Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus Riul
[Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769)] Wistar Jantan
{Subacute Oral Toxicity Study of Hairy Fig Fruits (Ficus hispida L.f.) Filtrate in Male
Wistar Rats [Rattus norvegicus (Berkenhout, 1769)]}
Laksmindra Fitria1*, Lina Noor Na’ilah2, & Lisa Handayani2
1Laboratorium Fisiologi Hewan, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
2Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Jalan Teknika Selatan, Sekip Utara, Sleman, D.I. Yogyakarta 55281
*E-mail korespondensi: [email protected]
Memasukkan: Januari 2021, Diterima; Maret 2021
ABSTRACT Hairy Fig trees flourish in tropic regions, bearing abundant fruits all year round. Ethnobiological studies state
that the fruits have been used as food or traditional medicine. However, some references reported that
consuming the fruits cause dizziness, nausea, and vomiting. Therefore, we conducted this experiment to
provide information regarding the toxicity and safety of consuming the fruits. Procedure following OECD Oral
toxicity study of rodent was performed following the guide line of testing chemical No. 407. Repeated oral
toxicity study was conducted for 28 days with some modification whithout changing the guideline. Nine male
rats were selected as model to complement the toxicity study on male rats that had been done previously. Pure
filtrate of young or ripe fruits were administered orally 1 mL/individual/day for consecutive 28 days. Feeding
behavior and fecal conditions were recorded for qualitative data. Quantitative data consisted of body weight,
core temperature, hematology profile, and evaluation of liver, heart, and renal functions were collected on day
0, 7, 14 and 28. Results showed that oral administration of young or ripe hairy fig fruits filtrate on male Wistar
rats did not cause death or sublethal conditions as manifestation of clinical signs of toxicity. Both filtrates did
not reduce appetite and affected the digestive system, as well as did not harm the general health indicated by all
parameter’s values were maintained within normal range. It can be concluded that no-observed-adverse-effect-
level (NOAEL) of hairy fig fruits filtrate was found in a concentration of 100%.
Keywords: clinical biochemistry, Ficus hispida, hairy fig, hematology, subacute oral toxicity
ABSTRAK
Pohon luwingan tumbuh subur di kawasan tropis dan berbuah lebat sepanjang tahun. Studi etnobiologi
menyatakan bahwa buah ini telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan atau obat tradisional. Namun
demikian, beberapa pustaka menyatakan bahwa mengkonsumsi buah luwingan dapat menyebabkan pusing,
mual, dan muntah. Oleh karena itu kami melakukan percobaan ini untuk menyediakan informasi mengenai
toksisitas dan keamanan mengkonsumsi buah luwingan. Prosedur mengikuti Panduan Uji Bahan Kimia untuk
Studi Toksisitas Oral oleh OECD No. 407: Studi toksisitas oral dosis berulang selama 28 hari pada rodensia.
Beberapa modifikasi dilakukan untuk penyesuaian tanpa mengubah prinsip. Sembilan ekor tikus Wistar jantan
dipilih sebagai model untuk melengkapi data toksisitas pada tikus riul galur Wistar jantan yang telah dilakukan
sebelumnya. Filtrat murni buah luwingan muda atau matang dicekok sebanyak 1 mL/ekor/hari selama 28 hari
berturut-turut. Parameter yang diamati berupa perilaku makan dan kondisi feses (data kualitatif). Parameter
kuantitatif meliputi berat badan, suhu badan, profil hematologis, serta evaluasi fungsi hati, jantung, dan ginjal
diamati pada hari ke-0, 7, 14, dan 28. Hasil menunjukkan bahwa pencekokan filtrat buah luwingan muda atau
matang pada tikus Wistar jantan tidak menyebabkan kematian atau menimbulkan kondisi subletal yang
mengarah pada tanda-tanda klinis adanya ketoksikan. Kedua macam filtrat buah luwingan juga tidak
mengurangi nafsu makan dan mempengaruhi sistem pencernaan. Demikian juga tidak berbahaya bagi
kesehatan secara umum, diindikasikan dari nilai untuk semua parameter yang tetap dipertahankan dalam
kisaran normal. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada efek samping yang teramati (no observed adverse effect
level, NOAEL) pada filtrat buah luwingan konsentrasi 100%.
Kata Kunci: biokimia klinis, Ficus hispida, hematologi, luwingan, toksisitas oral subakut
DOI: 10.47349/jbi/17012021/81 Jurnal Biologi Indonesia 17(1): 81-91 (2021)
81
82
Fitria dkk
PENDAHULUAN
Tumbuhan luwingan (Ficus hispida) saat
muda berupa semak yang setelah dewasa
kemudian berkembang menjadi pohon
berukuran kecil hingga sedang, tergantung pada
kondisi habitatnya. Spesies ini tumbuh subur di
kawasan tropis dan berbuah lebat sepanjang
tahun (Ali & Chaudhary 2011; Lee et al. 2013).
Buah luwingan yang masih muda (berwarna
hijau) maupun yang sudah matang (berwarna
kuning) dapat dikonsumsi sebagai makanan
sehari-hari maupun dijadikan bahan obat herbal
tradisional, terutama di kawasan Asia Barat dan
Tenggara (Ali & Chaudhary 2011; Shahreen et
al. 2012). Namun demikian di Indonesia buah
luwingan belum dimanfaatkan sama sekali.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
menanam pohon luwingan untuk menambah
keanekaragaman hayati tumbuhan lokal dan
difungsikan sebagai tanaman perindang saja
(Kehati 2009). Morfologi pohon dan buah
luwingan disajikan pada Gambar 1.
Studi toksisitas tumbuhan obat sudah banyak
dilakukan seperti tumbuhan suku Annonaceae
terhadap Spodoptera litura (Simanjuntak 2001)
jamblang untuk menghambat bakteri Staphylococcus
epidermidis (Rachmawati dkk 2021), namun
untuk buah luwingan yang menghasilkan berbagai
metabolit sekunder belum dilakukan pengkajian.
Menurut Ali & Chaudhary (2011) dan Lansky &
Paavileinen (2011), di dalam buah luwingan
menghasilkan berbagai metabolit sekunder seperti
alkaloid, sterol, fenol, flavonoid, pektin, gum,
mucilage (semacam getah), glikosida, saponin,
dan terpen. Zat-zat yang terkandung di dalam buah
luwingan tersebut merupakan senyawa bioaktif
yang berkhasiat untuk kesehatan, antara lain
sebagai obat pencahar, antihemoragi, panas dalam,
disentri, diare, ulkus, psoriasis, vitiligo, berbagai
gangguan pencernaan, anemia, penyakit kuning,
afrodisiak, tonik penyegar tubuh, serta mengatasi
mual pada ibu hamil dan melancarkan produksi air
susu.
Di sisi lain, beberapa pustaka menyebutkan
bahwa mengkonsumsi buah luwingan dapat
menyebabkan mabuk, pusing, mual, dan muntah,
yang merupakan sebagian tanda-tanda ketoksikan
(Berg et al. 2005; Slik 2009). Hingga saat ini
masih sedikit publikasi ilmiah tentang kajian
ketoksikan dan efek fisiologis setelah mengkonsumsi
buah luwingan. Oleh karena itu, kami melakukan
serangkaian studi toksisitas oral. Studi toksisitas
oral akut filtrat buah luwingan menggunakan
model tikus Wistar menunjukkan bahwa nilai
semua parameter yang diamati berada di dalam
kisaran normal kecuali jumlah limfosit yang terus
meningkat hingga akhir percobaan (Fitria dkk.
2019b). Studi toksisitas oral subakut filtrat buah
luwingan pada tikus Wistar betina menunjukkan
bahwa jumlah limfosit kembali ke dalam kisaran
normal, akan tetapi menunjukkan potensi
menyebabkan anemia serta gangguan fungsi
ginjal (Fitria dkk. 2020). Studi toksisitas oral
subakut pada tikus Wistar jantan belum dilakukan.
Menurut Clayton (2016) & Miller et al.
(2017), metabolisme zat pada individu jantan dan
betina dapat berbeda. Oleh karena itu, dalam
percobaan biomedis-praklinis yang terkait sistem
fisiologis secara umum hendaknya diterapkan
pada kedua jenis kelamin, termasuk studi toksisitas
dan kajian potensi bahan alam sebagai obat
maupun pangan fungsional. Hal ini karena hasil
yang diperoleh nantinya akan ditranslasikan dan
diformulasikan pada manusia, baik pria maupun
wanita saat percobaan fase klinis. Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk melengkapi data toksisitas oral
subakut filtrat buah luwingan menggunakan
tikus Wistar jantan.
Gambar 1. A. Pohon luwingan yang sedang berbuah, B. Buah luwingan tersusun dalam tandan, bercampur antara buah muda dan buah matang, C. Morfologi buah luwingan: 1. Buah muda, 2. Buah matang (Dokumentasi pribadi)
83
Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus
BAHAN DAN CARA KERJA
Buah luwingan dipetik langsung dari
pohon yang tumbuh di area Fakultas Biologi
UGM. Buah yang digunakan berupa buah muda
(berwarna hijau, tekstur keras) dan buah matang
(berwarna kuning, tekstur lunak), dengan
diameter sekitar 3 cm dan berat minimal 20 gram.
Segera setelah proses sortasi, buah dibelah untuk
dibersihkan bagian dalamnya, selanjutnya dicuci,
diparut, diperas, dan disaring cairannya sehingga
diperoleh filtrat murni dengan konsentrasi 100 %.
Preparasi buah luwingan dalam bentuk filtrat
murni ini dipilih dengan pertimbangan kemudahan
mengkonsumsi untuk kehidupan sehari-hari
(Fitria dkk, 2020). Percobaan ini paralel dengan
kajian fitokimia dalam rangka mengetahui jenis-
jenis dan mengkuantifikasi kandungan metabolit
sekunder per satu buah luwingan (belum
dipublikasikan).
Sembilan ekor tikus riul jantan galur
Wistar (Rattus norvegicus) berumur 8 minggu
diperoleh dari Fakultas Farmasi UGM dengan
kisaran berat badan awal 143-159 gram. Tikus
dipelihara dalam kandang standar yang
dimodifikasi dari bak persegi empat polipropilen
BPA-free dengan penutup anyaman kawat tahan
karat. Alas tidur berupa serutan kayu yang telah
disterilisasi. Kandang ditempatkan di animal
room Laboratorium Fisiologi Hewan Fakultas
Biologi UGM dengan parameter lingkungan
sebagai berikut: suhu ruangan 25-27 °C,
kelembapan relatif 60-70 %, fotoperiode 12 jam
gelap dan 12 jam terang menggunakan pencahayaan
artifisial dengan intensitas iluminasi 40 lux,
ventilasi udara searah, dilengkapi dengan AC
dan exhaust fan. Prosedur pemeliharaan telah
diupayakan mengikuti panduan standar hewan
laboratorium oleh National Research Council
(NRC 2011). Pakan berupa pelet rodensia merk
Ratbio (PT Citra Ina Feedmill, Jakarta) dan air
minum dalam kemasan (PT Aqua Golden
Mississippi, Bekasi). Pakan dan air minum
diberikan ad libitum. Sebelum percobaan
dimulai, hewan diaklimasi selama satu minggu
untuk pemulihan pasca transportasi dan
habituasi lingkungan baru. Penelitian ini
dilengkapi dengan sertifikat Ethical Clearance
yang diterbitkan oleh Komisi Kelaikan Etik
Hewan Coba Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu (LPPT) UGM.
Tikus dikelompokkan menjadi tiga: Kelompok
yang dicekok filtrat buah muda (FMU), kelompok
yang dicekok filtrat buah matang (FMA), dan
kelompok yang dicekok air suling sebagai kontrol/
plasebo (K). Volume cekok filtrat buah luwingan
dan air suling adalah 1 mL/ekor/hari. Proses
pencekokan dilakukan selama 28 hari berturut-
turut (Gambar 2).
Prosedur uji toksisitas mengikuti Fitria
dkk. (2020) yang mengacu pada Panduan Uji
Bahan Kimia untuk Studi Toksisitas Oral oleh
OECD No. 407: Repeated dose 28-day oral
toxicity study in rodents di bagian Limit Test
(OECD 2008) dengan beberapa modifikasi
yaitu: dosis/konsentrasi bahan uji, jumlah
hewan coba, dan jenis kelamin hewan.
Data yang diambil mengikuti parameter
pada studi toksisitas oral akut dan subakut buah
luwingan oleh Fitria dkk. (2019b) dan Fitria
dkk. (2020). Data kualitatif berupa pengamatan
kondisi fisik secara umum, perilaku/aktivitas,
nafsu makan, dan struktur feses. Pengamatan
dilakukan setiap hari secara langsung selama
dua jam setelah pencekokan, selanjutnya
menggunakan perangkat CCTV. Data kuantitatif
meliputi berat badan, suhu badan, profil hematologis
(eritrosit, leukosit, trombosit), biokimia klinis
untuk evaluasi fungsi hati: ALT, jantung: AST,
dan ginjal: kreatinin (Fitria dkk. 2019a).
Pengukuran berat badan dan suhu badan dilakukan
seminggu sekali bersamaan waktunya dengan
sanitasi kandang dan ruangan pemeliharaan.
Pengambilan data hematologis dan biokimia klinis
Gambar 2. Proses pencekokan filtrat buah luwingan pada tikus
84
Fitria dkk
dilakukan pada hari ke-0 (sebagai baseline), 7, 14,
21, dan 28.
Sampel darah untuk analisis hematologis
dan biokimia klinis dikoleksi dari sinus orbitalis
setelah hewan dianestesi dengan cocktail
Ketamine-Xylazine (K=50 mg/kgbb, X=5 mg/
kgbb). Hitung darah lengkap menggunakan
hematology analyzer Sysmex®XP-100, evaluasi
fungsi organ menggunakan clinical chemistry
analyzer Microlab®300. Pada hari terakhir
percobaan, hewan dikorbankan dengan cara
anestesi dilanjutkan dengan eksanguinasi. Hati,
jantung, dan ginjal diawetkan dalam fiksatif
neutral buffered formalin (NBF 10 %) untuk
diproses lebih lanjut guna pengamatan histopatologis
jika hasil analisis darah menunjukkan adanya efek
ketoksikan yang signifikan.
Data kualitatif dipaparkan secara deskriptif.
Data kuantitatif dianalisis sebagai descriptive
statistic (mean±SEM) dilanjutkan uji two-way
ANOVA (ɑ=0,05). Hasilnya kemudian
divisualisasikan dalam bentuk grafik garis untuk
melihat kecenderungan (trend) dan dinamika
fisiologis. Ada tidaknya efek toksik diamati
dengan cara membandingkan data pada perlakuan
dan kontrol serta kisaran normal (baseline). Nilai
baseline berasal dari angka terendah hingga
tertinggi dari populasi hewan dalam penelitian ini
yang diukur pada hari ke-0 (Weiss & Wardrop
2010), ditampilkan dalam grafik sebagai blok
berwarna hijau muda.
HASIL
Kondisi fisik, perilaku/aktivitas, nafsu makan,
dan struktur feses
Selama percobaan tidak ada tikus yang
mati atau sakit akibat pencekokan filtrat buah
luwingan. Demikian juga tidak mengganggu
nafsu makan yang dapat diketahui dari berat sisa
pakan harian dan berat badan yang ditimbang
setiap minggu secara reguler (Gambar 3).
Berat badan tikus pada kelompok perlakuan
yang terus meningkat sebagaimana kontrol
membuktikan bahwa filtrat buah luwingan muda
maupun matang tidak mengurangi nafsu makan.
Filtrat buah luwingan juga tidak mengganggu
fungsi pencernaan, diamati dari struktur feses
yang normal, baik bentuk, warna, maupun
konsistensinya (tidak mengalami diarea).
Hasil pengukuran suhu badan selama
percobaan menunjukkan bahwa semua tikus
berada dalam kondisi sehat, dibuktikan dengan
nilai yang tetap dipertahankan di dalam kisaran
normal (Gambar 4). Data ini mengindikasikan
bahwa filtrat buah luwingan tidak mengandung
zat yang menginduksi demam (pirogen) atau
memicu keradangan/inflamasi (antigen).
Profil hematologis
Profil hematologis yang terdiri dari
eritrosit, leukosit, dan trombosit pada tikus
selama percobaan disajikan berturut-turut pada
Gambar 5-7.
Terlihat bahwa filtrat buah luwingan
matang menurunkan hematokrit, jumlah
eritrosit, dan hemoglobin (tidak signifikan dan
masih berada di dalam kisaran normal). Kontrol
mengalami penurunan hematokrit dan jumlah
eritrosit, namun kemudian berangsur kembali ke
dalam kisaran normal. Perhitungan indeks
eritrosit berupa MCV, MCH, dan MCHC pada
Gambar 3. Berat badan tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan.
Gambar 4. Suhu badan tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan
85
Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus
Gambar 6. Profil leukosit tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan. A= jumlah leukosit, B= jumlah neutrofil, C= jumlah limfosit, D= persentase neutrofil, E= persentase lim-fosit, F= N/L
Gambar 5. Profil eritrosit tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan. A= hematokrit, B= jumlah eritrosit, C= kadar hemoglobin, D= MCV, E= MCH, F= MCHC
86
Fitria dkk
semua kelompok menunjukkan bahwa semua
nilai masih berada di dalam kisaran normal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
tidak ada indikasi anemia yang signifikan.
Parameter hematologis profil leukosit dapat
dilihat pada Gambar 6, dan terlihat bahwa
jumlah leukosit mengalami peningkatan pada
semua kelompok. Pada kelompok yang dicekok
filtrat buah luwingan muda dan kontrol,
peningkatan hingga melebihi kisaran normal
(tidak signifikan). Peningkatan jumlah leukosit
pada kontrol terjadi akibat peningkatan jumlah
neutrofil, sementara peningkatan jumlah leukosit
pada kelompok yang dicekok filtrat buah luwingan
karena peningkatan jumlah limfosit. Perubahan
jumlah neutrofil dan limfosit dapat mengubah
proporsi atau persentase keduanya yang dikenal
dengan istilah rasio neutrofil terhadap limfosit
(N/L). Dalam percobaan ini nilai N/L masih
berada di dalam kisaran normal meskipun
fluktuatif. Dapat disimpulkan bahwa filtrat buah
luwingan muda maupun matang tidak mengandung
zat yang memicu respons imun tubuh.
Parameter hematologis selanjutnya adalah
jumlah trombosit (Gambar 7). Terlihat bahwa
jumlah trombosit pada kelompok yang dicekok
filtrat buah luwingan muda maupun matang
tetap dipertahankan di dalam kisaran normal.
Hal
ini menunjukkan bahwa buah luwingan tidak
menimbulkan efek buruk terhadap fungsi
hemostasis.
Uji fungsi Organ
Hasil analisis biokimia klinis plasma untuk
evaluasi fungsi hati (aktivitas ALT), jantung
(aktivitas AST), dan ginjal (kadar kreatinin)
disajikan pada Gambar 8.
Terlihat bahwa aktivitas enzim alanine
amino-transferase (ALT) dalam percobaan ini
mengalami penurunan namun masih berada di
dalam kisaran normal, kecuali pada kelompok
yang dicekok filtrat buah luwingan matang
Gambar 7. Jumlah trombosit tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan
Gambar 8. Hasil analisis biokima klinis plasma untuk evaluasi fungsi organ tikus Wistar jantan pada studi toksisitas oral subakut filtrat buah luwingan. . A= fungsi hati berdasarkan aktivitas ALT, B= fungsi jantung berdasarkan fungsi AST, C= AST/ALT untuk prediksi kerusakan hati, D= kadar kreatinin un-tuk fungsi ginjal
87
Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus
(tidak signifikan). Aktivitas enzim aspartate
amino-transferase (AST) selain merupakan
indikator kesehatan fungsi hati juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi jantung.
Hasil menunjukkan bahwa nilai AST pada
semua kelompok berada di dalam kisaran
normal. Fluktuasi nilai merupakan perwujudan
dinamika fisiologis normal.
Perhitungan rasio AST terhadap ALT
(AST/ALT) atau De Ritis ratio dapat digunakan
untuk diagnosis penyebab kerusakan hati atau
hepatotoksisitas. Hasil menunjukkan bahwa
nilai AST/ALT pada kelompok yang dicekok
filtrat buah luwingan matang terus meningkat
hingga melebihi kisaran normal. Namun demikian
peningkatan ini tidak signifikan dan kontrol juga
mengalami peningkatan yang serupa.
Hasil pengukuran kadar kreatinin menunjukkan
bahwa semua kelompok mengalami fluktuasi
namun nilainya masih berada di dalam kisaran
normal. Dapat disimpulkan bahwa filtrat buah
luwingan tidak mengganggu fungsi ginjal
sebagai organ filtrasi.
PEMBAHASAN
Sebagaimana hasil studi toksisitas
sebelumnya oleh Fitria dkk. (2019b) dan Fitria
dkk. (2020), pencekokan filtrat buah luwingan
tidak menyebabkan kematian atau menimbulkan
kondisi subletal (sakit). Tikus yang sakit dapat
diamati dari kondisi fisik dan perilaku/aktivitasnya,
yaitu: rambut tubuh berdiri (piloereksi), wajah
muram, terdapat kotoran kemerahan di sekitar
mata dan hidung akibat sekresi porfirin, jari-jari
tungkai depan dan belakang serta ekor tampak
kotor karena individu tidak aktif melakukan
grooming, hewan tampak lesu, tidak banyak
bergerak, dan pasif saat didekati, serta nafsu
makan berkurang (RatCentral 2017).
Selain berat badan, suhu badan juga
merupakan parameter fisiologis dasar yang penting
karena dapat menunjukkan status kesehatan
hewan. Suhu badan hewan yang sakit akan lebih
rendah atau lebih tinggi daripada hewan sehat.
Suhu badan tikus yang dipertahankan dalam
kisaran normal menunjukkan bahwa filtrat buah
luwingan muda maupun matang tidak merusak
sistem termoregulasi yang dapat mengakibatkan
hipotermia atau hipertermia. Menurut Hankeson
et al. (2018), gangguan termoregulasi pada
tikus laboratorium terjadi akibat stres atau sakit
(demam). Masuknya zat-zat asing yang berbahaya
bagi tubuh (antigen) akan direspons dengan kenaikan
suhu badan melalui mekanisme inflamasi.
Sebaliknya, penurunan suhu badan akibat stres
terjadi karena pada kondisi stres hewan menolak
makan yang berdampak pada penurunan kadar
glukosa darah. Hal tersebut, ditambah aktivitas
hormon-hormon stres yaitu adrenalin dan kortisol,
memicu glukoneogenesis dan termogenesis yang
diimbangi dengan penurunan suhu badan
(Nirupama et al. 2018).
Profil hematologis atau hitung darah lengkap
dapat menggambarkan kondisi kesehatan hewan
(Fitria & Mulyati 2014). Masuknya zat-zat asing
ke dalam tubuh dapat mengubah nilai profil
hematologis, bahkan bersifat toksik terhadap sel-
sel darah (hematotoksik). Potensi hematotoksisitas
harus dikaji terkait administrasi obat-obatan dan
zat-zat kimia. Efeknya dimulai dari gangguan
transportasi oksigen (fungsi eritrosit), imunitas
(fungsi leukosit), clotting (fungsi trombosit),
bahkan dapat memicu pertumbuhan berbagai
macam kanker (Budinsky 2000). Alih-alih
bersifat hemotoksik dan karsinogenik, buah
luwingan merupakan agen kemopreventif dan
antikanker yang potensial karena mengandung
senyawa isoflavon, coumarins, caffeoylquinic acids,
fenolik, dan glukosida steroid (Zhang et al. 2018).
Menurut Hossain et al. (2016), buah luwingan
juga mengandung sejumlah senyawa antioksidan
yang penting untuk melindungi sel-sel tubuh dari
stres oksidatif. Kerusakan sel akibat stres oksidatif
memicu berbagai penyakit kronik, antara lain:
kardiovaskular, paru obstruktif, gagal ginjal,
neurodegeneratif, dan kanker (Liguori et al. 2018).
Profil eritrosit pada percobaan ini
menunjukkan hasil yang sama dengan studi
toksisitas menggunakan tikus betina oleh Fitria
dkk. (2020), akan tetapi penurunan tidak
signifikan sebagaimana pada tikus betina.
Perbedaan profil eritrosit pada tikus jantan dan
betina bersifat umum, tidak hanya pada studi
toksisitas ini saja. Individu jantan memiliki
lebih banyak testosteron, di mana hormon ini
mampu meningkatkan sintesis eritropoietin
untuk produksi eritrosit (Barcello et al. 1999).
Oleh karena itu, secara alami individu jantan
cenderung memiliki jumlah eritrosit yang lebih
88
Fitria dkk
banyak dan kadar hemoglobin yang lebih tinggi
sehingga dapat mengantisipasi kondisi anemia
secara lebih baik daripada individu betina.
Profil leukosit pada percobaan ini menunjukkan
hasil yang berkebalikan dengan pada tikus betina
(Fitria dkk. 2020). Peningkatan jumlah leukosit yang
disebabkan oleh peningkatan jumlah neutrofil
atau limfosit mengindikasikan adanya respons
imun jika bersifat signifikan atau berada di luar
kisaran normal (lebih tinggi atau lebih rendah),
serta mengubah nilai N/L (Weiss & Wardrop
2010). Dalam percobaan ini nilai N/L pada
semua kelompok masih berada di dalam kisaran
normal meskipun nilainya fluktuatif. Dapat
disimpulkan bahwa filtrat buah luwingan tidak
dianggap sebagai zat asing (antigen) yang
membahayakan tubuh sehingga harus dilawan.
Namun demikian konsumsi buah luwingan
matang perlu diwaspadai karena menunjukkan
nilai yang berada di ambang batas.
Jumlah trombosit tikus yang dicekok filtrat
buah luwingan muda maupun matang tetap
dipertahankan di dalam kisaran normal. Hal ini
berarti filtrat buah luwingan tidak mengganggu
produksi maupun fungsi trombosit. Dengan kata
lain, tidak ada efek samping terhadap mekanisme
hemostasis normal seperti adanya perdarahan,
hemoragi, lamanya waktu koagulasi darah, dan
gangguan proses penutupan luka (clotting). Hasil
ini serupa dengan studi toksisitas pada tikus
betina oleh Fitria dkk. (2020).
Menurut Bhutta et al. (2013), ALT merupakan
enzim intrasel hepatosit, sehingga keberadaannya
di dalam plasma mengindikasikan sejumlah
hepatosit yang lisis dan mengakibatkan enzim
ini bocor ke dalam sirkulasi darah. Oleh karena
itu, peningkatan aktivitas ALT berkorelasi positif
dengan gangguan fungsi hati akibat kerusakan
hepatosit. Sebaliknya, penurunan aktivitas ALT dapat
berarti terjadi perbaikan fungsi hati (Fitria dkk.
2019a).
Seperti halnya ALT, nilai AST berkorelasi
positif dengan gangguan fungsi hati dan
jantung. Perhitungan rasio AST terhadap ALT
atau AST/ALT (De Ritis ratio) dapat digunakan
untuk diagnosis penyebab kerusakan hati atau
hepatotoksisitas. Formula ini diperkenalkan oleh
Fernando De Ritis, seorang dokter dari Italia yang
mempelajari aktivitas enzim transaminase pada
tahun 1956. Nilai AST/SLT yang rendah
menunjukkan kerusakan ekstrahepatik, sedangkan
nilai AST/ALT yang tinggi menunjukkan
kerusakan intrahepatik (Botros & Sikaris, 2013).
Tinggi rendahnya nilai rasio AST/ALT bersifat
relatif, oleh karena itu, untuk memudahkan
pembacaan maka dibandingkan dengan kontrol yang
diasumsikan sebagai individu sehat, serta kisaran
nilai normalnya (baseline). Hasil menunjukkan
bahwa kelompok yang dicekok filtrat buah luwingan
matang memiliki nilai AST/ALT yang terus
meningkat hingga melebihi kisaran normal, demikian
juga pada kontrol. Meskipun tidak signifikan,
namun hal ini perlu diwaspadai. Oleh karena itu
kami melanjutkan studi toksisitas pada tahap
subkronik (90 hari) untuk mengetahui apakah
peningkatan ini terus berlanjut atau kembali ke
dalam kisaran normal.
Kreatinin sebagai hasil metabolisme otot
merupakan limbah yang harus diekskresikan.
Oleh karena itu, tingginya kadar kreatinin dalam
sirkulasi darah berkorelasi positif dengan
kerusakan filtrasi ginjal pada glomerulus (Fitria
dkk. 2019a). Hasil percobaan menunjukkan
bahwa kadar kreatinin pada semua kelompok
memiliki nilai yang berfluktuasi namun tetap
berada di dalam kisaran normal. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada kerusakan fungsi
ginjal akibat konsumsi filtrat buah luwingan.
Hasil ini berbeda dari studi toksisitas pada tikus
betina oleh Fitria dkk. (2020). Dengan adanya
perbedaan hasil ini, maka memperkuat alasan
untuk dilakukan studi toksisitas lanjutan
(periode subkronik) guna mempelajari potensi
buah luwingan terhadap kerusakan fungsi ginjal
(nefrotoksisitas) dengan menggunakan tambahan
indikator lain yaitu blood urea nitrogen (BUN).
Menurut Bhutta et al. (2013), urea adalah
variabel utama untuk uji fungsi ginjal selain
kreatinin. Limbah hasil metabolisme protein ini
secara konsisten diekskresikan melalui ginjal
sebagai urin. Oleh karena itu, tingginya kadar
urea di dalam plasma dapat digunakan untuk
indikator gangguan fungsi ginjal.
SIMPULAN DAN SARAN
Pemberian per oral filtrat buah luwingan
muda atau matang pada tikus Wistar jantan
tidak mengganggu nafsu makan dan sistem
pencernaan ditunjukkan dengan pertumbuhan
89
Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus
normal berat badan dan struktur feses. Hasil uji
hematologis serta uji biokimia klinis untuk
evaluasi fungsi hati, jantung, dan ginjal
menunjukkan bahwa tidak ditemukan tanda-
tanda ketoksikan yang signifikan karena
meskipun nilainya fluktuatif selama percobaan
namun masih cenderung dipertahankan di dalam
kisaran normal. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa filtrat buah luwingan muda maupun
matang aman dikonsumsi setiap hari hingga
periode subakut karena tidak ada efek samping
yang teramati secara signifikan (no observed
adverse effect level, NOAEL) pada konsentrasi
100 %.
Berdasarkan hasil penelitian ini dan juga
dibandingkan dengan hasil penelitian sebalumnya
oleh Fitria dkk. (2020), maka perlu dilakukan
uji toksisitas oral tahap selanjutnya (periode
subkronik) guna mempelajari efek mengkonsumsi
filtrat buah luwingan dalam jangka waktu yang
lebih panjang.
KONTRIBUSI PENULIS
FL: Kontributor utama, merancang penelitian,
mengumpulkan, menganalisis data, dan menulis
manuskrip. LNN dan LH: membantu memperoleh
data penelitian, proses analisis dan penulisan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
para mahasiswi anggota “Tim Ficus I”: Rosita
Dwi Putri Suranto, Indira Diah Utami, Septy
Azizah Puspitasari, dan Paradhita Zulfa Nadia,
serta “Tim Ficus II”: Angevia Merici Purnama
Sica, Theresia Destri Ria Christianty, dan Elsa
Rian Stevani S. atas kerja sama selama ini.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan
kepada Dr. Yekti Asih Purwestri dan “Tim
Ficus Biokimia”: Pundhi Nastiti, Reinatawas
Febri Santika, dan Zulfa Layina, yang tengah
melakukan analisis fitokimia beberapa metabolit
sekunder buah luwingan untuk mendukung
“Proyek Ficus” ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. & N. Chaudhary. 2011. Ficus hispida
Linn: A review of its pharmacognostic
and ethnomedical properties. Pharmacog-
nosy Review. 5(9): 96-102. DOI: 10.4103/
0973-7847.79104.
Barcello, AC., MI. Olivera, C. Bozzini, RM.
Alippi & CE. Bozzini. 1999. Androgens
and erythropoiesis. Induction of
erythropoietin-hypersecretory state and
effect of finasteride on erythropoietin
secretion. Comparative Haematology
International. 9:1-6 DOI: 10.1007/
BF02585514.
Berg, CC., EJH. Corner & HP. Noteboom.
2005. Moraceae (Ficus). Flora
Malesiana. Series 1-Seed Plants.
Volume 17. Part 2. Nationaal Herbarium
Nederland. Leiden, Netherlands.
Bhutta, RA., NA. Syed, A. Ahmad & S. Khan.
2013. Lab Tests for SGPT (ALT, Alanine
amino-transferase, Serum Glutamic-Pyruvic
Transaminase), SGOT (Aspartate amino
-transferase, AST, Glutamic oxaloacetic
Transaminase), Blood Urea Nitrogen (BUN,
Urea Nitrogen), and Creatinine (Serum
Creatinine). http://www.labpedia.net.
Botros, M. & KA. Sikaris. 2013. The De Ritis
ratio: The test of time. The Clinical
Biochemist Reviews.34(3): 117-130.
Budinsky, RA. 2000. Hematotoxcicity: Chemically
induced toxicity of the blood. Dalam:
Williams, PL., RC. James & SM. Roberts.
(eds). 2000. Principles of toxicology:
environmental and industrial aplications.
2nd edition. John Wiley & Sons, Inc.
New York, USA
Clayton, JA. 2016. Studying both sexes: A
guiding principle for biomedicine. The
FASEB Journal. 30(2): 519-524 DOI:
10.1096/fj.15-279554
Fitria, L. & Mulyati. 2014. Profil hematologi
tikus (Rattus norvegicus Berkenhout,
1769) galur Wistar jantan dan betina
umur 4, 6, dan 8 minggu. Biogenesis. 2(2):
94-100. DOI: 10. 24252/bio.v2i2.473.
Fitria, L., F. Lukitowati & D. Kristiawati. 2019a.
Nilai rujukan untuk evaluasi fungsi hati dan
ginjal pada tikus (Rattus norvegicus
90
Fitria dkk
Berkenhout, 1769) galur Wistar. Jurnal
Pendidikan Matematika dan IPA. 10(2):
243-258.
Fitria, L., RDP. Suranto & ID. Utami. 2019b.
Uji toksisitas oral akut single dose filtrat
buah luwingan (Ficus hispida L.f.) pada tikus
(Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) Galur
Wistar. Jurnal Mangifera Edu. 4(1):1-18.
DOI: 10.31943/mangiferaedu. v4i1.39.
Fitria, L., RDP. Suranto, ID. Utami & SA.
Puspitasari. 2020. Uji toksisitas oral
repeated dose filtrat buah luwingan (Ficus
hispida L.f.) menggunakan tikus (Rattus
norvegicus Berkenhout, 1769) Galur
Wistar. Berita Biologi. 19(3): 289-300.
DOI: 10.14203/beritabiologi. v19i3.3936.
Hankenson, FC., JO. Marx, CJ. Gordon & JM.
David. 2018. Effects of rodent
thermoregulation on animal models in
the research environment. Comparative
Medicine 68(6): 425-438. DOI: 10.30802/
AALAS-CM-18-000049.
Hossain, M., S. Parvin, S. Dutta, M. Mahbub &
M. Islam. 2016. Studies on in vitro
antioxidant activity of methanolic extract
and fractions of Ficus hispida Lin. fruits.
Journal of Scientific Research 8(3): 371-
380. DOI: 10.3329/jsr. v8i3.26711.
Kehati. 2009. Jenis-jenis tanaman lokal dan
endemik di wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Pembangunan
Taman Keanekaragaman Hayati Provinsi
DIY Tahun Anggaran 2009. Lampiran 1
Lansky, EP. & HM. Paavilainen. 2011. Figs:
The genus Ficus: Traditional herbal
medicines for modern times. CRC Press.
Taylor and Francis Group, LLC. Florida,
USA.
Lee, SH., ABC. Ng, KH. Ong, T. O'Dempsey &
HTW. Tan. 2013. The status and distribution
of Ficus hispida L.f. (Moraceae) in
Singapore. Nature in Singapore. 6: 85-90.
Liguori, I., G. Russo, F. Curcio, G. Bulli, L.
Aran, D. Della-Morte, G. Gargiulo, G.
Testa, F. Cacciatore, D. Bonaduce & P.
Abete. 2018. Oxidative stress, aging, and
diseases. Clinical Interventions in Aging.
13: 757-772. DOI: 10.2147/CIA.S158513.
Miller, LR., C. Marks, JB. Becker, PD. Hurn,
WJ. Chen, T. Woodruff, MM. McCarthy,
F. Sohrabji, L. Schiebinger, CL.
Wetherington, S. Makris, AP. Arnold, G.
Einstein, VM. Miller, K. Sandberg, S.
Maier, TL. Cornelison & JA. Clayton.
2017. Considering sex as a biological
variable in preclinical research. The
FASEB Journal. 31(1): 29-34 DOI:
10.1096/fj. 201600781R.
Nirupama, R., B. Rajaraman & HN. Yajurvedi.
2018. Stress and glucose metabolism: A
review. Imaging Journal of Clinical and
Medical Sciences 5(1): 8-12. DOI:
10.17352/ 2455-8702. 000037.
NRC. 2011. Guide for the care and use of
laboratory animals. 8th edition. National
Research Council. The National Academies
Press. Washington, D.C., USA. DOI: 10.
17226/12910.
OECD. 2008. Test No. 407: Repeated Dose 28-
day Oral Toxicity Study in Rodents.
OECD Guidelines for the Testing of
Chemicals. Section 4. The Organisation for
Economic Co-operation and Development.
OECD Publishing. Paris. DOI: 10.1787/
9789264070684-en.
RatCentral. 2017. 10 Signs Of Illness In Rats
You Should Know. http://ratcentral.com/
signs-illness-rats/.
Rachmawati, N., G. Maulidiyah, & Aminah
2021. Uji daya hambat dan toksisitas
ekstrak daun jamblang [Syzygium
cumini (L.) Skeels] terhadap pertumbuhan
bakteri Staphylococcus epidermidis. Jurnal
Biologi Indonesia. 17(1): 39-46.
Shahreen, S., J. Banik, A. Hafiz, S. Rahman,
AT. Zaman, MA. Shoyeb, MH.
Chowdhury & M. Rahmatullah. 2012.
Antihyperglycemic activities of leaves of
three edible fruit plants (Averrhoa
carambola, Ficus hispida, and Syzygium
samarangense) of Bangladesh. African
Journal Traditional Complement Alternative
Medica. 9(2): 287-291.
Simanjuntak, P., R. Samsoedin, T. Parwati, &
Widayanti 2001. Uji Toksisitas Ekstrak
tumbuhan suku Annonaceae: Alphonsea
teiysmannii, Annona glabra, Polyalthia
lateriflora terhadap larva Spodoptera litura.
Jurnal Biologi Indonesia 2(1): 1-12.
91
Toksisitas Oral Subakut Filtrat Buah Luwingan (Ficus hispida L.f.) pada Tikus
Slik, JWF. 2009. Plants of Southeast Asia.
http://www.asianplant.net/Moraceae/
Ficus_hispida.htm.
Weiss, DJ. & KJ. Wardrop, 2010. Schalm's
Veterinary Hematology. 6th edition.
Blackwell Publishing Ltd. Ames, Iowa.
USA.
Zhang, J., WF. Zhu, J. Xu, W. Kitdamrongtham,
A. Manosroi, J. Manosroi, H. Tokuda,
M. Abe, T. Akihisa & F. Feng. 2018.
Potential cancer chemopreventive and
anticancer constituents from the fruits of
Ficus hispida L.f. (Moraceae). Journal
of Ethnopharmacology 214: 37-46. DOI:
10. 1016/j.jep.2017.11.016.
Top Related