terapi berbagai macam jenis kanker
seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker
tulang dan ovarium13. Senyawa ini diisolasi dari
Streptomyces peucetius var caesius pada tahun
1960-an dan digunakan secara luas14. Berbagai
penelitian mengenai mekanisme kerja
doxorubicin telah dilakukan.
‘
Gambar 1. Struktur Doxorubicin15
Penggunaan doxorubicin pada terapi
kanker ternyata memberikan beberapa efek
samping antara lain mempengaruhi sistem imun
dengan menurunkan ekspresi IL-2, produksi
interferon γ, sel natural killer (NK), proliferasi
limfosit, dan rasio CD4+/CD8+12. Selain itu,
Doxorubicin dapat menyebabkan
kardiotoksisitas pada penggunaan jangka
panjang. Efek samping pada pemakaian
kronisnya bersifat ireversibel, termasuk
terbentuknya cardiomyopathy dan congestive
heart failure16. Efek kardiotoksik dari doxorubicin
dapat terjadi terjadi karena adanya
pembentukan radikal bebas17 sehingga
menyebabkan cardiomyopathy. Cardiomyophaty
merupakan penurunan fungsi miokardium yang
disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya
adalah agen kemoterapi. Hal ini menyebabkan
penggunaan doxorubicin secara klinis menjadi
terbatas. Oleh karena itu diperlukan suatu agen
ko-kemoterapi yang mampu menurunkan efek
samping penggunaan doxorubicin serta
mengatasi masalah resistensi.
2.3 Fitofarmaka Indonesia memiliki sekitar 25.000 –
30.000 spesies tanaman yang merupakan 80%
dari jenis tanaman di dunia dan 90 % dari jenis
tanaman di Asia18. Sementara itu saat ini
diperkirakan lebih dari 50.000 spesies tumbuhan
tingkat tinggi di dunia digunakan untuk
keperluan obat. Berdasarkan keputusan Kepala
Badan POM RI No. HK.00.05.41.1384 tentang
kriteria dan tata laksana pendaftaran obat
tradisional, obat herbal terstandar dan
fitofarmaka Bab 1, obat tradisional
dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu, obat
herbal terstandar, dan fitofarmaka. Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji praklinikdan uji klinik, bahan
baku dan produk jadinya telah di standarisasi19.
Untuk pengembangan obat tradisional
menjadi obat herbal terstandardisasi dan
fitofarmaka, simplisia harus memenuhi
persaratan mutu agar dapat menimbulkan efek
dan aman. Persaratan mutu simplisia sejumlah
tanaman tertera dalam buku Farmakope
Indonesia, Ekstra Farmakope Indo-nesia, atau
Materia Medika Indonesia. Materia Medika
Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional memuat
persaratan baku mutu simplisia yang banyak
dipakai oleh perusahaan obat tradisional.
Tahapan pengembangan obat tradisional
menjadi fitofarmaka20 :
49 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
a. Seleksi
b. Uji preklinik
c. Standarisasi sederhana
d. Uji klinik
2.4 Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) Kulit buah jeruk purut (Gambar 2)
mengandung berbagai macam flavonoid rutin,
naringin dan hesperidin4. Naringin dilaporkan
dapat menekan lipopolisakarida yang diinduksi
oleh pelepasan faktor tumor nekrosis dan
kerusakan hati tikus21. Hesperidin dapat
menurunkan jumlah ALT dan AST pada mencit
yang diinduksi dengan CCl422. Hal tersebut
menunjukkan bahwa hesperidin memiliki
aktivitas hepatoprotektif. Selain dapat dapat
mengurangi edema miokardium pada tikus yang
diinduksi dengan doxorubicin, hesperidin dapat
menurunkan jumlah nitrit oksida (NO) pada
serumtikus yang terinduksi doxorubicin23. Hal ini
menunjukkan hesperidin juga memiliki sifat
kardioprotektif.
a. jeruk purut (Citrus hystrix D.C.)
Gambar 2. Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C.) dan kandungan flavonoidnya24
Hasil penelitian Putri et al. Di tahun
20135 menunjukkan bahwa ekstrak etanolik kulit
jeruk purut (Citrus hystrix D.C.) memiliki efek
kardioprotektif dan hepatoprotektif pada tikus
Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.
Ekstrak Etanolik kulit jeruk purut juga mampu
meningkatkan rasio CD4/CD8 tikus Sparague
Dawley yang dipejani doxorubicin6. Dari
penelitian-penelitian tersebut telah membuktikan
bahwa ekstrak kulit jeruk purut mempunyai
potensi yang beasar dalam mengurangi efek
samping doxorubicin sehingga dapat digunakan
sebagai pendamping kemoterapi dan
dikembangkan sebagai fitofarmaka.
2.5 SMEDDS (Self-Microemulsifying Drug Delivery Systems)
SEMDDS merupakan salah satu bagian
dari Formulasi Self-Dispersi Lipid. Metode ini
dapat menjadi solusi untuk obat-obat yang sulit
diformulasikan akibat sifatnya yang
hidrofobik/lipofilik sehingga dapat memperbaiki
bioavaibilitas untuk obat yang kemampuan
absorpsinya buruk25. Dalam SMEDDS, partikel
b. Hesperidin
c. Naringin
d. Rutin
50
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
obat diperkecil terlebih dahulu kemudian
dicampurkan dalam fase minyak-surfaktan, yang
akan menjadi emulsi jika mereka bertemu
dengan air pada lingkungan. Proses self-emulsi
ini terjadi dengan perbandingan tertentu antara
minyak-surfaktan-kosurfaktan dan
temperature26. Setelah self-dispersi terjadi obat
secara cepat terdistribusi dalam gastrointestinal.
Dengan sistem ini SMEDDS dapat
meningatkan bioavaibilitas karena partikel obat
yang terdispersi halus dalam tetesan minyak,
dan permukaan area yang luas dapat
meningkatkan disolusi. Tetesan emulsi
selanjutnya dilarutkan dalam saluran
pencernaan melalui cairan empedu. Kehadiran
surfaktan dapat meningkatkan absorpsi pada
membran sehingga terjadi perubahan
permeabilitas (surfaktan yang digunakan bersifat
hidrofilik dengan nilai HLB > 12). Pengecilan
ukuran partikel obat menyebabkan perubahan
muatan menjadi positif atau negatif. Lapisan
mukosa bermuatan negative, sehingga muatan
positif pada droplet emulsi dapat menembus
kedalam ileum27. Emulsi yang bermuatan
positif/kation memiliki bioavaibilitas yang lebih
baik dibanding yang bermuatan negatif/anion28.
Maka dari itu, SMEDDS dapat menjadi solusi
formulasi ekstrak kulit jeruk purut yang
hidrofobik/lipofilik.
2.6 Kandungan Senyawa Flavonoid dalam Ekstrak Kulit Jeruk Purut (EKJP) dan Aktivitasnya sebagai Agen Ko-Kemoterapi
Berdasarkan hasil penelitian, kulit buah
jeruk mengandung flavonoid rutin, naringin dan
hesperidin4. Senyawa ini berpotensi sebagai
agen ko-kemoterapi yang berperan sebagai
kardioprotektor dan hepatoprotektor dengan cara
memperbaiki histopatologi jantung dan hepar
tikus yang diinduksi doxorubicin5. Mekanisme
kardio-hepatoprotektor ini diperantarai oleh
aktivitas flavonoid sebagai antioksidan yang
dapat menangkap radikal bebas dari hasil
metabolisme doxorubicin29,30.
Doxorubicin juga mempunyai efek
samping imunosupresi12. Imunosupresi ini
disebabkan karena doxorubicin memicu
apoptosis pada G0-G1 dan pada siklus limfosit
dengan pengurangan sel T dan sel B di limpa,
kelenjar getah benin dan timus31. EKJP terbukti
dapat meningkatkan jumlah sel leukosit, neutrofil,
limfosit dan rasio CD4+/CD8+ pada tikus yang
diinduksi doxorubicin6. Hal ini semakin
memperkuat potensi EKJP untuk dikembangkan
sebagai agen ko-kemoterapi pendamping
doxorubicin berbasis fitofarmaka.
2.7 Mekanisme SMEDDS (Self-Micro Emulsifying Drug Delivery System)
SMEDDS merupakan teknik
penghantaran obat yang modern dan terbukti
dapat meningkatkan bioavalabilitas oral pada
obat yang bersifat hidrofobik dan lipofilik.
Pembuatan SMEDDS meliputi pelarutan obat
dalam fase minyak dan kemudian
mencampurkannya menggunakan agen
solubilizer yang sesuai. Bentuk SMEDDS
konvensional adalah berupa cairan. SMEDDS
cairan ini mempunyai beberapa kekurangan,
antara lain biaya poduksi yang tingi, stabilitasnya
yang rendah, penggunaan yang kurang praktis,
presipitasi obat/eksipien yang irreversible dan
lamanya drug loading. Untuk mengatasi
kekurangan tersebut, terdapat bentuk SMEDDS
alternatif, yaitu S-SMEDDS (solid self-
microemulsifying drug delivery systefm). S-
SMEDDS membutuhkan pemadatan bahan-
bahan self-microemulsifying cair ke dalam bentuk
51 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
powder/nanopartikel dan dapat dikonversikan ke
dalam bentuk tablet, pelet, kapsul, dan lain-lain.
Adapun mekanisme yang terjadi dari
self-microemulsi berdasarkan Reiss adalah
sebagai berikut: dalam proses pembentukan self-
microemusifying, dibutuhkan energi bebas.
Energi bebas ini merupakan persamaan
langsung energi esensial untuk membuat
permukaan baru antara fase minyak dan air.
DG = S N p r 2s
dimana DG = energi bebas; N =
banyaknya droplet pada radius r; s = energi
interfasial
Emulsi yang terbentuk distabilkan oleh
emulsifying agents (EA) setelah dua fase emulsi
terpisahkan sesuai dengan waktu untuk
menurunkan area interfasial. EA membentuk
droplet emulsi secara monolayer yang
menyebabkan penurunan energi interfaial dan
menghasilkan barrier untuk mencegah terjadinya
koalesensi. Pada sistem self-micro emulsifying
ini, energi bebas yang digunakan untuk
membentuk emulsi dapat berupa sangat
rendah/positif/negatif31.
Gambar 3. Mekanisme SMEDDS31
2.8 Desain SMEDDS EKJP sebagai Fitofarmaka Ko-kemoterapi
Secara garis besar preparasi produk ini
akan dibagi dalam beberapa tahap, yaitu
penyiapan ekstrak kulit jeruk purut sebagai
komponen zat aktif sediaan, preformulasi bentuk
sediaan, produksi, dan evaluasi. Bahan aktif
utama yang digunakan adalah ekstrak etanolik
kulit jeruk purut (Citrus hystrix D.C.).
a. Pembuatan Ekstrak Kering Kulit Jeruk
Purut sebagai Bahan Aktif Utama
Bahan baku berupa kulit jeruk
purut berkualitas yang telah didapatkan
kemudian dikurangi kadar airnya hingga
mencapai kurang dari 10%.
Pengurangan kadar air ini dilakukan
dengan cara mengeringkannya di dalam
oven atau microwave. Simplisia atau
serbuk kulit jeruk purut yang telah kering
53 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
kemudian diserbuk dengan derajat halus
tertentu. Isolasi senyawa aktif yang
berfungsi sebagai kardioprotektor dan
hepatoprotektor pada simplisia kulit jeruk
purut ini
Pembuatan ekstrak kering dapat
dilakukan menggunakan penyari etanol
70%. Langkah pertama dalam
melakukan ekstraksi kulit jeruk purut
menggunakan etanol 70% dengan
perbandingan 1:10. Ekstraksi dilakukan
selama 5 hari dan disaring. Setelah itu
diremaserasi menggunakan etanol 70%
selama 2 hari dan disaring. Filtratnya
dicampur dengan hasil maserasi. Filtrat
yang diperoleh kemudian diuapkan
menggunakan rotary evaporatory
sehingga didapatkan ekstrak kental
etanolik kulit jeruk purut.
b. Tahap Preformulasi SMEDDS Ekstrak
Kulit Jeruk Purut (EKJP)
Tahapan preformulasi SMEDDS ini
menggunakan EKJP sebagai zat aktif.
Komponen yang dibutuhkan sebagai
pembawa yaitu minyak, surfaktan, ko-
surfaktan, ko-solven. Minyak berfungsi
sebagai basis pada SMEDDS. Minyak
yang dapat digunakan antara lain minyak
sayur, lanolin, asam lemak, mono-/di-/tri-
gliserida, dan lain-lain. Sedangkan
surfaktan yang dapat digunakan pada
formulasi SMEDDS adalah nonionik
surfaktan dengan Hidrofilik-Lipofilik
Balance (HLB) yang tinggi. Sebagai
contoh adalah Tween, Labrasol,
Cremophore, dan lain-lain. Dan ko-
solven yang dapat digunakan adalah
pelarut organik, seperti etanol, propilen
glikol dan polietilen glikol
Langkah awal preformulasi yaitu
uji kelarutan EKJP terhadap beberapa
jenis pembawa tersebut untuk
mengidentifikasi komposisi yang sesuai
dalam SMEDDS. Kemudian konsentrasi
rutin, naringin dan hesperidin
dikuantifikasi menggunakan HPLC32. Uji
yang dilakukan selanjutnya adalah uji
kompaktibilitas. Uji ini dilakukan untuk
menentukan kompaktibilitas antara
surfaktan dan minyak. Semakin banyak
volume minyak yang ditambahkan
menunjukkan kompaktibilitas yang
semakin baik dengan surfaktan yang
dipilih. Uji kompaktibilitas juga dilakukan
pada ko-solven terhadap campuran
surfaktan dan minyak yang telah terpilih
dengan cara yang sama33.
Diagram fase pseudo-ternary
dibuat menggunakan metode water
titration untuk mengidentifikasi daerah
self-emulsifying dan mengoptimasi
konsentrasi surfaktan, ko-solven dan
minyak. Rasio dari surfaktan dan ko-
solven divariasi. Rasio minyak, surfaktan
dan ko-solven yang memberikan formasi
paling stabil dan daerah self-emulsifying
palingbesar adalah yang membutuhkan
volume titran paling sedikit32.
Gambar 4. Diagram Fase Pseudo-ternary9
54
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
c. Tahap Formulasi dan Kontrol Kualitas
SMEDDS EKJP
SMEDDS dipersiapkan untuk
masing-masing formula dengan
membuat variasi rasio minyak yang
terpilih dan campuran surfaktan dan ko-
solven dengan rasio tertentu. EKJP
ditimbang dalam vial dan dicampur
dengan diaduk serta divortex hingga
campuran yang terbentuk homogen.
Formula yang didapat kemudian
dianalisis ukuran droplet, self-
emulsification, dan pengendapannya.
2.9. Prospek dan Dampak Universal Pengembangan SMEDDS EKJP sebagai Fitofarmaka
Jeruk purut merupakan rempah-rempah
yang biasa digunakan sebagai pelengkap bumbu
dapur rumah tangga, bagian dari jeruk purut yang
umum digunakan adalah buah dan daunnya,
namun masih jarang dijumpai aplikasi terhadap
kulitnya, padahal kulit jeruk purut memiliki potensi
yang sangat besar. Melihat potensi dari kulit
jeruk purut, maka dapat dijadikan landasan
dalam pembuatan ekstrak kulit jeruk purut
sebagai agen ko-kemoterapi terhadap
penggunaan Doxorubicin. Diperlukan suatu
inovasi untuk mewujudkan gagasan tersebut
dengan pembuatan suatu sediaan yang dapat
mempermudah penggunaan agen ko-kemoterapi
pada pasien kanker.
Sediaan SMEDDS EKJP memodifikasi
pengecilan droplet emulsi ekstrak jeruk purut
sebagai komponen zat aktifnya dan membentuk
self-emulsi secara spontan di dalam
gastrointestinal dapat menjadi trobosan terbaru
dalam dunia kefarmasian. Hal ini dikarenakan
sistem penghantarannya secara sistemik, dan
absorbsi obat yang lebih baik karena ukuran
partikel lebih kecil. Oleh karena itu, efikasi yang
didapat lebih maksimal dan akseptabilitasnya
lebih tinggi karena dapat diaplikasikan oleh
penderita kanker secara mandiri, fleksibel, dan
tidak disertai rasa nyeri.
Zat aktif dapat terlarut lebih mudah,
absorsi dan efikasi meningkat, maka diharapkan
dengan kadar kecil dapat diperoleh khasiat yang
memenuhi. Dalam sekali ekstraksi dapat
diproduksi produk dengan jumlah yang banyak
sehingga obat ini dapat dijangkau oleh kalangan
menengah kebawah. Namun dalam hal ini tidak
luput peran dari pemerintah, petani, pengusaha
dan para akademis. Pihak-pihak tersebut
memiliki andil masing-masing. Petani akan
menghasilkan dan memperbanyak tanaman jeruk
purut yang berpotensi. Sedangkan akademisi
sebagai pihak peneliti dan pemberi kisaran nilai
awal terhadap produk jadi. Pemerintah dan
pengusaha berperan sebagai penyokong dana,
mengingat serangkaian riset produk berbasis
herbal untuk dapat di-release secara legal di
masyarakat membutuhkan dana dalam jumlah
besar. Namun timbal balik ekonomi yang
dijanjikan tidak sedikit. Produk ini mempunyai
potensi dan keuntungan yang menjanjikan.
Karena bahan baku yakni jeruk purut mudah
diperoleh dengan harga terjangkau. Adanya
penelitian yang telah membuktikan khasiat EKJP
sebagai agen ko-kemoterapi doxorubicin,
membuka peluang EKJP untuk dikembangkan
menjadi fitofarmaka di Indonesia. Dengan begitu,
perkembangan obat herbal di Indonesia dapat
semakin maju dan beragam. Produk ini pun
dapat mengangkat nilai ekonomi dan nilai
manfaat dari kulit jeruk purut.
55 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
3. SIMPULAN Kulit jeruk purut berpotensi sebagai agen
ko-kemoterapi doxorubicin berbasis fitofarmaka
yang mengandung naringin dan hisperidin yang
berpotensi sebagai kardioprotektor,
hepatoprotektor dan imunomodulator. Teknologi
yang digunakan adalah SMEDDS dengan prinsip
terjadinya emulsi secara spontan ketika kontak
dnegan cairan gastrointestinal.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Frias M.A., Lang U., Gerber-Wicht C.,
James R.W., 2009, Native and reconstituted
HDL protect cardiomyocytes from
doxorubicin-induced apoptosis, Cardiovasc
Res, Aug 21. [2] Simůnek, T., Stérba, M., Popelová, O.,
Adamcová, M., Hrdina, R., 2009, Gersl V.
Anthracycline-induced cardiotoxicity:
overview of studies examining the roles of
oxidative stress and free cellular iron,
Pharmacol Rep, 61(1): 154-171. [3] Sharma, G., Tyagi, A.K., Singh, R.P., Chan,
D.C.F., and Agarwal, R., 2004, Synergistic
anti-cancer effect of grape seed extract and
conventional cytotoxic agent doxorubicin
against human breast carcinoma cells,
Breast Cancer Reasearch and Treatment,
85, 1-12.
[4] Bisset, N.G., 1994, Herbal Drug and
Phytopharmaseuticals, Medpharm Scientific
Publishers, Tokyo, 151-152. [5] Putri, H., Standie N., Yonika A.L., Nindi W.,
and Adam H., 2013, Cardioprotective and
Hepatoprotective Effects of Citrus hystrix
Peels Extract on Rats Models, Asian Pacific
Journal of Tropical Biomedicine, 3(5): 371–
375. [6] Putri, H., Standie, N., Saktiningtyas, I.A.,
2011, Potensi Kulit Jeruk Purut (Citrus
hystrix D.C.) Sebagai Agen Imunomodulator
yang Prospektif pada Penekanan Efek
Imunosupresi Kemoterapi, Jurnal Saintifika
Universitas Gadjah Mada, III(2): 2011). [7] Jayaraman J, Namasivayam N., Naringenin
modulates circulatory lipid peroxidation, anti-
oxidant status and hepatic alcohol
metabolizing enzymes in rats with ethanol
induced liver injury, Fundam Clin Pharmacol
2011, 25(6): 682-689. [8] Selvaraj P, Pugalendi KV, Hesperidin, a
flavanone glycoside, on lipid peroxidation
and antioxidant status in experimental
myocardial ischemic rats. Redox Rep 2010,
15(5): 217-223.
[9] Sudheer, P., Nishanth, K.M., Satish, P.,
Uma S.MS., & Thakur R.S., 2012,
Approaches to development of solid- self
micron emulsifying drug delivery system:
formulation techniques and dosage forms –
a review, Asian Journal of Pharmacy and
Life Science, Vol. 2 (2) ISSN 2231 – 4423.
[10] Solanki, S.S., Brajesh Sarkar, and Rakesh
Kumar Dhanwani, 2012, Microemulsion
Drug Delivery System: For Bioavailability
Enhancement of Ampelopsin, ISRN
Pharmaceutics, Volume 2012.
[11] Joensuu, H, 2008, Systemic Chemoterapy
for Cancer: From Weapon ti Treatment.
Lancet Oncol, 9 (3): 304.
[12] Zhang, Xiao-Yu, Li, Wen-Guang, Wu, Yong-
Jie, and Gao, Ming-Tang, 2005,
Amelioration of Doxorubicin-Induced
Myocardial Oxidative Stress and
Immuosuppression by Grape Seed
Proanthocyanidins in Tumour-bearing Mice,
Journal of Pharmacy and Pharmacology,
Pharmaceutical Press, Vol. 57, No. 8, 1043-
1051.
56
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[13] Childs, A.C., Phaneuf, S.L., Dirks, A.J.,
Phillips, T., and Leeuwenburgh, 2002,
Doxorubicin Treatment in Vivo Causes
Cytochrome c Release and Cardiomyocyte
Apoptosis, As Well As Increased
Mitochondrial Efficiency, Superoxide
Dismutase Activity, and Bcl-2:Bax Ratio,
Cancer Research, 62:4592-4598.
[14] Minotti, G., Menna, P., Salvatorelli, E.,
Cairo,G., and Gianni, L., 2004,
Anthracyclins: Molecular Advances and
Pharmacologic Developments in Antitumor
Activity and Cardiotoxicity. Pharmacol Rev.,
56:185-228.
[15] Chen, Yun., Poe, Bob., and Eder, Angie.,
2006, Doxorubicin Content in Acidic
Organelles, Mitochondria Harvesting
Doxorubicin Metabolism in Liposomal
Delivery Systems, Organelle Research
Group University of Minnesota.
[16] Han, X., Pan, J., Ren, D., Cheng, Y., Fan,
P., and Lou, H., 2008, Naringin-7-O-
glucoside protects against doxorubicin-
induced toxicity in H9c2 cardiomyocytes by
induction of endogenous antioxidant
enzymes, Food and Chemical Toxicology,
46:3140-3146.
[17] Chularojmontri, L, Wattanapitayakul, S.k.,
Herunsalee, A., Charuchongkolwongse, S.,
Niumsakul, S., Srichairat, S., 2005,
Antioxidative and cardioprotective effects of
Phyllanthus urinaria L, on doxorubicin-
induced cardiotoxicity, Biol Pharm Bull. 28
(7): 1165-71.
[18] Erdelen, W.R., Adimihardja, K.,
Moesdarsono, H., and Sidik, 1999,
Biodiversity, Traditional Medicine and the
Sustainable Use of Indigenous Medicinal
Plants in Indonesia. Indigenous knowledge
and development monitor, 7(3):3-6.
[19] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 2005, Kriteria
dan Tata Laksana Pendaftaran Obat
Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka, No.HK 00.05.41.1384, Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
[20] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan Republik Indonesia, 2000,
Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat
Tradisional, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
[21] Kawaguchi K, Kikuchi S, Hasegawa H, et
al,1999, Suppressionof lipopolysaccharide-
induced tumor necrosis factor-release and
liver injury in mice by naringin. Eur J Phar-
macol 1999;368:245–50.
[22] Tirkey, N., Pilkhwal, S., Kuhad, A., &
Chopra, K., 2005, Hesperidin, a citrus
bioflavonoid, decreases the oxidative stress
produced by carbon tetrachloride in rat liver
and kidney, BMC pharmacology, 5, 2. doi:
10.1186/1471-2210-5-2.
[23] Raheem, I.T., Abdel-Ghany, A.A., 2009,
Hesperidin alleviates doxorubicin-induced
cardiotoxicity in rats, J Egypt Natl Canc Inst,
21(2): 175-184.
[24] Choi, Soo-Youn, Hee-Chul Ko, Soo-Youn
Ko, Joon-Ho Hwang, Ji-Gweon Park, Shin-
Hae Kang, Sang-Hun Han, Su-Hyun Yun,
and Se-Jae Kim, 2007, Correlation between
Flavonoid Content and the NO Production
Inhibitory Activity of Peel Extracts from
Various Citrus Fruits, Biol. Pharm. Bull.,
30(4): 772—778.
[25] Kommuru T. R., Gurley B., Khan M. A., and
Reddy I. K., 2012, Selfemulsifying drug
delivery systems (SEDDS) of coenzyme
Q10: formulation development and
bioavailability assessment, Int. J. Pharm,
233.246.
57 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[26] Wakerly, M.G., et al., 1986,
Self‐emulsification of veg: oil‐non‐ionic
surfactant mixtures, ACS symp. Ser. 311,
242‐255.
[27] Groves MJ, Degalindez DA, 1976, The
self‐emulsifying action of mixed surfactants
in oil, Acta Pharm Suec, 13, 361‐ 372.
[28] McClintic JR, 1976, Physiology of the
Human Body, 2nd Edition, Wiley, New York,
189.
[29] Soucek, P., Kondrova, E., Hermanek, J.,
Stopka, P., Boumendjel, A., Ueng, Y.F.,
2011, New model system for testing effects
of flavonoids on doxorubicin-related
formation of hydroxyl radicals. Anticancer
Drugs, 22(2): 176-184.
[30] Arafa, H.M., Abd-Ellah, M.F., Hafez, H.F.,
2005, Abatement by naringenin of
doxorubicin-induced cardiac toxicity in rats.
J Egpt Cancer Inst, 17(4): 291-300.
[31] Prince L.M., 1974, Microemulsions, Marcel
Dekker, New York.
[32] Mejakrusul, C., Yang, Y., Leed, M. G. D.,
Sadgrove, M. P., Jay, M., Sripanidkulchai,
B., 2013, Novel formulation strategies for
enhancing oral delivery of methoxyflavones
in Kaempferia parviflora by SMEDDS or
complexation with 2-hydroxypropyl-β-
cyclodextrin, International Journal of
Pharmaceutics, 445 (2013), 1-11.
[33] Cui, J., Yu, B., Zhao, Y., Zhu, W., Lou, H.,
Zhai, G., 2009. Enhancement of oral
absorption of curcumin by self-
microemulsifying drug delivery systems. Int.
J. Pharm. 371, 148–155.
58
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial
ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau resistensi insulin pada jaringan yang dituju. Terapi diabetes mellitus yang dilakukan selama ini menggunakan insulin atau obat hipoglikemik oral (OHO). Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendorong pengembangan bahan alam menjadi sumber bahan baku untuk terapi DM. Sirih merah telah digunakan secara empiris untuk pengobatan DM. Penelitian efek antidiabetes dari ekstrak sirih merah telah dilakukan secara in vivo terhadap tikus dan mencit. Uji toksisitas terhadap ekstrak air sirih merah telah dilakukan dan terbukti aman. Sirih merah mengandung flavonoid yang dapat menurunkan kadar gula darah dengan menghambat enzim aldose reduktase seperti α-amilase dan α–glukosidase, menghambat oksidasi asam lemak, dan menangkap radikal bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan yang memicu komplikasi diabetes. Untuk mengekstraksi flavonoid tersebut menggunakan metode ekstraksi air seperti infundansi. Ekstrak air yang dihasilkan distandarisasi sehingga dapat diolah lebih lanjut menjadi sirup. Sirup ekstrak air sirih merah ini dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka. Kata kunci: sirih merah, diabetes mellitus, ekstrak air, sirup, fitofarmaka ABSTRACT
Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disorder of carbohydrate , protein , and fat as a result of insufficient insulin secretion or insulin resistance in target tissues . Therapy for diabetes mellitus was done by using insulin or oral hypoglycemic agents (OHO) . World Health Organization (WHO) to encourage the development of natural material into a source of raw materials for the treatment of diabetes . Red betel has been used empirically for the treatment of diabetes . Research antidiabetic effect of the extract of red betel has been done in vivo on rats and mice . Toxicity tests on water extracts of red betel has been done and proven safe . Red betel contains flavonoids that can lower blood sugar levels by inhibiting the enzyme aldose reductase such as α - amylase and α - glucosidase , inhibiting fatty acid oxidation , and capturing free radicals thus preventing cell and tissue damage that triggers complications of diabetes . To extract the flavonoids extraction using water as infundansi . The resulting aqueous extract is standardized so that it can be further processed into syrup . Water extract of red betel syrup can be developed into fitofarmaka . Keywords: red betel, diabetes mellitus, water extract, phytopharmaca
SIRUP EKSTRAK AIR SIRIH MERAH (Piper crocatum) : INOVASI BARU OBAT DIABETES BERBASIS HERBAL Fera Amelia, Ellsya Angeline R.*, Erni Wijayanti Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada *Corresponding author’s email : [email protected]
59 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1. PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan
gangguan metabolisme karbohidrat, protein,
lemak akibat ketidakcukupan sekresi insulin atau
resistensi insulin pada jaringan yang dituju
(Dorland, 2002). Pengobatan DM biasanya
dilakukan dengan pemberian Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) dan insulin. OHO yang sering
digunakan masyarakat adalah glibenklamid dari
golongan sulfonilurea yang bekerja merangsang
insulin. Selain obat tersebut, penderita DM
menggunakan obat tradisional yang berasal dari
tanaman obat. Masyarakat menggunakan obat
tradisional karena dianggap mempunyai efek
samping yang lebih ringan. Komisi ahli diabetes
WHO menghimbau pengembangan obat
diabetes berbasis bahan alam.
Indonesia merupakan negara
megabiodiversity dengan hutan tropis yang
terbesar kedua di dunia. Namun, pemanfaatan
potensi biodiversitas di Indonesia masih kurang
dari 5% padahal tumbuhan merupakan sumber
kimia hayati (chemical resources) yang dapat
dikembangkan menjadi sumber bahan baku
senyawa aktif obat yang dapat diperbarui
(Achmad, 2011). Salah satu bahan alami yang
dapat digunakan sebagai obat tradisional DM
adalah daun sirih merah (Piper crocatum) yang
telah digunakan secara empiris di masyarakat.
Penelitian preklinis terhadap ekstrak air
daun sirih merah secara in vitro dan in vivo telah
dilakukan di Indonesia. Hasil uji preklinis
menunjukkan bahwa infusa sirih merah dapat
menurunkan kadar glukosa darah. Selain itu,
infusa sirih merah tidak bersifat toksik sehingga
aman bila dikonsumsi dalam jangka waktu yang
lama (Safitri dkk, 2012b). Senyawa aktif yang
memiliki efek hipoglikemik dalam daun sirih
merah yakni alkaloid, saponin, tanin dan
flavonoid (Sudewo, 2005). Flavonoid dapat
menangkap radikal bebas dan mengurangi stres
oksidatif sehingga dapat memperbaiki fungsi sel
beta (Safithri, 2005).
Flavonoid merupakan salah satu
senyawa bioaktif dari bahan alam yang sedang
dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan dunia
untuk menjadi obat diabetes. Dalam
menurunkan gula darah, flavonoid memiliki
banyak mekanisme aksi, antara lain
menghambat aktivitas enzim α-glukosidase,
menghambat oksidasi asam lemak, dan
menangkap radikal bebas. Oleh karena itu, sirih
merah memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan menjadi fitofarmaka apalagi di
Indonesia belum ada fitofarmaka untuk penyakit
diabetes.
Gagasan yang diajukan adalah
mengembangkan ekstrak air sirih merah menjadi
sediaan antidiabetes oral yang inovatif dalam
bentuk sirup dengan hidroksi metilselulosa
(CMC) sebagai pengental dan sorbitol sebagai
pemanis. Hidroksi metilselulosa merupakan
polisakarida sehingga rasanya manis namun
tidak dapat dihidrolisis menjadi glukosa sehingga
tidak akan meningkatkan kadar gula darah pada
penderita diabetes mellitus. Sediaan sirup dipilih
karena yang digunakan adalah ekstrak air.
Keunggulan sediaan sirup ini adalah
pembuatannya mudah dan biaya produksinya
rendah sehingga diharapkan sirup ekstrak air
sirih merah ini bisa diproduksi oleh industri
farmasi lokal dalam jumlah banyak dengan harga
terjangkau sehingga dapat dibeli oleh
masyarakat.
2. PEMBAHASAN 2.1. Mekanisme Aksi Flavonoid sebagai
Antidiabetes Sirih merah telah digunakan masyarakat
Indonesia sebagai obat tradisional yang secara
60
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
empiris memiliki khasiat sebagai obat diabetes.
Senyawa aktif yang memiliki efek hipoglikemik
dalam daun sirih merah yakni alkaloid, saponin,
tanin dan flavonoid (Sudewo, 2005). Dalam
berbagai penelitian terkini, molekul kecil seperti
flavonoid mampu menghambat aktivitas enzim α-
glukosidase (Lo Piparo dkk., 2008). Enzim aldose
reduktase seperti α-glukosidase berfungsi untuk
mengkatalisis oksidasi β-D-glukosa menjadi
asam glukonat dengan menggunakan molekul
oksigen sebagai akseptor elektron, mengkatalisis
hidrolisis residu glukosa yang berikatan α-1,4
pada berbagai substrat untuk menghasilkan α-D-
glukosa, dan menghidrolisis ikatan α-glikosidik
pada oligosakarida dan α-D-glikosida (Agustanti,
2008; Hartika, 2009 cit Sou dkk, 2000).
Aktivitas flavonoid sebagai
antihiperglikemia telah diteliti banyak orang dan
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah. Flavonoid
dalam sirih merah sebagai senyawa inhibitor α-
glukosidase dapat menghambat oksidasi β-D-
glukosa menjadi asam glukonat, mengurangi
pencernaan dan absorpsi dari karbohidrat
kompleks, menghambat enzim α-amilase
pankreas dalam menghidrolisis polisakarida di
lumen usus halus, dan mampu menstimulasi
penangkapan ion Ca2+ sehingga efektif untuk
penderita diabetes melitus tipe II yang tidak
tergantung pada insulin (Sharififar dkk, 2009;
Patra dan Chua, 2010).
2.2. Pengembangan Sirih Merah Menjadi Fitofarmaka
Sirih merah berpotensi untuk
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Fitofarmaka
adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji preklinik dan uji klinik, bahan
baku, dan produk jadinya telah distandarisasi
(BPOM, 2005). Pengembangan sirih merah
menjadi fitofarmaka harus melalui uji preklinik (uji
toksisitas dan uji farmakodinamik), standarisasi
ekstrak (penentuan identitas dan pembuatan
sediaan terstandar), dan uji klinik (Pramono dkk,
2000).
Uji preklinis dilakukan secara in vitro dan
in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas
dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan
dan cara pemberian pada hewan coba
disesuaikan dengan rencana pemberian pada
manusia Melalui penelitian in vivo, infusa daun
sirih merah dengan dosis 0,54g/kgBB, 1,08
g/kgBB, dan 2,16 g/kgBB dapat menurunkan
kadar gula darah tikus yang diinduksi aloksan
(Dika, 2011). Air rebusan sirih merah pada tikus
yang diinduksi aloksan dengan berbagai dosis
dari 3,33 g/kgBB hingga 20 g/kgBB dapat mampu
menurunkan kadar gula darah sebesar 10-38%
dan mencegah penurunan berat badan sebesar
5-52% (Safitri dkk, 2012a). Menurut Pedoman
Pelaksanaan Obat Tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan
RI, hewan coba yang digunakan untuk
sementara satu spesies tikus atau mencit
sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Selain tikus sebagai model DM, telah
dilakukan penelitian in vivo terhadap mencit
model diabetes mellitus dengan infusa daun sirih
merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
infusa daun sirih merah dengan konsentrasi
0,078 g/kgBB, 0,156 g/kgBB, dan 0,312g/kgBB
dapat menurunkan kadar gula darah pada mencit
sebesar 32,87 %, 17,20 %, dan 31,33 %
(Anindyagari, 2009).
Pengujian toksisitas akut air rebusan
daun sirih merah menunjukkan bahwa selama 24
jam pertama sampai 7 hari masa percobaan tidak
ada hewan yang mati baik untuk kelompok dosis
0, 5, 10, maupun 20 g/kg BB. Dengan tidak
adanya kematian tikus putih pada semua dosis
61 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
yang diujikan, maka dapat dikatakan bahwa
rebusan sirih merah tidak bersifat toksik (Safitri
dkk, 2012). Uji ketoksikan ekstrak air sirih merah
tersebut telah dilakukan terhadap ginjal, sel
darah, dan liver. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara
histologi ginjal dan liver antara tikus kontrol
(tanpa perlakuan) dengan tikus yang diberi
perlakuan. Selain itu, tidak ada perbedaan
signifikan juga kadar kreatinin, SGPT, dan SGOT
pada kedua kelompok tikus tersebut sehingga
dapat disimpulkan bahwa ekstrak air daun sirih
merah tidak hepatotoksik, nefrotoksik, dan
hematotoksik (Safithri, 2012b).
Sebelum menjadi fitofarmaka, ekstrak
harus distandarisasi terlebih dahulu. Setelah
dibuat ekstrak air lalu dilakukan standarisasi
ekstrak. Standarisasi ekstrak dilakukan sebagai
salah satu langkah dalam pengembangan
ekstrak air sirih merah ini sebagai fitofarmaka.
Standarisasi ekstrak dilakukan dengan parameter
spesifik dan parameter non spesifik.. Beberapa
parameter non spesifik daun sirih merah telah
diteliti. Analisis proksimat terhadap daun sirih
merah telah dilaporkan. Analisis ini bertujuan
untuk mengetahui kandungan apa saja yang
terdapat dalam daun sirih merah. Hasil analisis
kadar air menunjukkan bahwa proses
pengeringan dengan oven mampu kadar air
sampai dibawah 10% (Safitri dkk, 2012). Dengan
demikian, daun sirih merah dapat aman disimpan
sebelum digunakan untuk ekstraksi karena kadar
air di bawah 10% dapat mencegah terjadinya
proses enzimatik dan kerusakan oleh mikroba
seperti bakteri, kapang, dan khamir (Manoi
2006).
Dari berbagai hasil penelitian preklinik aktivitas
infus sirih merah secara in vivo dan in vitro, maka
ekstrak air daun sirih merah memiliki aktivitas
antidiabetes. Ditinjau dari uji toksisitasnya, daun
sirih merah ini dapat dikatakan aman bila
dikonsumsi oleh manusia sehingga daun sirih
merah ini dapat dibuat dalam bentuk ekstrak
terstandar yang kemudian diformulasikan dalam
bentuk sediaan obat selanjutnya dilakukan uji
klinik ke manusia.
2.3. Pembuatan Sirup Ekstrak Air Sirih Merah
Tanaman sirih merah siap dipanen
setelah berumur 4 bulan dengan daun yang
relatif sudah lebar dengan panjang 16 sampai 20
cm. Sebaiknya daun yang dipetik berumur sudah
cukup tua karena pada umur tersebut kadar zat
aktifnya tinggi dengan aroma daun tajam dan
rasanya yang pahit (Werdhany dkk, 2008).
Panen dapat dilakukan seminggu sekali.
Semakin sering daun dipanen, semakin cepat
tunas baru tumbuh. Pemetikan dimulai dari
bagian bawah atau sekitar 60 cm dari permukaan
tanah menuju ke atas supaya meminimalkan bila
terdapat kotoran atau debu yang menempel.
Pemetikan sebaiknya dilakukan pada pagi hari
sampai pukul 11.00 supaya masih dapat
dilakukan proses pengeringan (Werdhany dkk,
2008).
Daun yang telah dipetik kemudian disortir
untuk dipilih daun yang bersih, segar, tebal, dan
mengkilap. Daun tersebut kemudian direndam
dalam air selama 15-30 menit untuk
membersihkan kotoran dan debu yang
menempel kemudian dibilas hingga bersih dan
ditiriskan. Selanjutnya daun dirajang dengan
pisau yang bersih dan tajam dengan lebar irisan
sekitar 1 cm. Hasil rajangan diletakkan di atas
tampah yang diberi alas kertas dan dikering-
anginkan selama 3-4 hari sampai kadar airnya di
bawah 12 %. Daun sirih yang telah kering
dimasukkan ke kantong plastik tebal transparan
yang diberi silika gel lalu disimpan di tempat yang
bersih dan tidak lembab sehingga kualitas sirih
62
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
merah tetap terjaga hingga setahun (Werdhany
dkk, 2008).
Ekstraksi merupakan suatu proses yang
secara selektif mengambil zat terlarut yang
terkandung dalam suatu campuran dengan
bantuan pelarut (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah
lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang
digunakan (Khopkar, 2003). Pertimbangan yang
perlu diperhatikan dalam memilih suatu pelarut
adalah kepolaran pelarut tersebut karena pelarut
polar akan melarutkan senyawa polar, sebaliknya
pelarut non polar akan melarutkan senyawa non
polar. Pemilihan pelarut dengan tingkat
kepolaran tertentu diperlukan untuk
meningkatkan efisiensi dalam mengekstraksi
flavonoid, alkaloid, dan tanin dari sirih merah.
Golongan flavonoid yang polar seperti flavonol,
isoflavon, antosianin, dan flavon dapat diekstrak
menggunakan kloroform, diklorometan, dan
dietilasetat, sedangkan golongan flavonoid yang
lebih polar seperti flavonoid O-glikosida dan C-
glikosida dapat diekstraksi dengan pelarut
alkohol atau air (Andersen dan Markham, 2006).
Rutin dan kuersetin yang telah diteliti memiliki
aktivitas antihiperglikemik termasuk dalam
golongan flavonoid yang polar sehingga sirih
merah dapat diekstraksi dengan air. Air sangat
murah, mudah didapat, dan tidak toksik sehingga
menguntungkan jika digunakan dalam skala
industri (Khopkar, 2003).
Metode ekstraksi yang digunakan harus
mempertimbangkan sifat dari senyawa-aktif dan
senyawa-senyawa lain yang terkandung dalam
simplisia tersebut (Voigt, 1995). Ada beberapa
macam metode ekstraksi, yaitu maserasi,
perkolasi, infundansi, dan soxletasi. Penelitian
preklinis yang telah dilakukan menggunakan
metode infundansi. Infundansi adalah metode
penyarian dengan cara menyari simplisia dalam
air pada suhu 90 °C selama 15 menit. Infundansi
dilakukan untuk menyari senyawa aktif yang larut
dalam air. Infundansi menggunakan panci
khusus yang disebut dengan panci infus. Panci
infus biasanya terdiri dari dua susun yaitu panci
bagian atas berisi bahan dan aquadest
sedangkan panci bagian bawah berisi penangas
air sehingga rebusan simplisia tidak langsung
berhubungan dengan sumber api.
Ekstraksi yang dilakukan didasarkan
pada cara infundansi yaitu dengan menimbang
sejumlah sirih merah kemudian dimasukkan ke
dalam panci infus atas yang berisi sejumlah
volume air. Panci infus tersebut dipanaskan di
atas kompor. Setelah air mencapai 90°C lalu
dihitung sampai menit ke-15, kemudian diserkai
selagi panas dengan kain flanel. Ekstrak air yang
didapat dari infundansi dipekatkan dengan
evaporator vakum untuk mendapatkan
konsentrasi tertentu. Namun, ini dapat
disesuaikan dengan kapasitas dari panci infus itu
sendiri.
Sirup ekstrak air sirih merah ini dibuat
dengan bahan tambahan hidroksi metil selulosa
(CMC) sebagai pengental, sorbitol sebagai
pemanis, dan metil paraben sebagai antibakteri.
Pembuatan sirup dilakukan dengan melarutkan
sejumlah serbuk dalam air hingga konsentrasinya
sebanyak 3%. Larutan CMC dicampur dengan
konsentrat ekstrak dan sorbitol dengan
perbandingan konsentrat ekstrak, larutan CMC
dan gula sebanyak 8:1,5:0,5. Setelah itu campur
hingga homogen menggunakan mixer dengan
kecepatan rendah. Setelah homogen, metil
paraben yang telah dilarutkan dalam air
dimasukkan, diaduk homogen, kemudian sirup
disaring. Sirup yang sudah jernih kemudian
dimasukkan ke dalam botol kemasan. Semuanya
dapat dilakukan secara otomatisasi dengan
mesin dalam skala industri.
63 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
2.4. Prospek Sirup Sirih Merah sebagai Fitofarmaka
Diabetes merupakan salah satu penyakit
yang menjadi perhatian dunia. Pengembangan
ekstrak air sirih merah sebagai fitofarmaka ini
memiliki peluang yang besar karena diabetes
merupakan penyakit yang jumlah penderitanya
banyak di Indonesia yaitu sekitar tujuh juta orang.
Hal ini sesuai dengan persyaratan obat
tradisional yang dikembangkan menjadi
fitofarmaka yaitu yang diharapkan berkhasiat
untuk penyakit yang menduduki urutan atas
dalam angka kejadiannya dan berdasarkan
pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
(Depkes, 2000).
Fitofarmaka dari sirih merah ini
diharapkan mampu menjadi pengobatan dengan
efek samping minimal. Mengingat, masyarakat
Indonesia bahkan masyarakat dunia cenderung
mengikuti gerakan back to nature atau gerakan
kembali ke alam. Tentu saja gagasan ini apabila
diimplementasikan akan memiliki peluang pasar
yang besar. Pemanfaatan daun sirih merah
sebagai terapi antidiabetes merupakan salah
satu bentuk pengembangan produk herbal
dengan memanfaatkan kekayaan lokal sehingga
mendukung kelestariannya. Sediaan sirup
ekstrak air sirih merah ini merupakan sebuah
inovasi baru karena sediaan obat untuk diabetes
biasanya berbentuk tablet atau kapsul. Dengan
adanya fitofarmaka sirup sirih merah ini
diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan
baru untuk petani lokal sirih merah dan
masyarakat sehingga dapat menambah devisa
negara.
3. SIMPULAN 3.1. Mekanisme aksi flavonoid sebagai
senyawa aktif adalah dapat menghambat
oksidasi β-D-glukosa menjadi asam
glukonat, mengurangi pencernaan dan
absorpsi dari karbohidrat kompleks,
menghambat enzim α-amilase pankreas
dalam menghidrolisis polisakarida di lumen
usus halus, dan mampu menstimulasi
penangkapan ion Ca2+, dan meningkatkan
pelepasan insulin ke dalam darah.
3.2. Flavonoid diabsorbsi dalam bentuk
aglikon bebas atau bentuk glikosidanya
melalui mekanisme difusi pasif maupun
transport aktif yang dibantu oleh enzim ß-
glukosidase sitosolik dan enzim lactase
phlorizin hydrolase. Flavonoid akan
dimetabolisme dengan mekanisme
metiasi, sulfasi, dan glukuronidasi.
Flavonoid yang sudah dimetabolisme akan
diekskresikan menjadi feses dan urin.
3.3. Langkah implementasi pelaksanaan
gagasan meliputi berbagai tahapan utama
yaitu standarisasi ekstrak sirih merah,
penelitian dan industrialisasi. Sirih merah
dapat dikembangkan menjadi fitofarmaka
setelah dilakukan standarisasi ekstrak, uji
preklinik (farmakodinamik dan toksisitas),
dan uji klinik fase 1,2,3, dan 4.
4. SARAN Masih perlu dilakukan penelitian tentang
standarisasi ekstrak air sirih merah dan uji
preklinis lebih lengkap lagi sehingga memenuhi
syarat untuk uji klinik kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA [1] Achmad S.A., E.H. Hakim L., Makmur D.,
Mujahidin Y.M., Syah. 2001. Sejumlah
Senyawa Kimia Baru dengan Kerangka
Berlandaskan 3-Isoprenil-Flavon dari
Tumbuh-Tumbuhan Moraceae Hutan
Tropika Indonesia dan
64
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Kegunaannya.Makalah Seminar Kimia
Indonesia Wilayah Barat. Pekanbaru :
Universitas Riau.
[2] Agoes, G. 2007. Teknologi Bahan Alam.
Bandung : Penerbit Institut Teknologi
Bandung.
[3] Agustanti, L. 2008. Potensi Daun Sirih
Merah (Piper crocatum) sebagai Aktivator
Enzim Glukosa Oksidase. Bogor : Institut
Pertanian Bogor.
[4] Alfarabi, M. 2010. Kajian Antidiabetagonik
Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum)
In Vitro. Bogor : Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor.
[5] Andersen M., Markam R. 2006. Flavonoid :
Chemistry, Biochemistry, and Applications.
Prancis : CRC Press Taylor & Francis
Group.
[6] Anindyagari. 2009. Efek Infusa Daun Sirih
Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav)
terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah
Mencit Model Diabetes Melllitus. Bandung :
Universitas Kristen Maranatha.
[7] Anonim, 1978, Farmakope Indonesia Edisi
II, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
[8] Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press
[9] Backer, C.A, Bakhuizen van den Brink,
1963, Flora of Java (Spermatophytes Only),
Vol. I, Wolter-Noordhoff, NVP., Groningen.
Bowman BA and Russel RM. 2001. Present
Knowledge in Nutrition. ED ke-8. ILSI,
Washingthon. DC.
[10] Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). 2005. Kriteria dan Tata Laksana
Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal
Terstandar dan Fitofarmaka. Jakarta :
Badan Pengawas Obat dan Makanan
[11] Boyle JP, Honeycutt AA, Narayan KM,
Hoergoer TJ, Geiss LS, Chen H, and
Thompson TJ. 2001. Projection of diabetes
burden through 2050: Impact of changing
demography and disease prevalence in the
U.S. Diabetes Care 24 : 1936-1940.
[12] Brahmachari G. 2011. Bioflavonoid with
promising anti-diabetic potentials : A critical
survey. Oppurtinity and Scope of Natural
Products in Medicinal Chemistry 2012: 187-
212
[13] Cazarolli, L.H., Zanatta, L., Alberton, E.H.,
Figuereido, M.S.R.B., Folador, P., Damazio,
R.G., Pizzolatti, M.G., Silva, F.R.M.B.
Flavonoids : Prospective drug candidates.
Mini-Rev. Med. Chem. 2008, 8, 1429-1440.
[14] Ceriello A. 2003. New insights on oxidative
stress and diabetic complications may lead
to a “causal” antioxidant therapy. Diabetes
Care 26 : 1589–1596.
[15] Chandramohan G, Ignacimuthu S,
Pugalendi KV. 2008. A novel compound
from Casearia esculenta(Roxb.)root and its
effect on carbohydrate metabolism in
streptozotocin-daibetic rats. Eur J
Pharmacol 590: 437-443.
[16] Cushnie T.P.T, Lamb A.J.2005.
Antimicrobial activity of flavonoids.
International Journal Of Antimicrobial Agents
26: 343-356.
[17] Dalimartha. 2004. Tanaman Obat dan
Pengobatan Alternatif. Jakarta : Setia
Kawan.
[18] Day, A. J., Canada, F.J., Diaz, J.C., Kroon,
P.A., Mclauchan, R., Fauldas, C.B., Plumb,
G.W., Morgan, M.R., Williamson, G. 2000.
Dietary flavonoid and isoflavone glycosides
are hydrolysed by the lactase site of lactase
phlorizin hydrolase. FEBS Lett 468: 166-170
[19] Day, A.J., Gee, J.M., DuPont, M.S.,
Johnson, I.T., Williamson, G. Absorption of
quercetin-3-glucoside and quercetin-4’-
65 B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
glucoside in the rat small intestine : the role
of lactase phlorizin hydrolase and the
sodium-deependent glucose transporter.
Biochemical Pharmacology 65: 1199-1206
[20] Departemen Kesehatan RI, Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,
Direktoral Pengawasan Obat Tradisional
(Depkes). 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji
Klinik Obat Tradisional. Depkes. Jakarta.
[21] Departemen Kesehatan RI (Depkes). 2005.
Pharmaceutical Care untuk Penyakit
Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik dan Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2005.
Jakarta
[22] Dika. 2001. Uji Efek Hipoglikemik Infusa
Daun Sirih Merah (Piper crocatum) pada
Tikus Putih yang Telah Diinduksi Alloxan.
Jakarta : Universitas Pembangunan
Nasional Veteran.
[23] Dobretsov M, Romanovsky D, & Stimers JR.
2007. Early diabetic neuropathy: triggers
and mechanism. World J Gastroenterol 13 :
175-191.
[24] Dorland, Newman. 2002. Kamus
Kedokteran Dorland. Edisi 29,. Jakarta:EGC
[25] Hollman P.C.H., Buijsman M.N.C.P., Van
Gameren Y., Cnossen P.J., de Vries J.H.M.,
Katan MB. 1999. The sugar moiety is a
major determinant of the absorption of
dietary flavonoid glycosides in man. Free
Radic Res 31 : 569-573.
[26] Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia
Analitik. Jakarta: UI Press.Priyatmoko, 2008
[27] Lachman L. 1994. Teori dan Praktek
Farmasi Industri. Depok : UI Press, hal 797-
798, 831-834
[28] Lo Piparo E, Scheib H, Frei N, Williamson
G, Grigorov M, Chou CJ (2008) Flavonoids
for controlling starch digestion: structural
require-ments for inhibiting human α-
amylase. J Med Chem 51: 3555–3561.
[29] Manach, C., Scalbert, A., Morand, C.,
Remesy, C., Jimenez, L. Polyphenols : food
sources and bioavaibility. Am. J. Clin. Nutr
79:727-747
[30] Manoi F. 2006. Pengaruh cara pengeringan
terhadap mutu simplisia sambiloto. Bul Littro
17(1),1 – 5.
[31] Manoi, F. 2007. Sirih Merah Sebagai
Tanaman Multi Fungsi. Bogor : Balitro.
[32] Markham KR. 1988. Cara mengidentifikasi
Flavonoid. Padmawinata K. Penerjemah.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Terjemahan dari: Techniques of Flavonoid
Identification.
[33] Meloan CE. 1999. Chemical Separation.
New York : J Willey
[34] Mufidah. 2011. Aktivitas Antiaterosklerosis
Ekstrak Terstandar Klika Ongkea (Mezzetia
parviflora BECC) pada Tikus Wistar yang
Diberi Asupan Kolesterol : Kajian Efek
Antioksidan dan Antikolesterol terhadap
Penghambatan MCP-1 dan Disfungsi
Endotel. Makasar : Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin.
[35] Nemeth, K, Plumb, G.W., Berrin, J.G., Juge,
N., Jacob, R., Naim, H.Y., Williamson, G.,
Swallow, D.M., Kroon, P.A. 2003.
Deglycosylation by small intestinal epithelial
cell beta glucosidases is a critical step in the
absorption and metabolism of dietary
flavonoid glycisides in human. Eur. J. Nutr.,
2003, 42, 29-42
[36] Nijveldt RJ, van Nood E, van Hoorn DE,
Boelens PG, van Nor-ren K, van Leeuwen
PA . 2001. Flavonoids: a review of probable
mechanisms of action and potential
applications. Am J Clin Nutr 74: 418–425.
66
B I M F I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[37] Patra, J.C.and Chua, B.H. 2010. Artificial
neutral network-based drug design for
diabetes mellitus using flavonoids. Journal
of Computational Chemistry 32: 555-567.
[38] Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh
lendir daun jati Belanda terhadap berat
badan tikus jantan galur wistar. Warta
Tumbuhan Obat Indonesia 2000:6(2).
[39] Ryan. 2008. Sirih Merah Atasi Diabetes
Mellitus dan Tumor. Puspa Swara. Jakarta.
[40] Rohdiana D. 2001. Aktivitas Daya Tangkap
Radikal Polifenol dalam Daun Teh. Majalah
Farmasi Indonesia 12: 53-58.
[41] Safithri M & Fahma F. 2008. Potency of P.
crocatum decoction as an
antihyperglycemic. Hayati J Biosci, 15, 45-
48.
[42] Safithri, M., Fahma, F., dan Marlina, P.W.N.
2012a. Analisis Proksimat dan Toksisitas
Akut Ekstrak Daun Sirih Merahyang
Berpotensi sebagai Antidiabetes. Jurnal Gizi
dan Pangan, Maret 2012, 7(1): 43-48.
[43] Safitri M., Yasni S., Bintang M., Ranti A.S.
2012b. Toxicity Study of Antidiabetics
Functional Drink of Piper crocatum and
Cinnamomum burmanii. Hayati Journal of
Biosciences 19 : 31-36.
[44] Satyanarayana T., Katyayani, B.M., Hema,
L.E., Anjana, A.M., and Chinna EM. 2006.
Hypoglycemic and anti-hyperglycemic effect
of alcoholic extract of Euphorbia leucophylla
in normal and in alloxan induced diabetic
rats. Phacog Mag 2 : 244-255.
[45] Scalbert, A., Williamson, G. Dietary intake
and bioavaibility of polyhpenols. J. Nutr.,
2000, 130, 2073S-85S
[46] Sharififar, F., Dehghnudeh, G., and
Mirtajaldini, M. 2009. Major flavonoids with
antioxidant activity from Teucrium polium.
Food Chemistry 112: 885-888.
[47] International Diabetes Federation (IDF).
2012. International Diabetes Federation
Atlas 5th Edition. Diakses dari
www.idf.org/diabetesatlas
[48] Sou S et al. 2000. Novel α-Glukosidase
Inhibitors with a Tetrachloropthlamide
Skeleton. Bioorganic & Medicinal Chemistry
Letters10: 1081-1084. Tokyo: Institute of
Molecular and Cellular Biosciences. Di
dalam: Hartika, R.2009. Aktivitas Inhibisi α-
GlukosidaseEkstrak Senyawa Golongan
Flavonoid Buah Mahkota Dewa.Bogor :
Institut Pertanian Bogor.
[49] Sudewo, B. 2005. Basmi Penyakit dengan
Sirih Merah. Jakarta: PT. Agro Media
Pustaka
[50] Sudiarto. 1999. Sirih Merah Sangat Berguna
untuk Menyembuhkan Penyakit Akibat
Infeksi. Yogyakarta : Agrotrend
[51] Sugiharti NP. 2007. Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper crocatum)
[Thesis]. Bogor: Bogor Agricultural
University.
[52] Syamsul Eka Siswanto, Nugroho Agung
Endro, Pramono Suwijiyo. Aktivitas
Antidiabetes Kombinasi Ekstrak Terpurifikasi
Herba Sambiloto (Andrographis paniculata
(Burn F.) NESS.) dan Metformin pada Tikus
DM Tipe 2 Resisten Insulin. Majalah Obat
Tradisional 16 (3), 124-131, 2011
[53] Werdhany I.W., Marton A., Setyorini. 2008.
Sirih Merah. Yogyakarta : Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Yogyakarta
www.bimkes.org
Organized by:
IKATAN SENATMAHASISWA FARMASISELURUH INDONESIA
Supported by:
UNIVERSITASPADJADJARAN
DIREKTORATPENDIDIKAN TINGGI
Top Related