PENERAPAN METODE FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water ...

6
133 Warta PPKS, 2020, 25(3): 133-138 Naskah masuk: 08/07/2020; Naskah diterima: 25/10/2020 PENERAPAN METODE FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) DALAM SKRINING TANAMAN KELAPA SAWIT TOLERAN KEKERINGAN toleran kekeringan yang efektif dan lebih cepat, pemulia tertarik untuk mengembangkan seleksi berbasis sifat morfologi, fisiologi dan biokimia (Barcelos, et al., 2015 ; Rival, 2017). Respons tanaman yang dipicu oleh cekaman kekeringan seperti perubahan fotosintesis, konduktansi stomata dan pewarnaan klorofil dianggap sebagai penanda efektif untuk pengamatan cepat pada tanaman (Zaher-Ara, Boroomand, & Sadat-Hosseini, 2016; (Duangpan, Buapet, Sujitto, & Eksomtramage, 2018). Defisit air menyebabkan penutupan stomata, penurunan kadar air dan reaksi fisiologi yang tidak dapat balik, penurunan tingkat fotosintesis, pertumbuhan terhambat serta penurunan produksi tandan dan minyak kelapa sawit (Rivera, Cuenca, & Romero, 2016; Jazayeri, Rivera, Camperos-Reyes, & Romero, 2015). Beberapa penelitian telah dilakukan dalam rangka mempelajari metode seleksi sifat toleran kelapa sawit sejak dini, diantaranya penelitian Wagino, Tarigan, & Febrianto (2018) menggunakan bahan tanam DyxP Dumpy, Duangpan et al. (2018) menggunakan progeni hasil persilangan Dura Deli dengan Pisifera Avros, Mendez, Chacon, Bayona, & Romero (2012) menguji ketahanan hibrida interspesifik Elaeis guineensis x Elaeis oleifera dan PENDAHULUAN Penggunaan bahan tanaman unggul merupakan kunci utama untuk meningkatkan produksi kelapa sawit guna memenuhi permintaan pasar. Saat ini, pengembangan luasan perkebunan kelapa sawit diarahkan ke areal marginal dan sub optimal (Soh, Mayes, & Roberts, 2017) seperti daerah yang memiliki kondisi defisit air yang umumnya terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan lokasi lainnya (Murtilaksono, Darmosarkoro, Sutarta, Siregar, & Hidayat, 2009 ; Lubis, 2008). Kelapa sawit merupakan tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan. Sebagian perilaku tersebut tidak tercermin pada potensi produksinya saat terjadi cekaman kekeringan, sehingga genetika menjadi alternatif untuk identifikasi persilangan dan tetua terbaik yang toleran terhadap kekeringan. Dalam rangka mengembangkan teknik pemuliaan tanaman Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit Ikhwan Fadli Pangaribuan( ) * Pusat Penelitian Kelapa Sawit Jl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, Indonesia Email: [email protected] Abstrak - Kelapa sawit merupakan tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan. Untuk mengembangkan teknik pemuliaan tanaman toleran kekeringan yang efektif dan lebih cepat, pemulia tertarik untuk mengembangkan seleksi berbasis sifat morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman. Beberapa metode yang pernah dicobakan antara lain metode penurunan kapasitas lapang, metode penetapan titik layu permanen, metode dosis penyiraman pembibitan, penggunaan alat monitoring kelembaban tanah dan metode FTSW. Metode FTSW (Fraction of Transpirable Soil Water) dapat menggambarkan kondisi lengas tanah berdasarkan jumlah air yang ditranspirasikan oleh tanaman. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari respon beberapa varietas kelapa sawit PPKS terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit dengan metode FTSW yang diamati selama 16 hari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan nilai FTSW yang signifikan terjadi pada 7 hari pertama perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar antara nilai 0,46 hingga 0,59. Hal ini disebabkan karena umur bibit sudah terlalu tua dan transpirasi yang cukup besar. Bobot tanah yang berbeda dari tiap polibag mempengaruhi laju transpirasi setiap tanaman. Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap skrining menggunakan metode FTSW ini. Kata kunci: Kelapa Sawit, Kekeringan, Metode Pengujian, Respon, Metode FTSW.

Transcript of PENERAPAN METODE FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water ...

Mahardika Gama Pradana, Hari Priwiratama, Tjut Ahmad Perdana Rozziansha, Wiharti Oktaria Purba, dan Agus Susanto

132 133

Warta PPKS, 2020, 25(3): 133-138

Naskah masuk: 08/07/2020; Naskah diterima: 25/10/2020

PENERAPAN METODE FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) DALAM SKRINING TANAMAN KELAPA SAWIT TOLERAN KEKERINGAN

toleran kekeringan yang efektif dan lebih cepat, pemulia tertarik untuk mengembangkan seleksi berbasis sifat morfologi, fisiologi dan biokimia (Barcelos, et al., 2015 ; Rival, 2017). Respons tanaman yang dipicu oleh cekaman kekeringan seperti perubahan fotosintesis, konduktansi stomata dan pewarnaan klorofil dianggap sebagai penanda efektif untuk pengamatan cepat pada tanaman (Zaher-Ara, Boroomand, & Sadat-Hosseini, 2016; (Duangpan, Buapet, Sujitto, & Eksomtramage, 2018). Defisit air menyebabkan penutupan stomata, penurunan kadar air dan reaksi fisiologi yang tidak dapat balik, penurunan tingkat fotosintesis, pertumbuhan terhambat serta penurunan produksi tandan dan minyak kelapa sawit (Rivera, Cuenca, & Romero, 2016; Jazayeri, Rivera, Camperos-Reyes, & Romero, 2015). Beberapa penelitian telah dilakukan dalam rangka mempelajari metode seleksi sifat toleran kelapa sawit sejak dini, diantaranya penelitian Wagino, Tarigan, & Febrianto (2018) menggunakan bahan tanam DyxP Dumpy, Duangpan et al. (2018) menggunakan progeni hasil persilangan Dura Deli dengan Pisifera Avros, Mendez, Chacon, Bayona, & Romero (2012) menguj i ketahanan hibr ida interspesifik Elaeis guineensis x Elaeis oleifera dan

PENDAHULUAN Penggunaan bahan tanaman unggul merupakan kunci utama untuk meningkatkan produksi kelapa sawit guna memenuhi permintaan pasar. Saat ini, pengembangan luasan perkebunan kelapa sawit diarahkan ke areal marginal dan sub optimal (Soh, Mayes, & Roberts, 2017) seperti daerah yang memiliki kondisi defisit air yang umumnya terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan lokasi lainnya (Murtilaksono, Darmosarkoro, Sutarta, Siregar, & Hidayat, 2009 ; Lubis, 2008). Kelapa sawit merupakan tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan. Sebagian perilaku tersebut tidak tercermin pada potensi produksinya saat terjadi cekaman kekeringan, sehingga genetika menjadi alternatif untuk identifikasi persilangan dan tetua terbaik yang toleran terhadap kekeringan. Dalam rangka mengembangkan teknik pemuliaan tanaman

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Ikhwan Fadli Pangaribuan( )*

Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak - Kelapa sawit merupakan tanaman yang sensitif terhadap cekaman kekeringan. Untuk mengembangkan teknik pemuliaan tanaman toleran kekeringan yang efektif dan lebih cepat, pemulia tertarik untuk mengembangkan seleksi berbasis sifat morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman. Beberapa metode yang pernah dicobakan antara lain metode penurunan kapasitas lapang, metode penetapan titik layu permanen, metode dosis penyiraman pembibitan, penggunaan alat monitoring kelembaban tanah dan metode FTSW. Metode FTSW (Fraction of Transpirable Soil Water) dapat menggambarkan kondisi lengas tanah berdasarkan jumlah air yang ditranspirasikan oleh tanaman. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari respon beberapa varietas kelapa sawit PPKS terhadap cekaman kekeringan pada fase bibit dengan metode FTSW yang diamati selama 16 hari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan nilai FTSW yang signifikan terjadi pada 7 hari pertama perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar antara nilai 0,46 hingga 0,59. Hal ini disebabkan karena umur bibit sudah terlalu tua dan transpirasi yang cukup besar. Bobot tanah yang berbeda dari tiap polibag mempengaruhi laju transpirasi setiap tanaman. Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap skrining menggunakan metode FTSW ini.

Kata kunci: Kelapa Sawit, Kekeringan, Metode Pengujian, Respon, Metode FTSW.

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

kelembaban tanah diamati setiap hari dengan sensor kelembaban tanah SM-200 (DELTA-T, Cambridge, the United Kingdom) yang dipasang pada manual HH2 datalogger (DELTA-T, Cambridge, the United Kingdom). Kapasitas lapang dihitung berdasarkan basis kekeringan, yang equivalen dengan potensial air -0,042 Mpa. Metode selanjutnya adalah metode FTSW (Fraction of Transpirable Soil Water) yang dapat menggambarkan kondisi lengas tanah berdasarkan jumlah air yang ditranspirasikan oleh tanaman. FTSW dinyatakan dengan nilai antara 1 (tertinggi) hingga 0 (terendah), dimana nilai FTSW 1 merupakan kondisi tanaman dalam keadaan kapasitas lapang sedangkan nilai FTSW 0 menyatakan kondisi tanaman dalam keadaan titik layu permanen. Pada penelitian Fauzi (2019) menunjukkan tingkat cekaman kelapa sawit pada nilai FTSW 0,35 dengan kondisi lengas tanah 32,7% menunjukkan cekaman kekeringan moderat dan pada FTSW 0,15 dengan lengas tanah 28,3% menun jukkan cekaman keke r ingan be ra t . Mulyaningsih, Aswidinnoor, Sopandie, Slamet-Loedin, & Ouwekerk (2011) telah lebih dulu melakukan pengujian pada tanaman padi kultivar Batulegi dan Kasalath dengan metode yang sama. Hasil pengujian menunjukkan bahwa laju transpirasi padi kultivar Batulegi dan kultivar Kasalath mulai mengalami penurunan pada nilai FTSW masing-masing 0,2 dan 0,3. Metode FTSW juga telah diujikan pada kacang tanah transgenik (Bhatnagar-Mathur, Vadez, & Sharma, 2007), klon kentang (de Souza, et al., 2014), , serta jagung dan kedelai (Ray & Sinclair, 1998).

PERCOBAAN PENERAPAN METODE FTSW DALAM SKRINING BIBIT KELAPA SAWIT TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN

Varietas yang digunakan adalah DxP Simalungun berumur 1,5 tahun dimana bibit mengalami keterlambatan pindah tanam (transplanting) ke lapangan. Percobaan dilakukan di rumah kaca PPKS Marihat dengan perlakuan tanpa penyiraman selama 16 hari. Setelah itu perlakuan cekaman dihentikan dan bobot tanaman dicatat sebagai bobot akhir. Syarat utama pelaksanaan metode ini dapat dilaksanakan adalah lokasi uji yang harus dilakukan di rumah kaca, dikarenakan dalam pengujian jumlah air yang ditambahkan harus terkontrol dan tidak boleh ada asupan air selain perlakuan yang kita berikan.

pengujian ketahanan bibit kelapa sawit asal klon MK 365 dan MK 356 oleh Toruan-Mathius, et al. (2004).

PENGUJIAN RESPON KELAPA SAWIT TERHADAP KEKERINGAN

Terdapat berbagai metode untuk menguji respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, seperti metode penurunan kapasitas lapang yang merupakan metode pengurangan kandungan air dalam media tanam dibawah ambang batas kapasitas lapangnya (saat tanah jenuh air). Sebagai contoh, percobaan Palupi dan Dedywiryanto (2008) yang menggunakan beberapa taraf penurunan kapasitas lapang (KL), yaitu 100% KL, 75% KL, 50% KL dan 25% KL. Untuk mempertahankan kapasitas lapang sesuai perlakuan, jumlah air yang ditambah selama dicekam kekeringannya dihitung dengan rumus JA = (BM – 1

Bm )/ρ dimana JA = air yang ditambahkan (ml), BM 2 air 1

= berat polybag pada berbagai taraf perlakuan (g), BM 2= berat polybag (g), dan ρ adalah massa jenis air 1 air

g/ml. Metode lainnya adalah penetapan titik layu permanen dimana tanaman diberi cekaman kekeringan dalam waktu tertentu hingga tanaman mati (Toruan-Mathius et al., 2004). Perlakuan cekaman kekeringan diberikan setelah media tanam pada kondisi kapasitas lapang. Perlakuan cekaman kekeringan berupa lama hari tidak dilakukan penyiraman setelah media tanam dalam keadaan kapasitas lapang. Metode dosis penyiraman pembibitan merupakan metode skrining bahan tanaman toleran kekeringan yang diuji Wagino et al. (2018). Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan volume penyiraman per hari dalam berbagai taraf. Standar penyiraman pada pembibitan awal (pre-nursery) sebanyak 25 ml air dengan rotasi penyiraman 1 kali sehari. Perlakuan ini diberikan pada saat bibit berumur 1 bulan dan diaplikasikan sampai tanaman berumur 4 bulan. Metode berikutnya adalah menggunakan alat monitoring kelembaban tanah (Mendez et al., 2012). Bibit diberikan air hingga kapasitas lapang selama 1 bulan sebelum dilakukan cekaman kekeringan dengan berbagai taraf potensial air selama 60 hari. Kedalaman serapan air yang diaplikasikan pada setiap potensial air dihitung berdasarkan penghitungan kedalaman akar efektif, karakteristik fisik dari tanah dan

134 135

Penerapan metode FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) dalam skrining tanaman kelapa sawit toleran kekeringan

Media tanam yang digunakan harus berstruktur gembur, dan apabila banyak mengandung liat, maka dapat dicampur dengan pasir agar penyebaran air di dalam media tanah merata. Sebelum dimasukkan ke pol ibek tanah yang akan digunakan harus dikeringanginkan terlebih dahulu dan kemudian diayak, hal ini bertujuan agar tidak terjadi bias bobot tanah terkait kadar air, selanjutnya polibek ditimbang dengan berat yang sama. Selanjutnya kecambah ditanam dan dirawat hingga berumur 3 bulan untuk diberi perlakuan cekaman kekeringan. Sebelum aplikasi perlakuan kekeringan, seluruh polibag terlebih dahulu dijenuhi dengan air pada sore hari, kemudian dibiarkan selama satu malam sampai air gravitasi menghilang atau air tidak menetes/keluar lagi dari polibag/pot. Polibag/pot dibungkus dengan plastic wrap dan antara bonggol kelapa sawit dengan plastik ditutup dengan alumunium foil, sehingga tidak ada celah untuk penguapan air dari tanah. Air yang hilang hanya melalui transpirasi daun. Selanjutnya polibag/pot ditimbang, dan bobot polibag/pot ini

dianggap sebagai bobot awal. Transpirasi harian dihitung sebagai perbedaan bobot polibag hari ini terhadap bobot polibag hari sebelumnya. Pengukuran bobot polibag dilakukan pada jam yang sama. Transpirasi harian maksimum dibuat hanya sebesar 200 g/hari, sehingga apabila transpirasi harian melebihi 200 g/ hari maka kita harus memberikan tambahan air polibag sebesar selisih antara transpirasi maksium dengan transpirasi harian. Bibit kelapa sawit dibiarkan sampai mengering sampai nilai titik layu permanen, yang ditandai dengan mengeringnya daun kelapa sawit atau nilai transpirasi harian bibit sudah mulai konstan atau hanya 10% dari transpirasi bibit pada perlakuan KL. Setelah itu perlakuan cekaman dihentikan dan bobot tanaman dicatat sebagai bobot akhir. Selisih antara bobot awal dan bobot akhir merupakan jumlah air yang tersedia untuk transpirasi. Penurunan bobot polibag setiap harinya menggambarkan ketersedian air tanah sebagai fraksi transpirasi air tanah atau disebut FTSW. Nilai FTSW dihitung dengan rumus :

Nilai FTSW berkisar antara 0,0 – 1,0. Semakin rendah nilai FTSW maka semakin berat cekaman kekeringan yang dialami oleh tanaman (Mulyaningsih et al., 2011). Semakin lama periode cekaman kekeringan maka nilai FTSW akan semakin kecil hingga mendekati 0, namun pada tanaman yang toleran terhadap kekeringan penurunan nilai FTSW akan lebih lambat dibandingkan tanaman yang peka terhadap cekaman kekeringan.

HASIL DAN PEMBAHASAN PERCOBAAN PENERAPAN METODE FTSW

Hasil percobaan menunjukkan kejadian penurunan nilai FTSW yang pada 7 hari pertama setelah perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar 0,46 – 0,59. Hal ini diduga karena bibit yang sudah tua dan transpirasi yang dilakukan bibit besar. Bibit yang cukup tua ini memiliki akar yang panjang dan daun yang cukup besar, namun sumber hara terbatas hanya di media tanam dalam polibag. Adapun penyebab tanaman mengalami kekeringan diantaranya transpirasi tinggi dan diikuti ketersediaan air tanah

yang terbatas. Cekaman kekeringan pada tanaman dapat disebabkan oleh kekurangan pasokan air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi yang melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia dengan cukup. Ket idakse imbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Defisit air berarti penurunan gradien potensial air antara tanah, akar, daun dan atmosfer sehingga laju transpor air dan hara menurun (Wagino et al., 2018). Bobot tanah yang berbeda t iap pol ibag mempengaruhi laju transpirasi setiap tanaman. Tanaman dengan bobot tanah lebih besar diduga memiliki laju transpirasi yang lebih besar di awal p e r l a k u a n , n a m u n a k a n l e b i h m a m p u mempertahankan transpirasi hingga akhir percobaan. Kemampuan mempertahankan graf ik FTSW menandakan waktu penutupan stomata dalam merespon kekurangan air dan tingkat toleransi pada kekurangan air. Genotipe yang lambat melayu selama penge r i ngan t anah mem i l i k i kemampuan mempertahankan FTSW yang tinggi (de Souza et al., 2014).

FTSW harian = bobot polibag harian - bobot polibag akhirbobot polibag awal - bobot polibag akhir

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

kelembaban tanah diamati setiap hari dengan sensor kelembaban tanah SM-200 (DELTA-T, Cambridge, the United Kingdom) yang dipasang pada manual HH2 datalogger (DELTA-T, Cambridge, the United Kingdom). Kapasitas lapang dihitung berdasarkan basis kekeringan, yang equivalen dengan potensial air -0,042 Mpa. Metode selanjutnya adalah metode FTSW (Fraction of Transpirable Soil Water) yang dapat menggambarkan kondisi lengas tanah berdasarkan jumlah air yang ditranspirasikan oleh tanaman. FTSW dinyatakan dengan nilai antara 1 (tertinggi) hingga 0 (terendah), dimana nilai FTSW 1 merupakan kondisi tanaman dalam keadaan kapasitas lapang sedangkan nilai FTSW 0 menyatakan kondisi tanaman dalam keadaan titik layu permanen. Pada penelitian Fauzi (2019) menunjukkan tingkat cekaman kelapa sawit pada nilai FTSW 0,35 dengan kondisi lengas tanah 32,7% menunjukkan cekaman kekeringan moderat dan pada FTSW 0,15 dengan lengas tanah 28,3% menun jukkan cekaman keke r ingan be ra t . Mulyaningsih, Aswidinnoor, Sopandie, Slamet-Loedin, & Ouwekerk (2011) telah lebih dulu melakukan pengujian pada tanaman padi kultivar Batulegi dan Kasalath dengan metode yang sama. Hasil pengujian menunjukkan bahwa laju transpirasi padi kultivar Batulegi dan kultivar Kasalath mulai mengalami penurunan pada nilai FTSW masing-masing 0,2 dan 0,3. Metode FTSW juga telah diujikan pada kacang tanah transgenik (Bhatnagar-Mathur, Vadez, & Sharma, 2007), klon kentang (de Souza, et al., 2014), , serta jagung dan kedelai (Ray & Sinclair, 1998).

PERCOBAAN PENERAPAN METODE FTSW DALAM SKRINING BIBIT KELAPA SAWIT TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN

Varietas yang digunakan adalah DxP Simalungun berumur 1,5 tahun dimana bibit mengalami keterlambatan pindah tanam (transplanting) ke lapangan. Percobaan dilakukan di rumah kaca PPKS Marihat dengan perlakuan tanpa penyiraman selama 16 hari. Setelah itu perlakuan cekaman dihentikan dan bobot tanaman dicatat sebagai bobot akhir. Syarat utama pelaksanaan metode ini dapat dilaksanakan adalah lokasi uji yang harus dilakukan di rumah kaca, dikarenakan dalam pengujian jumlah air yang ditambahkan harus terkontrol dan tidak boleh ada asupan air selain perlakuan yang kita berikan.

pengujian ketahanan bibit kelapa sawit asal klon MK 365 dan MK 356 oleh Toruan-Mathius, et al. (2004).

PENGUJIAN RESPON KELAPA SAWIT TERHADAP KEKERINGAN

Terdapat berbagai metode untuk menguji respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, seperti metode penurunan kapasitas lapang yang merupakan metode pengurangan kandungan air dalam media tanam dibawah ambang batas kapasitas lapangnya (saat tanah jenuh air). Sebagai contoh, percobaan Palupi dan Dedywiryanto (2008) yang menggunakan beberapa taraf penurunan kapasitas lapang (KL), yaitu 100% KL, 75% KL, 50% KL dan 25% KL. Untuk mempertahankan kapasitas lapang sesuai perlakuan, jumlah air yang ditambah selama dicekam kekeringannya dihitung dengan rumus JA = (BM – 1

Bm )/ρ dimana JA = air yang ditambahkan (ml), BM 2 air 1

= berat polybag pada berbagai taraf perlakuan (g), BM 2= berat polybag (g), dan ρ adalah massa jenis air 1 air

g/ml. Metode lainnya adalah penetapan titik layu permanen dimana tanaman diberi cekaman kekeringan dalam waktu tertentu hingga tanaman mati (Toruan-Mathius et al., 2004). Perlakuan cekaman kekeringan diberikan setelah media tanam pada kondisi kapasitas lapang. Perlakuan cekaman kekeringan berupa lama hari tidak dilakukan penyiraman setelah media tanam dalam keadaan kapasitas lapang. Metode dosis penyiraman pembibitan merupakan metode skrining bahan tanaman toleran kekeringan yang diuji Wagino et al. (2018). Perlakuan yang diberikan adalah perbedaan volume penyiraman per hari dalam berbagai taraf. Standar penyiraman pada pembibitan awal (pre-nursery) sebanyak 25 ml air dengan rotasi penyiraman 1 kali sehari. Perlakuan ini diberikan pada saat bibit berumur 1 bulan dan diaplikasikan sampai tanaman berumur 4 bulan. Metode berikutnya adalah menggunakan alat monitoring kelembaban tanah (Mendez et al., 2012). Bibit diberikan air hingga kapasitas lapang selama 1 bulan sebelum dilakukan cekaman kekeringan dengan berbagai taraf potensial air selama 60 hari. Kedalaman serapan air yang diaplikasikan pada setiap potensial air dihitung berdasarkan penghitungan kedalaman akar efektif, karakteristik fisik dari tanah dan

134 135

Penerapan metode FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) dalam skrining tanaman kelapa sawit toleran kekeringan

Media tanam yang digunakan harus berstruktur gembur, dan apabila banyak mengandung liat, maka dapat dicampur dengan pasir agar penyebaran air di dalam media tanah merata. Sebelum dimasukkan ke pol ibek tanah yang akan digunakan harus dikeringanginkan terlebih dahulu dan kemudian diayak, hal ini bertujuan agar tidak terjadi bias bobot tanah terkait kadar air, selanjutnya polibek ditimbang dengan berat yang sama. Selanjutnya kecambah ditanam dan dirawat hingga berumur 3 bulan untuk diberi perlakuan cekaman kekeringan. Sebelum aplikasi perlakuan kekeringan, seluruh polibag terlebih dahulu dijenuhi dengan air pada sore hari, kemudian dibiarkan selama satu malam sampai air gravitasi menghilang atau air tidak menetes/keluar lagi dari polibag/pot. Polibag/pot dibungkus dengan plastic wrap dan antara bonggol kelapa sawit dengan plastik ditutup dengan alumunium foil, sehingga tidak ada celah untuk penguapan air dari tanah. Air yang hilang hanya melalui transpirasi daun. Selanjutnya polibag/pot ditimbang, dan bobot polibag/pot ini

dianggap sebagai bobot awal. Transpirasi harian dihitung sebagai perbedaan bobot polibag hari ini terhadap bobot polibag hari sebelumnya. Pengukuran bobot polibag dilakukan pada jam yang sama. Transpirasi harian maksimum dibuat hanya sebesar 200 g/hari, sehingga apabila transpirasi harian melebihi 200 g/ hari maka kita harus memberikan tambahan air polibag sebesar selisih antara transpirasi maksium dengan transpirasi harian. Bibit kelapa sawit dibiarkan sampai mengering sampai nilai titik layu permanen, yang ditandai dengan mengeringnya daun kelapa sawit atau nilai transpirasi harian bibit sudah mulai konstan atau hanya 10% dari transpirasi bibit pada perlakuan KL. Setelah itu perlakuan cekaman dihentikan dan bobot tanaman dicatat sebagai bobot akhir. Selisih antara bobot awal dan bobot akhir merupakan jumlah air yang tersedia untuk transpirasi. Penurunan bobot polibag setiap harinya menggambarkan ketersedian air tanah sebagai fraksi transpirasi air tanah atau disebut FTSW. Nilai FTSW dihitung dengan rumus :

Nilai FTSW berkisar antara 0,0 – 1,0. Semakin rendah nilai FTSW maka semakin berat cekaman kekeringan yang dialami oleh tanaman (Mulyaningsih et al., 2011). Semakin lama periode cekaman kekeringan maka nilai FTSW akan semakin kecil hingga mendekati 0, namun pada tanaman yang toleran terhadap kekeringan penurunan nilai FTSW akan lebih lambat dibandingkan tanaman yang peka terhadap cekaman kekeringan.

HASIL DAN PEMBAHASAN PERCOBAAN PENERAPAN METODE FTSW

Hasil percobaan menunjukkan kejadian penurunan nilai FTSW yang pada 7 hari pertama setelah perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar 0,46 – 0,59. Hal ini diduga karena bibit yang sudah tua dan transpirasi yang dilakukan bibit besar. Bibit yang cukup tua ini memiliki akar yang panjang dan daun yang cukup besar, namun sumber hara terbatas hanya di media tanam dalam polibag. Adapun penyebab tanaman mengalami kekeringan diantaranya transpirasi tinggi dan diikuti ketersediaan air tanah

yang terbatas. Cekaman kekeringan pada tanaman dapat disebabkan oleh kekurangan pasokan air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi yang melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia dengan cukup. Ket idakse imbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Defisit air berarti penurunan gradien potensial air antara tanah, akar, daun dan atmosfer sehingga laju transpor air dan hara menurun (Wagino et al., 2018). Bobot tanah yang berbeda t iap pol ibag mempengaruhi laju transpirasi setiap tanaman. Tanaman dengan bobot tanah lebih besar diduga memiliki laju transpirasi yang lebih besar di awal p e r l a k u a n , n a m u n a k a n l e b i h m a m p u mempertahankan transpirasi hingga akhir percobaan. Kemampuan mempertahankan graf ik FTSW menandakan waktu penutupan stomata dalam merespon kekurangan air dan tingkat toleransi pada kekurangan air. Genotipe yang lambat melayu selama penge r i ngan t anah mem i l i k i kemampuan mempertahankan FTSW yang tinggi (de Souza et al., 2014).

FTSW harian = bobot polibag harian - bobot polibag akhirbobot polibag awal - bobot polibag akhir

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

136

Gambar 1. Perbandingan bibit berumur 0 HSP (Hari Setelah Perlakuan; kiri), 12 HSP (tengah), dan 16 HSP (kanan).

Gambar 2. Nilai FTSW pada uji optimasi metode skrining toleran kekeringan

0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,700,750,800,850,900,951,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Hari ke

Nila

i FTS

W

-

1

2

3

4

6

5

7

8

9

10

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN METODE

Metode ini merupakan metode cepat dalam skrining bahan tanaman toleran cekaman. Dari hasil pengamatan, potensi bahan tanam yang memiliki

toleransi terhadap cekaman dapat dilihat dalam waktu singkat. Selain itu, pengujian ini tidak membutuhkan bahan tanaman yang besar serta areal yang luas. Pada percobaan ini, seluruh tanaman harus

137

Penerapan metode FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) dalam skrining tanaman kelapa sawit toleran kekeringan

memiliki bobot yang sama agar hasil yang dikeluarkan tidak rancu. Kesulitan dari metode ini adalah respon tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat dikarenakan adanya perbedaan bobot polibag tanaman serta umur tanaman. Selain itu, ada kemungkinan terjadinya escape ataupun avoidance, yaitu kemampuan tanaman untuk terhindar dari cekaman dikarenakan pengaruh lingkungan. Escape ditandai dengan percepatan pertumbuhan vegetatif disertai pertumbuhan generatif lebih awal untuk mempersingkat siklus hidup tanaman. Avoidance dari keke r ingan d ipe ro leh me la lu i mekan isme pengurangan kehilangan air dengan pengaturan stomata saat transpirasi, dan juga mempertahankan penyerapan air melalui akar-akar produktif (Farooq, Wahid, Kobayashi, Fujita, & Basra, 2009). Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap percobaan skrining menggunakan metode FTSW ini.

KESIMPULAN Terlihat bahwa penurunan nilai FTSW yang pesat terjadi pada 7 hari pertama perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar 0,46 – 0,59. Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Dari hasil pengamatan, potensi bahan tanam yang memiliki toleransi terhadap cekaman dapat dilihat dalam waktu singkat. Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap percobaan skrining menggunakan metode FTSW ini.

DAFTAR PUSTAKABarcelos, R., de Almeida, R. S., Cunha, R. N., Lopes,

R., Motoike, S. Y., Babiychuk, E., . . . Kushnir, S. (2015). Oil palm natural diversity and the potential for yield improvement. Frontier in Plant Science, 190-197.

Bhatnagar-Mathur, P., Vadez, V., & Sharma, K. K. (2007). Transgenic approaches for abiotic stress tolerance in plants: retrospect and prospects. Plant Cell Reports, 411-424.

de Souza, A. T., Streck, N. A., Heldwein, A. B., Bisognin, D. A., Winck, J. E., Rocha, T. S., & Zanon, A. J. (2014). Transpiration and leaf growth of potato clones in response to soil water deficit. Scientia Agricola, 96-104.

Duangpan, S. , Buapet , P. , Su j i t to , S. , & Eksomtramage, T. (2018). Early assessment of drought tolerance in oil palm DxP progenies using growth and physiological characters in seedling stage. Plant Genetic Resources, 1-11.

Farooq, M., Wahid, A., Kobayashi, N., Fujita, D., & Basra, S. M. (2009). Plant dought stress: effects, mechanisms and management. Agron. Sustain. Dev, 185-212.

Fauzi, W. R. (2019). Peran kalium pada aktivitas biokemis tanaman kelapa sawit tercekam kekeringan (Thesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Jazayeri, S. M., Rivera, Y., Camperos-Reyes, J., & Romero, H. M. (2015). Physiological effects of water deficit on two oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) genotypes. Agron.Colomb., 164-173.

Lubis, A. U. (2008). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Mendez, Y. D., Chacon, L. M., Bayona, C. J., & Romero, H. M. (2012). Physiological response of oil palm interspesific hybrids (Elaeis oleifera H.B.K. Cortes versus Elaeis guineensis Jacq.) to water deficit. Brazil Journal of Plant Physiology, 273-280.

Mulyaningsih, E. S., Aswidinnoor, H., Sopandie, D., Slamet-Loedin, I. H., & Ouwekerk, P. B. (2011). Uji kekeringan galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath mengandung gen regulator HD Zip Oshox-6 dan galur toleran kekeringan hasil seleksi di lapang (Disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Murtilaksono, K., Darmosarkoro, W., Sutarta, E. S., Siregar, H. H., & Hidayat, Y. (2009). Upaya peningkatan produksi kelapa sawit melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air. J. Tanah Trop., 135-142.

Palupi, E. R., & Dediwiryanto, Y. (2008). Kajian karakter ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada beberapa genotipe bibit

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

136

Gambar 1. Perbandingan bibit berumur 0 HSP (Hari Setelah Perlakuan; kiri), 12 HSP (tengah), dan 16 HSP (kanan).

Gambar 2. Nilai FTSW pada uji optimasi metode skrining toleran kekeringan

0,000,050,100,150,200,250,300,350,400,450,500,550,600,650,700,750,800,850,900,951,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Hari ke

Nila

i FTS

W

-

1

2

3

4

6

5

7

8

9

10

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN METODE

Metode ini merupakan metode cepat dalam skrining bahan tanaman toleran cekaman. Dari hasil pengamatan, potensi bahan tanam yang memiliki

toleransi terhadap cekaman dapat dilihat dalam waktu singkat. Selain itu, pengujian ini tidak membutuhkan bahan tanaman yang besar serta areal yang luas. Pada percobaan ini, seluruh tanaman harus

137

Penerapan metode FTSW (Fraction to Transpirable Soil Water) dalam skrining tanaman kelapa sawit toleran kekeringan

memiliki bobot yang sama agar hasil yang dikeluarkan tidak rancu. Kesulitan dari metode ini adalah respon tanaman terhadap cekaman kekeringan dapat dikarenakan adanya perbedaan bobot polibag tanaman serta umur tanaman. Selain itu, ada kemungkinan terjadinya escape ataupun avoidance, yaitu kemampuan tanaman untuk terhindar dari cekaman dikarenakan pengaruh lingkungan. Escape ditandai dengan percepatan pertumbuhan vegetatif disertai pertumbuhan generatif lebih awal untuk mempersingkat siklus hidup tanaman. Avoidance dari keke r ingan d ipe ro leh me la lu i mekan isme pengurangan kehilangan air dengan pengaturan stomata saat transpirasi, dan juga mempertahankan penyerapan air melalui akar-akar produktif (Farooq, Wahid, Kobayashi, Fujita, & Basra, 2009). Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap percobaan skrining menggunakan metode FTSW ini.

KESIMPULAN Terlihat bahwa penurunan nilai FTSW yang pesat terjadi pada 7 hari pertama perlakuan cekaman kekeringan. Setiap bibit yang dicobakan mengalami penurunan nilai FTSW berkisar 0,46 – 0,59. Ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat transpirasi membuat tanaman menjadi layu. Dari hasil pengamatan, potensi bahan tanam yang memiliki toleransi terhadap cekaman dapat dilihat dalam waktu singkat. Perlu dilakukan percobaan lanjutan untuk melihat pengaruh bobot tanah serta pengaruh latar belakang genetik bahan tanaman terhadap percobaan skrining menggunakan metode FTSW ini.

DAFTAR PUSTAKABarcelos, R., de Almeida, R. S., Cunha, R. N., Lopes,

R., Motoike, S. Y., Babiychuk, E., . . . Kushnir, S. (2015). Oil palm natural diversity and the potential for yield improvement. Frontier in Plant Science, 190-197.

Bhatnagar-Mathur, P., Vadez, V., & Sharma, K. K. (2007). Transgenic approaches for abiotic stress tolerance in plants: retrospect and prospects. Plant Cell Reports, 411-424.

de Souza, A. T., Streck, N. A., Heldwein, A. B., Bisognin, D. A., Winck, J. E., Rocha, T. S., & Zanon, A. J. (2014). Transpiration and leaf growth of potato clones in response to soil water deficit. Scientia Agricola, 96-104.

Duangpan, S. , Buapet , P. , Su j i t to , S. , & Eksomtramage, T. (2018). Early assessment of drought tolerance in oil palm DxP progenies using growth and physiological characters in seedling stage. Plant Genetic Resources, 1-11.

Farooq, M., Wahid, A., Kobayashi, N., Fujita, D., & Basra, S. M. (2009). Plant dought stress: effects, mechanisms and management. Agron. Sustain. Dev, 185-212.

Fauzi, W. R. (2019). Peran kalium pada aktivitas biokemis tanaman kelapa sawit tercekam kekeringan (Thesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Jazayeri, S. M., Rivera, Y., Camperos-Reyes, J., & Romero, H. M. (2015). Physiological effects of water deficit on two oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) genotypes. Agron.Colomb., 164-173.

Lubis, A. U. (2008). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) di Indonesia. Edisi 2. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Mendez, Y. D., Chacon, L. M., Bayona, C. J., & Romero, H. M. (2012). Physiological response of oil palm interspesific hybrids (Elaeis oleifera H.B.K. Cortes versus Elaeis guineensis Jacq.) to water deficit. Brazil Journal of Plant Physiology, 273-280.

Mulyaningsih, E. S., Aswidinnoor, H., Sopandie, D., Slamet-Loedin, I. H., & Ouwekerk, P. B. (2011). Uji kekeringan galur transgenik cv. Batutegi dan Kasalath mengandung gen regulator HD Zip Oshox-6 dan galur toleran kekeringan hasil seleksi di lapang (Disertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Murtilaksono, K., Darmosarkoro, W., Sutarta, E. S., Siregar, H. H., & Hidayat, Y. (2009). Upaya peningkatan produksi kelapa sawit melalui penerapan teknik konservasi tanah dan air. J. Tanah Trop., 135-142.

Palupi, E. R., & Dediwiryanto, Y. (2008). Kajian karakter ketahanan terhadap cekaman kekeringan pada beberapa genotipe bibit

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,

Ikhwan Fadli Pangaribuan, Wan Riski Fauzi, dan Nanang Supena

138

kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Buletin Agronomi, 24-32.

Ray, J. D., & Sinclair, T. R. (1998). The effect of pot size on growth and transpiration of maize and soybean during water deficit stress. Journal of Experimental Botany, 1381-1386.

Rival, A. (2017). Breeding the oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) for climate change. OCL, 107-114.

Rivera, Y. D., Cuenca, J. C., & Romero, H. M. (2016). Physiological responses of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) seedlings under different water soil conditions. Agronomía Colombiana, 164-171.

Soh, A. C., Mayes, S., & Roberts, J. A. (2017). Oil Palm Breeding Genetic and Genomic. China: CRC

Press.Toruan-Mathius, N., Liwang, T., Ibrahim-Danuwikarsa,

M., Suryatmana, G., Djajasukanta, H., Saodah, D., & Astika, I. P. (2004). Respons biokimia beberapa progeni kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap cekaman kekeringan pada kondisi lapang. Menara Perkebunan, 38-56.

Wagino, Tarigan, S. M., & Febrianto, E. B. (2018). Respon pertumbuhan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Varietas DyxP Dumpy pada kondisi stres air di pre-nursery. Agrotekma : Jurnal Agroteknologi dan Ilmu Pertanian, 17-26.

Zaher-Ara, T., Boroomand, N., & Sadat-Hosseini, M. (2016). Physiological and morphological response to drought stress in seedlings of ten citrus. Trees, 985-993

139

Warta PPKS, 2020, 25(3): 139-154

Naskah masuk: 08/07/2020; Naskah diterima: 25/10/2020

PENTINGNYA BAHAN ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PEMUPUKAN DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

tidak sedikit sehingga tidak heran jika beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa pemupukan merupakan kegiatan pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang memerlukan biaya yang sangat tinggi yaitu antara 50 - 70% dari biaya lapangan atau sekitar 25% dari total biaya produksi kelapa sawit (Caliman et al., 2001; Goh, 2005; Goh dan Teo, 2011; Pardon et al., 2016; Silalertruksa et al., 2012). Di sisi lain, tingkat efisiensi pemupukan di perkebunan kelapa sawit tergolong rendah, sebagian besar hara yang diberikan lewat pupuk akan hilang akibat penguapan, tercuci, maupun run-off. (Jin et al., (2011) memperkirakan bahwa antara 30-70% hara dari pupuk konvensional yang diaplikasikan akan hilang melalui berbagai cara tergantung pada metode aplikasi dan kondisi tanah. Rendahnya efisiensi pemupukan tersebut selain merugikan secara ekonomi karena biaya pupuk yang mahal dan tidak optimalnya pencapaian produksi tanaman, hilangnya hara dari pupuk juga berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan (Azeem et al., 2014; Eghbali Babadi et al., 2015; Kuscu et al., 2014;

PENDAHULUAN Kelapa sawit membutuhkan input hara yang rutin dan cukup besar untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi, terutama apabila diusahakan pada jenis tanah dengan tingkat kesuburan yang rendah (Pauli et al., 2014; Suprihatin & Waluyo, 2015). Sebagai contoh, untuk produktivitas lebih dari 28 ton TBS/ha/tahun dibutuhkan pupuk sekitar 124 kg N/ha/tahun (Choo et al., 2011), sementara secara umum untuk tanaman menghasilkan (TM) kebutuhan hara N berkisar antara 56 - 206 kg N/ha/tahun (Pardon et al., 2016; Yusoff & Hansen, 2007;Foster, 2003). Lebih lanjut, Goh et al., (1999) menyatakan bahwa untuk menghasilkan TBS sebesar 30 ton/ha dibutuhkan hara setidaknya 162,5 kg N; 21,6 kg P; 279,2 kg K; dan 49,1 kg Mg. Jumlah tersebut tentunya

Eko Noviandi Ginting

Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Eko Noviandi Ginting( )*

Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail: [email protected]

Abstrak - Sumber bahan organik di perkebunan kelapa sawit cukup besar, utamanya tandan kosong sawit (TKS) dan Palm Oil Mill Effluent (POME), yang merupakan produk samping dari pengolahan TBS di pabrik kelapa sawit. Sayangnya sejauh ini perhatian pekebun kelapa sawit terhadap pemanfaatan bahan organik di perkebunan kelapa sawit hanya dititik beratkan pada pengaruh langsung bahan organik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman yaitu terhadap kandungan hara yang ada pada bahan organik tersebut. Padahal, bahan organik memiliki peranan yang lebih penting dari hanya sekedar sebagai sumber hara, yaitu peranannya terhadap perbaikan kualitas tanah agar tanah memiliki kapasitas yang tinggi untuk menyediakan hara bagi tanaman sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukan. Telah banyak hasil penelitian yang mengungkapkan bahwa bahan organik dapat memperbaiki efisiensi dan efektivitas pemupukan melalui perannya dalam hal memperbaiki kualitas tanah. Dalam tulisan ini di uraikan secara ringkas bagaimana mekanisme bahan organik dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemupukan. Dari sifat fisik kimia misalnya, bahan organik berperan dalam memperbaiki struktur tanah sehingga tanah sebagai media tumbuh memberikan kondisi aerasi perakaran yang baik untuk mendukung perkembangan akar tanaman. Dari sifat kimia tanah, bahan organik berperan untuk meningkatkan KTK tanah sehingga hara yang diaplikasikan lewat pupuk tidak segera hilang tercuci dan dapat diserap oleh akar tanaman. Sementara itu dari sifat biologi tanah, bahan organik merupakan sumber energi bagi biota tanah untuk melakukan berbagai aktivitasnya di dalam tanah, disamping sebagai penghasil enzim, hormon, dan senyawa-senyawa organik yang mempengaruhi dinamika dan ketersediaan hara di dalam tanah.

Kata kunci: bahan organik, kelapa sawit, pemupukan, efisiensi pemupukan

Yahya et al., (2010) menyatakan bahwa pada tanah dengan struktur yang terlalu padat akar tanaman cenderung tumbuh secara horizontal, dan hal tersebut akan membatasi volume tanah yang dapat dieksplorasi oleh akar tanaman yang berarti akses akar untuk menyerap air dan hara yang berada pada tanah yang lebih dalam menjadi terbatas. Lebih lanjut Pradiko et al., (2016) juga melaporkan bahwa terdapat korelasi positif antara porositas tanah dengan distribusi akar tanaman kelapa sawit, terutama terhadap perkembangan akar tersier, yang mana akar tersier merupakan akar yang aktif dalam menyerap hara dari dalam tanah. Kheong et al., (2010b) juga melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS secara nyata meningkatkan total biomassa akar kelapa sawit terutama pada kedalaman 30 - 45 cm dimana peningkatan biomassa akar tersebut akan memberikan kesempatan yang lebih tinggi bagi akar tanaman kelapa sawit untuk menyerap hara dari dalam tanah. Dalam penelitian lainnya Kheong et al., (2010a) juga menambahkan bahwa peningkatan massa akar pada kedalaman 30 - 45 cm memberikan dampak positif terhadap penyerapan hara oleh akar terutama pada jenis hara yang sangat mobil seperti hara kalium. Peran utama bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah untuk meningkatkan granulasi dan kestabilan agregat tanah melalui aktivasi fraksi humik yang dapat menurunkan sifat plastis, kohesi dan sifat lengket dari clay sehingga tanah menjadi lebih gembur (Husnain & Nursyamsi, 2014). Dengan struktur tanah yang gembur maka ruang pori dan aerasi tanah menjadi baik pula yang berdampak positif terhadap perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosenani, et al., (2016b) yang melaporkan bahwa penambahan kompos TKS pada media tanam bibit kelapa sawit dapat meningkatkan jumlah ruang pori dan aerasi tanah sehingga meningkatkan berat kering akar bibit kelapa sawit. Selanjutnya, Moradi et al., (2014) melaporkan bahwa penambahan bahan organik berupa TKS di perkebunan kelapa sawit selama dua tahun mampu meningkatkan stabil i tas agregat tanah, dan meningkatkan air tersedia dan total kandungan air tanah. melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa aplikasi TKS secara relatif dapat memperbaiki sifat fisikokimia tanah. (Carron et al., 2015) Oleh karenanya, bahan organik memiliki peranan yang sangat penting untuk memperbaiki sifat fisik tanah,