BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Model Rostow€¦ · negara berkembang yang ingin...
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Model Rostow€¦ · negara berkembang yang ingin...
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Pembangunan Model Rostow
Rostow (1960) dalam bukunya yang terkenal yaitu: “ The Stages of
Economic Growth: A Non-Communist Manifesto” mengatakan bahwa negara-
negara berkembang yang ingin maju harus melalui tahap-tahap pembangunan
yaitu: (1) The traditional society atau tahap masyarakat tradisional adalah suatu
negara yang struktur masyarakatnya dibangun di dalam fungsi-fungsi produksi
yang terbatas. Tingkat pendapatan per kapitanya masih rendah karena tidak
adanya penerapan pengetahuan dan teknologi modern. Karena terbatasnya
produktivitas, maka sebagian terbesar sumber-sumbernya ditujukan untuk
menghasilkan bahan mentah; (2) The preconditions for take off atau tahap
prakondisi menuju tinggal landas (take off) yaitu meliputi masyarakat yang sedang
dalam proses peralihan atau merupakan suatu periode yang menunjukkan adanya
syarat-syarat menuju take off. Nilai-nilai dan cara-cara tradisional sudah mulai
dirasakan menjadi tantangan, sedangkan nilai-nilai dan cara-cara baru yang lebih
efisien mulai masuk. Perubahan-perubahan mulai terjadi ke arah masyarakat yang
lebih modern dengan sistem ekonomi yang lebih maju; (3) Take off atau tahap
tinggal landas adalah tahapan perkembangan ekonomi memasuki masa antara,
ketika hambatan-hambatan dan rintangan-rintangan terhadap pertumbuhan sudah
mulai dapat diatasi. Nilai-nilai, cara-cara baru, dan kekuatan-kekuatan yang
menimbulkan kemajuan ekonomi meluas dan mulai menguasai masyarakat.
35
Tingkat investasi naik dari 5 sampai 10 persen atau melebihi pendapatan nasional.
Selama masa tinggal landas, industri-industri baru berkembang dengan pesat dan
menghasilkan keuntungan yang sebagian besar diinvestasikan lagi pada pabrik-
pabrik yang baru atau industri-industri baru. Sehingga daripadanya dapat
mendorong perluasan lebih lanjut bagi daerah-daerah kota dan industri-industri
modern lainnya; (4) The drive to maturity atau tahap gerak menuju kematangan
adalah tahap ketika kegiatan ekonomi tumbuh secara terus-menerus dengan teratur
dan penggunaan teknologi modern meluas ke seluruh aspek kegiatan
perekonomian. Kira-kira 10 sampai 20 persen pendapatan nasionalnya, secara
terus-menerus diinvestasikan yang memungkinkan output meningkat dengan cepat
melebihi pertambahan penduduk. Kegiatan ekonomi bergerak dengan mantap
memasuki perekonomian internasional. Pada umumnya, tahap kematangan
(maturity) ini dicapai kira-kira setelah 60 tahun dimulainya take off atau 40 tahun
setelah berakhirnya take off, dan (5) The age of high mass cosumption atau tahap
konsumsi massa tinggi adalah tahap ketika perkembangan industri lebih ditujukan
untuk menghasilkan barang-barang konsumsi tahan lama dalam bidang jasa.
Menurut Rostow (1960), disamping adanya tahapan perubahan seperti itu,
pembangunan ekonomi berarti pula sebagai proses yang menyebabkan adanya
perubahan pada : (1) perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial
yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar;
(2) perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga,
yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil; (3) perubahan
dalam kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak
36
produktif (menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi
yang produktif; dan (4) perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi
kurang merangsang pembangunan ekonomi, misalnya: penghargaan terhadap
waktu, penghargaan terhadap prestasi seseorang.
Todaro dan Smith (2003) mendefinisikan pembangunan sebagai proses
memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Tiga aspek yang sama pentingnya
dalam pembangunan adalah: (1) menaikkan tingkat kehidupan masyarakat, seperti
pendapatan dan konsumsi pangan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya melalui
pertumbuhan ekonomi yang sesuai; (2) menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pertumbuhan harga diri masyarakat melalui pemantapan sistem dan institusi,
sosial, politik dan ekonomi yang mengutamakan rasa hormat dan martabat
manusia; dan (3) meningkatkan kebebasan masyarakat dengan memperluas
kisaran pilihan barang dan jasa. Terminnologi ”Pembangunan” memiliki makna
lebih luas dari pertumbuhan ekonomi, karena mencakup aspek sosial, budaya,
politik, dan aspek lainnya. Mirip dengan pandangan tersebut Sumodiningrat
(2001) mengatakan pembangunan merupakan suatu rangkaian proses perubahan
struktural yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Proses
yang berlangsung bersifat multidimensi, sehingga usaha yang dilakukan untuk
mencapai sasaran pembangunan mendapat banyak tantangan. Keadaan ini
dijumpai di negara-negara yang masih terkebelakang, negara sedang berkembang
maupun di negara-negara maju dengan derajat dan jenis persoalan yang berbeda.
Susanto dkk. (2010) menyatakan bahwa konsep pembangunan senantiasa
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Konsep dasar
37
pembangunan berawal dari pengembangan konsep pembangunan ekonomi yang
sangat terkait dengan pendapatan (income), pertumbuhan (growth), dan investasi
(investment). Konsep pembangunan tersebut kemudian dikembangkan menjadi
lebih luas cakupan dan dimensinya, meliputi: pengetahuan dan teknologi
(knowledge and tecnology), pembangunan manusia (human development),
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan pembangunan
institusional (institutional development). Motivasi yang mendasari perlunya
perluasan cakupan konsep pembangunan adalah pemikiran akan terbatasnya peran
dan fungsi pertumbuhan ekonomi yang semula dijadikan sebagai tujuan
pembangunan. Fokus perhatian pembangunan kemudian diperluas sehingga
mencakup distribusi pendapatan (income distribution), kemiskinan (poverty), dan
pemenuhan kebutuhan umum.
Dalam perkembangannya perhatian terhadap pemerataan pembangunan
(development equity) kemudian berkembang sejalan dengan berbagai perdebatan
terkait hubungan antara ketimpangan pendapatan (income inequality) dan
pertumbuhan ekonomi (economic growth). Hubungan antara pertumbuhan dan
kemiskinan juga tidak luput dari perdebatan. Sementara itu teori pertumbuhan
endogen yang berkembang di era tahun 1980-an memfokuskan perhatian pada
pentingnya kemajuan teknologi sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Problem
pembangunan yang kompleks dihadapkan pada tantangan keterbatasan sumber
daya maupun karateristik wilayah. Semakin luas wilayah suatu negara, maka
semakin besar pula tantangan yang harus dihadapi. Tantangan akan semakin berat
apabila pertumbuhan penduduk di negara tersebut juga relatif tinggi. Kondisi ini
38
dihadapi oleh Indonesia dan negara-negara sedang berkembang lainnya maupun
negara-negara yang tergolong terkebelakang. Konsekwensi dari tidak meratanya
pembangunan adalah terjadinya ketimpangan wilayah (Susanto dkk., 2010).
2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
2.2.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Klasik
Pemikiran-pemikiran ekonomi di masa klasik yang dipelopori oleh Adam
Smith dengan pengikutnya Thomas Robert Malthus, David Ricardo, Jean Baptiste
Say, Jhon Stuart Mill. Inti pemikiran ekonomi Adam Smith (Bapak Ilmu
Ekonomi) dan para pengikutnya ini antara lain bahwa pertumbuhan dapat terjadi
melalui: pembagian spesialisasi kerja, percaya pada mekanisme pasar yang
berlangsung dalam persaingan bebas, campur tangan pemerintah dibatasi,
penggunaan modal dalam produksi, pembentukan modal dari kelebihan produksi
(Adisasmita R., 2008). Adam Smith seorang ahli ekonomi klasik yang paling
terkemuka dengan bukunya yang terkenal di seluruh dunia berjudul ”An Inguiry
Into The Nature and Cause of The Wealth of Nations (1776) menyampaikan
beberapa pemikiran yang penting diantaranya:
1) Hukum alam, yang diyakini dalam persoalan ekonomi menganggap setiap
orang bebas memenuhi kebutuhannya demi keuntungan sendiri. Dalam
melakukan pemenuhan kebutuhannya, setiap individu dibimbing oleh suatu
kekuatan yang tidak terlihat (invisible hand) akan mencapai kesejahteraan yang
masimal. Smith pada dasarnya menentang setiap campur tangan pemerintah
39
dalam perekonomian (laissez faire), serahkan pada mekanisme pasar yang akan
mengatur segala permasalahan dengan sebaik-baiknya.
2) Pembagian kerja, yang merupakan titik permulaan dari teori pertumbuhan
ekonomi Adam Smith, yang meningkatkan daya produktivitas tenaga kerja
yang dihubungkan dengan: (1) meningkatnya keterampilan tenaga kerja; (2)
penghematan waktu dalam memproduksi barang; (3) penemuan mesin yang
sangat menghemat tenaga. Pembagian kerja bertambah seiring dengan
bertambah luasnya pasar. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan fasilitas
transportasi akan terjadi pembagian kerja yang semakin luas dan peningkatan
modal yang semakin besar.
3) Proses pemupukan modal dan pertumbuhan, yaitu Adam Smith menekankan
bahwa pemupukan modal harus dilakukan lebih dahulu daripada pembagian
kerja. Seperti ahli ekonomi modern, Adam Smith menganggap pemupukan
modal sebagai satu yang mutlak bagi pembangunan ekonomi, dengan demikian
permasalahan pembangunan ekonomi secara luas adalah kemampuan manusia
untuk lebih banyak menabung dan menanam modal.
2.2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Neo-Klasik
Pemikiran-pemikiran ekonomi Neo-Klasik di antaranya dipelopori oleh:
Jevons, Walras, Menger dan Marshall yang gagasannya mementahkan serangan
Karl Marx terhadap sistem liberalisme yang dianjurkan para kaum klasik.
Pandangan-pandangan Neo-Klasik adalah tidak jauh berbeda dari pandangan
Klasik. Semuanya terletak pada kekuatan pasar dengan membuka peluang sampai
batas tertentu untuk intervensi atau campur tangan pemerintah. Pembangunan
40
berarti pertumbuhan melalui pembentukan modal dengan fokus pada ekonomi
mikro. Pada tahap ekonomi mikro, kekuatan pasar akan menghasilkan
keseimbangan (Adisasmita R., 2008).
2.2.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern Model Keynes
Pemikiran ekonomi aliran modern diawali oleh tokoh utamanya adalah
Keynes dan salah satu karya tulisanya yang terkenal adalah buku dengan judul: “
The General Theory of Employment, Interest and Money”, isinya di antaranya
menjelaskan tentang bagaimana menanggapi peristiwa depresi besar-besaran yang
terjadi pada tahun 30-an, apa penyebabnya, dan bagaimana jalan keluar dalam
menghadapi depresi serta masalah-masalah ekonomi makro lainnya. Para
pendukung Keynes baik neo-Keynes dan pasca-Keynesian antara lain dari
pandangan Alvin Hansen, Simon Kuznets, Jhon Hiks, Wassily Leontif, dan Paul
Samuelson (Deliarnov, 2010).
Keynes menentang pandangan klasik yang menyatakan tidak adanya
campur tangan pemerintah dalan kegiatan ekonomi, tapi bagi Keynes campur
tangan pemerintah merupakan keharusan, adanya kebijakan fiskal agar pemerintah
bisa mempengaruhi jalannya perekonomian, mekanisme pasar, kapitalis.
Persaingan bebas yang diandalkan oleh paradigma Klasik dan neo-Klasik,
menurut Keynes menyatakan akan selalu menimbulkan keseimbangan dengan
pengangguran, terdapat potensi ekonomi yang tidak digunakan (Adisasmita R.,
2008). Lebih jauh, dijelaskan bahwa kekuatan pasar bebas akan menghasilkan
kekuatan penghambat terhadap pertumbuhan menuju keseimbangan pada tingkat
yang tinggi. Hambatan itu mengakibatkan berkurangnya agregat demand, yang
41
selanjutnya menghasilkan pengangguran. Kenyataan ini dapat diatasi melalui
campur tangan pemerintah dalam kebijakan fiskal dan moneter. Paradigma pasca
Keynes terjadi pertentangan dalam kondisi yang semakin mengglobal. Dibutuhkan
paradigma yang berciri global, tetapi dapat diterapkan secara lokal. Beberapa
kondisi pembangunan yang berlaku global yaitu: (i) kesenjangan ekonomi
terdapat pada tingkat dunia antara negara maju dan negara berkembang, tetapi
juga pada tingkat nasional dan regional, antar sektor, antar golongan dan antar
individu; (ii) ledakan jumlah penduduk dunia mengakibatkan kesenjangan yang
mendunia; (iii) ancaman kelestarian lingkungan (Adisasmita R., 2008).
Pakar pertama yang lebih serius dalam pengembangan teori pertumbuhan
adalah Schumpeter. Salah satu teori yang dibangun dalam tulisannya adalah” The
Theory of Economic yang diterjemahkan kedalam bahasa inggris tahun 1934.
Tema tentang pertumbuhan ekonomi juga disinggung dalam bukunya yang lain
dengan judul: ”Capitalism, Sosialism, and Democracy” yang diterbitkan pada
1943. Schumpeter mengatakan bahwa pelaku utama pertumbuhan ekonomi adalah
karena adanya “entrepreneur”. Entrepreneur bukan hanya seorang pengusaha atau
manajer, melainkan seseorang yang mau menerima risiko dan mengintroduksiasi
produk-produk dan teknologi baru dalam masyarakat. Lebih jauh dikatakan
pertumbuhan ekonomi akan berkembang pesat dalam lingkungan masyarakat
yang merangsang untuk menggali penemuan-penemuan baru. Perhatian
pertumbuhan dan pembangunan terutama di negara-negara berkembang semakin
marak berkat pengaruh ajaran Keynes yang menginginkan adanya campur tangan
pemerintah dalam proses pembangunan. Dengan bermodal teori-teori dan konsep-
42
konsep yang digagas oleh Keynes, kemudian banyak negara berkembang ikut
aktif terlibat dalam proses pembangunan (Deliarnov, 2010).
2.2.4 Pertumbuhan Ekonomi Model Solow-Swan
Menurut Solow dan Swan, bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada
pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi penduduk, tenaga kerja dan
akumulasi modal serta tingkat kemajuan teknologi. Dengan kata lain, sampai
dimana perekonomian akan berkembang bergantung pertambahan penduduk,
akumulasi modal dan kemajuan teknologi (Arsyad, 1999). Selanjutnya menurut
teori ini, rasio modal-output (capital-output ratio = COR) bisa berubah (bersifat
dinamis), untuk menciptakan sejumlah output tertentu, bisa digunakan jumlah
modal yang berbeda-beda dengan bantuan tenaga kerja yang jumlahnya berbeda-
beda pula sesuai dengan yang dibutuhkan. Model Solow berdasarkan pada fungsi
produksi Cobb-Douglas yaitu :
Q = A.Kα. L β ................................................................................................... (2.1)
Dimana Q adalah output, A adalah teknologi, K adalah modal fisik, L adalah
tenaga kerja, α dan β adalah proporsi (share) input. Model Solow dapat
menunjukkan arah pertumbuhan keadaan mantap serta situasi pertumbuhan jangka
panjang yang ditentukan oleh peranan tenaga kerja dan kemajuan teknologi yang
semakin luas. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa model pertumbuhan
Solow menunjukkan bagaimana pertumbuhan dalam capital stock, pertumbuhan
tenaga kerja dan perkembangan teknologi mempengaruhi tingkat output.
Untuk menjelaskan teori pertumbuhan Solow maka pertama akan
dianalisis bagaimana peranan stok modal dalam pertumbuhan ekonomi dengan
43
asumsi tanpa adanya perkembangan. Apabila dimisalkan suatu proses
pertumbuhan ekonomi dalam keadaan dimana teknologi tidak berkembang, maka
tingkat pertumbuhan yang telah dicapai hanya karena adanya perubahan jumlah
modal (K) dan jumlah tenaga kerja (L). Hubungan kedua faktor tersebut dengan
pertumbuhan ekonomi dapat dinyatakan sebagai fungsi produksi :
Y = f (K,L) .........................................................................................................(2.2)
Dimana Y adalah tingkat pendapatan nasional, K adalah jumlah stok modal dan L
adalah jumlah tenaga kerja. Jika jumlah modal naik sebesar ΔK unit, jumlah
output akan meningkat sebesar marginal product of capital (MPK) dikalikan
dengan ΔK, dimana :
MPK = f (K + 1, L) – f (K,L).............................................................................. 2.3)
Jika tenaga kerja meningkat sebesar ΔL unit, maka jumlah output akan meningkat
sebesar marginal product of labour (MPL) dikalikan ΔL, dimana :
MPL = f (K,L +1) – f (K,L)................................................................................(2.4)
Perubahan ini akan lebih realistis apabila kedua faktor produksi ini berubah, yaitu
terjadi perubahan modal sebesar ΔK serta terjadi perubahan jumlah tenaga kerja
sebesar ΔL. Kita dapat membagi perubahan ini dalam dua sumber penggunaan
marginal products dari dua input :
ΔY = (MPK x ΔK) + (MPL x ΔL) ....................................................................(2.5)
Dalam kurung pertama adalah perubahan output yang dihasilkan dari
perubahan kapital, dan dalam kurung yang kedua adalah perubahan output yang
disebabkan oleh adanya perubahan tenaga kerja. Untuk mempermudah
interprestasi dan penerapan, maka persamaan kemudian diubah menjadi :
44
ΔY/Y = (MPK x K/Y) ΔK/K + (MPL x L/Y) ΔL/L.......................................... (2.6)
Dimana ΔY/Y adalah laju pertumbuhan output, MPK x K adalah total return to
capital, (MPK x K/Y) adalah share dari modal pada output, ΔK/K adalah tingkat
pertumbuhan dari modal, MPL x L adalah total kompensasi yang diterima oleh
tenaga kerja, (MPL x L/Y) adalah share dari tenaga kerja pada output, dan ΔL/L
adalah tingkat pertumbuhan dari tenaga kerja.
Dengan asumsi bahwa fungsi produksi dalam keadaan skala hasil tetap,
maka teorema Euler menyatakan bahwa kedua share tersebut apabila dijumlahkan
akan sama dengan 1 (satu) (Mankiw). Persamaan ini kemudian dapat ditulis :
ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L........................................................................ (2.7)
Dimana α adalah share dari modal dan (1 – α) adalah share dari tenaga kerja.
Telah dikemukakan bahwa pembahasan di atas diasumsikan tidak mengalami
perubahan teknologi, tetapi dalam praktiknya akan selalu terjadi perkembangan
dari teknologi. Oleh karenanya akan dimasukkan perubahan teknologi dalam
fungsi produksi menjadi :
Y = A f (K,L)..................................................................................................... (2.8)
Dimana A adalah tingkat teknologi pada saat sekarang atau yang disebut sebagai
total factor productivity. Sekarang output meningkat bukan hanya karena adanya
peningkatan dari modal dan tenaga kerja, tetapi juga karena adanya kenaikan dari
total factor productivity. Dengan memasukkan total factor productivity pada
persamaan (2.8), maka akan menjadi :
ΔY/Y = α ΔK/K + (1 – α) ΔL/L + ΔA/A .......................................................... (2.9)
45
Dimana ΔA/A adalah pertumbuhan dari total factor productivity atau juga sering
disebut sebagai Solow residual (Mankiw, 1997). Karena pertumbuhan total factor
productivity tidak bisa dilihat secara langsung, maka diukur secara tidak langsung
dihitung dengan cara :
ΔA/A = ΔY/Y – α ΔK/K – (1 – α) ΔL/L......................................................... (2.10)
Total factor productivity dapat berubah dengan beberapa alasan. Perubahan sering
dikaitkan dengan kenaikan pengetahuan pada metode produksi. Solow residual
sering juga digunakan untuk mengukur perkembangan teknologi. Faktor-faktor
produksi seperti pendidikan, regulasi pemerintah dapat mempengaruhi total factor
productivity. Sebagai contoh, jika pengeluaran pemerintah meningkat maka akan
dapat meningkatkan kualitas pendidikan, para pekerja akan menjadi lebih
produktif, dan output juga akan meningkat, yang mengimplikasikan total factor
productivity yang lebih besar (Mankiw, 1997).
2.3 Teori Pengembangan Wilayah
2.3.1 Pengertian Wilayah
Menurut Sakti Aji (2011), wilayah diartikan sebagai suatu permukaan
yang luas, dihuni manusia yang melakukan interaksi kegiatan dengan sumberdaya
alam, sumberdaya modal, sumberdaya teknologi, sumberdaya kelembagaan, dan
sumberdaya pembangunan lainnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi
dan sosial bagi masyarakat. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi wilayah
sebagai wadah pembangunan, maka seharusnya dilakukan penataan dan
pengaturan, pemanfaatan dan pengelolaan ruang wilayah yang efektif dan efisien.
46
Menurut Rustiadi (2006), wilayah dapat didefinisikan sebagai unit
geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen
wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga
batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat
dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam,
sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan.
Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan
sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada dalam batasan unit geografis tertentu.
2.3.2 Pengertian Pengembangan Wilayah
Konsep pengembangan wilayah lahir dari suatu proses interaktif yang
menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman praktis
(empiris) sebagai bentuk penerapannya yang dinamis. Selanjutnya dirumuskan
kembali menjadi suatu pendekatan teori yang disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan pembangunan di Indonesia. Teori tentang pengembangan wilayah telah
diintroduksikan oleh para ahli antara lain oleh Von Thunen (1826), Alfred Weber
(1929), Walter Christaller (1933), Augus Losch (1939), Francois Perroux (1955),
kemudian dikembangkan lebih lanjut sesuai kebutuhan secara dinamis. Dalam
perkembangannya, bongkar pasang konsep pengembangan wilayah dan beberapa
landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard
(1956) sebagai seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan
sebab dan akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor
fisik, sosial ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann (era 1958) yang
memunculkan teori polarization effect dan trickling down effect dengan
47
argumentasi bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan
(unbalanced development). Ketiga Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang
menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan
menggunakan istilah backwash effect dan spreadwash effect. Keempat adalah
Freadmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna
mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal
dengan teori pusat pertumbuhan. Kelima adalah Douglass (era 1970-an) yang
memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota (rulal-urban linkages)
dalam pengembangan wilayah (Haryanto dan Tukidi, 2007). Menurut Alkadri
(1999), pengembangan wilayah merupakan upaya membangun dan
mengembangkan suatu wilayah berdasarkan pendekatan spasial dengan
mempertimbangkan aspek sosial-budaya, ekonomi, lingkungan fisik dan
kelembagaan dalam suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan pembangunan
yang terpadu. Untuk itu konsep pembangunan suatu wilayah harus tetap mengacu
pada kondisi wilayah itu sendiri.
Hadjisarosa (1980) menyebutkan tujuan pengembangan wilayah adalah: 1)
pemerataan (perataan) tingkat pertumbuhan antar wilayah, 2) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada wilayah-wilayah tersebar, 3) mengurangi tingkat
kesenjangan (ekonomi dan sosial) antar wilayah, dan 4) memperkokoh struktur
perekonomian nasional dan regional (Sakti Aji 2011). Menurut Ambardi dan
Prihamantoro (2002), pengembangan wilayah (regional development) merupakan
suatu upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi
kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu
48
wilayah. Pengembangan wilayah diperlukan karena kondisi sosial ekonomi,
budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah
lainnya, sehingga dalam penerapannya sesuai dengan kondisi, potensi, dan
permasalahan tiap wilayah.
2.3.3 Faktor-Faktor Fundamental Dalam Pengembangan Wilayah.
Hoover dan Giarratani (1987) menyimpulkan tiga pilar penting dalam
proses pembangunan wilayah, yaitu: (i) Keunggulan komparatif (imperfect
mobility of factor), pilar ini berhubungan dengan keadaan ditemukannya sumber-
sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk
digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat
khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme
produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini
karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari
sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan,
dan kelompok usaha sektor primer lainnya; (ii) Aglomerasi (imperfect
divisibility), pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh
terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara
spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat
penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk; dan (iii)
Biaya transpor (imperfect mobility of good and service), pilar ini adalah yang
paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah
biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses
produksi dan pembangunan wilayah.
49
Sakti Aji (2011) mengatakan terdapat lima unsur fundamental dalam
pengembangan wilayah yaitu: (i) penduduk dalam jumlah yang cukup dan
berkualitas; (ii) sumberdaya alam yang potensial untuk dapat dikembangkan
secara berkelanjutan; (iii) adanya pusat yang berfungsi sebagai pusat kegiatan
pelayanan distribusi (pemasaran) barang-barang kebutuhan penduduk yang berada
di pusat-pusat sedang dan kecil; (iv) wilayah pengaruh yang berfungsi sebagai
wilayah pemasaran barang-barang dari pusat ke wilayah pengaruhnya masing-
masing (hinterland); dan (v) jaringan transportasi yang efektif dan efisien yang
digunakan untuk mendistribusikan (memasarkan) barang-barang dari pusat-pusat
sedang, kecil serta ke wilayah-wilayah pengaruh.
2.4 Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Pole Teory)
Adisasmita, R. (2008) menyatakan pusat pengembangan seringkali
didefinisikan sebagai suatu konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang
kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input dan output industri utama.
Konsentrasi dan saling keterkaitan adalah merupakan dua faktor penting dalam
setiap pusat pengembangan karena melalui faktor ini akan dapat diciptakan
berbagai bentuk agglomeration economies yang dapat menunjang pertumbuhan
dari industri-industri yang bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi.
Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan dari setiap pusat
pengembangan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 1) scale economies yaitu
semacam keuntungan yang dapat timbul karena pusat pengembangan
memungkinkan perusahaan industri yang tergabung di dalamnya beroperasi dalam
50
skala besar, karena ada jaminan bahan baku dan pasar; 2) locatization economies
yang dapat timbul akibat adanya keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan
bahan baku dan pemasaran dapat dipenuhi dengan mengeluarkan ongkos angkut
yang minimum; dan 3) urbanization economies yang timbul karena fasilitas
pelayanan sosial dan ekonomi dapat dipergunakan secara bersama sehingga
pembebanan ongkos untuk masing-masing perusahaan industri dapat dilakukan
serendahnya. Dengan demikian bahwa bila kegiatan ekonomi yang saling
berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu maka pertumbuhan
ekonomi pada daerah bersangkutan dapat ditingkatkan lebih cepat dibandingkan
kalau tersebar atau berpencar. Demikian juga bila pusat pengembangan dilakukan
pada suatu daerah yang relatif masih kurang berkembang dibandingkan daerah-
daerah lainnya, maka laju pertumbuhan daerah yang bersangkutan dapat
ditingkatkan sehingga perbedaan kemakmuran antar wilayah secara bertahap akan
tercapai (Adisasmita R., 2008).
Rustiadi dkk. (2011) mengatakan pusat pertumbuhan (growth pole teory),
yang dicetuskan oleh Francois Perroux, menyatakan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi tidak terjadi di semua wilayah, akan tetapi terbatas hanya
pada beberapa tempat tertentu dengan variabel yang berbeda-beda intensitasnya.
Terdapat elemen yang sangat menentukaan dalam teori kutub pertumbuhan yaitu
pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit
ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut semata-mata adalah dominasi ekonomi yang
terlepas dari pengaruh tata ruang wilayah geografis. Menurut Tarigan (2014),
pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
51
fungsional dan secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan adalah
suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat
hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi
kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya). Secara
geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas
dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang
menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan
masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada di kota tersebut,
walaupun kemungkinan tidak ada interaksi antara usaha-usaha.
Mercado (2002) menyatakan konsep pusat pertumbuhan diperkenalkan
pada tahun 1949 oleh Francois Perroux, mendefinisikan pusat pertumbuhan
sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Teori
pusat pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara
berkembang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
dengan melakukan investasi yang besar pada industri padat modal di pusat kota.
Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar
bebas melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke
bawah) dan menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan
ekonomi dari perkotaan kepedesaan. Namun pandangan ekonomi Neo-Klasik
berprinsip bahwa kekuatan pasar akan menjamin equilibrium (keseimbangan)
dalam distribusi spasial ekonomi dan proses trickle down effect atau centre down
dengan sendirinya akan terjadi ketika kesejahteraan di perkotaan tercapai dan
dimulai dari level yang tinggi seperti kawasan perkotaan ke kawasan yang lebih
52
hirarki perkotaan dan perusahaan-perusahaan besar. Namun demikian kegagalan
teori pusat pertumbuhan karena trickle down effect (dampak penetesan ke bawah)
dan spread effect (dampak penyebaran) tidak terjadi yang diakibatkan karena
aktivitas industri tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di wilayah
hinterland. Selain itu respon pertumbuhan di pusat tidak cukup menjangkau
wilayah hinterland karena hanya untuk melengkapi kepentingan hirarki kota.
Susanto dkk. (2010) menyatakan bahwa dalam rangka perencanaan dan
evaluasi pembangunan wilayah, diperlukan suatu indikator operasional dan
pengukurannya yang akan memandu perencana dan pelaksana pembangunan
wilayah untuk mengevaluasi kemajuan dan upaya penyesuaian atau bahkan
perbaikan jika diperlukan sejalan dengan dimensi ruang dan waktu. Lebih jauh
disebutkan indikator pembangunan wilayah hendaknya mengikuti sejumlah
karateristik daerah dalam empat dimensi yaitu: (1) dimensi sosial, (2) dimensi
ekonomi, (3) dimensi lingkungan hidup, dan (4) dimensi institusional. Senada
dengan itu Kurniawati (2012), menyebutkan ukuran pengembangan wilayah dapat
didekati dari (1) dimensi ekonomi yang diukur dengan indikator pertumbuhan
ekonomi dan pendapatan perkapita; (2) pelayanan publik yang diukur dari
ketersediaan fasilitas kesehatan, pendidikan, tenaga medis dan tenaga pendidik;
dan (3) dimensi sosial yang diukur dari kesejahteraan masyarakat, tingkat
pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat kemiskinan.
2.5 Konsep Ketimpangan Antar Wilayah
Menurut Taylor (2012), ketimpangan medeskripsikan jurang (gap) antara
golongan masyarakat berpendapatan tinggi dan rendah. Ketimpangan ekonomi
53
antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi sebagai konsekwensi dalam
kegiatan pembangunan ekonomi suatu negara (Sjafrizal, 2008; Adisasmita R.,
2013). Menurut Kuncoro (2003), seringkali ada trade off antara ketidakmerataan
dan pertumbuhan. Namun kenyataan membuktikan ketidakmerataan di negara-
negara sedang berkembang dalam dekade belakangan ini ternyata berkaitan
dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Meskipun ketimpangan itu tidak
dapat dihindari, bukan berarti hal tersebut boleh dibiarkan terus-menerus tinggi
(Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dikatakan pula bahwa, ketimpangan yang
tinggi dapat membawa dampak buruk terhadap kestabilan ekonomi dan kestabilan
politik. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi
agar jangan terlalu mencolok, atau perkembangannya sedapat mungkin jangan
sampai semakin membesar atau tambah melebar.
Terdapat kecenderungan bahwa kebijakan pembangunan yang dirancang
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi justru memperburuk kondisi
kesenjangan ekonomi antar wilayah. Kesenjangan ekonomi antar wilayah sering
menjadi permasalahan serius karena beberapa daerah dapat mencapai
pertumbuhan ekonomi cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami
pertumbuhan lambat. Hal ini dapat memicu migrasi penduduk dari wilayah
terbelakang ke wilayah maju sehingga timbul permasalahan sosial ekonomi di
wilayah maju. Selain itu, kemajuan perekonomian yang tidak sama di setiap
wilayah dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu terjadinya konflik
antar wilayah. Apabila keadaan ini dibiarkan semakin parah, dapat berpotensi
mengganggu kestabilan perekonomian wilayah dan negara (Sjafrizal, 2008).
54
Secara teoritik, permasalahan kesenjangan ekonomi antar wilayah dapat
dijelaskan menggunakan Hipotesis Neoklasik. Penganut Hipotesis Neoklasik
menyatakan pada permulaan proses pembangunan suatu negara, kesenjangan
ekonomi antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai
kesenjangan tersebut mencapai titik puncak. Bila proses pembangunan berlanjut,
maka secara berangsur-angsur kesenjangan ekonomi antar wilayah akan menurun.
Hal tersebut dikarenakan pada waktu proses pembangunan baru dimulai di NSB,
peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang
kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedang daerah yang tertinggal tidak
mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan sarana dan prasarana serta
rendahnya kualitas SDM. Pertumbuhan ekonomi lebih cepat di daerah dengan
kondisinya lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak
mengalami kemajuan dan akhirnya kesenjangan ekonomi antar wilayah cenderung
meningkat. Keadaan yang berbeda terjadi di negara maju dimana kondisi
daerahnya umumnya dalam kondisi yang lebih baik dari segi sarana dan prasarana
serta kualitas SDM. Dalam kondisi demikian, setiap peluang pembangunan dapat
dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya, proses pembangunan
pada negara maju akan mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah.
Kebenaran hipotesis Neoklasik ini diuji kebenarannya oleh Jefrey G.
Williamson pada tahun 1966 melalui studi tentang kesenjangan ekonomi antar
wilayah pada negara maju dan negara sedang berkembang dengan menggunakan
data time series dan cross section. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
hipotesis Neo Klasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar
55
secara empirik. Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu negara tidak otomatis
menurunkan kesenjangan ekonomi antar wilayah, tetapi pada tahap permulaan
justru terjadi sebaliknya (Sjafrizal, 2008). Williamson menemukan bahwa selama
tahap awal pembangunan, ketimpangan wilayah menjadi lebih besar dan
pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih
matang dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar daerah
maka ketimpangan berkurang dengan signifikan. Menurut Williamson
ketimpangan antar wilayah yang semakin membesar disebabkan oleh adanya
migrasi tenaga kerja, dan adanya pembangunan sarana publik pada daerah yang
lebih padat dan potensial. Selain itu kurangnya keterkaitan antar daerah dapat
menyebabkan terhambatnya proses efek sebar dari proses pembangunan yang
berdampak pada semakin besarnya ketimpangan yang terjadi. Pembangunan yang
selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang cukup tinggi ternyata belum
sepenuhnya dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan atau berbagai golongan
penduduk seluruh daerah atau dengan kata lain belum sepenuhnya dapat
mengatasi permasalahan ketimpangan antar daerah (Kuncoro, 2004).
Menurut Gie (1983), masalah ketimpangan wilayah dapat ditinjau dari tiga
segi yaitu: 1) regional income disparity, 2) urban rural income disparity, dan 3)
size of distribution on income. Ketimpangan jenis pertama lebih bersifat struktural
yakni di tengah permasalahan pembangunan yang kian pelik dan beragam di tiap
daerah, maka daerah mau tidak mau harus diberikan porsi yang semakin besar
untuk mengidentifikasi sendiri permasalahan yang dihadapinya dan merumuskan
strategi dan langkah-langkah pemecahannya. Ketimpangan jenis kedua, yakni
56
kesenjangan antar sektor, lebih disebabkan oleh strategi pembangunan yang bias
ke sektor perkotaan (urban bias) atau ke sektor modern sehingga sektor
tradisional dan pembangunan daerah pedesaan relatif tertinggal. Ketimpangan
jenis ketiga, yakni ketimpangan pendapatan yaitu jika pendapatan rata-rata
masyarakat secara keseluruhan telah meningkat, namun ini tidak cukup
menggembirakan jika diiringi oleh kesenjangan yang meningkat.
Menurut Adisasmita R. (2013), terdapat empat faktor penyebab yang
mendasari ketimpangan pendapatan antar wilayah yaitu: 1) sumber daya alam
yang dimiliki; 2) perpindahan tenaga kerja; 3) perpindahan modal; dan 4)
kebijakan pemerintah. Ketersediaan sumber daya alam yang berbeda antar
wilayah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam pertumbuhan antara
wilayah yang maju dan wilayah yang kurang maju. Perpindahan tenaga kerja dan
modal dari wilayah yang kurang berkembang ke wilayah yang berkembang akan
menimbulkan kesenjangan wilayah yang semakin meningkat. Demikian juga
kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi peningkatan dalam disparitas
pendapatan antar wilayah. Sjafrizal (2012) menyatakan ketimpangan pada suatu
wilayah atau antar wilayah memang merupakan kondisi alamiah atau natural yang
terjadi. Disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan antar wilayah
yaitu: 1) perbedaan sumber daya alam; 2) faktor demografis termasuk kondisi
tenaga kerja; 3) alokasi dana pembangunan antar wilayah baik investasi
pemerintah maupun investasi swasta; 4) konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah;
dan 5) mobilitas barang dan jasa. Menurut Jinghan (2012), beberapa faktor yang
menyebabkan ketimpangan wilayah yaitu: (1) konsentrasi kegiatan ekonomi
57
wilayah, yaitu semakin tinggi konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah tertentu
merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antar
daerah; 2) alokasi investasi, yaitu berdasarkan teori Harrod-Domar menerangkan
adanya korelasi positif antara tingkat investasi dengan laju pertumbuhan ekonomi,
dengan kata lain bahwa kurangnya investasi disuatu wilayah akan menyebabkan
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah
tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif.
Terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah menjadi penyebab
ketimpangan antar wilayah; 3) tingkat mobilitas dan faktor-faktor produksi yang
rendah antar daerah, dimana kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti
tenaga kerja dan modal bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi
regional; 4) perbedaan sumberdaya alam antar daerah. Dasar pemikiran klasik
mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumberdaya
alamnya akan lebih cepat maju dibandingkan dengan daerah yang miskin
sumberdaya alam; 5) perbedaan kondisi demografis antar wilayah. Ketimpangan
ekonomi regional juga disebabkan oleh perbedaan kondisi demografis, terutama
dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan, pendidikan,
kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Faktor-faktor ini mempengaruhi
tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi permintaan dan
penawaran; 6) kurang lancarnya perdagangan antar daerah juga merupakan unsur-
unsur yang turut menciptakan terjadinya ketimpangan ekonomi regional., dimana
ketidaklancaran tersebut lebih disebabkan oleh keterbatasan sarana transportasi
dan komunikasi.
58
Fenomena hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
pendapatan pertama kali diperkenalkan oleh Kuznets (1955). Kuznets menemukan
bahwa pada tahap awal pertumbuhan, distribusi pendapatan cenderung
memburuk, namun pada tahap berikutnya, distribusi pendapatan tersebut membaik
seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita yang dikenal dengan nama
kurva “U” terbalik dari hipotesis Kuznets (Deutsch dan Silbert, 2000, Tambunan,
2003; Arsyad, 2010; Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Pada tahap awal
pembangunan, pertumbuhan ekonomi biasanya terpusat di sektor modern dan
terkonsentrasikan pada wilayah-wilayah yang sudah maju. Atau dengan kata lain
pertumbuhan di wilayah yang sudah maju lebih cepat dibandingkan dengan
wilayah lain yang baru berkembang.
Menurut Todaro (2006), laju pertumbuhan yang tinggi tidak selalu
memperburuk distribusi pendapatan. Dijelaskan negara Taiwan dan Korea Selatan
mengalami laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan distribusi pendapatan yang
kian merata. Namun Meksiko dan Panama megalami laju pertumbuhan yang
cepat, tetapi diiringi dengan memburuknya distribusi pendapatan. Kasus lainnya
di India, Peru dan Philipina menunjukkan bahwa laju pertumbuhan GNP yang
rendah disertai pula dengan memburuknya distribusi pendapatan. Sri Lanka,
Kolombia , Kosta Rika dan El Savador walaupun mengalami pertumbuhan yang
rendah, namun mereka berhasil memperbaiki kesejahteraan masyarakatnya.
Ketimpangan harus mendapat perhatian karena ketimpangan wilayah yang
ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi, alokasi aset yang tidak efisien dan
menambah jumlah kemiskinan, inefisiensi melemahkan stabilitas sosial dan
59
solidaritas dan memperkuat kekuatan politis golongan kaya sehingga
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat (Todaro, 2006). Menurut Armstrong
& Taylor (1993), ketimpangan wilayah yang substansial pada standar hidup
menyebabkan timbulnya ketidakpuasan terutama dirasakan oleh mereka yang
standar hidupnya rendah, tingginya tingkat pengangguran, dan terjadinya biaya-
biaya ekonomi pada daerah yang berkembang. Sumodiningrat (2007) mengatakan
kesenjangan yang berkepanjangan menjadi ancaman yang akan menghilangkan
potensi sumber-sumber ekonomi dalam mendukung keberlanjutan pembangunan.
Secara sosial, masalah ini juga dapat memunculkan kecemburuan dan memicu
komplik maupun kerusuhan. Untuk itu langkah penting dalam mengurangi
kesenjangan adalah meningkatkan produktivitas penduduk dan pendapatan
kelompok masyarakat berpendapatan rendah, mendorong penyebaran penduduk,
mendayagunakan potensi daerah secara optimal dengan membangun sarana dan
prasarana serta meningkatkan keterkaitan antar sektor yang diwujudkan melalui
pembangunan.
Ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah, adalah pencerminan
merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara dikalangan
penduduknya (Dumairy, 1999). Untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar
wilayah dapat menggunakan beberapa pendekatan yaitu: indeks Williamson,
indeks entropi Theil, indeks Bonet, dan konvergensi sigma (Kuncoro, 2013).
Dalam penelitian ini ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah
menggunakan pendekatan indeks Williamson. Pengukuran indeks ini dihitung
60
dengan formula sebagai berikut (Tadjoeddin, 2001; Daryanto dan Hafizrianda,
2010; Kuncoro, 2013):
............................................................................... (2.11)
dimana :
CVw = Coefficient of Variation (Indeks Williamson)
Fi = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa)
N = Jumlah penduduk Provinsi bersangkutan (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (rupiah)
y = PDRB per kapita rata-rata Provinsi bersangkutan (rupiah)
Indeks Williamson berkisar antara 0 < IW < 1, di mana semakin mendekati
nol artinya wilayah tersebut semakin rendah atau merata (convergence). Bila
mendekati satu maka semakin tinggi atau timpang (divergence). Untuk
mempermudah interpretasi terhadap tinggi rendahnya tingkat ketimpangan
wilayah kriterianya adalah: nilai indeks ketimpangan wilayah dikatakan rendah
apabila nilai indeks Williamson di bawah 0,30. Sedangkan ketimpangan wilayah
dikatakan sedang, apabila nilai indeks antara 0,30-0,40, dan dikatakan
ketimpangan wilayah tinggi, apabila nilai indeks di atas 0,40 (Emilia, 2006).
2.6 Konsep Faktor Sumber Daya Alam
Menurut Adisasmita R. (2013), pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh
faktor-faktor produksi yang dimiliki yaitu: tenaga kerja, modal, sumber daya
alam, dan teknologi. Wilayah cepat berkembang memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi karena memiliki faktor-faktor produksi yang cukup
potensial. Ciri dari wilayah yang cepat berkembang adalah memiliki infrastruktur
61
yang tersedia cukup, kapasitas produksi meningkat, output yang dihasilkan
bertambah, nilai produksi seluruh sektor (PDRB) meningkat, menimbulkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat,
mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Menurut Badrudin (1999),
bahwa perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah karena adanya potensi
sumber daya yang tidak merata. Sukirno (1999) mengemukakan bahwa apabila
negara mempunyai kekayaan sumber daya alam yang dapat diusahakan dengan
menguntungkan, maka pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat. Rustiadi dkk.
(2011) mengatakan sumber daya alam adalah mesin pertumbuhan (the engine of
growth) dimana dalam pemanfaatannya manusia mentransformasikan menjadi
sumberdaya buatan yang memiliki nilai lebih tinggi yang menyebabkan
produktivitas dan kesejahteraan manusia menjadi lebih tinggi atau lebih baik.
Berdasarkan teori tersebut dapat disintesa bahwa sumber daya alam adalah salah
satu faktor produksi potensial yang penting dan menguntungkan untuk
dimanfaatkan melalui transformasi menjadi sumber daya buatan memiliki nilai
lebih tinggi yang dapat menyebabkan meningkatnya produktivitas dan
pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat.
Kuncoro (2010) menyebutkan peran sektor pertanian dalam perekonomian
Indonesia secara umum adalah; (1) pembentuk produk domestik bruto (PDB); (2)
salah satu sumber penghasil devisa; (3) penyedia pangan penduduk dan bahan
baku bagi industri; (4) salah satu sektor yang dapat mengentaskan masalah
kemiskinan; (5) penyedia lapangan kerja; (6) salah satu sumber peningkatan
62
pendapatan masyarakat; dan (7) salah satu sumber pemantapan ketahanan pangan
nasional.
Pengukuran faktor sumber daya alam didekati dari sisi produksi yang
diproksi dari jumlah nilai produk domestik regional bruto (PDRB) sektor primer
yang meliputi sektor pertanian dan sektor pertambangan/penggalian yang dimiliki
dan dimanfaatkan serta dicapai tiap daerah. Sektor pertanian mencakup: subsektor
pertanian tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor
kehutanan dan subsektor perikanan. Sektor pertambangan dan penggalian
mencakup subsektor minyak dan gas bumi, subsektor pertambangan tanpa minyak
dan gas (migas) serta subsektor penggalian (BPS Provinsi Papua, 2014).
2.7 Konsep Tenaga Kerja Terserap
Menurut Subri (2003), bahwa tenaga kerja diartikan penduduk usia kerja
(berusia 15-64 tahun) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang
dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka,
dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Teori Neo Klasik
menyebutkan salah satu faktor produksi yang memiliki sifat mobilitas adalah
tenaga kerja. Peningkatan tenaga kerja disektor produksi diasumsikan dapat
meningkatkan permintaan terhadap layanan sektor jasa baik secara langsung
maupun tidak langsung (Setiono, 2011).
Menurut Sjafrizal (2012), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah karena perbedaan kondisi
demografis. Demografis disini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan
63
struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, serta
perbedaan kondisi ketenagakerjaan termasuk didalamnya adalah tingkat
pengangguran. Daerah dengan kondisi demografisnya baik akan mempunyai
produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga akan mendorong peningkatan
investasi ke daerah bersangkutan. Lessman (2006) melihat kondisi demografis
dari sisi tingkat pengangguran suatu wilayah, dimana tingkat pengangguran yang
tinggi berhubungan dengan makin tingginya ketimpangan di wilayah tersebut.
Pertumbuhan tenaga kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu
faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi, jadi semakin besar jumlah
tenaga kerja berarti akan menambah jumlah tenaga kerja produktif sehingga akan
meningkatkan produktivitas dan akan memacu pertumbuhan ekonomi. Hal ini
sejalan dengan teori Neo Klasik menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan salah
satu faktor yang menjelaskan tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi selain
modal dan teknologi. Hubungan tingkat pengangguran dengan ketimpangan
pembangunan sangat berkaitan dengan proses pembangunan dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara atau wilayah bersangkutan.
Dalam penelitian ini pengukuran variabel tenaga kerja terserap
menggunakan jumlah penduduk berumur 15 tahun keatas yang melakukan
pekerjaan dengan maksud memperoleh upah atau membantu memperoleh
pendapatan atau keuntungan, dengan lama bekerja paling sedikit satu jam secara
kontinyu dalam seminggu diukur jumlahnya tiap tahun dalam satuan jiwa (Subri,
2003; BPS Provinsi Papua, 2014).
64
2.8 Konsep Aglomerasi
Menurut Teori Klasik, aglomerasi disebut sebagai suatu bentuk spasial
dengan konsep penghematan aglomerasi melalui konsep eksternalitas. Terkait
konsep ini para ekonom sering menyebut istilah penghematan internal dan
eksternal (internal economies dan external economies). Penghematan internal
adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau
pabrik. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal
ini meliputi pembagian kerja, digantinya tenaga manusia dengan mesin ataupun
menjaga titik optimal operasi yang meminimumkan biaya. Penghematan eksternal
merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktifitas di luar lingkup
perusahaan atau pabrik. Penghematan eksternal dapat diraih oleh suatu industri
dengan beraglomerasi secara spasial karena perusahaan-perusahaan dalam industri
yang sama bersaing satu sama lain untuk memperoleh pasar atau konsumen.
Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku dalam
daerah tersebut. Keterkaitan antar industri dan faktor-faktor pendukungnya
disebut kausalitas kumulatif (cumulative causation) (Kuncoro, 2002). Menurut
Kuncoro (2002), aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di
kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan
(economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari
perusahaan, para pekerja, dan konsumen untuk meminimisasi biaya-biaya seperti
biaya transportasi, informasi, dan komunikasi.
Istilah aglomerasi pada awalnya dikenalkan oleh Weber (1868-1958),
sebagai salah satu faktor penting dalam upaya menjelaskan faktor-faktor yang
65
menentukan lokasi industri. Pendekatan ini pada umumnya berdasarkan biaya
terendah memberikan gambaran faktor aglomerasi sebagai sebuah faktor
penyebab berkumpulnya beberapa kegiatan industri di suatu lokasi akibat adanya
potensi penghematan biaya. Penghematan yang terjadi dapat disebabkan oleh
biaya transport yang lebih murah, upah yang lebih murah ataupun penghematan
biaya-biaya lain yang berkaitan dengan produksi dan pemasaran (Setiono, 2011).
Menurut Marshal (1842-1924), mempopulerkan konsep externalitas positif yang
penerapannya juga dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena terbentuknya
konsentrasi kegiatan industri di suatu lokasi. Menurutnya interaksi antar
perusahaan industri di suatu lokasi memungkinkan terjadinya limpasan (spillover)
pengetahuan dan teknologi antar perusahaan sehingga semakin meningkatkan
produktivitas lokasi yang bersangkutan (Setiono, 2011).
Menurut Marshal, Arrow, Romer (MAR) (Setiono, 2011), ada tiga sumber
utama externalitas positif aglomerasi yaitu: 1) externalitas input, adanya
konsentrasi produsen-produsen satu jenis industri tertentu membangkitkan
permintaan akan input dalam jumlah yang cukup signifikan sehingga menjadi
insentif serta daya tarik bagi pemasok input untuk datang dan berusaha di sekitar
lokasi. 2) externalitas pasar tenaga kerja, konsentrasi industri sejenis dapat
menciptakan pasar tenaga kerja spesialis yang semakin meningkatkan nilai jual
ketrampilan spesifik terhadap perusahaan dan lokasi bersangkutan. Hal ini terjadi
hubungan yang saling memperkuat antar tenaga kerja dan perusahaan industri
dalam hal pengembangan nilai-nilai spesifik ataupun citra terhadap lokasi yang
bersangkutan; 3) eksternalitas pengetahuan, merupakan kondisi yang terbentuk
66
oleh atmosfir kegiatan di lokasi konsentrasi industri yang memfasilitasi proses
pertukaran informasi dan pengetahuan antar perusahaan khususnya dalam kaitan
dengan mekanisme limpasan teknologi dan pengetahuan. Christaller (1933)
menegaskan keterpusatan (aglomerasi) juga menjadi salah satu unsur dalam
mendukung peran dan tujuan dari pengembangan wilayah (Sakti Aji, 2011).
Menurut Tarigan (2004), keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi
atau terjadinya aglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale)
dan economic of agglomeration. Economic of scale adalah keuntungan karena
dapat berproduksi berdasarkan spesialisasi sehingga produksi lebih besar dan
biaya per unit lebih efisien. Economic of agglomeration ialah keuntungan karena
di tempat itu terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan oleh
perusahaan. Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah yang cukup tinggi akan
cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar wilayah
sebab proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan konsentrasi kegiatan
ekonomi rendah proses pembangunan akan berjalan lebih lambat. Oleh karena itu,
ketidakmerataan ini menimbulkan ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Begitu pula, konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar kota-kota besar
biasanya diikuti dengan adanya disparitas pendapatan antar daerah (Akita dan
Lukman,1995).
Pengukuran aglomerasi menggunakan konsep aglomerasi produksi yang
dihitung dari Share PDRB wilayah terhadap total PDRB wilayah yang lebih tinggi
dalam satuan persen (Bonet, 2006; Nazara, 1994; Suryaningrum, 2000; Winarto,
67
2004; Sandhika dan Hendarto, 2012). Dalam penelitian ini variabel aglomerasi
menggunakan proporsi PDRB tiap kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Papua
atas dasar harga konstan tanpa tambang tahun 2009-2013 dalam satuan persen
(BPS Provinsi Papua, 2014).
2.9 Konsep Pertumbuhan Ekonomi
Djojohadikusuma (1994) mengatakan pertumbuhan ekonomi berbeda
dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan
proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat,
sementara pembangunan mengandung arti yang lebih luas. Proses pembangunan
mencakup perubahan pada komposisi produksi, perubahan pada pola penggunaan
alokasi sumber daya produksi diantara sektor-sektor kegiatan ekonomi, perubahan
pada pola distribusi kekayaan dan pendapatan diantara berbagai golongan pelaku
ekonomi, perubahan pada kerangka kelembagaan dalam kehidupan masyarakat
secara menyeluruh. Namun demikian pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu
ciri pokok dalam proses pembangunan, hal ini diperlukan berhubungan dengan
kenyataan adanya pertambahan penduduk. Bertambahnya penduduk dengan
sendirinya menambah kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan
pelayanan kesehatan dan penyedian infrastruktur. Adanya keterkaitan yang erat
antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, ditunjukan pula dalam sejarah
munculnya teori-teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
Todaro dan Smith (2003) menyebutkan terdapat tiga faktor utama dalam
pertumbuhan ekonomi suatu negara, yaitu: (1) Akumulasi modal (capital
68
accumulation) terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan
diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di
kemudian hari. Pengadaan pabrik baru, mesin-mesin dan peralatan dan bahan
baku meningkatkan stok modal (capital stock) fisik suatu negara yakni total nilai
riil netto atas seluruh barang modal produktif secara fisik dan hal itu jelas
memungkinkan terjadinya peningkatan output di masa-masa yang akan datang; (2)
Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja, secara tradisional dianggap sebagai
salah satu faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah
tenaga kerja yang lebih besar berarti akan meningkatkan tenaga kerja produktif,
sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti meningkatkan ukuran
pasar domestiknya; (3) Kemajuan teknologi, bagi kebanyakan ekonom
menyatakan kemajuan teknologi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang
terpenting. Dalam pengertian yang paling sederhana, kemajuan teknologi terjadi
karena ditemukan cara baru atau perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani
pekerjaan-pekerjaan tradisional. Kemajuan teknologi tersebut dapat beragam
sifatnya, yaitu pertama, teknologi yang bersifat netral. Kemajuan teknologi yang
netral terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat
produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor
input yang sama. Kedua, kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, dan ketiga,
kemajuan teknologi hemat modal. Di negara-negara dunia ketiga yang melimpah
tenaga kerja tetapi langka modal, kemajuan teknologi, hemat modal merupakan
sesuatu yang amat diperlukan. Kemajuan teknologi ini akan menghasilkan metode
produksi padat karya yang lebih efisien.
69
Menurut Sukirno (1995), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
perubahan tingkat kegiatan ekonomi yang berlangsung dari tahun ke tahun. Untuk
mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan dengan pendapatan
nasional berbagai tahun yang dihitung berdasarkan atas harga konstan. Jadi
perubahan dalam nilai pendapatan hanya semata-mata disebabkan oleh suatu
perubahan dalam suatu tingkat kegiatan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi
suatu daerah dapat dihitung melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke
tahun. Suatu perekonomian dikatakan baik apabila tingkat kegiatan ekonomi masa
sekarang lebih tinggi daripada yang dicapai pada masa sebelumnya.
Susanti dkk. (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
salah satu indikator penting guna menganalisis pembangunan ekonomi yang
terjadi di suatu negara atau daerah. Perekonomian dikatakan mengalami
pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap penggunaan faktor-faktor
produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun sebelumnya. Indikator
yang lazim digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah
tingkat pertumbuhan angka-angka pendapatan seperti produk domestik regional
bruto (PDRB). Pada bagian lainnya Arsyad (1999) mengatakan ada dua konsep
pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana
terjadi kenaikan pendapatan nasional riil. Perekonomian dikatakan tumbuh atau
berkembang apabila terjadi pertumbuhan output riil. Output riil suatu
perekonomian bisa juga tetap konstan atau mengalami penurunan. Perubahan
ekonomi meliputi pertumbuhan, statis ataupun penurunan, dimana pertumbuhan
adalah perubahan yang bersifat positif sedangkan penurunan merupakan
70
perubahan yang bersifat negatif; dan (2) pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada
kenaikan output perkapita dalam hal ini pertumbuhan ekonomi menggambarkan
kenaikan taraf hidup yang diukur dengan output total riil perkapita. Oleh karena
itu pertumbuhan ekonomi terjadi apabila tingkat kenaikan output total riil >
daripada tingkat pertambahan penduduk, sebaliknya terjadi penurunan taraf hidup
actual bila laju kenaikan jumlah penduduk lebih cepat daripada laju pertambahan
output total riil. Pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada waktu yang
sama, pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang disebut pusat
pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi daerah
merupakan suatu proses pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam mengelola
sumberdaya yang ada untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang
pertumbuhan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999).
Widodo (2001) mengatakan bahwa untuk mengetahui pertumbuhan
ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari perkembangan PDRB pada daerah
tersebut. Pada awal pembangunan ekonomi suatu negara, umumnya perencanaan
pembangunan ekonomi berorientasi pada masalah pertumbuhan (growth). Hal ini
bisa dimengerti mengingat penghalang utama bagi pembangunan negara sedang
berkembang adalah terjadinya kekurangan modal. Lebih jauh diterangkan, bahwa
laju pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikkan output perkapita dalam
jangka panjang. Penekanan pada proses karena mengandung unsur dinamis,
perubahan, atau perkembangan. Oleh karena itu, pemahaman indikator
pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tetentu, misalnya
tahunan. Laju pertumbuhan ekonomi akan diukur melalui indikator
71
perkembangan PDRB dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi pada prinsipnya
harus dinikmati penduduk, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu
dapat dinikmati penduduk, jika pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi. Dengan
kata lain, mengkaitkan laju pertumbuhan ekonomi dengan laju pertumbuhan
penduduk akan memberi indikator yang lebih realistis.
Sagir (2009) mengatakan bahwa ekonomi harus tetap tumbuh terkelola
jika kehidupan manusia ingin terus maju dan sejahtera. Salah satu manfaat
pertumbuhan ekonomi adalah pengentasan kemiskinan. Kemiskinan dampak
negatifnya adalah keterbelakangan yang bersumber dari kebodohan dan atau
kekurangan gizi sumber daya manusianya. Kondisi negatif tersebut menjadi wajar
adanya karena SDM yang miskin pada umumnya bodoh/tidak terdidik dan
menganggur sehingga tidak bisa menghasilkan nafkah. Yulianita (2009)
mengatakan pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas
perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu
periode tertentu. Indikator pertumbuhan ekonomi dapat digunakan untuk
menentukan sebuah keberhasilan pembangunan yang telah dicapai dan bahan
evaluasi untuk perencanaan dalam menentukan kebijakan prioritas arah
pembangunan yang akan datang. Dewanto dkk. (2014) juga memperkuat pendapat
di atas, bahwa konsep dasar pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan hasil
kegiatan ekonomi seluruh unit ekonomi dalam suatu wilayah, atau bisa juga
dikatakan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah peningkatan Produk
Domestik Regional Bruto atau Produk Domestik Regional Neto, dimana produk
72
atau hasil kegiatan ekonomi dari seluruh unit ekonomi domestik berada dalam
wilayah kekuasaan atau administratif seperti negara, provinsi, atau kabupaten.
Pengukuran Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dihitung
melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun (Sukirno, 1995;
Widodo, 2001; Prasetyo, 2011; Setiono, 2011; Dewanto dkk., 2014). Dalam
penelitian ini variabel pertumbuhan ekonomi menggunakan perubahan PDRB atas
dasar harga konstan (tanpa tambang) pada tiap kabupaten/kota di Provinsi Papua
tahun 2009-2013 dalam satuan persen (BPS Provinsi Papua, 2014).
2.10 Pengaruh Antar Variabel Penelitian
2.10.1 Pengaruh Faktor Sumber Daya Alam Terhadap Aglomerasi
Pandangan klasik mengatakan pembangunan ekonomi di daerah yang kaya
sumber daya alam akan lebih cepat maju dibandingkan dengan daerah yang
miskin sumber daya alam. Aglomerasi dinyatakan sebagai suatu bentuk spasial
dengan penghematan. Terkait dengan penghematan para ekonom sering menyebut
istilah penghematan internal dan eksternal. Penghematan internal adalah suatu
pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik.
Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktifitas
di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Penghematan eksternal dapat diraih oleh
suatu industri dengan beraglomerasi secara spasial karena perusahaan-perusahaan
dalam industri yang sama bersaing satu sama lain untuk memperoleh pasar atau
konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan
baku dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2012).
73
Aglomerasi dengan penghematan bahan baku salah satunya adalah
ketersediaan faktor sumber daya alam menjadi sangat penting. Tarigan (2014)
menyatakan bahwa aglomerasi menyebabkan kebutuhan akan bahan baku dan
tenaga kerja yang dipasok dari wilayah belakangnya akan meningkat tajam.
Menurut Jinghan (2012), sumber daya alam tergantung pada kegunaannya, dan
kegunannya senantiasa berubah sepanjang waktu karena perubahan dalam teknik
atau penemuan baru. Sjafrizal (2012) mengatakan daerah dengan kandungan
sumber daya alam yang cukup banyak akan dapat memproduksi barang-barang
tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang
mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih sedikit. Arsyad (1992)
menegaskan peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sangat
penting karena sebagian anggota masyarakat di negara-negara miskin
menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Mubyarto (1995) menyatakan
bahwa sektor pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi.
Hoover dan Giarratani (1987) menyebutkan tiga pilar penting dalam
proses pembangunan wilayah, yaitu: (i) Keunggulan komparatif berhubungan
dengan keadaan ditemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik
relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini
disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim
dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga
wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa
berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain
pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor
74
primer lainnya; (ii) Aglomerasi yang merupakan fenomena eksternal yang
berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi
secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat
penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk; dan (iii)
Biaya transpor adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas
perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi
tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.
Penghematan dan efisiensi dalam proses produksi melalui aglomerasi
sangat penting. Hal ini sejalan dengan Montgomery (1988) yang menyatakan
bahwa aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan
perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja
dan konsumen. Daerah-daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonomi terjadi akan
memperoleh manfaat yang disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration
economies). Menurut Bradley and Gans (1996), bahwa ekonomi aglomerasi
adalah eksternalitas yang dihasilkan dari kedekatan geografis dari kegiatan
ekonomi. Pandangan yang searah juga diungkapkan Krugman (1998), bahwa
aglomerasi (agglomeration) baik aktivitas ekonomi dan penduduk di perkotaan
menjadi isu sentral dalam literatur geografi ekonomi, strategi bisnis dan
peningkatan daya saing nasional dan studi-studi regional. Menurut Malmberg dan
Maskell (2001), aglomerasi berkaitan dengan konsentrasi spasial dari penduduk
dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Salah satu keuntungan dari adanya aglomerasi
adalah penghematan bahan baku yaitu ketersediaan dan kemudahan dalam
75
pemanfaatan sumber daya alam di wilayah tersebut. Pandangan ini sejalan dengan
Sakti Adji (2013) yang mengatakan bahwa sumber daya alam yang potensial
merupakan salah satu unsur fundamental dalam pengembangan wilayah.
Menurut Richardson (1977), faktor-faktor geografis yang ikut menentukan
munculnya industri di suatu wilayah terdiri dari bahan mentah, sumber daya
tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran, dan fasilitas transportasi. Begitu
juga Kuncoro (2010) menyebutkan bahwa salah satu peran sektor pertanian dalam
perekonomian Indonesia adalah penyedia pangan penduduk dan bahan baku bagi
industri. Purnomo (2014) juga menyatakan bahwa pemusatan industri dapat terjadi
disuatu lokasi karena terkonsentrasinya beberapa faktor yang dibutuhkan dalam
kegiatan produksi, misalnya, bahan–bahan mentah, tenaga kerja, energi, pasar,
izin mendirikan usaha, pajak yang lebih murah, penanggulangan limbah industri.
Rostow (Adisasmita, 2013) dalam masa perhatian sebelum mencapai tahap
lepas landas mengatakan bahwa perkembangan ekonomi dimungkinkan adanya
kenaikan produktifitas di sektor pertanian. Sumbangan sektor pertanian
menyebabkan sektor tersebut memegang peranan penting, adalah : (1) kemajuan
sektor pertanian diperlukan untuk mengirim agar penyediaan bahan makanan bagi
penduduk bertambah akan tetap tersedia, (2) perkembangan sektor pertanian dapat
menunjang perkembangan sektor industri dan kenaikan produktifitas di sektor
pertanian akan memperluas pasar komoditas hasil pertanian. Kenaikan pendapatan
petani akan memperluas pasar industri barang-barang konsumsi, dan (3)
kesanggupan sektor pertanian menyediakan bahan pangan yang cukup akan
menghindarkan penggunaan devisa untuk mengimpor bahan makanan sehingga
76
dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang lain yang lebih berguna (seperti
mesin-mesin pabrik, pupuk dan sebagainya). Merujuk dari teori dan pandangan
tersebut dapat disintesa bahwa pengaruh faktor sumber daya alam terhadap
aglomerasi memiliki arah yang positif, artinya bahwa perubahan meningkatnya
faktor sumber daya alam akan dapat menyebabkan meningkatkan aglomerasi
akibat dari meningkatnya permintaan dan penawaran baik untuk input produksi
industri pengolahan maupun kebutuhan pangan untuk konsumsi penduduk.
Secara empiris hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan pengaruh
sumber daya alam terhadap aglomerasi sebelumnya yaitu : Kim (1995) menguji
sejauh mana lokalisasi industri (aglomerasi industri) yang dapat dijelaskan dengan
determinan skala ekonomi dan sumber daya (scale economies and resources).
Ukuran pabrik rata-rata atas dasar pekerja produksi (production workers),
digunakan sebagai ukuran skala ekonomi (scale economic). Sedangkan intensitas
bahan baku (raw material intensity) digunakan sebagai ukuran sumber daya
(resources). Salah satu hasil penelitiannya menemukan bahwa sumber daya yang
diukur dari intensitas bahan baku (raw material intensity) berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap lokalisasi industri (aglomerasi industri). Bradley and Gans
(1996) mengatakan bahwa ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas yang
dihasilkan dari kedekatan geografis dalam kegiatan ekonomi. Salah satu hasil
penelitiannya mendukung model empiris dimana aglomerasi yang diproksi dari
spesialisasi regional dapat dijelaskan oleh faktor resource yang digunakan (raw
material intensity).
77
2.10.2 Pengaruh Faktor Sumber Daya Alam Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Sumber daya alam sangat penting karena merupakan salah satu faktor
produksi yang berkontribusi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Solow, 1954;
Stiglitz, 2000). Prasetyo (2011) bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan erat
dengan pertumbuhan input yang meliputi: modal manusia (human capital),
sumber daya alam (natural capital), pembentukan (built capital) dan modal sosial
(social capital). Menurut Sukirno (2006), peningkatan pertumbuhan ekonomi
melalui indikator Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan
kemampuan suatu daerah mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Oleh
karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat
bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi daerah tersebut.
Adisasmita R. (2013) pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh faktor-
faktor produksi yang dimiliki yaitu: tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan
teknologi. Wilayah cepat berkembang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi karena memiliki faktor-faktor produksi yang cukup potensial. Ciri dari
wilayah yang cepat berkembang adalah memiliki infrastruktur yang tersedia
cukup, kapasitas produksi meningkat, output yang dihasilkan bertambah, nilai
produksi seluruh sektor (PDRB) meningkat, menimbulkan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi tingkat
pengangguran dan kemiskinan.
Badrudin (1999) mengungkapkan bahwa terjadinya tingkat pertumbuhan
ekonomi antar wilayah karena adanya potensi sumber daya yang tidak merata.
Sukirno (2000) mengemukakan bahwa bila negara mempunyai kekayaan sumber
78
daya alam yang dapat diusahakan dengan menguntungkan, maka pertumbuhan
ekonomi dapat dipercepat. Pandangan senada diperkuat lagi oleh Rustiadi dkk.
(2011) mengatakan bahwa sumber daya alam adalah mesin pertumbuhan (the
engine of growth) dimana dalam pemanfaatannya manusia mentransformasikan
menjadi sumberdaya buatan yang memiliki nilai lebih tinggi yang menyebabkan
produktivitas dan kesejahteraan manusia menjadi lebih tinggi atau lebih baik.
Berdasarkan teori tersebut dapat dirumuskan sintesa bahwa sumber daya alam
adalah salah satu faktor produksi untuk dimanfaatkan dan menguntungkan yang
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Merujuk dari teori dan
pandangan tersebut dapat disintesa bahwa pengaruh faktor sumber daya alam
terhadap pertumbuhan ekonomi memiliki arah yang positif, artinya bahwa
peningkatan produksi faktor sumber daya alam akan dapat meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi di wilayah bersangkutan.
Secara empiris hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan
Gebremariam, et al (2004) bahwa meningkatnya PDRB atau dengan kata lain
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan membawa peningkatan pada kapasitas
produksi bagi perekonomian. Meningkatnya kapasitas produksi berarti akan
meningkatkan permintaan input produksi yang salah salah satunya adalah faktor
produksi sumber daya alam. Meningkatnya produksi sektor sumber daya alam
akan mampu meningkatkan kontribusi terhadap PDRB dan pada akhirnya
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah bersangkutan. Pryor and
Holt (1998) hasil studinya menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam
perkembangan ekonomi nasional (GDP) mencapai 53 persen lebih tinggi dari
79
Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil. Dampak dari peningkatan
GDP tersebut mampu meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di negara
bersangkutan.
2.10.3 Pengaruh Faktor Sumber Daya Alam Terhadap Ketimpangan
Distribusi Pendapatan Antar Wilayah
Sumber daya alam sangat penting karena merupakan salah satu faktor
produksi yang berkontribusi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Solow, 1954;
Stiglitz, 2000). Sumber daya alam yang dimiliki tiap wilayah menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya ketimpangan antar wilayah (Sjafrizal, 2012; Jinghan,
2012; Adisasmita, 2013). Sjafrizal (2012) mengatakan daerah dengan kandungan
sumber daya alam yang cukup banyak akan dapat memproduksi barang-barang
tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang
mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih sedikit. Arsyad (1992)
menegaskan peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi sangat
penting karena sebagian anggota masyarakat di negara-negara miskin
menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut. Mubyarto (1995) menyatakan
bahwa sektor pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan ekonomi.
Hoover dan Giarratani (1987) menyebutkan salah satu pilar penting dalam
proses pembangunan wilayah yaitu keunggulan komparatif yang berhubungan
dengan keadaan ditemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik
relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini
disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim
dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga
80
wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa
berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain
pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor
primer lainnya. Merujuk dari teori dan pandangan tersebut dapat dinyatakan
bahwa perubahan peningkatan faktor sumber daya alam memiliki arah yang
negatif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah, artinya bahwa
perubahan meningkatnya faktor sumber daya alam akan dapat menyebabkan
menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah.
Secara empiris pengaruh faktor sumber daya alam terhadap ketimpangan
antar wilayah telah dibuktikan oleh peneliti sebelumnya antara lain yaitu:
Yeniwati (2013) tentang ketimpangan ekonomi antar Provinsi di Sumatera periode
tahun 2005-2011 mengungkapkan salah satu temuan penelitiannya bahwa sumber
daya alam berpengaruh negatif signifikan terhadap ketimpangan ekonomi antar
Provinsi di Sumatera. Fakta ini menunjukkan bahwa jika sumber daya alam
meningkat maka ketimpangan ekonomi antar provinsi di wilayah bersangkutan
akan menurun. Pieters (2010) melakukan studi tentang bagaimana pertumbuhan
sektoral dan ketimpangan di India dengan analisis diperpanjang dari Sistem
Neraca Sosial Ekonomi (SAM). Salah satu temuan hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa hanya pertumbuhan pertanian mengurangi ketimpangan.
Hasil studinya mendukung Ravallion and Datt (1996) yang menemukan fakta
bahwa pertumbuhan di sektor primer dan tersier mengurangi kemiskinan,
sementara pertumbuhan di sektor sekunder tidak. Kesimpulan yang sama juga
dikatakan Khan and Thorbecke (1989) dan James and Khan (1997) dalam hasil
81
studinya menegaskan bahwa teknologi padat karya tradisional lebih egaliter
daripada teknologi modern padat modal. Alasannya adalah produksi dengan
menggunakan teknologi tradisional menciptakan lebih banyak lapangan kerja
langsung dan tidak langsung, serta lebih banyak pendapatan untuk rumah tangga
pedesaan.
2.10.4 Pengaruh Tenaga Kerja Terserap Terhadap Aglomerasi
Tenaga kerja terserap di suatu wilayah mencerminkan persentase seberapa
besar tenaga kerja usia produktif di suatu wilayah dapat diserap oleh lapangan
kerja yang tersedia. Semakin tinggi angka atau persentase tenaga kerja terserap
maka semakin baik pula produktivitas ekonomi di wilayah itu. Menurut Kuncoro
(2002), aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktifitas ekonomi di kawasan
perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of
proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para
pekerja, dan konsumen untuk meminimisasi biaya-biaya seperti biaya transportasi,
informasi, dan komunikasi. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga
terampil dan bahan baku dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2012). Menurut
Tarigan (2014), aglomerasi menyebabkan kebutuhan akan bahan baku dan tenaga
kerja yang dipasok dari wilayah belakangnya akan meningkat tajam. Aglomerasi
juga mampu meningkatkan pertumbuhan penduduk yang berpotensi
meningkatkan pasar. Hal ini sejalan dengan pandangan Arsyad (1999)
menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk dan hal - hal yang berhubungan
dengan kenaikan jumlah angkatan kerja (labor force) secara tradisional dianggap
sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin
82
banyak angkatan kerja yang bekerja berarti semakin banyak faktor produksi
tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi
pasar domestik.
Sukirno (2000) menyatakan penduduk merupakan faktor penting dalam
peningkatan produksi dan kegiatan ekonomi kerena dalam penyediaan lapangan
kerja, tenaga ahli dan usahawan diperoleh dari penduduk itu sendiri. Arsyad
(1999) menyatakan pertumbuhan penduduk yang tinggi juga membuka potensi
pasar yang besar apabila dapat dimanfaatkan dengan baik. Menurut Sakti Aji
(2011), dua unsur fundamental dalam pengembangan wilayah adalah (i) penduduk
dalam jumlah yang cukup dan berkualitas, dan (ii) adanya pusat yang berfungsi
sebagai pusat kegiatan pelayanan distribusi (pemasaran) barang-barang kebutuhan
penduduk yang berada dipusat-pusat, sedang dan kecil.
Menurut Setiono (2011), mengatakan ada tiga sumber utama externalitas
positif aglomerasi yaitu: 1) externalitas input, adanya konsentrasi produsen-
produsen satu jenis industri tertentu membangkitkan permintaan akan input dalam
jumlah yang cukup signifikan sehingga menjadi insentif serta daya tarik bagi
pemasok input untuk datang dan berusaha di sekitar lokasi. 2) externalitas pasar
tenaga kerja, konsentrasi industri sejenis dapat menciptakan pasar tenaga kerja
spesialis yang semakin meningkatkan nilai jual ketrampilan spesifik terhadap
perusahaan dan lokasi bersangkutan. Hal ini terjadi hubungan yang saling
memperkuat antar tenaga kerja dan perusahaan industri dalam hal pengembangan
nilai-nilai spesifik ataupun citra terhadap lokasi yang bersangkutan; dan 3)
eksternalitas pengetahuan, merupakan kondisi yang terbentuk oleh atmosfir
83
kegiatan di lokasi konsentrasi industri yang memfasilitasi proses pertukaran
informasi dan pengetahuan antar perusahaan khususnya dalam kaitan dengan
mekanisme limpasan teknologi dan pengetahuan. Dengan pemahaman teorikal
tersebut dapat disintesa bahwa terdapat relasi positif antara tenaga kerja terserap
dan agolmerasi. Artinya jika terjadi perubahan peningkatan jumlah tenaga kerja
terserap berarti akan dapat berpengaruh positif terhadap perubahan aglomerasi di
wilayah bersangkutan.
Secara empiris teori ini dibuktikan dari hasil studi Tiffani (2014)
mengatakan bahwa aglomerasi dapat terbentuk karena adanya tenaga kerja yang
berpindah, karena adanya upah yang lebih tinggi pada sebuah daerah, tenaga kerja
ini berpindah dari tempat yang mempunyai upah rendah ke daerah dengan upah
yang tinggi. Tenaga kerja dihargai dengan upah yang disesuaikan dengan
produktivitasnya. Jika tenaga kerja mengharapkan upah yang tinggi maka harus
diimbangi dengan produktivitas yang maksimal. Daerah dengan tingkat upah yang
tinggi akan mendorong tingkat produktivitas tenaga kerjanya, sehingga daerah
dengan tingkat upah yang tinggi akan lebih unggul dalam produktivitas tenaga
kerja dan mampu mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik. Tenaga kerja
yang berpindah tersebut akan membentuk pemusatan yang akhirnya menghasilkan
aglomerasi.
2.10.5 Pengaruh Tenaga Kerja Terserap Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Tenaga kerja sangat penting karena merupakan salah satu faktor produksi
yang berkontribusi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Solow, 1954; Stiglitz,
2000). Prasetyo (2011) bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan erat dengan
84
pertumbuhan input yang meliputi: modal manusia (human capital), sumber daya
alam (natural capital), pembentukan (built capital) dan modal sosial (social
capital). Menurut Adisasmita R. (2013), pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh
faktor-faktor produksi yang dimiliki yaitu: tenaga kerja, modal, sumber daya
alam, dan teknologi. Wilayah cepat berkembang memiliki tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi karena memiliki faktor-faktor produksi yang cukup
potensial. Menurut Nicholson (1999) tenaga kerja adalah salah satu faktor
produksi yang berperan penting dalam mengintegrasikan modal dan teknologi
dalam proses produksi. Sukirno (2000) menyatakan penduduk merupakan faktor
penting dalam peningkatan produksi dan kegiatan ekonomi kerena dalam
penyediaan lapangan kerja, tenaga ahli dan usahawan diperoleh dari penduduk itu
sendiri. Jumlah angkatan kerja yang bekerja secara tradisional merupakan faktor
positif dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak
angkatan kerja yang bekerja maka semakin besar juga tingkat produksi yang
dihasilkan dan berimbas kepada naiknya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi juga membuka potensi pasar yang besar apabila dapat
dimanfaatkan dengan baik (Arsyad, 1999). Menurut Suparmoko dan Maria
(2000), bahwa angkatan kerja yang bekerja merupakan salah satu faktor produksi
yang penting untuk peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu
daerah. Sejalan dengan itu Todaro (2003) juga menyatakan bahwa pertumbuhan
angkatan kerja dan pertumbuhan penduduk secara tradisional dianggap sebagai
salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Dengan merujuk
dari teori dan pandangan tersebut dapat disintesa bahwa tenaga kerja terserap
85
memiliki pengaruh dengan arah positif terhadap pertumbuhan ekonomi, artinya
bahwa jika terjadi perubahan peningkatan jumlah tenaga kerja terserap, maka akan
dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di wilayah bersangkutan.
Secara empiris pengaruh tenaga kerja terserap terhadap pertumbuhan
ekonomi telah dibuktikan beberapa peneliti sebelumnya diantaranya: Pribadi, et al
(2015) salah satu temuan studinya bahwa tenaga kerja berpengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Gresik 2004-2013. Maharani dan
Isnowati (2014) melakukan studi di Provinsi Jawa Tengah dan salah satu
temuannya menyatakan bahwa tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah. Suparmoko dan Maria
(2000) mengungkapkan bahwa angkatan kerja yang bekerja merupakan salah satu
faktor produksi yang penting untuk peningkatan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) suatu daerah. Peningkatan PDRB menyebabkan terjadinya peningkatan
laju pertumbuhan ekonomi. Nuryadin, et al (2007) dalam studinya menemukan
fakta bahwa variabel laju angkatan kerja berpengaruh positif signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan kenyataan seperti itu, maka
pemerintah di Indonesia harus terus meningkatkan kualitas angkatan kerjanya agar
nantinya menjadi tenaga kerja yang unggul, terampil dan dapat diandalkan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sabir (2015) menemukan bahwa
pertumbuhan ekonomi memberi kontribusi positif dan signifikan terhadap
penyerapan tenaga kerja pada kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Riyad
(2012) menyelidiki sejumlah faktor yang mempengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi di enam negara ASEAN (Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand,
86
Philipina dan Vietnam) periode 1990-2009 dan menemukan fakta empirik bahwa
faktor jumlah tenaga kerja memberi kontribusi besar terhadap peningkatan
pertumbuhan ekonomi di enam negara ASEAN tersebut. Hasanah F. (2016)
melakukan penelitian tentang analisis pengaruh aglomerasi industri, angkatan
kerja dan human capital investment terhadap pertumbuhan ekonomi
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 - 2014. Salah satu hasil
penelitian menunjukkan bahwa angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Siregar dan Wahyuniarti (2008), yang
menyatakan bahwa adanya pertumbuhan ekonomi mengindikasikan semakin
banyaknya orang yang bekerja. Penduduk yang masih menganggur akan
memperoleh peluang bekerja yang lebih besar, dan di sisi lain, para pekerja yang
sudah bekerja tapi dengan gaji yang rendah, dapat mencari pekerjaan lain dengan
pendapatan yang lebih besar dan jumlah penduduk miskin berpendapatan rendah
akan berkurang.
2.10.6 Pengaruh Tenaga Kerja Terserap Terhadap Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Antar Wilayah
Tenaga kerja terserap diduga memiliki pengaruh terhadap ketimpangan
distribusi antar wilayah. Perubahan besar kecilnya jumlah tenaga kerja yang
terserap akan memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya ketimpangan antar
wilayah (Sjafrizal, 2012, Jinghan, 2012, Adisasmita, 2013). Tenaga kerja sebagai
salah satu faktor produksi diduga memiliki pengaruh terhadap ketimpangan
wilayah karena tenaga kerja yang terserap merupakan indikator dari proses
pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah
87
akan meningkatkan sumbangan atau kontribusi wilayah tersebut terhadap PDRB
total dan juga memberi efek penarikan tenaga kerja terampil ke pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang memusat di wilayah-wilayah
tertentu akan menimbulkan ketimpangan wilayah karena terjadi pergeseran
jumlah tenaga kerja terampil yang ingin mengakses kesempatan kerja yang
banyak dijumpai di daerah pusat pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut sejalan dengan hasil studi Williamson (1965) menyatakan
bahwa selama tahap awal pembangunan, ketimpangan wilayah menjadi lebih
besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang
lebih matang dari pertumbuhan ekonomi tampak adanya keseimbangan antar
daerah maka ketimpangan berkurang dengan signifikan. Menurut Williamson
(1965), ketimpangan antar daerah yang semakin membesar disebabkan oleh,
pertama adanya migrasi tenaga kerja, migrasi kapital dan adanya pembangunan
sarana publik pada daerah yang lebih padat dan potensial. Selain itu kurangnya
keterkaitan antar daerah dapat memyebabkan terhambatnya proses efek sebar dari
proses pembangunan yang berdampak pada semakin besarnya ketimpangan yang
terjadi. Pembangunan yang selama ini telah menghasilkan pertumbuhan yang
cukup tinggi ternyata belum sepenuhnya dinikmati secara merata oleh seluruh
lapisan atau berbagai golongan penduduk seluruh daerah atau dengan kata lain
belum sepenuhnya dapat mengatasi permasalahan ketimpangan antar daerah.
Dengan demikian merujuk dari pemahaman teori dan pandangan tersebut dapat
disintesa bahwa tenaga kerja terserap memiliki pengaruh dengan arah yang negatif
terhadap ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah, artinya jika terjadi
88
perubahan peningkatan jumlah tenaga kerja terserap, maka akan dapat
menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah bersangkutan.
Secara empiris penelitian Lessman (2006) menyatakan bahwa pengangguran
yang tinggi berpengaruh terhadap makin tingginya ketimpangan wilayah. Hal ini berarti
jika tenaga kerja terserap meningkat maka akan dapat menurunkan tingkat ketimpangan
wilayah. Hasil studi Kurniawan dan Sugiyanto (2013) menemukan bahwa tingkat
jumlah orang yang bekerja berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah di
Provinsi Jawa Tengah. Hal ini berarti jumlah orang yang bekerja semakin
meningkat sebagai faktor input bagi pembangunan suatu daerah menjadi lebih
optimal di wilayah Provinsi Jawa Tengah karena dapat meningkatkan distribusi
pendapatan yang lebih merata sehingga dapat mengurangi adanya ketimpangan.
2.10.7 Pengaruh Aglomerasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Antar Wilayah
Bendavid-Val (1991) mengatakan aktivitas di suatu daerah ditentukan
oleh aktivitas basis (sektor basis) sedangkan aktivitas-aktivitas non basis
merupakan konsekwensi dari pembangunan menyeluruh tersebut. Sementara itu,
sektor bukan basis merupakan aktivitas-aktivitas pendukung. Bertambah
banyaknya kegiatan basis di suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke
dalam daerah dan peningkatan permintaan barang dan jasa, sehingga
menimbulkan kenaikan volume kegiatan bukan basis. Sebaliknya berkurangnya
kegiatan basis akan menyebabkan berkurangnya pendapatan yang masuk ke
daerah dan turunnya permintaan barang dan jasa dari kegiatan bukan basis. Hal ini
dipicu oleh kecenderungan bahwa sumber daya modal, manusia, dan teknologi
bergerak ke arah pusat-pusat industri maju yang umumnya telah memiliki sarana
89
dan prasarana bisnis yang memadai. Jika pemerintah tidak melakukan campur
tangan, maka kecenderungan ini dapat memicu terjadi ketimpangan antar wilayah
yang makin melebar.
Akita dan Lukman (1995) mengatakan konsentrasi kegiatan ekonomi yang
tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
disparitas pembangunan antar daerah. Pembangunan ekonomi di daerah dengan
konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan
daerah yang memiliki tingkat konsentrasi kegiatan ekonomi rendah. Begitu pula,
konsentrasi penduduk di dalam dan di sekitar kota-kota besar biasanya diikuti
dengan adanya disparitas pendapatan antar daerah. Pandangan senada juga
diungkapkan oleh Sjafrizal (2008) mengatakan terjadinya konsentrasi kegiatan
ekonomi yang cukup tinggi akan mendorong terjadinya ketimpangan
pembangunan antar wilayah. Konsentrasi ini tercermin dalam kegiatan
aglomerasi. Pertumbuhan ekonomi daerah dengan konsentrasi ekonomi yang lebih
tinggi akan lebih cepat. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong
pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan
pendapatan masyarakat. Hal yang sebaliknya juga berlaku, bilamana konsentrasi
ekonomi suatu darah rendah maka akan mendorong terjadinya pengangguran dan
tingkat pendapatan masyarakat yang rendah. Myrdal (Jhingan,1993) dalam
teorinya mengenai dampak balik (backwasheffect) dan dampak sebar
(spreadeffect) mengemukakan bahwa dampak balik cenderung membesar dan
dampak sebar yang semakin mengecil membuat ketimpangan wilayah di negara-
negara terbelakang. Kuncoro (2012) yang menyebutkan bahwa salah satu faktor
90
penyebab ketimpangan antar wilayah adalah adanya konsentrasi pembangunan
antar wilayah. Dengan demikian merujuk dari pemahaman teori dan pandangan
tersebut dapat disintesa bahwa pengaruh aglomerasi memiliki arah yang positif
terhadap ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah. Artinya bahwa jika
terjadi perubahan peningkatan aglomerasi, maka akan dapat menyebabkan
meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah.
Secara empiris penelitian sebelumnya diantaranya dilakukan oleh Bonet
(2006) yang menganalisis pengaruh variabel aglomerasi produksi terhadap
ketimpangan pendapatan regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
aglomerasi produksi dan ketimpangan pendapatan regional terdapat hubungan
yang positif dan signifikan. Hal itu berarti terjadinya peningkatan aglomerasi
produksi, maka akan meningkatkan ketimpangan pendapatan regional. Yeniwati
(2013) yang melakukan penelitian tentang ketimpangan ekonomi antar provinsi di
Sumatera periode tahun 2005-2010 yang salah satu hasil temuannya
menyimpulkan bahwa aglomerasi berpengaruh positif signifikan terhadap
ketimpangan antar provinsi di Sumatera. Hal ini memperlihatkan jika terjadi
peningkatan aglomerasi, maka akan meningkatkan ketimpangan antar provinsi di
Sumatera. Hasil yang senada juga diungkapkan Ginting (2014) yang menemukan
bahwa aglomerasi memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan pembangunan
antar wilayah di Indonesia. Hal ini menggambarkan bahwa setiap terjadi
aglomerasi disuatu wilayah dapat mendorong terjadinya ketimpangan
pembangunan antar wilayah di Indonesia.
91
2.10.8 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Ketimpangan Distribusi
Pendapatan Antar Wilayah
Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan
ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antar
penduduk, antar daerah dan antar sektor. Tujuan utama dari usaha-usaha
pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya,
harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan
pendapatan, dan tingkat pengangguran (Todaro dan Smith, 2003).
Menurut Todaro (2005), pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses
peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk
mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Menurut Sukirno (1995),
pertumbuhan ekonomi merupakan suatu perubahan tingkat kegiatan ekonomi
yang berlangsung dari tahun ke tahun. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan
ekonomi harus dibandingkan dengan pendapatan nasional berbagai tahun yang
dihitung berdasarkan atas harga konstan. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah
dapat dihitung melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun ke tahun.
Menurut Sjafrizal (2008), ketimpangan antar wilayah terjadi karena
perbedaan endowment factor berupa kekayaan sumber daya alam serta demografi
yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Kekayaan alam yang dimiliki oleh
suatu daerah dapat berpengaruh terhadap proses produksi daerah tersebut dan
membedakaanya satu dengan yang lain. Daerah yang memiliki ketersediaan
sumber daya alam yang tinggi dapat memproduksi barang-barang tertentu dalam
jumlah yang lebih besar dan harga yang lebih murah daripada daerah yang
memiliki keterbatasan dalam sumber daya alam yang dimiliki. Kondisi yang
92
demikian akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah yang kaya akan
sumber daya alam memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada
daerah yang kekurangan sumber daya alam. Hal ini akan dapat mendorong
terjadinya ketimpangan antar wilayah yang satu dengan lainnya.
Kuznets (1955) berpendapat bahwa pada tahap awal pertumbuhan
ekonomi, disitribusi pendapatan cenderung memburuk, tetapi pada tahap
selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik yang kemudian dikenal dengan
kurva Kuznets “U-terbalik (Todaro, 2003). Dengan kata lain, ketimpangan akan
selalu ada dalam proses pembangunan suatu wilayah terutama pada tahap awal,
namun seiring dengan perkembangan dan pendewasaan perekonomian, maka
tingkat ketimpangan akan menurun. Studi tentang ketimpangan ekonomi yang
lebih bersifat makro digagas oleh Williamson (1965) yang memformulasikan
konsep teori tentang ketimpangan wilayah pada suatu Negara. Inter-regional
disparity yag menjadi obyek studi Williamson berbeda dengan pendekatan Kuznet
yang memformulasikan ketimpangan pendapatan individual. Willaimson yang
melakukan ivestigasi terhadap ketimpangan regional dan mendapatkan fakta
bahwa terdapat perbedaan yang tajam dari distribusi pendapatan antar wilayah
yang berbeda satu sama lainnya.
Sejumlah pandangan yang memperkuat pola pengaruh ketimpangan antar
wilayah dengan pertumbuhan ekonomi antara lain dikemukakan oleh
Bourguignon (1996), yang mendapatkan fakta empirik bahwa ketimpangan antar
wilayah memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Perotti (1996)
yang mendapatkan relasi positif antara pertumbuhan ekononi dengan ketimpangan
93
wilayah. Dinyatakan bahwa kesenjangan pendapatan antar wilayah akan
membawa resiko sosial dan ketidak-stabilan politik. Galor dan Tsiddon (1997)
menemukan adanya keterkaitan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan
ketimpangan wilayah. Hal yang searah diungkapkan Aghion dan Bolton (1997)
menemukan ada dampak positif dari penurunan kesenjangan pendapatan dengan
pertumbuhan ekonomi. Gradstein (2007) dalam kajiannya menunjukkan bahwa
penurunan kesenjangan pendapatan antar wilayah akan menstimulasi investasi
untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Kefi dan Zouhaier (2012)
menyajikan model ketimpangan pendapatan antar wilayah yang dipengaruhi oleh
laju pertumbuhan ekonomi menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tidak berfungsi menurunkan kesenjangan pendapatan antar wilayah dapat memicu
persoalan sosial dan gangguan pergerakan investasi. Forbes (2000) mendapatkan
fakta empirik bahwa terjadinya ketimpangan wilayah berdampak pada penurunan
pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian merujuk dari teori dan pandangan
tersebut dapat disintesa bahwa pengaruh pertumbuhan ekonomi memiliki arah
yang positif terhadap ketimpangan antar wilayah. Artinya bahwa jika terjadi
perubahan peningkatan pertumbuhan ekonomi maka akan dapat menyebabkan
meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan antar wilayah.
Penelitian empiris pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan
antar wilayah telah dibuktikan beberapa peneliti sebelumnya misalnya, Wei dan
Fan (2000) melakukan penelitian tentang ketimpangan wilayah di Propinsi
Jiangsu RRC, menemukan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi yang cepat di kota-
kota menyumbang ketimpangan antar daerah. Hasil penelitian Jalil (2012) tentang
94
ketimpangan pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi menunjukkan pola yang
positif, dimana pertumbuhan ekonomi memiliki keterkaitan erat dan memberikan
pengaruh terhadap dinamika ketimpangan pendapatan. Nugroho dan
Soeliastianingsih (2007) salah satu hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan
antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Fakta serupa juga diungkapkan
oleh Bakri, et al (2015) dalam studinya menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan di
Provinsi Sumatera Barat. Pangkiro, et al (2016) dalam studinya menemukan
bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap
ketimpangan ekonomi di Provinsi Sulawesi Utara.
2.11 Penelitian Terdahulu
Penelitian empiris yang ada relevansinya dengan penelitian ini terkait
analisis pengaruh sektor sumber daya alam, tenaga kerja terserap, aglomerasi dan
pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota
telah menarik perhatian beberapa peneliti sebelumnya, meskipun dengan lokasi,
waktu pengamatan, populasi, teknik pengambilan sampel, variasi peubah dan
pendekatan analisis statistik yang berbeda-beda. Ada pula penelitian yang
memasukkan variabel tambahan seperti: jumlah penduduk, investasi, neraca
berjalan dan lainnya. Beberapa hasil penelitian empiris terdahulu antara lain :
Wei dan Fan (2000) melakukan penelitian tentang ketimpangan wilayah di
Propinsi Jiangsu RRC, menemukan bahwa pertumbuhan yang cepat di kota-kota
95
menyumbang ketimpangan antar daerah. Dijelaskan sejak bergulirnya reformasi,
pertumbuhan bagian selatan (Yunan) bahkan lebih cepat dan memperlebar
ketimpangannya dibandingkan dengan bagian tengah (Suzhong) dan utara (Subei).
Namun berbeda dengan Papanek dan Kin (1986) hasil studinya menemukan
bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi lebih sering dikaitkan dengan
ketimpangan pendapatan yang lebih rendah. Birdsall, et al (1995) menolak
pandangan teori ketidakmerataan, dan mengatakan justru dengan pemerataan,
pertumbuhan yang dicapai bisa lebih tinggi. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan model regresi terhadap sembilan
negara di Asia Timur yaitu: Hongaria, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia,
Singapura, Taiwan, China dan Thailand. Meskipun selama tiga dasa warsa
pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut tinggi, kemerataan pendapatan
menjadi semakin baik atau minimal tetap. Fenomena ini bisa dilihat dari
menurunnya proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Nuryadin et al. (2007) melakukan penelitian tentang aglomerasi dan
pertumbuhan ekonomi peran karateristik regional di Indonesia periode tahun
1994-2003. Analisis yang digunakan regresi data panel dengan metode GLS
(Generalized Least Squares). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
aglomerasi berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap laju pertumbuhan
ekonomi regional (PDRB riil). Laju angkatan kerja berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap laju pertumbuhan PDRB riil. Laju Openness memiliki arah
yang konsisten yaitu signifikan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
96
regional. Tingkat pendidikan berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap
laju pertumbuhan PDRB riil.
Noegroho dan Soelistianingsih (2007) hasil studinya dengan estimasi
menggunakan data panel menunjukan bahwa faktor ketimpangan pendapatan,
migrasi keluar dan pengeluaran pemerintah daerah mempunyai pengaruh yang
positip dan signifikan bagi pertumbuhan ekonomi regional, sebaliknya inflasi
regional berpengaruh negatif.
Sasana (2009) melakukan analisis tentang dampak pertumbuhan ekonomi,
kesenjangan antar daerah dan tenaga kerja terserap terhadap kesejahteraan di
kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah dalam era desentralisasi fiskal. Tujuannya
adalah menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan di
kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah, menganalisis pengaruh kesenjangan
terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah, dan menganalisis
pengaruh variabel tenaga kerja terserap terhadap kesejahteraan di kabupaten/kota
Provinsi Jawa Tengah. Penelitian menggunakan data sekunder panel data yaitu
gabungan antara data time series selama periode lima tahun (2001-2005) dengan
data cross section 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. Teknik analisis
menggunakan analisis jalur (path analysis), yang diaplikasikan sebagai model
untuk menganalisis pengaruh secara langsung maupun tidak langsung variabel
eksogen terhadap variabel endogen. Simpulan penelitiannya bahwa pertumbuhan
ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap
kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Kesenjangan
ekonomi antar daerah berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang
97
negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Jawa
Tengah. Tenaga kerja terserap berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah.
Mopangga (2011) melakukan penelitian tentang analisis ketimpangan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo. Tujuan penelitian
untuk menganalisis pengaruh PDRB perkapita, IPM dan ratio belanja infrastruktur
terhadap indeks ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi
Gorontalo selama periode tahun 2001-2008. Teknik analisis menggunakan dua
pendekatan yaitu analisis deskriptif dengan model Shift Share dan matriks
Tipologi Klassen untuk menjelaskan struktur ekonomi di Provinsi Gorontalo.
Pendekatan kuantitatif panel data menggunakan model regresi berganda dengan
fixed effect model (FEM). Hasil penelitian ditemukan, bahwa ketimpangan di
Provinsi Gorontalo diawal pembangunan cenderung meningkat (divergence) dan
berangsur menurun (convergence) seperti yang ditunjukkan oleh kurva
ketimpangan pembangunan dalam Hipotesa Neo-Klasik. Secara simultan
perbedaan PDRB perkapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Rasio
Belanja Infrastruktur (RBI) sangat signifikan sebagai sumber utama ketimpangan
di Provinsi Gorontalo. Secara parsial dengan menggunakan Indeks Willliamson,
maka PDRB perkapita signifikan, begitu pula IPM dan RBI sangat signifikan
sebagai sumber ketimpangan di Provinsi Gorontalo.
Nuriansyah dan Kusnendi (2011) melakukan penelitian dengan judul
pengaruh PDRB perkapita, pertumbuhan penduduk dan inflasi terhadap
kesenjangan distribusi pendapatan antar daerah di Jawa Barat periode 1985-2009.
98
Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif dan regresi linier berganda
dengan bantuan aplikasi program Eviews 6.1 dan SPSS 16.0. Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa secara parsial PDRB perkapita dan pertumbuhan penduduk
memiliki pengaruh positif terhadap kesenjangan distribusi pendapatan, sedangkan
inflasi memiliki pengaruh yang negatif. Secara bersama-sama PDRB perkapita,
pertumbuhan penduduk, dan inflasi mempengaruhi kesenjangan distribusi
pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Barat. Ditemukan pula nilai koefisien
determinasi dari ketiga variabel bebas tersebut berpengaruh atau berkontribusi
terhadap variabel terikat sebesar 34,27 persen dan sisanya sebesar 66,52 persen
dipengaruhi oleh faktor lain diluar model.
Yeniwati (2013) melakukan penelitian tentang analisis ketimpangan
ekonomi antar Provinsi di Sumatera. Tujuan penelitiannya untuk mengidentifikasi
ketimpangan pembangunan ekonomi dengan pendekatan PDRB perkapita atas
harga konstan tahun 2000 pada 10 provinsi yang ada di Sumatera selama periode
tahun 2005-2010. Kemudian untuk mengetahui: (1) pengaruh investasi terhadap
ketimpangan ekonomi di Sumatera; (2) pengaruh aglomerasi terhadap
ketimpangan ekonomi di wilayah Sumatera; dan (3) pengaruh sumber daya alam
terhadap ketimpangan ekonomi di Sumatera. Metode analisis untuk mengetahui
ketimpangan pembangunan ekonomi digunakan indeks Williamson. Sedangkan
untuk mengetahui pengaruh sejumlah variabel terhadap ketimpangan
pembangunan menggunakan panel data dengan Random Effect Model (REM).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari 10 provinsi yang ada di Sumatera yang
memiliki indeks ketimpangan yang lebih besar dari rata-rata Sumatera ada 5
99
provinsi. Hasil estimasi menunjukkan pengaruh negatif dan signifikan antara
investasi dengan ketimpangan ekonomi di wilayah Sumatera. Variabel aglomerasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan ekonomi di wilayah
Sumatera. Dan variabel sumber daya alam berpengaruh negatif terhadap
ketimpangan ekonomi di wilayah Sumatera.
Penelitian ini adalah tentang analisis ketimpangan distribusi pendapatan
antar kabupaten/kota di Provinsi Papua yang merupakan pengembangan dan
perluasan dari hasil kajian empiris penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan
oleh: Sasana (2009), Mopangga (2011), Nuriansyah dan Kusnendi (2011),
Yeniwati (2013); Nuryadin et al. (2013) dengan lokasi, waktu, jumlah variabel,
populasi, sample dan model analisis yang berbeda. Terdapat kesamaan dan
perbedaan penelitian ini dengan hasil kajian empiris penelitian sebelumnya seperti
yang diuraikan di muka. Persamaannya adalah dalam hal penggunaan data panel,
variabel eksogen maupun model analisis data. Perbedaannya adalah tujuan dan
lokasi penelitian, periode waktu pengamatan, populasi, jumlah sample, dan jumlah
variabel eksogen yang digunakan untuk menjelaskan variabel endogen
ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Papua
periode 2009-2013. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil
kompilasi dari peneliti sebelumnya yang pernah dilakukan terdiri dari dua variabel
eksogen yaitu: faktor sumber daya alam dan tenaga kerja terserap serta tiga
variabel endogen yaitu aglomerasi, pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan
distribusi pendapatan antar wilayah. Keterbaharuan penelitian (research novelty)
ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif dengan statistik deskriptif dan
100
inferensia model path analysis dengan regresi persamaan simultan untuk
menjawab masalah dan tujuan penelitian tentang bagaimana pengaruh langsung
antar variabel eksogen terhadap variabel endogen dan pengaruh tidak langsung
variabel eksogen faktor sumber daya alam dan tenaga kerja terserap terhadap
ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Papua
melalui mediasi variabel aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi dengan Sobel test.
Hasil penelitian akan menjadi simpulan dan informasi terbaru sebagai
jawaban dari masalah pokok dalam research ini. Kemudian dari simpulan tersebut
menjadi saran bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) utamanya
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Papua sebagai bahan evaluasi dan
pertimbangan terbaru dalam pengambilan keputusan (decision making) maupun
menetapkan kebijakan strategis (strategic policy) dalam usaha perbaikan dan
mendorong akselerasi pemerataan pembangunan guna mengurangi atau tidak
semakin melebarnya ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di
Provinsi Papua secara berkesinambungan ke depan.