Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan...1 Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan Khotbah Jumat...

12
1 Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan Khotbah Jumat Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad, Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz 18 Agustus 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK ا إله إ أن د ه أش ه ول س ر و ه د ب ع دا م أن د ه ، وأش ه يك ل ر ش ه د ح و. ن الرجيملشيطا من ا د فأعوذ أما بع. حيم ن الر الر م بس* م ال ع ال ب ر د م ا* حيم ن الر الر* ين م الد و الك ي م* س ن ك إ و د ب ع ن ك إ ع ت* د اه قيم ت س م ال اط ر الص* ال و هم ي ل وب ع ض غ م ال غ م ه ي ل ع ت م ع ن أ ين ذ اط ال ر ص ضا ل ، آم. Hadhrat Masih Mau’ud as, dalam Bahtera Nuh bersabda: “Sebab Tuhan menghendaki agar di dalam diri kamu terjadi revolusi yang dahsyat dan menyeluruh. Dia menuntut dari diri kamu suatu maut (kematian), yang sesudah maut itu kamu akan Dia hidupkan kembali. Segeralah berdamai antara satu sama lain dan maafkanlah kesalahan- kesalahan saudara kamu. Sebab, jahatlah dia yang tidak sudi berdamai dengan saudaranya. Ia akan diputuskan perhubungannya, sebab ia menanam benih perpecahan. Tinggalkanlah keinginanhawa-nafsu kamu dalam keadaan apa pun, dan lenyapkanlah ketegangan antara satu dengan yang lain. Walaupun seandainya kamu ada di pihak yangbenar bersikaplah merendahkan diri seakan-akan kamu seorang pendusta, agar kamu diampuni. Lepaskanlah segala sesuatu yang bakal menggemukkan hawa-nafsu, sebab pintu itu yang melalui pintu itu kami diperkenankan masuk -- tidak dapat dilalui oleh orang yang gemuk hawa- nafsunya. Orang yang paling mulia diantara kalian ialah yang paling banyak memaafkan saudara-saudara kalian.” 1 Kutipan ini sering kali dibacakan di hadapan anggota Jemaat dalam berbagai pidato dan pengajian. Meskipun terdapat kalimat ‘…bersikaplah merendahkan diri seakan-akan kamu seorang pendusta (bersalah)’ para Ahmadi tidak tetap memegangnya dalam urusan- urusan pribadi mereka dan membetulkan pendirian mereka, bahkan mereka menuliskan, “Meskipun kami memegang pandangan ini dan telah demikian rupa merendahkan diri, pihak petengkar bersikap keras dalam urusan itu yang secara aniaya merugikan kami.” 1 Kishti e Nuh, Ruhani Khaza’in Vol. 19, p. 12

Transcript of Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan...1 Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan Khotbah Jumat...

  • 1

    Sikap Memaafkan dan Menjalin Kerukunan

    Khotbah Jumat

    Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad,

    Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz

    18 Agustus 2017 di Masjid Baitul Futuh, UK

    .َوْحَدُه ال َشرِيك َلُه ، وأْشَهُد أنَّ ُُمَمَّداً َعْبُدُه َوَرُسولُهُ أْشَهُد أْن ال إله ِإالَّ اّللَُّ

    .أما بعد فأعوذ ابهلل من الشيطان الرجيم

    َك َنسْ * َمالك يَ ْوم الدِ ين * الرَّْْحَن الرَّحيم * اْْلَْمُد هلل َربِ اْلَعاَلمنَي * بْسِم هللا الرَّْْحَن الرَّحيم َك نَ ْعُبُد َوإَّيَّ اْهدََن * َتعنُي إَّيَّ .، آمنيلِ نيَ ضاِصَراط الَِّذيَن أَنْ َعْمَت َعَلْيِهْم َغْْي اْلَمْغُضوب َعَلْيهْم َوال ال* الصِ َراَط اْلُمْسَتقيَم

    Hadhrat Masih Mau’ud as, dalam Bahtera Nuh bersabda: “Sebab Tuhan

    menghendaki agar di dalam diri kamu terjadi revolusi yang dahsyat dan menyeluruh. Dia

    menuntut dari diri kamu suatu maut (kematian), yang sesudah maut itu kamu akan Dia

    hidupkan kembali. Segeralah berdamai antara satu sama lain dan maafkanlah kesalahan-

    kesalahan saudara kamu. Sebab, jahatlah dia yang tidak sudi berdamai dengan saudaranya.

    Ia akan diputuskan perhubungannya, sebab ia menanam benih perpecahan. Tinggalkanlah

    keinginanhawa-nafsu kamu dalam keadaan apa pun, dan lenyapkanlah ketegangan antara

    satu dengan yang lain. Walaupun seandainya kamu ada di pihak yangbenar bersikaplah

    merendahkan diri seakan-akan kamu seorang pendusta, agar kamu diampuni. Lepaskanlah

    segala sesuatu yang bakal menggemukkan hawa-nafsu, sebab pintu itu – yang melalui pintu

    itu kami diperkenankan masuk -- tidak dapat dilalui oleh orang yang gemuk hawa-

    nafsunya. Orang yang paling mulia diantara kalian ialah yang paling banyak memaafkan

    saudara-saudara kalian.”1

    Kutipan ini sering kali dibacakan di hadapan anggota Jemaat dalam berbagai pidato

    dan pengajian. Meskipun terdapat kalimat ‘…bersikaplah merendahkan diri seakan-akan

    kamu seorang pendusta (bersalah)’ para Ahmadi tidak tetap memegangnya dalam urusan-

    urusan pribadi mereka dan membetulkan pendirian mereka, bahkan mereka menuliskan,

    “Meskipun kami memegang pandangan ini dan telah demikian rupa merendahkan diri,

    pihak petengkar bersikap keras dalam urusan itu yang secara aniaya merugikan kami.”

    1 Kishti e Nuh, Ruhani Khaza’in Vol. 19, p. 12

  • 2

    Kalimat-kalimat Hadhrat Masih Mau’ud as yang mana beliau as pikulkan atas kita

    dalam ajaran-ajaran beliau as itu ialah yang beliau as harapkan itu diamalkan oleh para

    anggota Jemaat beliau as dan harapan beliau as itu keluar dari keperihan yang menggelora

    di hati beliau.

    Dalam Khotbah Jumat yang lalu saya juga berbicara tentangkasus-kasus tentang

    perselisihan dan Qadha. Ketika seseorang membaca sampai habis bagian “Ajaranku” yang

    merupakan bagian kitab Bahtera Nuh, ia akan terguncang hingga ke lubuk hatinya.

    Meskipun bagian-bagian kalimat ini berkali-kali dituntut atas kita sebagaimana telah saya

    katakan - sebagian orang masih saja merasa berat untuk dengan tangan terbuka menerima

    permintaan maaf dan perdamaian.Sebagian dari mereka menyatakan - sebagaimana telah

    saya jelaskan - bahwa mereka mengalah dan menerima syarat perdamaian dan meskipun

    demikian pihak yang berselisih dengan mereka masih saja berkeras dalam pendiriannya

    secara aniaya. Jika pihak petengkar (lawan perselisihan mereka) masih saja bersikap

    demikian seperti yang mereka katakan maka mereka harus menyerahkan perkara mereka

    kepada Allah. Orang-orang yang demikian (enggan memaafkan) menurut Hadhrat Masih

    Mau’udas mereka akan “diputus” (dipisahkan). Beliau as telah bersabda setelah itu

    ‘celakalah orang yang keras kepala dan tidak mau memaafkan’.

    Ada peringatan keras bagi mereka yang bersikap keras kepala. Mereka harus

    kembali kepada kebenaran jika pada satu sisi kita berbaiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud

    as untuk tidak akan terlibat dalam fasaad (kerusakan) dan menjauhi sikap mementingkan

    diri sendiri sementara pada segi lainnya mereka mencegah perdamaian. Sikap tersebut

    jauh bahkan tidak sesuai dengan pemenuhan janji baiat. Dalam satu kesempatan Hadhrat

    Masih Mau’ud as bersabda bahwa: “Jemaat kita haruslah sedemikian rupa sehingga mereka

    tidak hanya merasa cukup dengan pelafalan kata-kata baiat saja.” Maksudnya bahwa

    mereka tidak cukup menyatakan diri sebagai Ahmadi lewat kata-kata saja. Melainkan

    mereka harus sedemikian rupa memenuhi maksud dan tujuan yang sebenarnya dari baiat

    itu sendiri. Mereka harus mengadakan perubahan batiniah karena mereka tidak akan

    mampu membuat Allah Ta’ala ridha hanya dengan mempelajari perkara-perkara agama

    saja. Jika tidak ada perubahan batiniah (internal) maka tidak ada bedanya mereka kalian

    dan orang-orang selain mereka.

    Maka dari itu Hadhrat Masih Mau’ud as begitu jelas mengatakan bahwa Allah Ta’ala

    tidak ridhaatas baiat orang yang tanpa memenuhi tujuan baiat itu sendiri. Oleh karena itu,

    guna meraih ridha Allah Ta’ala, penuhilah hak-hak hamba-Nya dan penting juga untuk

    membetulkan perselisihan dengan mereka. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda mengenai

    diri beliau sendiri dalam hal keadaan hati beliau dan kemampuan untuk memaafkan,

    berdamai dan melapangkan hati, “Saya bersumpah dengan nama Allah, jika ada seseorang

    yang telah ribuan kali memanggil saya dajjal (na’udzubillah) dan pendusta serta tidak

    menunurkan tensi usaha permusuhannya terhadap saya lalu kemudian ia datang untuk

  • 3

    berdamai maka saya ia tidak pernah berpikiran dan mustahil terlintas dalam pikiran saya

    apa-apa yang telah ia kata-katakan mengenai saya dan bagaimana dulu ia memperlakukan

    saya.”

    Hadahrat Masih Mau’udas memberikan nasehat kepada kita dengan mengatakan:

    "Nasehat saya adalah camkan dua hal ini dalam benak kalian. Pertama bertakwalah dan

    takutlah kepada Allah. Kedua tunjukan rasa belas kasih kalian kepada saudara-saudara

    kalian sebagaimana kalian tunjukan kepada diri kalian sendiri. Jika seseorang melakukan

    kesalahan atau kekeliruan, maafkanlah. Kesalahan dan kekeliruannya itu janganlah terus-

    menerus jadi bahan sorotan, janganlah kalian terbiasa menyimpan dendam.”

    Di dunia saat ini tersebar fitnah dan kekacauan di tiap tempat, kita yang

    menggolongkan diri kita terlindungi dalam benteng setelahbaiat kepada Hadhrat Masih

    Mau’ud as dan bersyukur kepada Allah yang telah menjaga kita dari kerusakan yang

    terbuka di dunia umumnya, kita harus mengingat senantiasa bahwa kita akan menjadikan

    itu sebagai tempat perlindungansaat bagaimana kita tiap saat dan di tiap tempat harus

    berketetapan untuk berpandangan lembut dalam urusan-urusan kita yang dibolehkan dan

    saat memperlakukan orang lain pun kita berpegang teguh pada kelemahlembutan dan

    perdamaian. Jika tidak demikian, kata-kata kita hanya sekedar pernyataan kosong belaka

    bahwa kita mendapat manfaat dengan bergabungkedalam Jemaat Hadhrat Masih Mau’ud as

    ini. Itu akan hanya sebuah pendakwaan saja tapi kosong dari kebenaran.

    Pernyataan baiat akan dapat bermanfaat bagi kita jika kita menampakkan setiap jenis

    akhlak luhur. Simpati terhadap sesama dan perdamaian ialah termasuk akhlak yang

    dinasehatkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as terhadap kita agar kita berkali-kali berakhlak

    dengan kedua jenis itu. Maka dari itu, tiap Ahmadi harus menaruh perhatian atas hal itu.

    Terdapat kutipan-kutipan lain tentang tema ini yang mana telah dibicarakan tema ini

    berkali-kali dalam buku beliau as dan juga Malfuzhat beliau.

    Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Hadhrat Rasulullah saw

    bersabda, َِا الشَِّديُد الَِّذي ََيِْلُك نَ ْفَسُه ِعْنَد اْلَغَضب "لَْيَس الشَِّديُد اِبلصَُّرَعِة ِإَّنَّ Laisasy syadiidu bish shura’ati innamaasy syadiidul ladzii yamliku nafsahu ‘indal ghadhabi.’ – “Seorang yang kuat itu

    bukanlah orang yang dapat menaklukkan dan menjatuhkan lawannya, akan tetapi orang

    yang kuat itu adalah orang yang dapat mengendalikan kemarahannya di saat benar-benar

    ingin marah.”2 Maka, suatu kepastian dan ciri khas bagi seorang beriman untuk

    menampakkan akhlak luhur dalam segi ini. Mereka harus mengendalikan amarah. Adapun

    orang kafir tidak mampu selamanya dalam hal ini, bahkan mereka kalah oleh kemarahan.

    Sebuah riwayat menceritakan peristiwa Hadhrat Ali Bin Abi Thalib radi sebuah

    pertempuran. Beliau ra melepaskan musuh yang sudah berada digenggamannya dan

    2 Shahih al-Bukhari, Kitabul Adab, bab al-hadzr minal ghadhab (mewaspadai kemarahan),

  • 4

    hendak dibunuhnya ketika musuh tersebut meludahi wajahnya. Orang kafir itu bertanya

    mengapa demikian. Beliaura menjawab,“Aku memerangimu karena kamu menyerang dan

    memerangi umat Islam. Namun dengan meludahi wajahku, kamu mencoba memprovokasi

    (membangkitkan) kemarahanku, dan aku tidak ingin membunuh seseorang karena

    kemarahanku pribadi tersebut.” Inilah standar tinggi yang ditampilkan oleh para

    pendahulu saleh kita dalam sejarah. Orang beriman patut menahan amarah dan siap untuk

    berdamai sementara orang kafir tidak peduli dengan hal itu. Akhlak orang beriman inilah

    yang Hadhrat Masih Mau’ud as ingin tercipta dalam diri kita supaya setiap perbuatan kita

    sesuai ajaran hakiki Islam, yaitu ajaran yang menyiarkan tentang ampunan dan kesabaran

    (mengendalikan kemarahan).

    “Sesungguhnya Jemaat kita tidak memerlukan jagoan gagah berani, tetapi memerlukan

    orang-orang yang berusaha untuk meningkatkan moral mereka. (Kita tidak perlu jagoan,

    tapi kita ingin mereka berusaha keras demi perubahan akhlak) pahlawan yang kuat

    bukanlah yang mampu memindahkan gunung dari tempatnya, (yaitu, orang kuat bukanlah

    yang menghapus gunung dari tempatnya), tapi orang kuat dan berani ialah yang mampu

    meningkatkan moralnya. Kalian harus mengerahkan tekad dan semua kekuatan kalian

    untuk mempertinggi akhlak, ini adalah kekuatan dan keberanian sejati.”3

    “Dalam pandangan saya, orang yang menyingkirkan perilaku buruk, meninggalkan

    kebiasaannya tercela dan bukannya memoles dengan itu malahan memiliki kualitas yang

    baik, (yaitu, meninggalkan perbuatan jahat dan mengerjakan perbuatan baik) maka itu

    ialah karamah untuknya. Misalnya, jika seseorang meninggalkan kekasaran dan keras hati

    dan menerapkan kesantunan dan pengampunan, atau meninggalkan sifat kikir dan melatih

    kemurahan hati, atau menyingkirkan kecemburuan dan menciptakan akhlak simpati, atau

    menahan diri dari sifat keakuan yang bangga dengan kemegahan dan kesombongan lalu

    menerapkan kerendahan hati dan merendahkan diri, tidak ada keraguan bahwa ini ialah

    karamah dari setiap orang dari mereka. Siapakah dari antara kalian yang tidak ingin

    menjadi orang-orang yang memiliki karamah-karamah? Saya tahu bahwa kalian masing-

    masing menginginkannya. Mereformasi moral seseorang merupakan martabat yang hidup

    dan kekal yang dampaknya tidak akan pernah pergi, tapi tetap langgeng manfaatnya.

    Orang beriman harus menjadi pemilik martabat khalq dan khulq.” (yaitu, menjadi

    orang-orang yang ahli karamah (bermartabat) di hadapan Allah dan di hadapan para

    makhluk-Nya.) “Berapa banyak mereka tenggelam dalam kesenangan duniawi dan

    kenikmatannya dan tidak yakin atas setiap tanda ajaib, tapi ia menjadi tunduk menerima

    pada saat melihat keadaan moralitas yang membuatnya tidak menemukan pilihan selain

    mengakui kebenaran. Anda akan membaca di banyak Sawaneh (biografi) banyak orang

    3Malfuzhat, Vol. 1, hal 140, edisi 1985, UK.

  • 5

    yang tidak percaya pada agama yang benar, tetapi dengan melihat martabat moralitas,

    mereka menjadi percaya.”4

    Sementara Hadhrat Masih Mau’ud as menyampaikan pidato ini di salah satu majelis di

    masjid seperti biasa, datang beberapa orang Sikh dalam pakaian petapa sambil mabuk.

    Penukil kisah ini menulis bahwa mereka berbicara kata-kata yang bermasalah dan

    mengganggu majelis ini yang mirip majlis-majlis surga itu. Tapi Imam kita yang Shadiq

    (benar) ‘alaihis salaam saya lihat mengamalkan karamah al-khulqiyah (martabat moral

    agung) yang ia baru bicarakan. Hal itu meninggalkan tanda agung sehingga sebagian besar

    hadirin bahkan menangis secara menyolok karena amat antusias. Sementara itu, para

    pemabuk yang bandel itu akhirnya diikat oleh polisi yang memukuli mereka. Itu dilakukan

    mereka beralasan kemabukan mereka hilang.5 Inilah derajat tertinggi dan contoh tauladan

    sempurna yang Hadhrat Masih Mau’ud as tampilkan dihadapan para pengikut beliau.

    Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa meninggalkan kejahatan dan mengamalkan

    perbuatan baik merupakan keajaiban dan mukjizat baginya. Setelah menyatakan sumpah

    setia (berbaiat), mencapai akhlak fadilah adalah sebuah keajaiban tersendiri. Hadhrat

    Masih Mau’ud as bersada: “Apabila memang ada keajaiban yang kekal, maka keajaiban,

    mukjizat dan revolusi inilah yang harus kalian tanamkan di dalam diri kalian. (yaitu

    meninggalkan kejahatan, akhlak buruk dan mengadopsi akhlak fadilah). Orang yang

    beriman harus mendemonstrasikan kesempurnaan rohani mereka di hadapan makhluk

    dan Pencipta-Nya. Kesempurnaan Akhlak dapat membantu seseorang yang paling tidak

    bermoral menjadi yakin akan kebenaran dari pesan tabligh tersebut, banyak orang

    menerima keimanan sejati dengan menyaksikan akhlak-akhlak fadilah yang luar biasa

    tersebut.”

    Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan bahwa jika ulat-ulat egoisme (serangga-

    serangga hawa nafsu) tidak keluar dari dalam diri seseorang maka dalam dirinya tidak ada

    keimanan terhadap wahdaniyat (keesaan) Allah: “Pada kenyataannya bakteri-bakteri ini

    (kuman-kuman hawa nafsu) tidak dapat pergi tanpa karunia Allah Ta’ala. (Maka itu, kita

    harus berusaha keras untuk menggapai karunia Allah Ta’ala) ”Itu adalah bakteri-bakteri

    yang sangat halus dan amat berbahaya dibanding hal-hal lain. Mereka yang melanggar hak-

    hak Tuhan dan batas-batasnya dengan mengutamakan keinginan pribadi dan melanggar

    hak-hak sesama hamba bukan hanya orang-orang bodoh, tapi ribuan di antara mereka

    ialah para Ulama. Banyak dari mereka mendakwakan diri sebagai faqih dan shufi. Meski

    demikian kalian lihat mereka tertimpa penyakit-penyakit rohani ini.

    (Ini bukan perbuatan orang-orang yang bodoh saja yang tidak menunaikan kewajiban-

    kewajiban terhadap Allah atau setiap kali mereka menemukan kesempatan mereka

    4Malfuzhat, Vol. 1, hal 141-142, edisi 1985, UK. 5Editor bagian catatan kaki, Malfuzhat, Vol. 1, hal 142, edisi 1985, UK.

  • 6

    berusaha untuk mengambil hak-hak orang lain, tapi banyak dari para intelektual dan orang

    pintar serta ditambah lagi para ulama agama yang dikenal di dunia sebagai ahli hokum dan

    sufi juga terinfeksi dengan penyakit ini. Setiap kali mereka mendapatkan kesempatan,

    mereka menjadi lupa segala sesuatu dan tidak ingat Tuhan, hak-hak para hamba-Nya dna

    tidak pula ingat akhlak yang mulia)

    Beliau as bersabda: “Penyelamatan diri dari berhala-berhala ini adalah keberanian.

    Pengetahuan akan hal tersebut adalah kecerdasan dan kebijaksanaan. Inilah berhala-

    berhala yang menyebabkan kemunafikan di antara orang-orang dan penumpahan darah

    ribuan orang. Saudara laki-laki merampas hak saudaranya, dan ribuan perbuatan jahat

    dilakukan setiap hari dan setiap saat. Telah sempurna kebergantungan mereka pada

    sarana-sarana hingga ke tingkat bahwa Tuhan dianggap sebagai anggota tubuh yang cacat

    (tidak berfungsi apa-apa).

    Hanya sedikit yang mengerti arti monoteisme sejati (Tauhid hakiki), sedangkan

    sisanya, jika ditanya langsung bilang: ‘Bukankah kita umat Islam? Bukankah kita

    mengucapkan dua kesaksian Syahadat itu?’ Tapi patut disesalkan bahwa mereka mengira

    melafalkan keterangan di lidah saja sudah cukup.” (Mereka tidak mengerti tujuan

    sebenarnya dan konsep yang sebenarnya dari Tauhid, dan mengira pengucapan dua

    kalimah Syahadat sudah cukup)

    “Saya katakan dengan seyakin-yakinnya bahwa jika manusia mengakui kebenaran

    Kalimah Thayyibah (Syahadat) dan mengamalkannya, maka ia bisa meraih kemajuan yang

    besar dan menyaksikan kekuasaan Allah Ta’ala yang amat menakjubkan.”

    Hadhrat Masih Mau’ud as lebih lanjut bersabda bahwa: “Perhatikanlah! Kedudukan

    yang mana saya berdiri di tempat ini bukan hanya sebagai pemberi nasehat atau

    penyampai cerita semata, melainkan saya berdiri untuk menyampaikan kesaksian. Saya

    penyampai pesan yang Tuhan berikan kepada saya. Tidaklah saya pedulikan apakah

    mereka mendengar dan menerima pesan itu atau menolaknya. Kalianlah yang akan

    ditanyai pertanggungjawabannya atasnya. Saya hanya harus memenuhi kewajiban saya.”

    “Saya mengetahui banyak orang yang bergabung ke dalam Jemaat saya ini, mengakui

    Tauhid (keesaan Tuhan), namun saya katakan dengan sangat menyesal bahwa mereka

    tidak mempercayai akan hal ini. Siapa yang merampas hak-hak saudaranya atau

    mengkhianatinya tidak mencegah dirinya dari keburukan-keburukan lainnya, saya tidak

    memandangnya sebagai orang yang beriman terhadap Tauhid.” (Sebab, keimanan kepada

    Allah mengharuskan seseorang dari menahan diri dari merampas hak-hak sesama

    makhluk-Nya. Orang yang melanggar hak-hak saudaranya dan mengkhianatinya maka ia

    bukan orang beriman pada penyaksian (Syahadat) Laa ilaaha illaLlah. Sebab, orang yang

    beriman pada kalimat itu atau dengan keesaan Allah maka ia takkan merampas hak-hak

    sesama hamba-Nya.)

  • 7

    “Merupakan suatu kenikmatan bila terjadi perubahan luar biasa dengan segera dalam

    diri seseorang.” (Jika kalian memahami makna (Syahadat) Laa ilaaha illaLlah maka pasti

    terjadi perubahan tidak biasa dalam diri kalian.) “Seseorang yang terbebas dari berhala

    yang berbentuk kebencian, kekerasan, keirihatian, kesombongan dan lain sebagainya akan

    ditarik medekat kepada Allah Ta’ala. Perubahan ini dan juga keimanan sejati akan Tauhid

    Ilahi ini hanya bisa terjadi apabila ia menyingkirkan dari dalam batinnya patung berhala

    yang berbentuk keangkuhan, bangga diri, riya, kebencian, sifat bermusuhan, keirihatian,

    kekikiran, kemunafikan, ketidaksetiaan dan lain sebagainya .” (Jika kalian ingin menjadi

    muwahhid (bertauhid) hakiki maka kalian harus mengosongkan diri dari kesombongan,

    kebanggaan, riya, kebencian dan permusuhan. Jika ada orang yang datang kepada kalian

    demi perdamaian dan meminta maaf maka kalian harus memaafkannya dan janganlah

    hendaknya menumbuhkan dendam dalam hati dan janganlah membuat permusuhan

    dengan siapa pun. Tinggalkanlah kedengkian, kekikiran, kemunafikan dan khianat. Jika

    kalian kosong dari ini semua maka kalian akan mampu menjadi Muwahhid hakiki dan

    memahami makna ال إله إال هللا Laa ilaha ilallah (Tidak ada Tuhan yang harus disembah kecuali Allah).”

    Lebih jauh Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Selama berhala-berhala ini masih

    bersemayam di dalam diri, bagaimana bisa benar pengakuan seseorang bahwa ia

    mengimani ‘ إله إال هللا ال Laa ilaha ilallah’? Sebab, (penyakit semacam) itu menolak keimanannya kepada Tuhan. Jadi inilah fakta yang tak terbantahkan bahwa sekedar

    mengatakan percaya bahwa Allah itu Esa tanpa sekutu, tidak akan berfaedah sama sekali.

    Sebab, pada satu segi ia dengan lisannya menyatakan dua kalimah Syahadat; sementara itu

    pada waktu yang sama jika terjadi hal-hal yang bertentangan dengan dirinya lalu ia marah

    dan dendam yang berarti ia menjadikan kemarahan dan dendamnya itu sebagai Tuhan

    baginya.”6

    Pendek kata, tanpa karunia Allah Ta’ala, seseorang tidak dapat membersihkan diri dari

    ulat-ulat hawa nafsu (penyakit hati dan ketakaburan) dari dalam dirinya. Tidak mungkin

    meraih karunia Ilahi tanpa kokoh dalam Tauhid hakiki. Sekedar berkata ‘ال إله إال هللا Laa ilaha ilallah’ tidak akan langsung membuatnya menjadi orang yang beriman terhadap Tauhid

    Ilahi melainkan Ketauhidan mengharuskan seseorang untuk memandang Allah Ta’ala

    sebagai Pemilik semua Kekuasaan dan Yang Patut disembah secara hakiki; dan jika

    seseorang berpandangan demikian maka itu dapat menjauhkan dirinya dari hasrat untuk

    merampas hak orang lain dengan berbagai sarana duniawi.

    Jadi inti kutipan Hadhrat Masih Mau’udas tersebut adalah seseorang yang tidak

    memenuhi hak-hak orang lain, tidak berupaya untuk mengadakan rekonsiliasi

    (perdamaian), dan tidak mengakhiri permusuhannya terhadap orang lain, maka 6Malfuzhat

  • 8

    sesungguhnya ia tidak mengimani Wahdaniyat (keesaan) Allah. Poinnya adalah jika kita

    memahami hal ini, maka kita akan menjadi orang-orang yang senantiasa berdiri diatas

    pondasi kerukunan dan perdamaian, serta memberikan kesempatan bagi kita untuk dapat

    memenuhi hak-hak orang lain. Oleh karena itu, setiap kita perlu memahami hal ini dan

    menilai diri kita sendiri, jika tidak hal ini akan menjadi hal yang mencemaskan bagi kita

    yaitu mengaku mengimani Tauhid namun pada prakteknya sangat bertolak belakang.

    Hadhrat Masih Mau’ud as, dalam buku beliau, filsafat Ajaran Islam, telah menjelaskan

    berbagai metode untuk menjauh dari syarr (kejahatan dan keburukan). Ada berbagai

    macam cara bagaimana seseorang bisa dan harus menjauhkan diri dari keburukan.

    Termasuk dari akhlak-akhlak meninggalkan kejahatan ialah tidak menyakiti jasmani orang

    lain secara aniaya dan menjadi manusia yang tidak jail serta menjalani hidup yang rukun.

    Tentang hal ini beliauas bersabda bahwa salah satu metode menjauhkan keburukan adalah

    bahwa dalam menjalankan hidupnya seseorang tidak melakukan kezaliman dalam bentuk

    apapun dan tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain. Bahkan ia benar-benar tidak

    berbahaya dan harus meletakan pondasi untuk mambangun perdamaian dan kerukunan

    (penting untuk meningkatkan rasa kasih dan sayang antara satu sama lain).

    Hadhrat Masih Mau’ud as selanjutnya bersabda: “Jadi, tidak ragu lagi bahwa bersikap

    rukun merupakan akhlak yang tinggi derajatnya dan amat penting bagi kemanusiaan. Dan

    sesuai dengan akhlak tersebut, di dalam diri bayi terdapat ulfat (األلفة)-- yakni keakraban -- yang merupakan suatu potensi alami, yang bila diterapkan secara seimbang dapat menjadi

    akhlak. Adalah jelas bahwa seorang manusia hanya di dalam keadaan thabi’i (alami) saja, --

    yakni di dalam keadaan manusia belum menggunakan akalnya -- tidak akan dapat

    memahami arti rukun dan tidak pula dapat memahami arti berkelahi. Jadi, pada saat itu di

    dalam dirinya terdapat kebiasaan untuk hidup serasi; dan itulah yang merupakan akar dari

    sikap rukun.

    Akan tetapi, oleh karena belum diterapkan dengan pertimbangan akal, renungan

    mendalam dan iradah (kehendak) khusus maka hal itu tidak dapat dimasukkan ke dalam

    golongan akhlak.” (Bila seorang yang tidak berakal dan tidak mempunyai kemampuan

    maka keadaannya seperti anak kecil. Bukan termasuk akhlak dan takkan dianggap akhlak

    bila seseorang tidak mempertimbangkan semua keadaan dan ia tidak berusaha dengan

    kehendaknya untuk berdamai serta ia menerapkannya pada situasi dan tempat yang tepat.

    Atau di suatu waktu jika terjadi suatu peperangan antar negara atau antar bangsa lalu

    diambil perjanjian-perjanjian. Jika perjanjian tersebut tidak ditetapkan dengan tidak adil

    dan tertentangan dengan akal sehat melainkan pada situasi tepat dan setelah

    pertimbangan matang lalu bila cenderung pada perdamaian yang jika itu tepat pada

    situasinya maka barulah itu terhitung akhlak agung. Beliau as bersabda:)

  • 9

    “Sesungguhnya apabila manusia dengan sadar membuat dirinya sendiri menjadi

    seorang yang tidak jail lalu menggunakan akhlak rukun tepat pada tempatnya serta

    menghindarkan diri dari penggunaannya yang tidak tepat, barulah hal itu dapat

    dimasukkan ke dalam golongan akhlak.

    Berkenaan dengan itu Allah Ta’ala mengajarkan, َوَأْصِلُحوا َذاَت بَ ْيِنُكْم ۖ Yakni, berukun-rukunlah antara sesamamu (8:2); ٌر Di dalam rukun terdapat kebaikan ۖ َوالصُّْلُح َخي ْ ,Dan jika mereka cenderung ke arah perdamaian ۖ َوِإن َجَنُحوا لِلسَّْلِم فَاْجَنْح ََلَا َوتَ وَكَّْل َعَلى اّللَِّ ;(4:129)maka cenderung pulalah engkau ke arah itu (8:62); َوِعَباُد الرَّْْحََِٰن الَِّذيَن ََيُْشوَن َعَلى اْْلَْرِض َهْوًَن َوِإَذا َخاطَبَ ُهُم ;(Hamba-hamba Allah yang saleh berjalan di muka bumi dengan rukun (25:64 اْْلَاِهُلوَن قَاُلوا َسََلًما

    رُّوا اِبللَّْغِو َمرُّوا ِكَراًماَوِإَذا مَ Dan jika mendengar suatu ucapan sia-sia, berupa pendahuluan dan mukadimah yang menjurus kepada pertentangan dan perkelahian, maka berlalulah mereka

    secara terhormat (25:73).

    Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as mengutip bagian ayat berikut ini: اْدَفْع اِبلَِِّت ِهَي َأْحَسُن فَِإَذايمٌ َنُه َعَداَوٌة َكأَنَُّه َوِلٌّ ْحَِ َنَك َوبَ ي ْ Tolaklah kejahatan dengan sebaik-baiknya, dan ketika diantara الَِّذي بَ ي ْdirinya dan kalian ada permusuhan maka akan menjadi seperti seorang sahabat yang

    penuh kehangatan. (41:35).

    Beliau as bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, َوَأْصِلُحوا َذاَت بَ ْيِنُكْم ۖ Yakni, berukun-rukunlah antara sesamamu; dan berfirman, ٌر Di dalam rukun terdapat kebaikan; dan ۖ َوالصُّْلُح َخي ْberfirman, َُحوا لِلسَّْلِم فَاْجَنْح ََلَا َوتَ وَكَّْل َعَلى اّللَِّ َوِإن َجن ۖ Dan jika mereka cenderung ke arah perdamaian, maka cenderung pulalah engkau ke arah itu; dan berfirman, َوِعَباُد الرَّْْحََِٰن الَِّذيَن ََيُْشوَن َعَلى اْْلَْرِض َهْوًَن َوِإَذا

    اِهُلوَن قَاُلوا َسََلًماَخاطَبَ ُهُم اْلَْ yang artinya, para hamba Allah yang saleh berjalan di muka bumi dengan rukun. Jika mereka mendengar perkataan sia-sia yang mana mengarah pada

    pertengkaran dan perkelahian maka mereka berlaku baik dan melewati hal itu dengan

    berwibawa. Maksudnya, mereka tidak menyukai untuk memulai pertengkaran karena

    perkara-perkara kecil maupun besar. Kecuali tidak menimbulkan penderitaan besar maka

    mereka tidak merasa pantas untuk bersengketa. Dan dasar untuk menerapkan sikap rukun

    yang tepat sesuai keadaan adalah mengabaikan perkara-perkara kecil dan bersedia

    memaafkan pelakunya.

    Dan kata laghw (اللغو sia-sia) yang terdapat di dalam ayat ini hendaknya jelas bahwa di dalam bahasa Arab perkataan laghw itu menunjukkan kepada perbuatan demikian,

    misalnya, seseorang yang karena nakalnya mengucapkan kata-kata yang tidak senonoh

    atau melakukan suatu perbuatan dengan maksud menyakiti, sedangkan pada hakikatnya

    hal itu tidak mendatangkan suatu kerugian dan kemudaratan besar bagi si penderita.

  • 10

    (Misalnya, pembicaraan tak keruan, igauan dan pembicaraan kosong atau niatan menyakiti

    namun tidak berarti) Jadi, tanda hidup rukun ialah mengabaikan perbuatan-perbuatan

    menyakiti yang sia-sia itu dan menerapkan perilaku yang mulia.” (Jika ia menimpakan

    sedikit kerugian maka ia harus mengabaikan, berpaling dan melewatkannya dengan cara

    yang mulia)

    “Lebih lanjut Allah Ta’ala berfirman: Barangsiapa yang karena nakalnya mengucapkan

    kata-kata tidak senonoh, maka hendaklah kamu membalasnya dengan sikap rukun melalui

    cara yang baik. Maka dengan jalan demikian orang yang dulunya memusuhi pun akan

    menjadi kawan (41:35).”

    Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tujuan didirikannya jemaat ini yaitu supaya

    ditanamkan ketakwaan di lidah mereka, telinga mereka, mata mereka dan bahkan setiap

    bagian dari tubuh mereka. Nur ketakwaan harus nampak di dalam batiniah mereka dan

    jasmaniah mereka. Mereka harus menjadi teladan yang sempurna akan kebajikan dan

    akhlak yang murni. Tidak terdapat pada mereka kemarahan dan tidak ada sifat pemarah

    yang tanpa berhenti.”

    “Telah saya lihat cela amarah masih saja terdapat di banyak anggota Jemaat saya

    sekarang. Mereka memendam dendam dan benci kepada yang lainnya hanya karena

    masalah kecil dan bertengkar. Teladan seperti itu bukanlah dalam Jemaat saya sedikit pun.

    Saya tidak mengerti apa susahnya untuk tetap diam tidak menanggapi cacian pihak lain.”

    Beliau as lebih jauh menguraikan bagaimana cara kita merespon orang yang

    menggunakan bahasa dan taktik yang menyakitkan terhadap kita, beliau bersada: “Cara

    terbaik dalam melakukan perbaikan adalah dengan perbaikan akhlak terlebih dahulu.

    Seseorang harus memulai tarbiyat diri dengan ksebaran. Jalan terbaik atas itu ialah jika

    seseorang menggunakan bahasa yang sifatnya menyerang kalian, maka kalian harus

    berdoa kepada Allah Ta’ala dengan hati yang tulus supaya Allah Ta’ala merubah pribadi

    orang tersebut. Pada saat yang sama, kalian jangan mengungkapkan dan menambah

    kebencian apapun terhadap orang itu. Sebagaimana di dunia terdapat undang-undang;

    demikian pula pada Allah juga terdapat hukum-hukum. Jika di dunia sendiri mereka tidak

    menyia-nyiakan hukum-hukum mereka sendiri maka bagaimana mungkin Allah Ta’ala

    mengabaikan dan menyia-nyiakan hukum-hukum-Nya sendiri? Selama kalian tidak

    membuat perubahan dalam diri kalian secara baik maka selama itu pula kalian takkan

    dianggap berharga dalam pandangan Allah Ta’ala.”

    “Allah Yang Maha Kuasa tidak pernah meridhai seseorang yang melepaskan sifat-sifat

    akhlak mulia seperti kelembutan, kesabaran dan pemaaf serta menggantinya dengan sifat

    menyerang (tidak berperasaan). Jika kalian membuat kemajuan dalam hal kebajikan

    akhlak, maka kalian akan cepat menemukan jalan yang menuju kepada Tuhan.”

  • 11

    Maka, tujuan bergabungnya seseorang kedalam Jemaat Masih Mau’ud ialah supaya

    Allah Ta’ala ridha dan kita merasukkan dalam hati kita Tauhid-Nya nan hakiki dan

    sebagaimana beliau as bersabda juga kepada kita untuk memperelok diri dengan akhlak

    yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sesama dan yang seseorang terapkan dengan

    memenuhi hak-hak orang lain.

    Pada satu kesempatan seraya menasehati kita, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda:

    “Jika kalian menjalin hubungan dengan saya dan telah mengaku menjadi bagian dari

    tentara saya, maka tidak ada tempat melarikan diri bagi kalian untuk menerapkan akhlak-

    akhlak mulia dan membuang sifat membuat fitnah (kekacauan) dan fasad (kerusakan).”

    Lalu, beliau as bersabda, “Kalian harus membersihkan hati kalian, mengelorakan di

    dalam hati tersebut simpatiterhadap sesama manusia dan empati terhadap yang

    memerlukannya. Kalian harus menjamin tersebarnya perdamaian dan keharmonisan di

    dunia ini. Pada gilirannnya, hal ini akan menolong berkembangnya agama mereka.”

    (Artinya, mereka harus menyebarkan kedamaian di bumi dan dengan hal ini Islam yang

    merupakan agama mereka akan tersebar di dunia sehingga kesempatan penyebarkan

    tabligh ini akan terbuka.)

    Lalu beliau as bersabda: “Oleh karena itu, bangkitlah, bertobatlah dan raihlah ridho

    Tuhan Yang Maha Pencipta dengan amal saleh kalian.”

    Di kesempatan yang lain seraya menasehati kita agar menghapus segala kedengkian

    dan dendam dalam hati kita, berempati terhadap sesama manusia, serta menegakan

    pondasi perdamaian, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Saat ini, saya ingin memberikan

    nasehat kepada Jemaat sayayang mana mereka mengimani saya sebagai Al-Masih yang

    dijanjikan; mereka harus senantiasa menjauhkan diri dari sifat dan adat kebiasaan tak

    bermoral. Dikarenakan Tuhan telah mengutus saya sebagai Al-Masih yang kedua dan telah

    menghias saya dengan mantel Al-Masih putra Maryam maka saya mewasiyatkan pada

    kalian: Jauhilah keburukan dan berbelas kasihlah terhadap umat manusia. Bersihkan hati

    kalian dari setiap kebencian dansetiap dendam maka tersebut kalian akan menjadi seperti

    malaikat. Alangkah buruknya dan alangkah rendahnya agama yang tidak mengajarkan

    berkasih sayang sesama makhluk. Alangkah kotornya cara yang penuh dengan syak-

    wasangka kebencian di dalam diri. Maka kalian, wahai kalian yang bersama saya, janganlah

    bersikap demikian.”

    “Pikirkanlah! Apakah tujuan akhir agama? Apakah itu dengan kesibukan menyakiti

    orang lain? Tidak! Tidak! Melainkan, tujuan akhir agama ialah memperoleh kehidupan yang

    menjadi benar-benar karena Allah. Kehidupan tersebut tidak pernah dicapai seorang pun

    di masa lalu dan takkan pernah bisa dicapai di masa mendatang kecuali dengan

    menjalankan sifat-sifat Ilahiyah. (artinya, jika kalian ingin kehidupan tersebut, itu takkan

    kalian raih tanpa berusaha atau tanpa menerapkan akhlak tinggi) Bersihkan hati kalian

  • 12

    dari setiap kebencian nan rendah dansetiap dendam, karena dengan sifat tersebut kalian

    akan menjadi seperti malaikat….berbelas kasihlah terhadap seluruh makhluk karena

    Tuhan, supaya kalian dirahmati di Langit. Datanglah, dan saya akan ajarkan kalian cara

    bagaimana nur kalian unggul diatas cahaya-cahaya lainnya. Ingatlah! itu ialah jauhkanlah

    segala sifat dendam nan rendah dan setiap kedengkian, berbelas kasilah terhadap umat

    manusia, dan lenyapkanlah diri kalian dihadapan Tuhan. Ikhlaskanlah kalian sepenuh

    ketulusan dalam berhubungan dengan Tuhan. Inilah jalan yang mana dengan melalui itu

    karamah-karamah dianugerahkan, doa-doa dikabulkan, dan para malaikat turun untuk

    menolongnya. Namun ini bukan pekerjaan satu hari atau dua hari.

    Melangkah maju dan teruslah melangkah maju. Belajarlah dari contoh seseorang yang

    mencuci pakaiannya. Ia memasukan pakaiannya kedalam air panas yang mendidih hingga

    hawa panasnya menyebabkan kotoran-kotorannya terpisah dari pakaian tersebut.

    Kemudian dia bangun di pagi hari dan mencapai tempat aliran air dan memukul-mukul

    pakaian yang sudah basah dengan air dari atas satu batu ke batu lainnya. Kotoran yang ada

    di pakaian dan sebelumnya menjadi bagian darinya telah dibuat benar-benar terpisah

    darinya akibat dipanaskan dan dipukuli dengan tangan pencuci pada aliran air sehingga

    menjadi pakaian yang bersih seperti baru lagi. (Saat pakaian digosok saat dicuci berulang

    kali, saat pencucinya memukulkan di batu karang dari waktu ke waktu, atau saat pakaian

    dicuci dengan mesin modern yang berputar dengan cepat maka kotorannya terlepas dari

    pakaian tersebut, dan ini adalah contoh yang Hadhrat Masih Mau’ud as sampaikan. Lalu,

    beliau as bersabda,)

    “Hanya inilah jalan untuk membuat putih bersih jiwa kemanusiaan. Segala

    keselamatan kalian tergantung pada kemurnian ini saja. Inilah yang Allah Ta’ala firmankan

    di dalam al-Quran dalam firman-Nya, اَها artinya, jiwa akan meraih keselamatan َقْد َأفْ َلَح َمن زَكَّjika bersih dari segala jenis kebusukan dan kekotoran.”

    Maka dari itu, kita harus berusaha membersihkan jiwa kita yang perumpamaannya

    seperti dalam pikiran kita tengah mencuci baju kita sebersih mungkin.

    Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita kesempatan untuk melaksanakan ajaran-

    ajaran Hadhrat Masih Mau’ud as ini, dan semoga melaluinya kita dapat menunjukan belas

    kasih kita kepada sesama makhluk Allah, mendirikan dasar-dasar perdamaian, memahami

    makna sebenarnya Tauhid Ilahi, menyebarkan kasih sayang ditengah-tengah masyarakat

    dan kita tidak mengalah pada hasrat-hasrat duniawi, sebaliknya, semoga kita senantiasa

    dibimbing untuk meraih ridhaTuhan dan semoga ini menjadi target utama kita. [ ني -آمAamiin!]

    Penerjemah: Dildaar Ahmad & Yusuf Awwab